Malam begitu gelap. Tak ada pancaran
sinar matahari yang menyinari bumi lagi, tapi jangan khawatir itu hanya terjadi
malam hari saja. Bintang-bintang di langit sudah cukup membantu menerangi bumi
di tambah cahaya lampu di tiap perempatan jalan ibukota.
Jalanan cukup sepi, mungkin karena sudah
larut malam. Tak terlalu banyak hiruk pikuk suara kendaraan yang mengganggu.
Hanya ada beberapa pejalan kaki saja. Langkah Ryan begitu pelan, entah apa yang
ada di benaknya sekarang. Terus berjalan kaki tanpa ada arah tujuan sedari
tadi. Hanya di temani alunan musik favoritnya saja.
“Ryan, Ryan, tunggu!” suara dari belakang tampak memanggil.
Ryan tak menoleh sedikitpun. Mungkin pengaruh terlalu asyik mendengar
alunan musik itu.
“Ryan, Ryan, tunggu!” suara itu kembali terulang namun lebih keras
lagi.
Kali ini Ryan akhirnya menoleh. Melihat dari kejauhan sosok yang
memanggilnya. Kulit sawo matang, tinggi dan terlihat manis mengenakan kaos
oblong itu ternyata teman sewaktu di SMA, namanya Arif.
“Hey rif, kenapa?”
“Mau kemana? Dari tadi siang ibumu menelfon, dikiranya kamu main ke
rumah” kata Arif dengan gaya cemas.
“Oh, itu. Iya aku yang bilang tadi mau ke rumah kamu, tapi itu cuman
akal-akalan saja biar ibu tidak cemas” Ryan menjawab dengan santai.
“Kenapa? Ada masalah apalagi?” tanya Arif penasaran.
Tak ada respon dari Ryan, dia hanya terus berjalan melangkahkan
kakinya entah kemana, tak ada tujuan sama sekali. Arif hanya terus mengikuti
meski kadang terlihat geram melihat tingkah sahabatnya itu.
“Rif, kamu mau lanjut dimana?” pertanyaan yang tiba-tiba terlontar
dari mulut Ryan. “Minggu depan, aku mau ikut tes. Mau lanjut di luar saja.
Maunya di Inggris, Oxford. Selasa nanti sudah tes mau ambil Hukum, minggu
depannya ada tes lagi dengan jurusan yang sama sih, cuman di salah satu
universitas di Singapore. Sebenarnya niat ambil jurusan Hubungan Internasional
juga tapi masih ragu” Arif nampak semangat menjelaskan rencana perkuliahannya.
“Kamu dimana? Tidak niat lanjut di luar juga?” tanya Arif balik.
Lagi, Ryan tak bergumam dan tak
mengeluarkan sepatah kata atas pertanyaan sahabatnya itu. Entahlah, apa yang di
benaknya sekarang. Seperti tak bisa ditebak.
Kini mereka sudah berjalan terlalu jauh,
sangat jauh. Sedari tadi tak ada percakapan yang begitu berarti. Hanya selingan
saja yang benar-benar tak punya nilai.
“Kenapa pilih kuliah di luar, Rif? Di Indonesia juga banyak
universitas yang bagus kan. Lagian keluaran disini juga banyak yang hidup
mereka terjamin dan akhirnya bisa dipekerjakan di perusahaan besar juga” sahut
Ryan yang baru merespon. Aneh memang.
“Mereka memang menuntut ilmu disini, tapi
pada akhirnya mereka juga bekerja dan banyak memilih untuk di luar negeri kan?
Apa kau tidak akan bangga, kalau bisa menuntut ilmu dan bekerja di perusahaan
besar di luar?” Arif menatap tajam Ryan.
Tak ada respon lagi. Tiba-tiba suara nada
dering yang cukup lantang terdengar begitu dahsyat. Rupanya bunyi itu berasal
dari telepon genggam milik Ryan. Kali ini Ryan harus mengakhiri percakapannya
dengan Arif. Karena sang ibu sudah terlalu cemas dan menyuruhnya segera balik
ke rumah.
Setiba di rumah, Ryan langsung mepercepat
langkahnya menuju kamar. Tak tahan lagi dengan lelah yang ada, dia langsung
merebahkan tubuhnya di atas kasur yang setiap malam menjadi teman terbaiknya.
Etalase foto-foto kamar menjadi sasaran penglihatan dirinya. Tampak ada satu
foto disana yang tak henti ditatap. Mungkin foto itu menyimpan berjuta
kenangan. Ya, foto itu adalah foto bersama sang adik sewaktu di London, Inggris
dulu. Tampak senyuman begitu lebar, terlihat wajah mereka berdua begitu
menikmati liburan sekolah dulu. Wajar lah, itu kali pertama mereka menginjakkan
kaki ke luar negeri. Apalagi di Inggris, sungguh menyenangkan. Dentuman jam
dinding kamar yang kini mengarah pada angka satu itu tak membuat Ryan untuk
segera mangakhiri khayalannya. Mungkin pikirannya masih kacau, raut wajahnya
sungguh datar, tapi tatapannya masih mengarah ke foto yang tadi.
“Ryan, ayo tidur cepat. Jangan begadang lagi. Besok pagi kita ke rumah
Om Indra. Dia sudah datang dari Jepang. Mungkin saja nanti ada buah tangan dari
om mu itu” tiba-tiba suara Ibu terdengar begitu lantang.
Ryan mengabaikan, tapi beberapa menit
menjelang seruan sang Ibu tadi tiba-tiba lampu di kamar sudah mati. Ya, kali
ini Ryan mendengar perintah perempuan parubaya itu. Dan entah ada angin apa,
paginya Ryan bangun terlalu pagi. Tak seperti hari-hari sebelumnya yang begitu
sulit untuk dibangunkan oleh sang Ibu. Kali ini Ryan segera menoleh dan
mengambil jam yang sehari-hari menjadi musuh terbesarnya. Sebelum dia terusik
oleh bunyi yang begitu keras dari jam itu buru-buru dia lah yang mematikan
cepat bunyi alarmnya.
Pagi itu sungguh sejuk, matahari kini
mulai menampakkan sinarnya. Dia bertugas lagi memberi sentuhan nafas kepada
masyarakat bumi ini. Tampaknya hari itu cuaca sangat bersahabat. Pedagang kaki
lima, angkutan umum serta pejalan kaki berlalu lalang sudah mulai nampak
terlihat. Mereka kini tampak sudah sibuk mencari kumpulan rupiah untuk bisa
tetap berpijak di atas bumi ibu pertiwi ini.
“Kak Ryan ayo cepat siap-siap, kita berangkat ke rumah Om Indra
sekarang” tampak suara sang adik yang begitu bersemangat tiba-tiba menyahut
dari depan pintu kamar.
“Ahhh? Ngapain sepagi ini berangkat? Lagian Om Indra juga pasti masih
melek disana.” sahut Ryan dengan wajah yang sungguh datar.
“Aku sudah nggak sabar mau dapat oleh-oleh dari Om Indra, ayo buruan.
Kalau telat bisa-bisa nanti kita tidak kebagian. Ayo kak buruan” nampak suara
itu cukup memaksa.
Mau nggak mau, suka nggak suka kali ini Ryan harus betul-betul
menuruti kata sang adik. Wajar, sang adik yang sering disapa Risan kini duduk
di tingkat menengah pertama itu begitu bersemangat jika ada sanak keluarga
mereka yang sudah menampakkan batang hidungnya ke Indonesia, seperti kebiasaan
sebelumnya tak lain tak bukan hanya mengincar buah tangan saja. Ya sesederhana
itu kebahagiaan dia sepertinya. Bahkan tak sering Risan sudah memesan terlebih
dahulu. Baju, tas bahkan sepatu buatan asli dari sana sudah menjadi incaran
Risan.
Di rumah yang berlantai dua milik om Indra akhirnya mereka tiba. Rumah
yang cukup strategis terletak di tengah-tengah kota itu selalu dipenuhi hiruk
pikuk keramaian. Kendaraan tak henti-hentinya berlalu-lalang di depan rumah Om
Indra. Ternyata, dari luar Om Indra langsung menyambut kedatangan mereka semua.
Tampak senyum begitu lebar terpancar dari wajah Om Indra. Wajar, tiga bulan
lebih Om Indra baru mengijakkan kakinya di tanah air Indonesia dan sudah lama
tak bertatatap muka dengan sanak keluarga di Indonesia. Om Indra selalu
bolak-balik Jepang-Indonesia lantaran Om Indra punya usaha di bidang Desain
Interior yang kini namanya makin dikenal di Jepang. Usaha ini sudah dilakukan
sejak tiga tahun yang lalu. Om Indra kini juga mempunyai begitu banyak karyawan
yang tiap bulan harus digajinya.
“Om, oleh-olehnya mana? Pesanan aku ada
kan?” tiba-tiba suara itu terdengar di sela-sela jumpa kangen itu berlangsung.
Ya, sahut Risan rupanya tak sabar menerima buah tangan dari Paman tercintanya
itu.
“Tenang, om pasti ada oleh-oleh buat
kalian semua. Ayo naik, pesanan kamu ada di atas”
Di sela-sela melihat buah tangan dari Om Indra dan percakapan
berlangsung begitu indah, tiba-tiba Om Indra menanyakan pendidikan Ryan
selanjutnya. Wajar, Ryan memang sudah lulus tingkat SMA tahun ini.
“Ryan, kamu mau lanjut kuliah dimana?”
“Hem, (Ryan tampak diam sejenak). Masih
bingung Om, tapi rencana mau kuliah di Universitas yang ada di Jakarta saja.
Mau coba simak UI dulu ambil jurusan Hukum om” jawab Ryan tampak tersenyum.
“Oh gitu. Kenapa nggak mau ngikutin jejak
langkah om? Kamu coba sekolah di luar saja, kalau kamu tekun dan ulet nantinya
bisa langsung di rekrut perusahaan besar disana. Wah, pasti orangtuamu akan
sangat bangga. Atau paling tidak kamu buka usaha sendiri, lumayanlah bisa
membantu penghidupan orang orang disana untuk menjadi karyawanmu” Om Indra
memberi saran.
“Om bukan orang yang pertama nyaranin
kayak gitu. Tapi ngomong-ngomong om sendiri kenapa nggak buka usahanya di
Indonesia saja? Om juga pasti nggak bakal capek terus bolak-balik
Jepang-Indonesia.” Ryan menjawab dengan nada yang cukup serius.
“Jepang itu negara maju, mungkin kamu sendiri tahu kalau penduduk
Jepang terkenal dengan pekerja keras. Om bisa bedain rasanya waktu SD hingga
SMP om menuntut ilmu di negara ini. Tapi saat SMA hingga om berkuliah dan
akhirnya bekerja bisa membuka usaha di Jepang itu rasanya sangat beda sekali”
“Beda? Emang apa bedanya om?” Ryan
seperti penasaran
“Sangat beda. Kamu tau nggak? Hal yang
bisa membuat penduduk-penduduk Jepang banyak berhasil? karena penduduk Jepang
terkenal dengan tipe pekerja keras. Rata-rata jam kerja pegawai di Jepang 2450
jam/tahun. Itu sangat berbeda jauh dengan yang ada di Indonesia yang bisa
dikatakan jam kerja pegawainya hanya berkisar 1500an jam/tahun. Sangat jauh
kan? Bukan cuman itu saja, siswa-siswi di sana jika mereka mengalami suatu
kegagalan, itu adalah hal yang paling memalukan dan terburuk buat mereka,
bahkan mereka bisa membunuh dirinya sendiri. Maka dari itu kenapa om nyuruh
kamu untuk bisa melanjutkan pendidikan di luar utamanya di Jepang. Biar
nantinya kamu bisa belajar dan sukses kelak” kata om Indra yang nampaknya tau
semua tentang negara Jepang itu.
Ryan terdiam. Percakapan mereka tampaknya
terhenti sejenak. Ryan mungkin lagi mencerna pernyataan Om Indra tadi. Ya,
tidak ada yang salah memang dari ungkapan Om Indra itu yang membuat Indra
tiba-tiba tak mengeluarkan respon apapun.
“Hei, jangan bengong” om Indra menepuk pundak keponakannya itu
tiba-tiba.
“(Ryan terkaget)! Emang yang bengong
siapa? Om ada-ada aja”
Percakapan yang tak begitu lama namun
tampak serius tadi rupanya berakhir disini. Lantaran sudah terdengar kicauan
sang Ibu yang sedari tadi memanggil untuk segera pulang. Ya, perjumpaan dan
kangen-kangenan dengan Om Indra nampaknya berakhir di saat matahari sudah mulai
tak menampakkan wajahnya. Hari yang sudah gelap itu memanggil mereka untuk
kembali ke rumah. Semuanya naik ke mobil dan bergegas untuk pulang. Di tengah
perjalanan yang cukup melelahkan, tiba-tiba saja terlihat sekumpulan anak muda
dari sudut kaca mobil yang nampak terlihat melakukan tawuran. Ibu tiba-tiba
menelan ludah. Tawuran itu bukan saja mengagetkan tapi juga menyadari sesuatu.
Bagaimana mungkin disaat malam yang mengharuskan mereka sudah berada di rumah,
masih ada saja terlihat melakukan tawuran lengkap dengan seragam sekolah yang
masih menempel di badan mereka.
“Sungguh miris memang menyaksikan potret anak muda sekarang, masih ada
saja tawuran malam-malam begini. Huuu” Ibu menghela napas.
Agar dapat cepat tiba di rumah. Ayah
memutar balik mobil dan memilih jalan lain untuk menghindari hal-hal yang tidak
di inginkan. Ya, nampaknya mereka juga begitu takut melihat tawuran yang nampak
ekstrem itu. Perjalanan ke rumah pun berlanjut. Di bawah naungan langit yang
dipenuhi bintang-bintang indah, diiringi kicauan burung dan melintasi
terowongan gelap, perjalanan setengah jam tidak terasa. Mereka kini tiba di
rumah.
Esok hari, di siang bolong. Ibu tampak
tercengang melihat berita di TV. Rupanya, tawuran kemarin malam yang dilihat
dengan mata kepala sendiri itu menjadi pusat perhatian dan diliput oleh banyak
media. Wajah Ibu tampak kusut, sangat terkejut. Rupanya, tawuran itu memakan
dua korban hingga meninggal, lantaran terkena tusukan benda tajam.
“Aduhhh, kasian anak-anak itu. Tapi, itu resikonya! Sudah malam juga
masih punya kesempatan melakukan tawuran. Anak jaman sekarang!” Ibu tampak iba,
tapi sekaligus jengkel.
“Kenapa bu?” tiba-tiba terdengar suara Ryan menghampiri di ruang TV.
“Ini, tawuran kemarin yang kita lihat itu diberitakan. Ternyata ada
korban yang meninggal dua orang”
“Oh ya? Siapa bu?”
“Nggak tau juga. Oh ya ingat, kamu jangan
sampai melakukan hal seperti itu. Ibu nggak mau mendegar kamu terlibat hal-hal
demikian. Pokoknya jangan sampai! Kamu harus ingat itu yah. Kamu nggak mau kan
jadi korban seperti mereka?” Ibu tiba-tiba tampak prihatin.
“Ibu apaan sih. Nggak usah khawatir sama Ryan. Ryan tau apa yang harus
Ryan lakukan!”
“Baguslah. Semoga itu bukan hanya omongan belaka kamu saja. Ibu cuman
mau lihat kamu bisa menjadi orang yang berguna kelak. Mau jadi apa anak muda
itu kalau kerjaannya cuman melakukan tawuran dan perkelahian terus” Ibu menyeka
dahi.
“Iya bu”
“Oh ya, terus bagaimana dengan kuliahmu?
Mau lanjut dimana? Apa tidak ada rencana melanjutkan di luar saja? Ibu cuman
takut kalau nantinya kamu akan terpengaruh dengan hal-hal seperti itu.
Melakukan demo, perkelahian, sampai tawuran lah. Kamu sendiri juga sudah sering
lihat kan berita-berita di tv yang setiap harinya hanya memberitakan
perkelahian anak sekolah jaman sekarang” wajah Ibu tampak begitu cemas.
“(Ryan menghela napas). Aku mau lanjut
disini saja bu. Teman-teman Ryan juga kebanyakan lanjut disini juga. Lagian
tadi kan Ryan sudah bilang. Ibu nggak usah khawatir dengan hal seperti itu.
Ryan pasti bisa kontrol diri untuk tidak melakukan hal demikian” Ryan tampak
meyakinkan.
“Gimana kalau kamu coba di Jepang saja
dulu nak. Disana juga ada Om Indra yang bisa kontrol kamu setiap hari. Lagipula
Ibu juga ngga mau biarin kamu keluar kalau ngga ada sanak keluarga disana. Ibu
begitu miris saja melihat anak muda jaman sekarang! Kerjanya hanya tawuran
mulu”
“Nggak bu disini saja. Ibu hanya keliru
saja. Lagian kualitas anak muda Indonesia sekarang justru lagi hebat-hebatnya.
Dan Ryan bisa jelaskan kenapa. Beberapa teman Ryan di SMA dulu bisa meraih
juara olimpiade robotik, olimpiade kimia, dan olimpiade fisika. Bukan hanya di
sekolah Ryan, pemuda Indonesia lainnya di undang tur hiphop keliling Amerika,
NewYork. Ada yang juara dunia juga dalam paduan suara bahkan terakhir ini kita
melihat bendera Indonesia dikibarkan saat atlet bulu tangkis kita berhasil
menjadi juara tingkat dunia di China. Mungkin, mereka semua tak pernah didengar
dan dilihat oleh rakyat Indonesia. Karena hampir semua media hanya memberitakan
keburukan pemuda Indonesianya saja. Dan para penonton pun lebih tertarik
menyaksikan info-info negatif anak muda sekarang tanpa sadar begitu banyak sisi
positif yang bisa dibanggakan bu” Ryan tampak serius menjelaskan.
Ibu tampak terdiam sejenak. Mungkin kaget
dengan jawaban putra pertamanya itu. Ibu hanya menghela nafas panjang dan
tersenyum kepada Ryan. Tak tau harus berkata apa lagi.
“Kayak seperti yang Ibu lihat sekarang kan? Media semua
gempar-gempornya memberitakan tawuran kemarin. Kenapa bukan pemuda yang
berprestasi saja yang terus diberitakan? Karena pelajar yang sedang belajar
tidak menarik dibandingkan pelajar yang hobby membacok. Ada begitu banyak
pelajar Indonesia di luar sana yang lagi belajar, menggali potensi mereka,
berkarya dan terus berfikir. Hanya saja media tak pernah bertemu mereka karena
mereka dalam lingkungan sekolah terus. Ryan juga mau bu suatu saat nanti
menjadi satu di antara ribuan pemuda Indonesia yang bisa mengharumkan nama
negara kita diluar sana nanti” tambah Ryan meyakinkan sang Ibu tercinta.
Lagi-lagi, Ibu hanya bisa tersenyum kagum
mendengar sang putra berkata demikian. Nampaknya Ryan kini memang sudah tumbuh
dewasa. Dia sudah bisa menentukan jalan hidupnya sendiri. Sang Ibu tiba-tiba
memeluk Ryan, matanya berkaca-kaca, tangannya begitu erat mengenggam bahu Ryan.
“Sayang, kamu harus berjanji sama diri
kamu sendiri. Kamu bisa jadi orang sukses, kamu bisa membangun negara tempat
kita tumbuh menjadi negara yang lebih mandiri. Sekarang, dimana pun kamu
memilih tempat kuliah ibu akan sangat mendukung” suara sang Ibu tampak
bergetar.
Entah ada angin apa, Ryan yang terkenal
paling susah menangis di depan banyak orang. Kali ini tak bisa ditahannya. Kali
ini pipi manisnya becucuran air mata. Merasa sangat terharu karena sang Ibu
begitu peduli dengannya. Padahal Ryan tahu, sebenarnya sang Ibu tak pernah
ikhlas membiarkannya untuk melanjutkan pendidikan diluar. Hanya saja sang Ibu harus
menghapus rasa egonya biar kelak sang anak tidak terjerumus dengan hal-hal yang
tak diinginkan.
Cerpen Karangan: Nurul Fitrah Hafid
Blog: nurulfitrahh.blogspot.com
Nama lengkap saya Nurul Fitrah Hafid, panggil saja Nurul. Lahir di
Parepare (Sulawesi Selatan) tepat tanggal 21 november 1994, sekitar 19 tahun
yang lalu. Anak ke 3 dari 3 bersaudara.
0 komentar:
Post a Comment