Apakah aku bisa banggakan orangtuaku,
banggakan negeriku, banggakan bangsaku, banggakan tanah airku, apapun
keadaanku?
Aku ingin menjadi anak yang hidup normal
seperti sebayaku. Menapaki setiap detik waktu belajarku di sekolah, bergaul
dengan teman seusia, banggakan orangtua, berprestasi di usia muda, bahkan
saatnya aku mati kapanpun itu aku juga ingin dikenang. Bukan karena
kebodohanku, tapi karena prestasiku. Salahkah aku berkeinginan mewujudkan hal
itu?
Tapi mengapa aku dilahirkan dengan
keterbatasan? Bagaimana aku bisa mewujudkan keinginanku jika keadaanku seperti
ini ya Allah?
Namaku Salsabila Adriyani Fatiha, atau
yang kerap disapa Bella. Aku bukan lah anak dari seorang direktur bank ternama
di kota, bukan pula seorang anak dari pengusaha garment kaya. Ayahku yang hanya
seorang guru bantu di salah satu sekolah dasar dekat rumah, bukanlah suatu
pekerjaan yang bisa membantu ekonomi keluarga. Sedangkan ibuku hanya seorang
buruh cuci. Usiaku genap 14 tahun saat 2 bulan yang lalu. Kehidupanku sehari
hari hanyalah membantu ibu menyelesaikan pekerjaan di rumah, juga menempuh
pendidikan di salah satu sekolah menengah pertama luar biasa di kotaku.
SMPLB? Ayah menyekolahkanku di sana
karena aku mempunyai keterbatasan, tahukah kamu apa keterbatasanku? Aku salah
satu anak indonesia penderita disleksia, jarang memang di Indonesia ada anak
yang menderita disleksia. Disleksia adalah kurangnya kemampuan dalam menyerap
kalimat, berhitung dan menulis. Sampai saat ini, aku belum juga tau apa
gerangan yang menyebabkanku menderita penyakit itu. Tetapi aku pernah
mendengar, saat dokter berbincang dengan ayahku, disleksia yang kuderita bukan
karena ayah yang terlambat menyekolahkanku, bukan pula karena kemalasanku
belajar, tetapi memang karena otakku tak mampu berfikir berat secara cepat.
Di sekolah, aku tak mempunyai banyak
teman. Mereka semua kukenali, tetapi tak ada yang mau mendekat kepadaku. Hanya
Cessa yang setiap hari bersamaku di sekolah. Ia juga mengidap disleksia sama
sepertiku, tetapi ia juga mengidap tumor di lehernya. Mungkin tak banyak anak
yang mau berteman bahkan hanya berbicara sepatah dua patah kata denganku,
karena hanya menghabiskan waktu, butuh lebih dari satu menit untukku menjawab
pertanyaan dari mereka. Dan itu sudah pasti tak menyenangkan.
Pernah saat itu, tetangga sebayaku,
Raissa, bertanya kepadaku, “Daritadi Aku mencari ibuku kemana mana tidak ada.
Apakah Kau melihatnya?” Raissa menggerutu tak jelas, mukanya kelihatan sangat
sebal.
Aku hanya memandang wajahnya,
mendengarkan ucapannya dan mencoba mencerna apa yang ia katakan. Tetapi aku
bingung dengan apa yang ia katakan. Aku memilih terdiam dan masih mencoba
mencerna kalimat yang ia ucapkan.
“Hey Bella, apa Kamu tidak tahu kalau aku
lagi kesal? Aku tuh nanya ke Kamu. Kalau nggak tau ya bilang aja! Nggak punya
mulut apa gimana sih? Nggak tau apa orang lagi kesal?”
Nampaknya Raissa seperti orang yang
sedang marah. Aku jadi semakin bingung. Deretan kata yang ia ucapkan membuat
hatiku sakit, walaupun aku tak sepenuhnya faham akan ucapannya.
Kebingunganku akan ucapan Raissa semakin membuat kepalaku pening,
otakku rasanya sakit.
Aku segera memutuskan untuk berlari masuk
ke dalam rumah. Terdengar, di luar Raissa berteriak teriak. Hal itu juga
berlaku saat aku di sekolah. Saat aku sedang menulis, saat aku sedang
berhitung, selalu saja aku merasa kepalaku pening dan otakku memanas.
Di balik itu semua, dibalik semua
keterbatasanku, aku masih punya mimpi. Secuil kecil mimpi anak Indonesia
penderita disleksia. Yang ingin membanggakan kedua orangtua, membanggakan tanah
airnya. Dan, apakah hal itu salah?
Walaupun aku berkebutuhan, apakah
menurutmu aku tak bisa seperti yang lain? Bukannya aku menyombongkan diri,
tetapi Kita kan sama-sama ciptaanNya, kita ada di satu bangsa, satu tanah air,
dan memiliki bahasa kesatuan yang sama. Indonesia. Dan, salahkah anak Indonesia
sepertiku bermimpi?
Pernah suatu ketika, aku mencoba membuat
sebuah artikel tentang diriku di buku kecilku, tanpa sepengetahuan ayah dan ibu
pastinya. Dengan sekuat tenaga aku berfikir setiap malam. Merasakan sakit kepala
yang berkepanjangan. 6 hari begitu berturut turut. Entah bagaimana, 10 hari
setelah selesai, naskahku dimuat di salah satu redaksi ternama daerah. Ternyata
ayahlah yang mengirimkan naskahku tersebut. Aku berterima kasih pada ayah, juga
pada ibu. Syukur selalu kupanjatkan padaNya. Aku masih tak percaya. Dan aku
berjanji akan terus berusaha mencoba dan belajar menulis di tengah
keterbatasanku.
Hingga pada suatu hari, sebuah redaksi
nasional memintaku menjadi salah satu jurnalisnya dalam sebuah event. Tahukah
Kamu event apakah itu? Ternyata adalah konferensi pers Asian Games 2010 di
Myanmar. Aku akan berangkat ke Myanmar? Ya Allah, benarkah ini semua? Apa yang
aku impikan akan terwujud, menjadi jurnalis cilik pertama di ajang bergengsi
tingkat Asia tersebut. Aku akan disejajarkan dengan para jurnalis asal
negara-negara di Asia? Tentunya mereka lebih dewasa dan lebih paham akan dunia
jurnalistik. Dan itu berarti aku akan bisa banggakan orangtua, juga tanah
airku. Terima kasih Allah.
Tetapi sayang, 3 hari sebelum
keberangkatanku ke Myanmar, suatu hal buruk menimpaku. Dokter memvonisku
menderita kanker otak, itulah menyebabkan mengapa aku menderita disleksia akut
serta merasakan sakit yang luar biasa setiap saat. Ya Allah, cobaan apalagi
yang engkau berikan ini? Aku masih ingin membanggakan orangtuaku, juga
bangsaku. Aku mohon padamu ya Allah.
Hari ini adalah hari keberangkatanku ke
Myanmar. Aku tak sendirian. Bersama ayah dan juga ibu serta para karyawan dari
redaksi lain. Pukul 18.30 sesuai dengan jam indonesia yang melingkar di
pergelangan tanganku, pesawat landing di bandara Internasional Myanmar. Tak
lupa aku selalu memanjatkan puji syukur kepada Allah, agar apapun yang akan aku
jalani membawa berkah dan membanggakan.
Satu hari setelah aku sampai di Myanmar,
adalah hari dimana konferensi pers Asian Games dilaksanakan. Tepat di hari
Jum’at, tanggal 28 Oktober 2010. Bertepatan dengan peringatan Sumpah Pemuda di
Indonesia. Dan aku berharap, di tanggal baik ini aku bisa menjadi pemudi
Indonesia yang membanggakan.
Perhelatan akbar telah selesai
dilaksanakan. Aku tahu, semua masyarakat Indonesia menantiku. Menanti kabar apa
saja yang akan aku ceritakan. Ayah juga bilang, sesampainya aku di Jakarta
nanti, aku harus segera bertolak ke Istana Negara, untuk bertemu bapak Presiden
Indonesia.
Pukul 08.00 pagi aku dan rombongan sampai
di Jakarta. Aku dan juga ayah serta ibu segera mencari taksi untuk kutumpangi
menuju istana negara. Namun, Allah berkehendak lain, saat di perjalanan tiba
tiba kepalaku merasa sakit yang tidak seperti biasanya. Aku menjerit kesakitan.
Ayah dan ibu panik, segera aku dilarikan ke rumah sakit.
2 jam di rumah saat tak membuatku sadar.
Aku tahu, ayah dan ibu merasakan kecemasan. Ya Allah, jika memang ini saatnya
aku untuk pergi dari dunia ini aku ikhlas ya Allah. Aku sudah tidak kuat
merasakan sakit dalam hidupku ya Allah.
Allah mengabulkan permintaanku. Kini
malaikat maut telah mencabut nyawaku. Terdengar isak tangis yang begitu
mendalam dari sanak saudaraku. Dan, aku meninggal dengan senyuman manis
menempel di bibirku.
Terima kasih ya Allah. Engkau telah
mengabulkan semua doaku. Engkau telah membuatku bisa membanggakan orangtuaku,
juga tanah airku, di tengah keterbatasan yang Engkau berikan.
Semoga aku bisa menjadi contoh baik bagi
semua pemuda dan pemudi Indonesia. Yang selalu bersyukur atas apa yang Allah
berikan. Tak pernah putus asa dalam setiap cobaan. Dan bisa membanggakan tanah
air Indonesia tercinta ini.
Bangun pemuda-pemudi Indonesia…
Lengan bajumu singsingkan, untuk negara…
Masa yang akan datang, kewajibanmulah…
Menjadi tanggunganmu terhadap nusaaaa…
Cerpen Karangan: Ilma Ainunisa
Facebook: Ilma Niki Rise
Halo Namaku Ilma Ainunisa. Aku lahir di Banyuwangi, tepatnya tanggal
29 Maret 1999. Saat ini aku sedang menempuh study semester 5 di salah satu
sekolah menengah pertama favorite di kotaku. follow account twitterku yaaa,
@ilmaannisa1
Ini cerpen pertamaku yang aku publish di cerpenmu.com . makasih ya
yang sudah mau baca, dan semoga sukaa
0 komentar:
Post a Comment