Kusandarkan
lenganku pada kusen jendela. Mataku terus menatap hening pada kanvas hitam di
hadapanku. Satu pendar cahaya bintang menyeretku kembali pada masa lalu, yang
tak pernah aku lupakan. Masa lalu yang akan menjadi satu cerita indah dalam
hidupku. Masa lalu seseorang yang pernah berarti dalam hidupku. Masa lalu yang
menjadikanku seorang yang tak pernah mengenal cinta lagi, selain cintanya. Dan
masa lalu itu terus membekas di ingatanku sampai kapanpun, sampai sisa hidupku.
Juli 2003/2004
Namaku
Tia, umurku 12 tahun. Dan aku adalah siswa baru di SMP Permana. Sekolah favorit
di dekat tempat tinggalku. Aku punya dua orang kakak laki-laki, namanya Samy
dan Sandy, ia juga mantan siswa di sekolah tersebut, tapi Sandy masih
bersekolah di Permana. Ia baru kelas tiga. Dulu saat di sekolah dasar, aku tak
punya bayangan bisa masuk di sekolah bergengsi -walaupun tingkat kecamatan-
itu. Kalau saja kakak-kakakku tidak menyarankan aku untuk masuk sekolah itu,
aku mungkin akan jadi siswa di SMP lain. Dan dari situlah aku bertemu dengan
seseorang. Seseorang yang akan mengenalkan aku tentang cinta. Seseoramg yang
akan mengajari apa itu cinta. Dan seseorang yang akan memperlihatkan betapa
besarnya kekuatan cinta.
Kebetulan aku dan dia satu kelas, yakni kelas 7C. di sekolah aku memang
punya banyak teman yang satu sekolah waktu SD dulu, tapi kebanyakan tak akrab
denganku. Entah mengapa mereka seolah menjauh dariku. Entah karena fisikku atau
mungkin yang lain. Untunglah di kelas aku punya teman-teman yang baik,
khususnya Yuni, Santi dan Siti. Yuni teman sebangkuku. Ia baik, cerewet, imut
dan kebetulan juga, orangtuanya dan orangtuaku saling kenal. Santi, ia duduk di
depanku. Ia anaknya juga baik, kekanakan dan cerewet. Lalu Siti, ia duduk
sebangku dengan Santi. Siti orangnya pendiam, nggak banyak bicara. Dan dia
hanya mendengarkan saja saat teman-temannya yang lain bicara, tapi ia pandai
bahkan lebih pandai dariku. Aku senang mempunyai tiga sahabat seperti mereka.
Ada teman yang menyukaiku dan ada teman yang membenciku setengah mati.
Namanya Yuyun. Katanya sih anak orang kaya. Wong penampilannya aja kayak
Priyayi gitu. Apalagi semua teman-temannya pada gaul-gaul gitu. Kalau milih
teman ataupun pacar juga pilih-pilih, harus orang yang berada, minimal punya
motor gitu. Dia orangnya sinis banget, apalagi kalau menyangkut soal aku. Ia
pasti langsung senewen. Terkadang aku sedih, kenapa ia selalu bersikap sinis,
acuh dan gak senang sama aku. Mau marah cuma di hati tok. Mau marah-marah di
depannya nggak mungkin. Karena aku orangnya penakut. Yuyun duduk di belakangku,
tepatnya di belakang Yuni –dan dia nggak mau kalau duduk di belakangku,
pokoknya yang sebaris sama aku- dengan Sunny. Sunny anaknya asyik dan dia nggak
milih-milih temen. Dia baik sama semua orang.
Widi, cowok pendiam yang sok gaya kayak orang dewasa dan terkenal itu
suka sama Yuyun. Dan dia suka caper sama Yuyun alias cari perhatian gitu. Tapi
ditolak sama Yuyun, gara-gara Widi gak punya motor kayak Mario, teman
sebangkunya. Emang sih Yuyun gak suka sama Mario karena mereka berteman. Tapi
lain di mulut lain pula di hati. Siapa tahu Yuyun diam-diam suka sama Mario,
siapa yang tahu? Allahu alam.
Oh ya, ngomong-ngomong soal Mario, dia itu cowoknya cakep banget, kayak
cina gitu deh. Putih, tinggi, jago olahraga. Pokoknya semua cewek pada suka deh
sama dia. Oh ya, dia juga punya kakak, namanya Miko. Kak Miko itu anak kelas
9B, sekelas dengan kak Sandy. Dia juga banyak digandrungi cewek-cewek di
sekolah.
Ada cerita lucu deh tentang mereka. Pernah ada cewek kelas 2 namanya kak
Ita, dia itu naksir sama kak Miko. Saking naksirnya, dia sampe rela buat nembak
kak Miko. Kak Miko yang gak suka sama kak Ita, langsung nolak. Dan kak Ita gak
putus asa, ia masih belum menyerah dengan cintanya. Setelah ditolak kak Miko,
ia nembak Mario. Sama seperti sebelumnya, kak Ita ditolak sama Mario. Gila
nggak sih?! Masa ditolak kakaknya, malah nembak adiknya dan ujung-ujungnya
ditolak juga. He… he… he…
Soal kak Ita ditolak Kak Miko dan Mario tinggal dulu ajah deh… Coz gue
mau cerita soal Mario. Aku juga gak mungkiri kalau aku suka sama dia. Kak Miko,
walau banyak cewek yang bilang kalau Kak Miko lebih ganteng daripada Mario,
tapi bagiku Mario lebih ganteng dari kak Miko bahkan dari cowok satu sekolahan.
Tapi aku gak mau ambil malu dengan nembak Mario seperti yang dilakukan kak Ita
anak kelas dua itu. Mungkin karena aku masih kental dengan adat yang tidak
membiasakan cewek untuk menyatakan cintanya lebih dulu. Tapi harus cowok yang
duluan menyatakan cinta.
Walau di tv tengah marak-maraknya menayangkan sinetron-sinetron remaja
yang membebaskan antara cewek atau pun cowok untuk bebas menyatakan cinta
duluan, tapi aku tak pernah mau ikut-ikutan dengan tren itu. Dan lagi, saat ini
banyak reality show yang mengadakan acara nembak seseorang yang mereka sukai.
Contohnya ‘Katakan Cinta’ yang ditayangkan di stasiun tv RCTI. Aku suka nonton
di tv, tapi aku tak akan mengambil contoh itu untuk dilakukan di kehidupan
nyataku.
Soal aku suka sama Mario, kupercayakan pada yang di Atas dan waktu.
Karena waktu akan bicara suatu hari nanti untuk menyatukan aku dengan Mario
atau malah memisahkannya.
Rasa cinta yang kurasakan padanya membuatku jadi orang yang selalu
takut. Takut kalau-kalau kenyataan dia gak suka sama aku. Takut untuk jauh
darinya dan takut untuk segala kemungkinan yang ada. Setiap harinya di sekolah,
aku selalu curi-curi pandang. Tapi dia gak pernah merespon sinyal-sinyal kecil
yang aku pancarkan, mungkin kurang kuat kali sinyalnya? Memang sempat aku
mendapati dirinya tengah memandang ke arahku. Tapi aku gak tahu apa dia benar-benar
menatap ke arahku atau yang lainnya, atau ke arah Yuni.
Sempat aku merasa kecewa dan sakit hati saat aku berpikir kalau benar
Mario suka pada Yuni. Kuakui Yuni memang cantik, putih dan pandai bergaul.
Terkadang aku juga iri padanya. Dan sempat terlintas di pikiranku untuk
membenci Yuni karena telah merebut Mario dariku. Tapi aku sadar, apa salah
Yuni. Aku toh tak pernah bilang pada Yuni, Santi maupun Siti kalau aku suka
sama Mario. Aku senang saat tahu kalau ternyata Yuni suka sama Pandi, dia teman
satu kelas. Dan aku merasa lega saat tak ada satu dari teman-temanku yang suka
padanya.
Kelas 7C, memberikan satu kenangan indah padaku. Satu kenangan yang tak
kan pernah terlupakan sampai kapanpun. Saat itu, Bu Ani, guru Geografi memberi
ulangan. Dan beliau selalu membagi dua kelompok, jumlah anak satu kelas dibagi
dua bagian, kelompok satu dan kelompok dua. Kelompok satu terdiri dari absensi
no 1 sampai 20, kemudian kelompok dua terdiri dari absensi 21 sampai 40.
Kebetulan aku dan Mario ikut kelompok dua. Kelompok satu mendapat giliran
pertama untuk ulangan, sementara kelompok dua mendapat giliran kedua dan
menunggu selesainya ulangan kelompok satu sembari belajar di luar kelas.
Saat itu aku tengah menunggu giliran sambil membuka buku Geografiku
dengan bersandar pada tiang bangunan di depan pintu, sesekali aku melirik ke
dalam kelas. Semua anak-anak yang lain pun cemas menunggu giliran, mereka takut
pada soal ulangan yang susah-susah. Saat kami semua tengah menunggu giliran aku
mendengar Mario bernyanyi. Kulirik dia yang tengah melantunkan lagu ‘Masih’nya
Ada Band di belakang pintu sambil tangannya memainkan pintu.
‘Rasa cinta yang
dulu tlah hilang kini bersemi kembali
T’lah kucoba lupakan dirinya hapus cerita dulu
Dan lihatlah dirimu bagai bunga di musim semi
yang sering tersenyum, menatap indahnya dunia
yang sering menyambak, jawaban segala gundahmu
Walau badai menghadang
ingatanku kan selalu menjagamu
Berdua kita lewati jalan yang berliku tajam
Resah yang kurasakan
kan menjadi bagian hidupku bersamamu
Letakan segala lara di pundakku ini setiap waktu
Wajahmu yang lugu selalu bayangi langkahku
T’lah lama kunanti dirimu tempatku berlabuh percaya di hatimu
Yakinlah kekal abadi selamanya
Seperti bintang yang sinarnya terangi seluruh ruang di jiwa membawa kedamaian’
T’lah kucoba lupakan dirinya hapus cerita dulu
Dan lihatlah dirimu bagai bunga di musim semi
yang sering tersenyum, menatap indahnya dunia
yang sering menyambak, jawaban segala gundahmu
Walau badai menghadang
ingatanku kan selalu menjagamu
Berdua kita lewati jalan yang berliku tajam
Resah yang kurasakan
kan menjadi bagian hidupku bersamamu
Letakan segala lara di pundakku ini setiap waktu
Wajahmu yang lugu selalu bayangi langkahku
T’lah lama kunanti dirimu tempatku berlabuh percaya di hatimu
Yakinlah kekal abadi selamanya
Seperti bintang yang sinarnya terangi seluruh ruang di jiwa membawa kedamaian’
Aku tersenyum mendengarnya melantunkan nada itu. Walau tak bagus-bagus
amat seperti penyanyi aslinya, aku tetap suka menjadi pendengar setianya.
Seperti ada angin aneh yang berhembus menuju padaku dan sempat meniupkan
dinginnya pada hatiku. Memberi suatu sensasi kebahagiaan tersendiri padaku.
Kenangan itu terus bercokol kuat di kaset memori dalam tempurung kepalaku.
2004/2005
Saat
kelas dua aku tak sekelas lagi dengan Mario. Aku sedih. Apalagi jarak kelas
kami yang sangat jauh. Mario menempati ruang kelas 8 A, sedangkan aku menempati
ruang kelas 8 D. betapa tersiksanya aku saat jarak kelasku dengannya berjauhan.
Meski setiap kali istirahat aku selalu nongkrong di depan kelasku untuk bisa
melihat wajahnya setiap kali ia keluar dari kelas untuk menuju kantin atau
sekedar berjalan melewati kelasku. Aku tak menemukan kepuasan saat aku
melakukan itu. Aku selalu merasa kurang dan kurang. Tak hanya di situ, aku
selalu cari perhatiannya saat upacara hari Senin atau saat senam di hari Jumat,
bahkan saat aku ada kelas olahraga di hari Rabu.
Sempat aku hampir frustrasi karena memikirkannya, barang tak ketemu satu
hari saja aku uring-uringan, ketemu aku malah jadi salting dan grogi. Di kelas
2 aku juga tak sekelas dengan Yuni, ia menempati ruang kelas 8 B yang
bersebelahan dengan kelas Mario. Di kelas 8 D aku duduk sebangku dengan Fira,
tapi aku dengannya tak begitu akrab. Justru aku lebih akrab dengan Mei. Mei
anaknya lebih dewasa daripada aku, mungkin karena dia anak pertama. Aku dengan
Mei selalu saling curhat. Dan tak ada hari tanpa cerita, entah itu menyedihkan
atau bikin ketawa sampai perut kami sakit.
Di sinilah aku mulai terbuka. Aku mulai membicarakan soal Mario dan
perasaanku pada Mei. Dan ia selalu membantuku dengan mengingatkanku atau
memberitahuku kalau-kalau Mario lewat di depan kelas. Bahkan ia menggodaku
kalau Mario masuk ke kelas 8 D untuk bertemu dengan temannya. Tapi aku tak tahu
siapa teman akrabnya di kelas 8 D. Aku senang ada Mei yang menjadi temanku,
karena kami bisa saling bercerita.
Mei juga sering curhat tentang cowok yang dia sukai atau tentang teman
ayahnya yang ingin melamar Mei selepas lulus nanti. Sebenarnya Mei belum ingin
memikirkan soal pernikahan, tapi orangtuanya selalu mendesaknya untuk
cepat-cepat menikah. Maklum, para orangtua kami masih berpikiran pendek karena
kami tinggal di desa.
Oh ya di kelas ada cowok nyebelin and rese banget. Namanya Yogi. Anaknya
gemuk dan suka mancla mencle kalau ngomong. Anak-anak juga gak begitu suka
padanya. Kebetulan aku jago Fisika dan setiap kali aku ditunjuk maju ke depan
saat pelajaran Fisika, ia selalu mengejekku dengan kata-kata “Ini dia anak
pintar maju. Dia pasti bisa ngerjainnya.” Bukannya aku sensi atau apa, tapi aku
sebal saat ia mengatakan itu. Ia mengatakannya seperti sedang mengejekku saja.
Dan aku sebal.
Tak hanya itu, terkadang kalau guru sedang menjelaskan, ia suka sekali
melempariku dengan kertas yang diremas, walau cuma kertas tapi rasanya sakit
kalau dilempari bertubi-tubi. Bahkan ia pernah menumpahkan tinta bolpoin pada
seragam putihku, ujung-ujungnya aku dimarahi ibuku sepulang sekolah. Tak
istirahat, tak saat pelajaran, tak saat upacara, tak saat senam, dan tak saat
olahraga, Yogi, cowok rese itu selalu mengusiliku dengan berbagai kata-kata
pedasnya atau perlakuannya yang terkadang melukaiku. Selama satu tahun aku
menjadi bulan-bulanan Yogi.
Bahkan kami sempat dianggap pacaran sama anak-anak yang lain. Tapi aku
tak sudi punya pacar seperti dia. Ogah bangetttzzz… deh. Meski cakep tapi
kelakuannya… ampun deh… Bikin kesel…! Aku sempat mikir juga, apa iya kalau Yogi
itu suka sama aku? Ato nggak deh! Aku gak mau!!! Oh satu yang mungkin bikin
Yogi gak kapok dan gak henti-hentinya ngusilin aku. Ternyata aku gak gampang
nangis saat dikerjai dia. Maklum aku malu kalau nangis di sekolah dan kebetulan
aku gak peka kalau disuruh nangis kecuali kalau di rumah. Itu sebabnya kenapa
Yogi gak takut kalau ngerjain aku, lah akunya gak pernah nangis dan gak
ketahuan guru. Kalau ketahuan guru dia sering nyakitin siswa lain pasti
dimarahi guru atau dibawa ke BP.
2005/2006
Kelas
tiga aku juga tak sekelas lagi dengan Mario, tapi aku sekelas dengan Yuyun. Dan
aku bersyukur karena Yuyun tak sesinis sewaktu kelas satu dulu. Meski dia masih
sinis sama aku, tapi ia tak pernah buat perkara denganku. Kelas tiga ini kurasakan
banyak kenangan dengan Mario.
Suatu hari setelah
sekolah melaksanakan try out bagi kelas tiga untuk menghadapi ujian nasional,
Mario menempelkan pengumuman hasil try out dan membagi kelompok les setiap
kelasnya dengan hasil try out itu. Dan aku ikut kelas C karena peringkatku di
atas seratus. Aku sadar saat kelas tiga, peringkatku menurun tak seperti
sewaktu SD dulu yang menduduki peringkat kedua dan menjadi peringkat delapan
saat pertama masuk SMP dari semua angkatan. Aku duduk di bangku kedua dari barisan
dekat pintu. Saat itu, aku tengah duduk di bangkuku kebetulan lonceng masuk
telah berbunyi.
Awalnya aku senang melihatnya masuk ke kelasku. Dan aku kaget saat ia
berjalan menuju mejaku. Tenyata ia ingin menempel hasil pengumuman di jendela
kaca yang letaknya di sebelahku. Dan yang paling bikin surprise lagi adalah aku
yang duduk di dekat tembok alias ia berdiri di dekatku. Ia meletakan kertas
pengumuman dan lem di mejaku. Aku grogi dan salting saat ia berdiri di
sampingku untuk menempel kertas pengumuman di kaca jendela. Aku pun
berpura-pura mengambil buku dari dalam tas -yang sebenarnya sudah aku keluarkan
dan kuletakan di atas meja- untuk pelajaran PPKN.
Saat aku pura-pura mengambil buku dari dalam tas, aku tersenyum sendiri
kayak orang bego -itu kulakukan kalau aku lagi grogi atau salting, kayak
ketangkap basah ambil barang orang lain rasanya, karena keluar keringat dingin
dan badanku jadi membeku- dan terdengar suara teriakan anak-anak satu kelas.
Entah mereka tengah meneriakiku atau bukan tapi jantungku berpacu dengan
cepatnya, hampir meloncat dari tempatnya.
Dulu setelah ujian jika ada nilai yang belum tuntas maka dilaksanakan
remidi. Saat itu sekolah tengah mengadakan ujian sekolah. Kebetulan satu kelas
nilai elektro yang tuntas hanya tiga orang. Aku termasuk di dalamnya dan aku
perempuan satu-satunya, dua yang lainnya cowok. Karena tak ada teman dan aku
melihat Sisi, teman SD sekaligus teman satu desaku yang merupakan kelas 9B
sedang tak ada remidi. Aku pun ikut gabung dengannya. Aku memang seperti orang
hilang kalau ikut gabung dengan mereka. Karena lain kelas dan lain pula
ceritanya.
Aku mengekor pada geng Sisi yang menuju pintu gerbang. Pintu gerbang di
sekolahku ada dua. Satu berada di atas dan yang lainnya berada di bawah
-kebetulan sekolah kami berada di daerah yang menanjak jadi seperti terasering
dan tidak rata. Kami duduk-duduk di depan gerbang atas. Dan tak sengaja aku
melihat sosok Mario tengah bercengkrama dengan teman-temannya di gerbang bawah.
Aku sempat terlonjak saat Mario dan Widi meninggalkan teman-temannya yang lain
untuk berjalan menuju gerbang atas, dimana tempatku berada.
Aku sedikit merasa
senang saat ia berjalan mendekatiku. Tak peduli apakah ia datang karena aku
atau bukan, tapi yang jelas dia mengajak Widi untuk datang ke tempatku berada.
Setelah ia sampai di gerbang atas, Sisi dan gengnya mengajakku pergi. Aku
sedikit sedih saat meninggalkannya pergi. Andai aku punya keberanian untuk bisa
menyapanya dan mengajaknya bicara, dan bukan menjadi gadis penakut, mungkin aku
akan lebih mendapatkan sesuatu yang lebih menyenangkan daripada sesuatu yang
menyedihkan.
Oh ya, ada satu cerita lagi. Aku sih gak ingat itu terjadi kapan, entah
aku masih kelas dua atau sudah kelas tiga. Tapi aku sih yakinnya kalau itu
terjadi saat aku masih kelas dua deh tapi aku ragu. Gini ceritanya, aku kan
anaknya beseran-sering kencing -entah waktu istirahat ataupun waktu pelajaran.
Dan setiap harinya aku selalu bolak-balik ke toilet minimal tiga kali.
Sampai-sampai temanku heran pada kebiasaanku dan bosan menemaniku ke toilet
-sekarang sih penyakit itu udah lumayan berkurang. Buktinya aku akan kencing
sehabis berpergian dan besernya kalau di rumah aja, itu juga karena aku doyan
minum-. Maklum aku masih pemalu waktu SMP, he… he… he… he… kemana-mana harus
ditemani -tapi sekarang gak kok, malah sekarang malu-maluin lah iya-.
Seperti biasa aku mengajak Mei ke toilet dan setiap perjalanan-kelas
berada di pojok kanan utara dan toilet berada di pojok kiri selatan -menuju
toilet, kami saling cerita, apalagi kalau bukan curhat. Saat berjalan menuju
toilet aku sempat ngelirik ke kelas Mario, ternyata kelas Mario tengah kosong.
Aku berharap banyak kalau Mario keluar dari kelas dan pergi ke toilet.
Oh ya kebetulan toilet kami campur antara cewek cowok, walau begitu kami
gak macam-macam kok. Karena sebelum masuk toilet, kami harus tahu dulu apa ada
orang di dalam atau tidak. Kalau di dalam ada cewek dan cowok yang mau ke
toilet harus nunggu sampai si cewek selesai dari toilet begitu pula sebaliknya.
Sebenanya ada banyak toilet di sekolah tapi yang aktif cuma toilet dekat ruang
guru itu. Dan tak jarang juga kalau ada anak-anak yang tak bertanggung jawab
yang menggunakan toilet buat tempat pacaran, dan sempat ada beberapa anak yang
tertangkap basah sedang pacaran di toilet.
Aku dan Mei sudah keluar dari toilet dan betapa kagetnya aku saat kubuka
pintu dan yang tengah berdiri di hadapanku adalah Mario. Mario, cowok yang aku
naksir itu tengah tertawa dengan temannya yang tak aku kenal. Aku berjalan
menundukkan kepala saat melewatinya. Aku tak punya keberanian untuk menatapnya
apalagi menyapanya. Kalau itu terjadi mungkin sekolah akan gempar dengan
teriakanku yang histeris dan membahana. Dan jantungku hampir copot saat dia
bertanya padaku dan Mei.
“Kalian gak
kosong?” tanyanya, seketika aku langsung menegakkan kepalaku dan menatapnya
kemudian menoleh pada Mei.
“Nggak. Ada
pelajaran Fisika kok.” Sahut Mei dan diperkuat anggukanku. Aku kembali berjalan
pergi sambil menggamit lengan Mei. Sepanjang perjalanan menuju kelas aku
tersenyum dan ngeromet nggak jelas tentang Mario yang bertanya tadi. Tapi
saking groginya, Mei yang menjawab. Mei cuma geleng-geleng kepala mendengarkan
celotehku.
2011
Masa kini…
Masa kini…
Kudengar suara Melly Goeslouw yang melantunkan ‘Denting’ di malam yang
sunyi ini. Gerimis pun terdengar di angkasa hingga kurasakan dinginnya angin
malam yang bercampur dengan rintik gerimis di kulit pergelanganku. Aku
tersentak karena kaget. Ternyata sudah dua jam aku terpekur asyik melamun
sendiri hingga tak sadar jam dinding menunjukkan pukul dua malam lewat sepuluh
menit. Tanganku meraih grendel jendela dan menariknya hingga jendela tertutup
dan menguncinya. Kumatikan lampu utama dan membiarkan lampu tidur tetap
menyala. Kukecilkan suara tape recorder. Kurebahkan tubuhku di atas kasur dan
menarik selimut hingga menutupi sebagian tubuhku. Kupejamkan mataku sembari
meresapi lantunan lirik lagu ‘Denting’. Itu sangat cocok seperti yang tengah
aku rasakan. Kusambut mimpiku dengan doa dan senyum. Menanti kehadirannya,
walau hanya dalam bunga tidurku.
Denting yang
berbunyi dari dinding kamarku
sadarkan diriku dari lamunan panjang
Tak terasa malam ini semakin larut
ku masih terjaga
Sayang kau dimana aku ingin bersama
Aku putus semua untuk tepiskan rindu
Mungkinkah kau di sana merasa yang sama
seperti dinginku di malam ini
Rintik gerimis mengundang kekasih di malam ini
Kita menari dalam rindu yang indah
Sepi kurasa hatiku saat ini oh Sayangku
Jika kau ada di sini, aku tenang
sadarkan diriku dari lamunan panjang
Tak terasa malam ini semakin larut
ku masih terjaga
Sayang kau dimana aku ingin bersama
Aku putus semua untuk tepiskan rindu
Mungkinkah kau di sana merasa yang sama
seperti dinginku di malam ini
Rintik gerimis mengundang kekasih di malam ini
Kita menari dalam rindu yang indah
Sepi kurasa hatiku saat ini oh Sayangku
Jika kau ada di sini, aku tenang
The End
03 April 2011,
Purbalingga
Cerpen Karangan:
Mia
Facebook: www.facebook.com/der.laven3
Facebook: www.facebook.com/der.laven3
0 komentar:
Post a Comment