Aku mempunyai sebuah kisah untuk siapapun
yang mau menyimaknya. Ini kisah yang mungkin saja tidak terlalu penting untuk
sebagian orang, namun bisa saja menjadi menarik untuk sebagian yang lain.
Sebuah kisah tentang diriku dan perjalanan seorang wanita tua yang berusaha
keras melawan rasa sepi dan kebingungan dalam dirinya, serta rasa lain yang
mungkin terus-menerus menggelayuti dinding hatinya setiap saat di tempat itu.
Di Masjid Agung Sang Cipta Rasa Kota Cirebon.
Aku pertama kali melihatnya saat dia
sedang duduk bersandar di salah satu tiang sudut masjid, dengan raut muka
kosong menatap ke depan namun seolah bukan sesuatu yang terlihat yang sedang
dipandanginya. Aku hanya berlalu saat itu, karena kupikir pemandangan seperti
ini -orang tua, pengemis, dan lainnya- biasa kulihat di tempat ini, sehingga
hal tersebut tidaklah menarik untuk kuperhatikan. Namun di saat yang lain, saat
aku kembali melihatnya, baru kusadari bahwa wanita tua ini memiliki banyak
cerita kehidupan yang dapat kujadikan pelajaran untukku. Pelajaran tentang arti
rasa syukur terhadap apa yang aku punya.
Sebelum kuceritakan wanita tua ini lebih
lanjut, aku ingin sedikit memberikan gambaran bagaimana diriku memandang
kehidupan serta permasalahan yang kualami sebelum bertemu dengannya. Aku adalah
anak kedua dari dua bersaudara dalam keluargaku, laki-laki, usia 22 tahun dan
bisa dibilang pengangguran. Aku bukannya tidak mencari pekerjaan, namun jiwa
ini lebih senang melakukan wirausaha, Sayangnya semua yang kuusahakan gulung
tikar karena tidak adanya keseriusan serta malas menjalankannya. Akhirnya aku
merasa gagal serta depresi karena beban omongan keluarga serta orang sekitar
tentang status hidupku itu. Selain itu hubunganku dengan teman maupun
lingkungan sekitar juga tidak bisa dibilang bagus. Aku menutup diri karena malu
serta lebih banyak menyendiri dibanding bersosialisasi. Akibat dari sikapku
itu, tidak sedikit teman-temanku yang akhirnya merasa untuk apa bergaul
denganku, karena aku seringkali tidak menanggapi mereka, dan akhirnya aku
merasa kesepian akibat ulahku sendiri, namun tidak pernah kusadari itu.
Puncak dari semua rasaku yang tidak
beraturan itu, membuatku menjadi menyalahkan keadaan dan tidak pernah
mensyukuri hidup yang aku jalani. Aku menjadi mudah iri dengan kesuksesan orang
lain, aku juga menjadi minder bila harus berinteraksi dengan teman-teman karena
terbayang mereka memiliki kehidupan sempurna tidak seperti diriku, serta aku
mulai menuduh tuhan tidak adil dalam memberikan kehidupan pada hambanya. Aku
menganggap segalanya serba kurang tidak pernah cukup, dan sangat sengsara.
Sedangkan kenyataannya bila dilihat secara sadar, aku tidak semenderita itu,
semuanya hanya karena akulah yang menjadikannya begitu. Pikiran dan hatiku
sudah tertutup oleh sesuatu yang entah apa hingga membuatku merasa selalu tidak
beruntung, namun aku masih juga tidak menyadarinya.
Kian lama kehidupanku makin tidak
terarah, seolah aku jauh tersesat ke dalam dunia yang hampa akan segalanya,
hanya tanah gersang dan pepohonan kering saja yang kulihat setiap hari. Aku
merasa bagai mati walau raga ini hidup. Aku kehilangan semangat hidup, serta
semua hal yang membuatku mau untuk tetap hidup. Aku terpuruk dalam diriku
sendiri dan tidak tahu bagaimana harus keluar dari itu semua. Hingga akhirnya
aku bertemu dengan wanita tua yang kuceritakan di awal.
Semuanya terjadi ketika aku merasa lelah
berjalan kaki sore itu, sebuah kegiatan rutin yang sering kulakukan semenjak
rasa gelap menimpa diri ini. Aku memutuskan beristirahat di Masjid Agung
Kesepuhan, sekaligus ingin menenangkan pikiran yang kacau terus-menerus. Di
saat itulah kulihat dia sedang bersandar di salah satu tiang masjid, namun
tidak terlalu kupedulikan. Aku berlalu begitu saja dengan segala rasa yang ada
di hati ini. Hingga suatu saat, sebuah keadaan memaksaku untuk kembali melihatnya
di hari yang lain. Saat itu aku tidak pulang ke rumah, dan menginap di Masjid
Agung. Dalam kelenggangan ruang masjid, dia terbaring rapuh di pojokan
beralaskan sajadah serta kain-kain yang entah didapatnya darimana sebagai
selimut. Aku mencoba melihat sekeliling masjid untuk memastikan apakah ada
pengemis lain yang tidur di situ, ternyata tidak ada. Barulah kusadari bahwa
wanita tua ini berbeda dengan yang biasa kulihat. Bahkan bisa jadi dia bukan
seorang pengemis, hanya seorang wanita tua yang tidak mempunyai rumah.
Hari-hari berikutnya tanpa kusadari aku
jadi sering mengunjungi Masjid Agung hanya untuk memperhatikan lebih seksama
wanita tua itu. Sekaligus menjawab rasa penasaran siapa sebenarnya dia, dan
mengapa selalu ada di tempat ini. Tidakkah mempunyai keluarga atau sanak
saudara yang mengurusnya. Semua pertanyaan itu tidak berani kuungkapkan
langsung padanya, karena selain terasa kurang sopan bagiku, dia juga sepertinya
menderita stress yang cukup berat atau mungkin bisa dikatakan setengah gila. Sering
kulihat dia berbicara sendiri atau meracau tidak henti-hentinya saat ada
anak-anak nakal yang menggodanya. Namun di lain waktu, dia bisa tersenyum
kepada orang yang ramah padanya, dan bisa berinteraksi walau dengan
keterbatasan. Dia juga cukup fasih membaca ayat suci Al-Qur’an, aku tahu karena
setiap selepas sholat isya dia membacanya, seolah ingin mengisi kesendirian
yang menderanya. Walau begitu, tidak pernah sekalipun kulihat dia mengeluh
dengan keadaannya, sangat berbanding terbalik denganku.
Sejak itulah aku mulai sadar bahwa selama
ini aku sudah dipermainkan oleh pikiranku sendiri bahwa aku menderita, padahal
kenyataannya tidak begitu dan masih banyak orang lain yang benar-benar
menderita serta memiliki kekurangan seperti wanita tua itu. Bila aku melihatnya
dengan kacamata normal kehidupan, keadaanku puluhan kali lebih baik dari dia.
Aku memiliki rumah, keluarga, serta hampir segalanya. Selain itu otakku juga
masih berfungsi 100 % tidak setengah gila. Sedangkan wanita tua itu, apa yang
dia miliki selain segala yang melekat pada tubuhnya serta mungkin sedikit
semangat untuk tetap hidup. Sungguh sebuah hal yang aneh jika aku masih saja
berkutat pada pikiran kelam terus-menerus setelah secara sadar mengetahui semua
hal tersebut.
Aku membayangkan bagaimana jika aku
menjadi wanita tua itu terutama dalam hal keadaannya yang serba kekurangan.
Mungkin setiap hari hanya harapan yang menyelimuti diri ini, berusaha menunggu
sebuah keajaiban yang mungkin datang secara tiba-tiba. Walau aku tahu semuanya
bisa saja tidak pernah datang, karena hidupku sebatang kara. Mungkin juga aku
akan selalu menangis dalam hati, saat angin malam berhembus menusuk kulit, saat
nyanyian malam mulai berdendang dalam kesunyian hingga fajar menghentikan
semuanya, dan saat matahari kembali membakar bumi ini.
Saat pagi datang aku akan selalu berjalan
sendirian kemanapun kaki ini melangkah, yang benar-benar sendirian bukan ilusi
pikiran karena depresi. Melangkah tidak tentu arah dan tujuan, mencari sesuatu
namun tidak pernah ditemukan apa yang kucari, karena itu semua hanya sebuah
ilusi yang berkembang menjadi harapan-harapan kosong. Aku mungkin akan merasa
iri seiri-irinya saat melihat sebuah keluarga utuh tengah bercengkrama di
tempat yang kulewati. Mereka tampak bersih, segar, serta merona wajahnya dengan
balutan pakaian bagus yang harum baunya. Di samping mereka terhampar karpet
dengan pola-pola gambar yang lucu dengan banyak jenis makanan dan minuman layak
di atasnya, siap untuk disantap kapanpun mereka mau. Dan bila mereka sudah merasa
puas dengan kegiatannya itu, mereka membereskan semuanya lalu masuk ke dalam
rumah. Sementara aku hanya bisa berlalu masih tanpa arah tujuan hingga akhirnya
keadaan mengembalikanku pada kenyataan bahwa masjid-masjid adalah rumahku,
tempatku berlindung dari kerasnya dunia serta ganasnya kejahatan malam saat
pekat telah turun menyelimuti.
Hari demi hari kulalui hanya dengan
kegiatan yang itu-itu saja, tanpa ada perubahan maupun perbedaan. Sebesar
apapun aku berharap, sekeras apapun aku berusaha, dan sejauh apapun aku
melangkah, kenyataan tetap akan mengembalikanku pada kesunyian, kesepian, dan
kesendirian ini. Aku hanya seorang pemimpi kehidupan dengan kenangan tersisa
yang hampir menghilang. Kenangan akan kehangatan cinta dari orang-orang
terdekat yang saat ini entah berada dimana, atau mungkin sebenarnya orang-orang
itu tidak pernah ada. Hanya anganku saja yang menciptakan mereka untuk menutupi
rasa sepi ini. Setiap detik yang kutempuh bagai berjalan di atas panasnya bara
api namun tidak membuat kulit kaki ini terbakar, melepuh, dan terkelupas. Apa
yang harus aku lakukan dengan semua ini, kemana aku harus bergerak, dan kemana
aku harus pulang? Mungkin aku hanya bisa menunggu dan terus menunggu. Sampai
tuhan menentapkanku untuk menyatu dengan alam raya ini, dan memberikanku cinta
sejati serta kehidupan ramai yang penuh keceriaan. Dimana aku bisa melihat
indahnya warna-warna dunia yang meyatu dalam satu jiwa. Entah kapan masa itu
akan datang. Semoga tepat pada waktunya.
Aku tersadar dari lamunanku dan menyeka
air mata yang sudah membasahi pipi sejak tadi. Rupanya aku terlalu terhanyut
dalam bayangan kelam karena membayangkan jika aku menjadi wanita tua itu. Aku
berpikir bahwa betapa bodohnya aku karena selama ini sudah merasa menderita
padahal sama sekali tidak. Aku sama sekali tidak bersyukur dengan apa yang aku
punya, malah dengan sengaja aku membuat diriku depresi hanya karena angan-angan
yang tidak jelas tentang kehidupan. Sedangkan kenyataannya orang yang
benar-benar bisa dikatakan menderita tidak terlihat rona penderitaannya.
Aku beranjak dari tempatku duduk
bersandar di tiang masjid, berniat untuk pulang karena malam hampir menjelang.
Kupandang lagi wanita tua itu sebelum aku benar-benar pergi, dia masih tetap
pada kebiasaannya sehari-hari, bersandar di sudut dengan tatapan kosong ke
depan. Setelahnya aku benar-benar pergi dari tempat itu. Setibanya di rumah aku
tidak menemukan satu pun anggota keluargaku, kecuali pembantu yang memang
bertugas sehari-harinya, rupanya mereka semua sedang ada keperluan
masing-masing. Aku pergi ke dapur mengambil makanan ringan lalu membawanya ke
kamar. Di kamar kubuka bungkus makanan ringan itu, dan sambil bersandar santai
menggunakan bantal aku memakannya sambil mencoba merenungkan kembali perjalanan
hidupku selama beberapa waktu kebelakang ini. Bagaimana aku yang tadinya adalah
orang seperti orang pada umumnya menjadi pribadi yang menutup diri hanya karena
pikiran anehku. Kuingat kembali saat aku mengalami perubahan itu, aku mulai
menganggap bahwa aku adalah orang gagal karena omongan orang lain tentangku
yang sebenarnya belum tentu benar adanya. Kuingat juga saat aku mulai menjauh
dari teman-teman hanya karena rasa minder yang kubuat sendiri hingga akhirnya
perlahan namun pasti, semua temanku mulai menjauh karena aku susah diajak
berinteraksi. Dan sejak saat itu aku mulai membuat dunia sendiri di dalam dunia
nyataku, tempat dimana aku selalu bersembunyi dari kenyataan kehidupan. Dalam
dunia itu aku mengkondisikan diriku amat sangat menderita, sengsara, serta
selalu tidak beruntung. Aku menganggap bahwa orang lain selalu mendapatkan
kebahagiaan dan hidup terbaik sedangkan aku tidak. Aku juga menganggap bahwa
semua yang kupunya dan melekat pada diriku tidak berarti dan hanya ilusi
semata. Padahal kenyataannya tidaklah begitu, aku tidak semenderita yang
kupikirkan.
Kupejamkan mata dan menghela nafas
panjang. Sungguh betapa berharganya pertemuanku dengan wanita tua di Masjid
Agung Kesepuhan itu, walau aku tidak pernah mengenalnya secara khusus, walau
aku tidak pernah sekalipun bericara dengannya, dan walaupun aku masih belum
mengetahui bagaimana asal-usulnya. Namun semua cerita perjalanan hidupnya yang
terpancar lewat sorot matanya telah menginspirasi dan menyadarkanku dari dunia
ilusi yang penuh kebohongan. Aku bangun dari tempat tidur dan menuju jendela,
malam sudah turun sejak tadi, samudra bintang telah menampakkan kecantikannya
di atas sana. Kutatap gemerlap bintang itu dan bertekad untuk menata ulang
kembali kehidupanku. Betapa sebenarnya hidup ini indah jika kita mampu
menyadarinya serta bersyukur. Aku terus memandang langit hingga mata ini
memaksaku untuk memasuki alam mimpi.
Esok harinya aku pergi mengunjungi
temanku, rasanya sudah lama sekali aku tidak bertemu dengan semuanya. Lagipula
ini kuanggap langkah awal untuk memulai perubahan dalam hidupku yang sebelumnya
diselimuti awan mendung. Teman yang pertama kali kukunjungi adalah Yudi, dia
teman terdekatku kenal sejak SMA dan di antara semua teman-temanku, Yudilah
yang paling mengerti dan memaklumi keadaanku. Aku sampai di rumah Yudi saat dia
sedang sibuk mengaduk pupuk organik cair di teras rumahnya, dia memang
mempunyai usaha di bidang itu. Saat melihatku, raut wajah Yudi menunjukkan
ekspresi heran sekaligus senang. Aku tahu apa yang dipikirkannya, siapa yang
tidak heran melihat orang yang sudah “mati” tiba-tiba hidup kembali. Aku
langsung menyapanya begitu berada tepat di depannya.
“Sehat Yud, lama kita gak ketemu.”
Yudi diam sebentar, masih memandangku, lalu tersadar dan membalas
sapaanku
“Eh.. Iya sehat, ayo masuk Yan” dia beranjak dari duduknya dan
menyalamiku lalu mengajakku masuk ke dalam rumah, aku menolak.
“Kita ngobrol di sini aja Yud” ajakku, lagipula suasananya lebih enak
untuk duduk santai di teras. Yudi menyetujuinya.
“Ya udah kalo gitu, tapi aku ambil minum dulu ya sebentar” kata Yudi,
lalu masuk ke dalam. Selang lima menit dia kembali membawa dua botol minuman
dan beberapa makanan ringan.
“Ayo diminum Yan” katanya ramah. Aku tersenyum lalu mengambil botol
minuman yang disediakan Yudi.
“Gimana kabar kamu sekarang Yan? Jujur aku kaget kamu datang ke sini,
bukannya gak seneng atau gimana. Cuma kan kamu udah lama banget gak kumpul sama
aku atau teman-teman lain. Kamu baik-baik aja kan selama ini?” Yudi membuka
pembicaraan.
“Iya aku baik-baik aja. Maaf selama ini aku udah menghilang dari kamu
dan temen-teman lain. Taun-taun lalu bisa dibilang masa-masa kelam buat aku
Yud.” Aku menjelaskan.
“Kelam gimana maksudmu? Emang ada kejadian apa? Kenapa kamu gak cerita
ke aku atau yang lain? Padahal siapa tau kami bisa bantu.”
Kuperhatikan ekspresi Yudi saat mengatakan pertanyaan-pertanyaan itu.
Sangat polos dan bukan sekedar basa-basi semata, aku juga sangat percaya bahwa
dia tidak main-main dengan kekhawatirannya. Namun aku rasa sekarang bukan saat
yang tepat untuk menjelaskan semua permasalahanku selama ini.
“Maaf kawan, aku gak bisa cerita sekarang, tapi suatu saat nanti pasti
bakal kuceritakan semuanya apa yang terjadi padaku. Sekarang aku cuma ingin
memulai kehidupan baru dari awal lagi”
Yudi diam sebentar lalu tersenyum maklum dan berkata
“Ya udah, aku juga gak akan terlalu maksa apa yang jadi rahasia kamu.
Lagian yang penting sekarang, kamu sudah ada di sini dan kembali dari
menghilang ditelan bumi” Yudi tertawa mengatakan itu, aku pun ikut tertawa.
“Ngomong-ngomong, gimana perkembangan usaha pupuk kamu Yud?” aku
berusaha mengalihkan topik pembicaraan sekaligus memulai topik baru.
“Ah.. iya. Alhamdullilah cukup berkembang, yang barusan kamu lihat
itu, aku lagi buat baru. Kalo yang udah jadi ada di belakang, di kebon. Kamu
mau lihat Yan?” tanya Yudi bersemangat.
“Ya, aku mau lihat.” Kataku cepat. Kami berdua beranjak meninggalkan
teras menuju halaman belakang.
Hari itu aku seharian bersama Yudi membicarakan banyak hal termasuk
rencana mengunjungi teman-teman kami yang lain. Aku benar-benar berniat
mengubah hidupku dari awal lagi dan menyambut hari-hari cerah. Terima kasih
kepada wanita tua yang sudah memberikan kesadaran padaku walau secara tidak
langsung. Kudoakan agar dia mendapat keadilan dari tuhan untuk hidupnya, dan
bila memang memungkinkan, bisa saja keadilan itu disampaikan padanya melalui
tanganku sebagai balas jasa. Semoga saja. Selesai.
Cerpen Karangan: Affiantara Marsha Yafenka
0 komentar:
Post a Comment