Wednesday, 15 October 2014

CERPEN ISPIRATIF : Inspirasi Dalam Gelap

Aku mempunyai sebuah kisah untuk siapapun yang mau menyimaknya. Ini kisah yang mungkin saja tidak terlalu penting untuk sebagian orang, namun bisa saja menjadi menarik untuk sebagian yang lain. Sebuah kisah tentang diriku dan perjalanan seorang wanita tua yang berusaha keras melawan rasa sepi dan kebingungan dalam dirinya, serta rasa lain yang mungkin terus-menerus menggelayuti dinding hatinya setiap saat di tempat itu. Di Masjid Agung Sang Cipta Rasa Kota Cirebon.

Aku pertama kali melihatnya saat dia sedang duduk bersandar di salah satu tiang sudut masjid, dengan raut muka kosong menatap ke depan namun seolah bukan sesuatu yang terlihat yang sedang dipandanginya. Aku hanya berlalu saat itu, karena kupikir pemandangan seperti ini -orang tua, pengemis, dan lainnya- biasa kulihat di tempat ini, sehingga hal tersebut tidaklah menarik untuk kuperhatikan. Namun di saat yang lain, saat aku kembali melihatnya, baru kusadari bahwa wanita tua ini memiliki banyak cerita kehidupan yang dapat kujadikan pelajaran untukku. Pelajaran tentang arti rasa syukur terhadap apa yang aku punya.


Sebelum kuceritakan wanita tua ini lebih lanjut, aku ingin sedikit memberikan gambaran bagaimana diriku memandang kehidupan serta permasalahan yang kualami sebelum bertemu dengannya. Aku adalah anak kedua dari dua bersaudara dalam keluargaku, laki-laki, usia 22 tahun dan bisa dibilang pengangguran. Aku bukannya tidak mencari pekerjaan, namun jiwa ini lebih senang melakukan wirausaha, Sayangnya semua yang kuusahakan gulung tikar karena tidak adanya keseriusan serta malas menjalankannya. Akhirnya aku merasa gagal serta depresi karena beban omongan keluarga serta orang sekitar tentang status hidupku itu. Selain itu hubunganku dengan teman maupun lingkungan sekitar juga tidak bisa dibilang bagus. Aku menutup diri karena malu serta lebih banyak menyendiri dibanding bersosialisasi. Akibat dari sikapku itu, tidak sedikit teman-temanku yang akhirnya merasa untuk apa bergaul denganku, karena aku seringkali tidak menanggapi mereka, dan akhirnya aku merasa kesepian akibat ulahku sendiri, namun tidak pernah kusadari itu.

Puncak dari semua rasaku yang tidak beraturan itu, membuatku menjadi menyalahkan keadaan dan tidak pernah mensyukuri hidup yang aku jalani. Aku menjadi mudah iri dengan kesuksesan orang lain, aku juga menjadi minder bila harus berinteraksi dengan teman-teman karena terbayang mereka memiliki kehidupan sempurna tidak seperti diriku, serta aku mulai menuduh tuhan tidak adil dalam memberikan kehidupan pada hambanya. Aku menganggap segalanya serba kurang tidak pernah cukup, dan sangat sengsara. Sedangkan kenyataannya bila dilihat secara sadar, aku tidak semenderita itu, semuanya hanya karena akulah yang menjadikannya begitu. Pikiran dan hatiku sudah tertutup oleh sesuatu yang entah apa hingga membuatku merasa selalu tidak beruntung, namun aku masih juga tidak menyadarinya.

Kian lama kehidupanku makin tidak terarah, seolah aku jauh tersesat ke dalam dunia yang hampa akan segalanya, hanya tanah gersang dan pepohonan kering saja yang kulihat setiap hari. Aku merasa bagai mati walau raga ini hidup. Aku kehilangan semangat hidup, serta semua hal yang membuatku mau untuk tetap hidup. Aku terpuruk dalam diriku sendiri dan tidak tahu bagaimana harus keluar dari itu semua. Hingga akhirnya aku bertemu dengan wanita tua yang kuceritakan di awal.

Semuanya terjadi ketika aku merasa lelah berjalan kaki sore itu, sebuah kegiatan rutin yang sering kulakukan semenjak rasa gelap menimpa diri ini. Aku memutuskan beristirahat di Masjid Agung Kesepuhan, sekaligus ingin menenangkan pikiran yang kacau terus-menerus. Di saat itulah kulihat dia sedang bersandar di salah satu tiang masjid, namun tidak terlalu kupedulikan. Aku berlalu begitu saja dengan segala rasa yang ada di hati ini. Hingga suatu saat, sebuah keadaan memaksaku untuk kembali melihatnya di hari yang lain. Saat itu aku tidak pulang ke rumah, dan menginap di Masjid Agung. Dalam kelenggangan ruang masjid, dia terbaring rapuh di pojokan beralaskan sajadah serta kain-kain yang entah didapatnya darimana sebagai selimut. Aku mencoba melihat sekeliling masjid untuk memastikan apakah ada pengemis lain yang tidur di situ, ternyata tidak ada. Barulah kusadari bahwa wanita tua ini berbeda dengan yang biasa kulihat. Bahkan bisa jadi dia bukan seorang pengemis, hanya seorang wanita tua yang tidak mempunyai rumah.

Hari-hari berikutnya tanpa kusadari aku jadi sering mengunjungi Masjid Agung hanya untuk memperhatikan lebih seksama wanita tua itu. Sekaligus menjawab rasa penasaran siapa sebenarnya dia, dan mengapa selalu ada di tempat ini. Tidakkah mempunyai keluarga atau sanak saudara yang mengurusnya. Semua pertanyaan itu tidak berani kuungkapkan langsung padanya, karena selain terasa kurang sopan bagiku, dia juga sepertinya menderita stress yang cukup berat atau mungkin bisa dikatakan setengah gila. Sering kulihat dia berbicara sendiri atau meracau tidak henti-hentinya saat ada anak-anak nakal yang menggodanya. Namun di lain waktu, dia bisa tersenyum kepada orang yang ramah padanya, dan bisa berinteraksi walau dengan keterbatasan. Dia juga cukup fasih membaca ayat suci Al-Qur’an, aku tahu karena setiap selepas sholat isya dia membacanya, seolah ingin mengisi kesendirian yang menderanya. Walau begitu, tidak pernah sekalipun kulihat dia mengeluh dengan keadaannya, sangat berbanding terbalik denganku.

Sejak itulah aku mulai sadar bahwa selama ini aku sudah dipermainkan oleh pikiranku sendiri bahwa aku menderita, padahal kenyataannya tidak begitu dan masih banyak orang lain yang benar-benar menderita serta memiliki kekurangan seperti wanita tua itu. Bila aku melihatnya dengan kacamata normal kehidupan, keadaanku puluhan kali lebih baik dari dia. Aku memiliki rumah, keluarga, serta hampir segalanya. Selain itu otakku juga masih berfungsi 100 % tidak setengah gila. Sedangkan wanita tua itu, apa yang dia miliki selain segala yang melekat pada tubuhnya serta mungkin sedikit semangat untuk tetap hidup. Sungguh sebuah hal yang aneh jika aku masih saja berkutat pada pikiran kelam terus-menerus setelah secara sadar mengetahui semua hal tersebut.

Aku membayangkan bagaimana jika aku menjadi wanita tua itu terutama dalam hal keadaannya yang serba kekurangan. Mungkin setiap hari hanya harapan yang menyelimuti diri ini, berusaha menunggu sebuah keajaiban yang mungkin datang secara tiba-tiba. Walau aku tahu semuanya bisa saja tidak pernah datang, karena hidupku sebatang kara. Mungkin juga aku akan selalu menangis dalam hati, saat angin malam berhembus menusuk kulit, saat nyanyian malam mulai berdendang dalam kesunyian hingga fajar menghentikan semuanya, dan saat matahari kembali membakar bumi ini.

Saat pagi datang aku akan selalu berjalan sendirian kemanapun kaki ini melangkah, yang benar-benar sendirian bukan ilusi pikiran karena depresi. Melangkah tidak tentu arah dan tujuan, mencari sesuatu namun tidak pernah ditemukan apa yang kucari, karena itu semua hanya sebuah ilusi yang berkembang menjadi harapan-harapan kosong. Aku mungkin akan merasa iri seiri-irinya saat melihat sebuah keluarga utuh tengah bercengkrama di tempat yang kulewati. Mereka tampak bersih, segar, serta merona wajahnya dengan balutan pakaian bagus yang harum baunya. Di samping mereka terhampar karpet dengan pola-pola gambar yang lucu dengan banyak jenis makanan dan minuman layak di atasnya, siap untuk disantap kapanpun mereka mau. Dan bila mereka sudah merasa puas dengan kegiatannya itu, mereka membereskan semuanya lalu masuk ke dalam rumah. Sementara aku hanya bisa berlalu masih tanpa arah tujuan hingga akhirnya keadaan mengembalikanku pada kenyataan bahwa masjid-masjid adalah rumahku, tempatku berlindung dari kerasnya dunia serta ganasnya kejahatan malam saat pekat telah turun menyelimuti.

Hari demi hari kulalui hanya dengan kegiatan yang itu-itu saja, tanpa ada perubahan maupun perbedaan. Sebesar apapun aku berharap, sekeras apapun aku berusaha, dan sejauh apapun aku melangkah, kenyataan tetap akan mengembalikanku pada kesunyian, kesepian, dan kesendirian ini. Aku hanya seorang pemimpi kehidupan dengan kenangan tersisa yang hampir menghilang. Kenangan akan kehangatan cinta dari orang-orang terdekat yang saat ini entah berada dimana, atau mungkin sebenarnya orang-orang itu tidak pernah ada. Hanya anganku saja yang menciptakan mereka untuk menutupi rasa sepi ini. Setiap detik yang kutempuh bagai berjalan di atas panasnya bara api namun tidak membuat kulit kaki ini terbakar, melepuh, dan terkelupas. Apa yang harus aku lakukan dengan semua ini, kemana aku harus bergerak, dan kemana aku harus pulang? Mungkin aku hanya bisa menunggu dan terus menunggu. Sampai tuhan menentapkanku untuk menyatu dengan alam raya ini, dan memberikanku cinta sejati serta kehidupan ramai yang penuh keceriaan. Dimana aku bisa melihat indahnya warna-warna dunia yang meyatu dalam satu jiwa. Entah kapan masa itu akan datang. Semoga tepat pada waktunya.

Aku tersadar dari lamunanku dan menyeka air mata yang sudah membasahi pipi sejak tadi. Rupanya aku terlalu terhanyut dalam bayangan kelam karena membayangkan jika aku menjadi wanita tua itu. Aku berpikir bahwa betapa bodohnya aku karena selama ini sudah merasa menderita padahal sama sekali tidak. Aku sama sekali tidak bersyukur dengan apa yang aku punya, malah dengan sengaja aku membuat diriku depresi hanya karena angan-angan yang tidak jelas tentang kehidupan. Sedangkan kenyataannya orang yang benar-benar bisa dikatakan menderita tidak terlihat rona penderitaannya.

Aku beranjak dari tempatku duduk bersandar di tiang masjid, berniat untuk pulang karena malam hampir menjelang. Kupandang lagi wanita tua itu sebelum aku benar-benar pergi, dia masih tetap pada kebiasaannya sehari-hari, bersandar di sudut dengan tatapan kosong ke depan. Setelahnya aku benar-benar pergi dari tempat itu. Setibanya di rumah aku tidak menemukan satu pun anggota keluargaku, kecuali pembantu yang memang bertugas sehari-harinya, rupanya mereka semua sedang ada keperluan masing-masing. Aku pergi ke dapur mengambil makanan ringan lalu membawanya ke kamar. Di kamar kubuka bungkus makanan ringan itu, dan sambil bersandar santai menggunakan bantal aku memakannya sambil mencoba merenungkan kembali perjalanan hidupku selama beberapa waktu kebelakang ini. Bagaimana aku yang tadinya adalah orang seperti orang pada umumnya menjadi pribadi yang menutup diri hanya karena pikiran anehku. Kuingat kembali saat aku mengalami perubahan itu, aku mulai menganggap bahwa aku adalah orang gagal karena omongan orang lain tentangku yang sebenarnya belum tentu benar adanya. Kuingat juga saat aku mulai menjauh dari teman-teman hanya karena rasa minder yang kubuat sendiri hingga akhirnya perlahan namun pasti, semua temanku mulai menjauh karena aku susah diajak berinteraksi. Dan sejak saat itu aku mulai membuat dunia sendiri di dalam dunia nyataku, tempat dimana aku selalu bersembunyi dari kenyataan kehidupan. Dalam dunia itu aku mengkondisikan diriku amat sangat menderita, sengsara, serta selalu tidak beruntung. Aku menganggap bahwa orang lain selalu mendapatkan kebahagiaan dan hidup terbaik sedangkan aku tidak. Aku juga menganggap bahwa semua yang kupunya dan melekat pada diriku tidak berarti dan hanya ilusi semata. Padahal kenyataannya tidaklah begitu, aku tidak semenderita yang kupikirkan.

Kupejamkan mata dan menghela nafas panjang. Sungguh betapa berharganya pertemuanku dengan wanita tua di Masjid Agung Kesepuhan itu, walau aku tidak pernah mengenalnya secara khusus, walau aku tidak pernah sekalipun bericara dengannya, dan walaupun aku masih belum mengetahui bagaimana asal-usulnya. Namun semua cerita perjalanan hidupnya yang terpancar lewat sorot matanya telah menginspirasi dan menyadarkanku dari dunia ilusi yang penuh kebohongan. Aku bangun dari tempat tidur dan menuju jendela, malam sudah turun sejak tadi, samudra bintang telah menampakkan kecantikannya di atas sana. Kutatap gemerlap bintang itu dan bertekad untuk menata ulang kembali kehidupanku. Betapa sebenarnya hidup ini indah jika kita mampu menyadarinya serta bersyukur. Aku terus memandang langit hingga mata ini memaksaku untuk memasuki alam mimpi.

Esok harinya aku pergi mengunjungi temanku, rasanya sudah lama sekali aku tidak bertemu dengan semuanya. Lagipula ini kuanggap langkah awal untuk memulai perubahan dalam hidupku yang sebelumnya diselimuti awan mendung. Teman yang pertama kali kukunjungi adalah Yudi, dia teman terdekatku kenal sejak SMA dan di antara semua teman-temanku, Yudilah yang paling mengerti dan memaklumi keadaanku. Aku sampai di rumah Yudi saat dia sedang sibuk mengaduk pupuk organik cair di teras rumahnya, dia memang mempunyai usaha di bidang itu. Saat melihatku, raut wajah Yudi menunjukkan ekspresi heran sekaligus senang. Aku tahu apa yang dipikirkannya, siapa yang tidak heran melihat orang yang sudah “mati” tiba-tiba hidup kembali. Aku langsung menyapanya begitu berada tepat di depannya.
“Sehat Yud, lama kita gak ketemu.”
Yudi diam sebentar, masih memandangku, lalu tersadar dan membalas sapaanku
“Eh.. Iya sehat, ayo masuk Yan” dia beranjak dari duduknya dan menyalamiku lalu mengajakku masuk ke dalam rumah, aku menolak.
“Kita ngobrol di sini aja Yud” ajakku, lagipula suasananya lebih enak untuk duduk santai di teras. Yudi menyetujuinya.
“Ya udah kalo gitu, tapi aku ambil minum dulu ya sebentar” kata Yudi, lalu masuk ke dalam. Selang lima menit dia kembali membawa dua botol minuman dan beberapa makanan ringan.
“Ayo diminum Yan” katanya ramah. Aku tersenyum lalu mengambil botol minuman yang disediakan Yudi.
“Gimana kabar kamu sekarang Yan? Jujur aku kaget kamu datang ke sini, bukannya gak seneng atau gimana. Cuma kan kamu udah lama banget gak kumpul sama aku atau teman-teman lain. Kamu baik-baik aja kan selama ini?” Yudi membuka pembicaraan.
“Iya aku baik-baik aja. Maaf selama ini aku udah menghilang dari kamu dan temen-teman lain. Taun-taun lalu bisa dibilang masa-masa kelam buat aku Yud.” Aku menjelaskan.
“Kelam gimana maksudmu? Emang ada kejadian apa? Kenapa kamu gak cerita ke aku atau yang lain? Padahal siapa tau kami bisa bantu.”
Kuperhatikan ekspresi Yudi saat mengatakan pertanyaan-pertanyaan itu. Sangat polos dan bukan sekedar basa-basi semata, aku juga sangat percaya bahwa dia tidak main-main dengan kekhawatirannya. Namun aku rasa sekarang bukan saat yang tepat untuk menjelaskan semua permasalahanku selama ini.
“Maaf kawan, aku gak bisa cerita sekarang, tapi suatu saat nanti pasti bakal kuceritakan semuanya apa yang terjadi padaku. Sekarang aku cuma ingin memulai kehidupan baru dari awal lagi”
Yudi diam sebentar lalu tersenyum maklum dan berkata
“Ya udah, aku juga gak akan terlalu maksa apa yang jadi rahasia kamu. Lagian yang penting sekarang, kamu sudah ada di sini dan kembali dari menghilang ditelan bumi” Yudi tertawa mengatakan itu, aku pun ikut tertawa.
“Ngomong-ngomong, gimana perkembangan usaha pupuk kamu Yud?” aku berusaha mengalihkan topik pembicaraan sekaligus memulai topik baru.
“Ah.. iya. Alhamdullilah cukup berkembang, yang barusan kamu lihat itu, aku lagi buat baru. Kalo yang udah jadi ada di belakang, di kebon. Kamu mau lihat Yan?” tanya Yudi bersemangat.
“Ya, aku mau lihat.” Kataku cepat. Kami berdua beranjak meninggalkan teras menuju halaman belakang.

Hari itu aku seharian bersama Yudi membicarakan banyak hal termasuk rencana mengunjungi teman-teman kami yang lain. Aku benar-benar berniat mengubah hidupku dari awal lagi dan menyambut hari-hari cerah. Terima kasih kepada wanita tua yang sudah memberikan kesadaran padaku walau secara tidak langsung. Kudoakan agar dia mendapat keadilan dari tuhan untuk hidupnya, dan bila memang memungkinkan, bisa saja keadilan itu disampaikan padanya melalui tanganku sebagai balas jasa. Semoga saja. Selesai.


Cerpen Karangan: Affiantara Marsha Yafenka

0 komentar:

Post a Comment