Fattan tinggal di kampung
hilir sementara Johan di kampung hulu. Fattan berkulit putih dan setiap sore
rajin mengaji di surau pak Udin. Sementara Johan berkulit gelap, berambut
keriting dan setiap minggu rajin ke gereja. Mereka sejak SD sampai SMP selalu bersama.
Maklum kampung Hulu dan Hilir hanya memiliki satu kompleks sekolah mencangkup
SD, SMP dan SMU. Fattan dan Johan karena sekolah terus bersama. Mereka pun
bersahabat karib. Pulang sekolah bersama-sama. Dan bermain bersama. Kegemaran
mereka adalah memancing ikan di sungai dan memanjat pohon kelapa.
Begitulah…, terkadang jika
Fattan lupa jika sore ada kegiatan mengaji, Johan mengingatkannya. Demikian
pula sebaliknya. Terkadang jika Johan malas diajak orangtuanya ke gereja,
Fattan menegurnya. Hari ini seperti biasa sepulang sekolah mereka pergi
memancing di sungai. Sepatu mereka, mereka lepas dan ia tenteng. Mereka
bernyanyi-nyanyi riang. Tiba-tiba kakak Johan datang berlari-lari kecil
memanggil adiknya. “Jo…,” katanya sambil menarik tangan adiknya. Ia melotot ke
arah Fattan. Kedua sahabat karib ini saling pandang tidak mengerti “mulai
sekarang ko jangan main dengan anak pendatang ini..!!” “Eeh.., kenapa Kaka..”
“Bangsanya menghina kita..!! Ada teman kaka yang dibunuh oleh mereka..!!”
Katanya sambil menudingkan jarinya kepada Fattan. “Pergi kau..! Kau jangan main
sama adikku lagi. Dan jangan dekat-dekat perkampungan kami lagi” kata kakak
Johan sambil mennyeret adiknya pergi. Kedua sahabat itu saling pandang dengan
tatapan putus asa.
Saat Fattan mengaji, guru
mengajinya menasehati para muridnya untuk tidak bermain ke kampung Hulu. Dengan
tatapan sedih ia memberitahu mereka telah terjadi musibah. Kepala suku kampung
Hulu telah menasehati kita untuk tidak bermain ke kampung Hulu. Para remaja
kampung Hulu marah karena pemuda kita membunuh salah satu remaja mereka…”
“Kenapa membunuh pak ustad..?” Pak ustad memandang muridnya satu demi satu.
“Urusan orang dewasa” kata pak ustad tidak memuaskan.
“Fattan..!!” Burhan teman
sekelasnya memanggilnya saat mereka mau pulang mengaji. Fattan menoleh, “Aku
tahu kejadian yang sebenarnya. Kakak Udin kakaknya Ali yang membunuh Manuel.
Sebab Manuel memperk*sa tunangan kak Udin…” Kata Burhan berapi-api. “Aku tahu
dari Ali. Tapi pemuda kampung Hulu itu yang salah. Mereka kan memang
orang-orang kasar tidak berpendidikan. Sukanya j*di, makan babi dan
mabuk-mabukan..” “Tidak semuanya mereka begitu..” Bela Fattan. “Kau masih saja
membela mereka” kata Burhan marah “oooh… aku tahu sebabnya karena kau berteman
dengan bocah berambut keriting berkulit arang itu kan..? Jangan-jangan kau juga
diajak makan babi bersama mereka..” Fattan menghentikan langkahnya. Ia tampak
tersinggung dengan ucapan Burhan. Dia lalu melayangkan tinjunya ke muka Burhan.
Burhan tampak terkejut ia lalu membalas pukulan Fattan. Tak lama kemudian
mereka berguling-guling di tanah. Dan teman-teman mereka menyorakinya. Pak
Ustad yang mau pulang melihat perkelahian itu. Ia lalu melerainya. “Siapa yang
mulai duluan..?!!” Bentak pak Ustad. “Fattan pak. Dia memukul saya duluan..”
Kata Burhan sambil mengusap-usap pipinya yang bengkak. Pak Ustad menatap
Fattan. “Apa itu benar, Fattan..?” Fattan menundukkan kepalanya. “Benar pak,
tapi Burhan duluan yang menghina sahabat Fattan. Keluarga Johan memang beda agama
dengan kita. Tapi mereka keluarga yang baik dan beretika. Mereka tahu kalau
saya tidak boleh makan daging babi, anjing atau makanan haram lainnya. Walau
agama mereka memperbolehkan tapi mereka tidak makan itu. Johan juga selalu
mengingatkan saya kalau mau ngaji. Mereka tidak kasar…” Kata Fattan lirih.
“Burhan..!! Apa benar kau menghina sahabat Fattan..?” ” Ta.. tapi itu benar kan
pak…” Kata Burhan tergagap. “Mereka suka makan babi, dan juga…” “Apapun yang
mereka lakukan itu bukan urusan kita, apa mereka pernah menghinamu..? Tidak
bukan..?” Kata pak ustad ketika bocah itu hanya tertunduk terdiam. “Sekarang
kalian berbaikan kembali. Allah tidak suka melihat hambanya bermusuhan… apalagi
sesama umat muslim..” Fattan mengulurkan tangannya dan disambut dengan agak
berat hati oleh Burhan. Mereka tidak bicara satu sama lain.
Keesokan harinya, sikap Johan
padanya agak lain. Lebih terkesan menjauhinya. Dia lebih suka duduk atau
bermain dengan temannya sesama kampung Hulu. Hanya matanya yang sesekali
memandang ke arah Fattan sedih. Fattan sendiri juga tidak bisa menyalahkan
dirinya. Karena sikap teman-temannya juga tidak bersahabat dengan anak kampung
Hulu. “Sampai kapan neraka ini berakhir…” Bisik Fattan sedih. Saat pulang
sekolah tiba-tiba johan menyenggol bahunya hingga buku-bukunya terjatuh.
Teman-teman Fattan memakinya tapi Johan tidak peduli. Ia membungkuk dan
membantu Fattan memunguti bukunya. “Kutunggu di sungai, penting..” Katanya
pendek lalu ia bergegas pergi. Fattan memandangnya bengong. Setelah dua minggu
Johan tidak bicara dengannya. Baru kali ini ia mengajaknya bicara.
Fattan menunggu Johan di
tempat biasa. Tapi yang ditunggu-tunggu tak kunjung tiba. Ia pengen marah,
Fattan berpikir Johan sedang mempermainkannya. Ketika ia mau pergi ia mendengar
suara gemerisik di belakangnya. Saat ia menoleh ia melihat Johan. Wajah Johan
tampak memerah berkeringat. Ia mengusap keringatnya dan nafasnya memburu. “Maaf
lama, aku baru kabur dari sekapan kakak-kakakku..” Katanya. Fattan menaikkan
alisnya heran, “Fattan aku tak bisa lama, jika aku lama disini dan mereka tahu
kalau kita ngobrol begini tidak baik bagi kita berdua. Kita pasti akan celaka.
Tapi dengarkan aku. Mereka sedang merencanakan hal yang jahat. Bawa jauh-jauh
keluargamu dari kampung Hilir. Kalau bisa secepatnya..!!” “Tapi kenapa..?”
“Jangan tanya alasannya. Akan ada perang..!!” Johan memandangnya serius.
“Tolong dengarkan aku kali ini sebagai sahabatmu aku tak ingin kau celaka. Aku
harus pergi..” Johan melompat berdiri lalu berlari pergi. Fattan berteriak memanggilnya
tapi Johan tetap tidak mempedulikannya. Fattan memandang kepergian Johan dengan
pikiran bingung. Lalu ia perlahan-lahan pergi juga. Menyusuri pematang sawah
yang menghampar kuning. Pertanda tanaman padi sebentar lagi akan siap dipanen.
Tiba-tiba sepupunya Kang Supri berlari mengejarnya. Wajahnya tampak marah
bercampur marah. “Kau darimana..!!” Bentaknya. “Dari sungai..” Sungai adalah
batas wilayah kampung Hulu dan Hilir. “Apa kau tidak mendengar larangan
orangtua..? Apa orangtuamu tidak memberitahumu..! Agar kau menjauhi sungai”
Fattan terdiam. Ia menundukkan kepalanya. “Keadaan sekarang tidak seperti dulu
lagi Fattan..! Mereka sangat membenci kita. Kemarin adik temanku hampir mati
gara-gara dipukuli mereka saat dia menggembala kambing dekat sungai…” “Maafkan
aku..” “Sudah ayo cepat pulang..!!” Kata kang Supri sambil menarik tangannya
setengah menyeret.
Fattan bercerita pada
orangtuanya tentang pertemuannya dengan Johan tadi siang. Ayahnya mendengarkan
dengan seksama. “Apakah benar apa yang dibilang Johan itu Tan..? Jika
pemuda-pemuda sana menyerang kita duluan. Berarti mereka tidak mengindahkan
larangan kepala suku..” Kata ayahnya. “Johan bilang begitu tadi, apa kita pergi
saja pak…” Kata Fattan sambil memandang ibunya meminta persetujuan. Bapaknya menggelengkan
kepalanya. “Kita tidak salah. Kenapa pergi..?” “Tapi mau ada perang, yah..”
Kata ibunya juga takut. “Kita lahir disini mati pun juga harus disini..” Kata
bapaknya keras kepala sambil beranjak berdiri “aku keluar sebentar. Laporan
Fattan barusan harus ditindak lanjuti..”
“Mereka menyeraaang…!!”
Teriakan dan suara kentungan membuat Fattan melompat bangun dari tidurnya. Ia
berlari ke arah jendela dan membukanya. Dikejauhan ia melihat cahaya merah
membumbung tinggi ke angkasa. “Ya Allah…, mereka membakar rumah..” Desis ibunya
sambil mendekapnya erat-erat. Tangannya gemetar ketakutan. Fattan memandang tak
berkedip ke arah asap yang membumbung tinggi itu. Terdengar derap langkah kaki
di luar, Kang Supri masuk ke dalam rumahnya. “Bapakmu nyuruh aku membawa kalian
pergi…” Katanya dengan wajah memucat. “Bapak kemana..?” Tanya Fattan. “Dia ikut
barisan pemuda menghadang mereka. Pemuda kampung Hulu sudah kesetanan. Mereka
membawa parang dan panah” kata Kang Supri “aku disuruh membawa kalian pergi.”
“Aku… aku… mana bisa pergi sementara suamiku ada di luar sana..” Kata ibu
Fattan sambil menangis. “Harus sekarang, bi… nggak usah berkemas tidak ada
waktu..” Kata Kang Supri sambil setengah menarik tangan ibu Fattan. Setengah
terpaksa ibu Fattan menurut dan Fattan mengekor di belakang mereka. Mereka
bertiga menyelinap di belakang rumah Fattan yang gelap. Mereka melewati kebun
ketela. Terlihat cahaya lampu obor di kejauhan. Jantung Fattan berdebar keras.
Ia berdoa kepada Allah SWT agar melindungi keluarganya terutama ayahnya yang
sedang berjuang bersama tetangganya.
“Merunduk..” Bisik Kang Supri
sambil menekan kepala Fattan “itu mereka..” Desisnya. Mereka ada dua puluhan
orang. Sedang berbicara dengan bahasa daerah mereka. Ada sebagian yang bisa
dimengerti Fattan. Johan sedikit mengajari bahasa daerahnya. Demikian pula
Fattan mengajari bahasanya. Pelajaran daerah itu mereka pelajari bersama saat
mereka asyik memancing ikan di sungai. “Cari terus, dan bunuh..!” Itu kata
salah satu dari mereka. Bulu kuduk Fattan merinding. Ia menbekap mulutnya agar
dia tidak berteriak ataupun terdengar saat ia menangis. Ia tak ingin
membahayakan nyawa ibu dan Kang Supri. Tidak ada satu pun yang dikenal Fattan
dalam rombongan itu. Mereka berkulit gelap dan berambut keriting seperti keluarga
Johan. Tapi Fattan tahu dalam kondisi genting begini berteriak dan memberitahu
kalau dia adalah sahabat Johan dan mengenal baik keluarga Johan tidaklah ada
guna. Mereka semua sudah gelap mata. Ini adalah situasi perang.
“Ayo..” Bisik Kang Supri ketika
rombongan mereka menjauh. Kang Supri bergerak keluar dari persembunyian diikuti
oleh Fattan dan ibunya. Dan mereka mulai bergerak lagi. “Jangan rumah itu..!!”
Terdengar teriak yang tidak asing di telinga Fattan. Itu teriakan Johan.
“Jangan bakar rumah itu..!” Fattan menghentikan langkahnya sebentar. Ia menoleh
ke arah asal suara. Beberapa meter dari persembunyian mereka, Fattan melihat
Johan yang sedang berusaha menyelamatkan rumah keluarga Fattan. Salah seorang
kakaknya sedang menyalakan api dan bermaksud membakarnya. “Diam kau..!” Kata
salah satu dari mereka sambil memegangi bahunya “bakar, Yosef..!!” Perintahnya.
“Kaka..! Jangan…” Kata Johan setengah merengek. “Mereka bikin gara-gara dengan
kita. Kita pantas melakukannya..” Kata Kakak Johan membela diri sambil melempar
kayu yang telah tersulut api ke arah rumah keluarga Fattan. Fattan menutup
matanya, ibunya yang ada di sampingnya menangis sedih saat kobaran api membakar
rumah keluarga sepupunya.
Tiba-tiba terdengar
sorak-sorai dikejauhan. Para pemuda kampung Hilir datang sambil membawa
pentung, parang, tombak dan panah. Jumlahnya ada sekitar lima puluhan orang.
“Akan ada pertumpahan darah..” Bisik Kang Supri sambil menarik nafas. “Saat
begini dimana polisi..” Keluh ibu Fattan. Kampung Hulu dan Hilir memang kampung
pelosok dan jauh dari perkotaan. Namun salah satu kampung yang jadi kampung
percontohan karena jauh dari konflik Sara. Hingga musibah ini terjadi. Fattan
melihat para pemuda kampung Hulu dan Hilir saling baku pukul. Johan terjepit di
tengah-tengah perkelahian itu. “Johan..” Desis Fattan cemas. Johan tampak
ketakutan, dia berusaha menghindar tapi terkepung di tengah-tengah perkelahian.
Tiba-tiba ada salah satu pemuda kampung Fattan menghampirinya dan menghujamkan
pisau ke perutnya. Fattan tanpa sadar berteriak ketika tubuh Johan tersungkur
di tanah. “Fattan kau mau kemana..” Teriak ibunya ketika Fattan berdiri. Fattan
menoleh ke arah ibunya, “Aku harus menyelamatkan Johan, bu..” “Tapi kau nanti
bisa terbunuh..!” “Hidup dan mati itu Allah yang ngatur bu, maafkan Fattan bu,
Fattan tak bisa melihat Johan mati disana..” Kata Fattan sambil berlari ke arah
Johan. Ia tidak mengindahkan teriakan ibunya dan berlari menghampiri Johan.
“Kau tak apa-apa..?” Katanya
cemas “JO.. buka matamu..” Johan membuka matanya bibirnya mendesis pelan. Apa
yang kau lakukan disini..? Pergi…” “Aku tak bisa pergi tanpamu… ayo
kugendong..” “Sudah tak ada guna…” “Masih kataku..” Kata Fattan sambil
menaikkan badan Johan yang sudah lemah kepunggungnya. Fattan dapat merasakan
rembesan darah Johan di punggungnya. Ia menangis pelan. “Aku tak akan
membiarkan kamu disini. Dulu kau pernah menolongku saat aku terkilir saat main
bola. Kau juga menggendongku sampai di rumah. Jadi beri aku kesempatan untuk
membalasmu..” “Ini bukan waktunya…, cepat pergi..” “Tidak..! Jika kita mati…
kita mati bersama..” Kata Fattan bertekad. Ia berjalan berlahan-lahan sambil
menggendong Johan menjauhi daerah konflik. Langkahnya tertatih-tatih tubuh
Johan mulai terlihat lemah. “Kau harus bertahan sobat, terus buka matamu walau
kau sangat mengantuk sekalipun..!” Terdengar deru pesawat di udara dan suara
sirine di kejauhan. Fattan mendesah lega. “Kau dengar itu..? Polisi datang..!”
“SEMUANYA..!! LETAKKAN SENJATA SEKARANG JUGA..!!”
Kepala suku kampung Hulu dan
pak ustad Udin dan kepala desa serta tetua kampung Hilir datang bersama-sama
komisaris Polisi. Mereka naik Helikopter tadi. Fattan menghampiri mereka.
“Tolong pak Ustad..! Tolong sahabat saya. Dia tertusuk. Dia banyak kehilangan
darah…” “Ya Allah Fattan apa yang kau…” Ustad Udin melihat bocah yang
digendongnya. “Susteeer..! Ada yang terluka..!” “Tuhan Yessuus… Johan..” Kata
kepala suku ketika melihat Johan dalam gendongan Fattan. Ia lalu mengambil alih
tubuh Johan dan membopongnya sambil teriak memanggil suster. Suster datang
sambil membawa kereta dorong dan badan Johan diletakkan disana. Fattan mau ikut
tapi dipegang oleh ustad Udin. Dia menggelengkan kepala melarang. “Bapak
Abraham sudah menelpon orangtua Johan.” Katanya sambil menunjuk ke arah kepala
suku kampung Hulu yang sedang sibuk menelpon. Fattan hanya bisa melihat sedih
ketika Johan dimasukkan ke dalam Helikopter.
“Pak ustad, dia akan sembuh
kan..?” Tanyanya dengan suara bergetar. “Terus berdoa pada Allah SWT, Fattan..”
Hibur ustad Udin sambil menepuk bahunya. “Dia akan selamat, nak. Johan anak
yang kuat. Terima kasih ya Ko telah menolong dia…” Kata kepala suku kampung
Hulu sambil mengusap kepalanya. “Sekarang biarkan kami yang bekerja melerai
perkelahian ini..” Katanya dengan wajah serius. Lalu kepala suku, tetua adat,
pak kepala desa, pak ustad dan para polisi merangsek ke depan sambil membawa
tameng baja dan senjata gas air mata. “Hentikan..!! Hentikan semuanya..!”
Teriak kepala polisi. Ketika peringatan mereka tak diindahkan oleh mereka. Dia
memberi aba-aba agar menyemprotkan gas air mata ke arah mereka.
Langsung saja mereka
berhamburan ketika merasakan rasa pedih dan panas di mata mereka. Dan
perkelahian itu sedikit mereda. “Apa kalian tahu..!! Akibat dari perbuatan
kalian ini..?” Suara kepala suku kampung Hulu menggelegar membuat suasana
hening sejenak. Kepala Suku kampung Hulu menyeruak maju. Badannya yang masih
tegap dan gagah walau sudah berusia lebih dari setengah abad membuat para
pemuda kampung Hulu mundur teratur. “Contohlah anak ini..! Katanya sambil
menunjuk ke arah Fattan. Disaat kalian berkelahi mempertahankan ego. Dia dengan
badan kecilnya itu dengan berani menyelamatkan sahabatnya. Walau dia tahu itu
membahayakan nyawanya. Kalian tahu siapa sahabat dia..?!!” Kakak Johan
menyeruak maju dengan wajah pucat. Dia langsung berlari ke arah Fattan dan
mengguncang-guncang bahunya. “Fattan..! Dimana Johan..? Apa yang terjadi dengan
dia..?” Kata kakak Johan panik. “Di.. dia kena pisau… sudah dibawa ke rumah
sakit..” Kata Fattan tergagap. “Ooh Tuhan Yesus… Johan…” Katanya sambil
menangis histeris. Panah yang ia bawa ia jatuhkan ke tanah. Dia menatap ke arah
kepala suku Hulu.” Inikah yang kau inginkan..? Kehilangan saudaramu..? Darah
dibalas dengan darah..? Rumah dibakar dan kau lakukan pembalasan serupa..? Lalu
sampai kapan habisnya..? Apakah negara kita tak memiliki badan hukum..? Lalu
apa gunanya polisi..?” Kata kepala Suku Hulu membuat semua yang bertikai
terdiam. Kata-katanya sangat mengena. “Jangan gunakan lagi hukum rimba dengan
kekerasan. Kita ini semua bersaudara…” Tambah ustad udin. “Sudah saatnya kita
berdamai saudaraku… saling gotong royong dan tolong menolong…” Tambah tetua
adat. Kepala mereka tertunduk dalam, satu demi satu senjata di tangan mereka
dijatuhkan ke tanah. “Contohlah persahabatan Fattan dan Johan. Walau mereka
beda suku, agama dan kebiasaan. Mereka bisa saling bergandengan tangan dan
bersama menatap masa depan..” Tambah tetua adat lagi. “Sudah saatnya mari
saling berpelukan dan bermaafan..” Kata kepala suku Hulu dengan memberi contoh,
beliau mengulurkan tangan ke arah tetua adat kampung Hilir “maafkan rakyat saya
bapak… saya yang salah dan terlalu bodoh dalam membina rakyat saya..” Katanya
merendah. Tetua adat kampung Hilir menerima uluran tangannya dan merangkul
bahunya. Mereka berdua berpelukan layaknya seorang sahabat yang lama tidak
bertemu. Melihat ketua adat mereka saling berpelukan. Mereka pun dengan
malu-malu saling mengulurkan tangan dan meminta maaf.
“Begitu ceritanya…” Kata
Fattan setelah menyeleseikan ceritanya, sambil mencomot keripik singkong dari
piring Johan. Hari ini dia menjenguk Johan yang baru saja selesei dioperasi di
rumah sakit. Untung saja luka di perutnya tidak terlalu parah hingga nyawanya
bisa ditolong.” Saat aku pergi kemari, mereka saling bergotong royong
membersihkan puing-puing sisa kekacauan kemarin dan ada juga yang bantu
membangun rumah korban kerusuhan kemarin… tentu saja dengan diawasi oleh para
tetua adat..” Kata Fattan menambahkan. “Tapi ada korban jiwa..” Kata Johan
dengan wajah muram. Lima orang yang meninggal saat kekacauan itu. Tiga dari
pihak kampung Hilir dan dua dari kampung Hulu. Semuanya sudah dikebumikan
kemarin.” Semoga saja kejadian ini tidak terulang lagi..” Doa Fattan. “Ya,
semoga saja…” Desis Johan.
Fattan menggenggam tangan
Johan dan Johan meremasnya. Perjalanan mereka masih panjang. Tapi mereka yakin
bisa merubah orang di sekelilingnya agar saling peduli pada sesama dan walau
berbeda-beda tapi mereka adalah satu. Satu bangsa dan satu negara.
T A M A T
Cerpen Karangan: Ririn
Blog: http://cerpen-airin.blogspot.com
0 komentar:
Post a Comment