Wednesday, 8 October 2014

CERPEN INSPIRATIF : Fattan dan Johan



Fattan tinggal di kampung hilir sementara Johan di kampung hulu. Fattan berkulit putih dan setiap sore rajin mengaji di surau pak Udin. Sementara Johan berkulit gelap, berambut keriting dan setiap minggu rajin ke gereja. Mereka sejak SD sampai SMP selalu bersama. Maklum kampung Hulu dan Hilir hanya memiliki satu kompleks sekolah mencangkup SD, SMP dan SMU. Fattan dan Johan karena sekolah terus bersama. Mereka pun bersahabat karib. Pulang sekolah bersama-sama. Dan bermain bersama. Kegemaran mereka adalah memancing ikan di sungai dan memanjat pohon kelapa.

Begitulah…, terkadang jika Fattan lupa jika sore ada kegiatan mengaji, Johan mengingatkannya. Demikian pula sebaliknya. Terkadang jika Johan malas diajak orangtuanya ke gereja, Fattan menegurnya. Hari ini seperti biasa sepulang sekolah mereka pergi memancing di sungai. Sepatu mereka, mereka lepas dan ia tenteng. Mereka bernyanyi-nyanyi riang. Tiba-tiba kakak Johan datang berlari-lari kecil memanggil adiknya. “Jo…,” katanya sambil menarik tangan adiknya. Ia melotot ke arah Fattan. Kedua sahabat karib ini saling pandang tidak mengerti “mulai sekarang ko jangan main dengan anak pendatang ini..!!” “Eeh.., kenapa Kaka..” “Bangsanya menghina kita..!! Ada teman kaka yang dibunuh oleh mereka..!!” Katanya sambil menudingkan jarinya kepada Fattan. “Pergi kau..! Kau jangan main sama adikku lagi. Dan jangan dekat-dekat perkampungan kami lagi” kata kakak Johan sambil mennyeret adiknya pergi. Kedua sahabat itu saling pandang dengan tatapan putus asa.


Saat Fattan mengaji, guru mengajinya menasehati para muridnya untuk tidak bermain ke kampung Hulu. Dengan tatapan sedih ia memberitahu mereka telah terjadi musibah. Kepala suku kampung Hulu telah menasehati kita untuk tidak bermain ke kampung Hulu. Para remaja kampung Hulu marah karena pemuda kita membunuh salah satu remaja mereka…” “Kenapa membunuh pak ustad..?” Pak ustad memandang muridnya satu demi satu. “Urusan orang dewasa” kata pak ustad tidak memuaskan.

“Fattan..!!” Burhan teman sekelasnya memanggilnya saat mereka mau pulang mengaji. Fattan menoleh, “Aku tahu kejadian yang sebenarnya. Kakak Udin kakaknya Ali yang membunuh Manuel. Sebab Manuel memperk*sa tunangan kak Udin…” Kata Burhan berapi-api. “Aku tahu dari Ali. Tapi pemuda kampung Hulu itu yang salah. Mereka kan memang orang-orang kasar tidak berpendidikan. Sukanya j*di, makan babi dan mabuk-mabukan..” “Tidak semuanya mereka begitu..” Bela Fattan. “Kau masih saja membela mereka” kata Burhan marah “oooh… aku tahu sebabnya karena kau berteman dengan bocah berambut keriting berkulit arang itu kan..? Jangan-jangan kau juga diajak makan babi bersama mereka..” Fattan menghentikan langkahnya. Ia tampak tersinggung dengan ucapan Burhan. Dia lalu melayangkan tinjunya ke muka Burhan. Burhan tampak terkejut ia lalu membalas pukulan Fattan. Tak lama kemudian mereka berguling-guling di tanah. Dan teman-teman mereka menyorakinya. Pak Ustad yang mau pulang melihat perkelahian itu. Ia lalu melerainya. “Siapa yang mulai duluan..?!!” Bentak pak Ustad. “Fattan pak. Dia memukul saya duluan..” Kata Burhan sambil mengusap-usap pipinya yang bengkak. Pak Ustad menatap Fattan. “Apa itu benar, Fattan..?” Fattan menundukkan kepalanya. “Benar pak, tapi Burhan duluan yang menghina sahabat Fattan. Keluarga Johan memang beda agama dengan kita. Tapi mereka keluarga yang baik dan beretika. Mereka tahu kalau saya tidak boleh makan daging babi, anjing atau makanan haram lainnya. Walau agama mereka memperbolehkan tapi mereka tidak makan itu. Johan juga selalu mengingatkan saya kalau mau ngaji. Mereka tidak kasar…” Kata Fattan lirih. “Burhan..!! Apa benar kau menghina sahabat Fattan..?” ” Ta.. tapi itu benar kan pak…” Kata Burhan tergagap. “Mereka suka makan babi, dan juga…” “Apapun yang mereka lakukan itu bukan urusan kita, apa mereka pernah menghinamu..? Tidak bukan..?” Kata pak ustad ketika bocah itu hanya tertunduk terdiam. “Sekarang kalian berbaikan kembali. Allah tidak suka melihat hambanya bermusuhan… apalagi sesama umat muslim..” Fattan mengulurkan tangannya dan disambut dengan agak berat hati oleh Burhan. Mereka tidak bicara satu sama lain.

Keesokan harinya, sikap Johan padanya agak lain. Lebih terkesan menjauhinya. Dia lebih suka duduk atau bermain dengan temannya sesama kampung Hulu. Hanya matanya yang sesekali memandang ke arah Fattan sedih. Fattan sendiri juga tidak bisa menyalahkan dirinya. Karena sikap teman-temannya juga tidak bersahabat dengan anak kampung Hulu. “Sampai kapan neraka ini berakhir…” Bisik Fattan sedih. Saat pulang sekolah tiba-tiba johan menyenggol bahunya hingga buku-bukunya terjatuh. Teman-teman Fattan memakinya tapi Johan tidak peduli. Ia membungkuk dan membantu Fattan memunguti bukunya. “Kutunggu di sungai, penting..” Katanya pendek lalu ia bergegas pergi. Fattan memandangnya bengong. Setelah dua minggu Johan tidak bicara dengannya. Baru kali ini ia mengajaknya bicara.

Fattan menunggu Johan di tempat biasa. Tapi yang ditunggu-tunggu tak kunjung tiba. Ia pengen marah, Fattan berpikir Johan sedang mempermainkannya. Ketika ia mau pergi ia mendengar suara gemerisik di belakangnya. Saat ia menoleh ia melihat Johan. Wajah Johan tampak memerah berkeringat. Ia mengusap keringatnya dan nafasnya memburu. “Maaf lama, aku baru kabur dari sekapan kakak-kakakku..” Katanya. Fattan menaikkan alisnya heran, “Fattan aku tak bisa lama, jika aku lama disini dan mereka tahu kalau kita ngobrol begini tidak baik bagi kita berdua. Kita pasti akan celaka. Tapi dengarkan aku. Mereka sedang merencanakan hal yang jahat. Bawa jauh-jauh keluargamu dari kampung Hilir. Kalau bisa secepatnya..!!” “Tapi kenapa..?” “Jangan tanya alasannya. Akan ada perang..!!” Johan memandangnya serius. “Tolong dengarkan aku kali ini sebagai sahabatmu aku tak ingin kau celaka. Aku harus pergi..” Johan melompat berdiri lalu berlari pergi. Fattan berteriak memanggilnya tapi Johan tetap tidak mempedulikannya. Fattan memandang kepergian Johan dengan pikiran bingung. Lalu ia perlahan-lahan pergi juga. Menyusuri pematang sawah yang menghampar kuning. Pertanda tanaman padi sebentar lagi akan siap dipanen. Tiba-tiba sepupunya Kang Supri berlari mengejarnya. Wajahnya tampak marah bercampur marah. “Kau darimana..!!” Bentaknya. “Dari sungai..” Sungai adalah batas wilayah kampung Hulu dan Hilir. “Apa kau tidak mendengar larangan orangtua..? Apa orangtuamu tidak memberitahumu..! Agar kau menjauhi sungai” Fattan terdiam. Ia menundukkan kepalanya. “Keadaan sekarang tidak seperti dulu lagi Fattan..! Mereka sangat membenci kita. Kemarin adik temanku hampir mati gara-gara dipukuli mereka saat dia menggembala kambing dekat sungai…” “Maafkan aku..” “Sudah ayo cepat pulang..!!” Kata kang Supri sambil menarik tangannya setengah menyeret.

Fattan bercerita pada orangtuanya tentang pertemuannya dengan Johan tadi siang. Ayahnya mendengarkan dengan seksama. “Apakah benar apa yang dibilang Johan itu Tan..? Jika pemuda-pemuda sana menyerang kita duluan. Berarti mereka tidak mengindahkan larangan kepala suku..” Kata ayahnya. “Johan bilang begitu tadi, apa kita pergi saja pak…” Kata Fattan sambil memandang ibunya meminta persetujuan. Bapaknya menggelengkan kepalanya. “Kita tidak salah. Kenapa pergi..?” “Tapi mau ada perang, yah..” Kata ibunya juga takut. “Kita lahir disini mati pun juga harus disini..” Kata bapaknya keras kepala sambil beranjak berdiri “aku keluar sebentar. Laporan Fattan barusan harus ditindak lanjuti..”

“Mereka menyeraaang…!!” Teriakan dan suara kentungan membuat Fattan melompat bangun dari tidurnya. Ia berlari ke arah jendela dan membukanya. Dikejauhan ia melihat cahaya merah membumbung tinggi ke angkasa. “Ya Allah…, mereka membakar rumah..” Desis ibunya sambil mendekapnya erat-erat. Tangannya gemetar ketakutan. Fattan memandang tak berkedip ke arah asap yang membumbung tinggi itu. Terdengar derap langkah kaki di luar, Kang Supri masuk ke dalam rumahnya. “Bapakmu nyuruh aku membawa kalian pergi…” Katanya dengan wajah memucat. “Bapak kemana..?” Tanya Fattan. “Dia ikut barisan pemuda menghadang mereka. Pemuda kampung Hulu sudah kesetanan. Mereka membawa parang dan panah” kata Kang Supri “aku disuruh membawa kalian pergi.” “Aku… aku… mana bisa pergi sementara suamiku ada di luar sana..” Kata ibu Fattan sambil menangis. “Harus sekarang, bi… nggak usah berkemas tidak ada waktu..” Kata Kang Supri sambil setengah menarik tangan ibu Fattan. Setengah terpaksa ibu Fattan menurut dan Fattan mengekor di belakang mereka. Mereka bertiga menyelinap di belakang rumah Fattan yang gelap. Mereka melewati kebun ketela. Terlihat cahaya lampu obor di kejauhan. Jantung Fattan berdebar keras. Ia berdoa kepada Allah SWT agar melindungi keluarganya terutama ayahnya yang sedang berjuang bersama tetangganya.

“Merunduk..” Bisik Kang Supri sambil menekan kepala Fattan “itu mereka..” Desisnya. Mereka ada dua puluhan orang. Sedang berbicara dengan bahasa daerah mereka. Ada sebagian yang bisa dimengerti Fattan. Johan sedikit mengajari bahasa daerahnya. Demikian pula Fattan mengajari bahasanya. Pelajaran daerah itu mereka pelajari bersama saat mereka asyik memancing ikan di sungai. “Cari terus, dan bunuh..!” Itu kata salah satu dari mereka. Bulu kuduk Fattan merinding. Ia menbekap mulutnya agar dia tidak berteriak ataupun terdengar saat ia menangis. Ia tak ingin membahayakan nyawa ibu dan Kang Supri. Tidak ada satu pun yang dikenal Fattan dalam rombongan itu. Mereka berkulit gelap dan berambut keriting seperti keluarga Johan. Tapi Fattan tahu dalam kondisi genting begini berteriak dan memberitahu kalau dia adalah sahabat Johan dan mengenal baik keluarga Johan tidaklah ada guna. Mereka semua sudah gelap mata. Ini adalah situasi perang.

“Ayo..” Bisik Kang Supri ketika rombongan mereka menjauh. Kang Supri bergerak keluar dari persembunyian diikuti oleh Fattan dan ibunya. Dan mereka mulai bergerak lagi. “Jangan rumah itu..!!” Terdengar teriak yang tidak asing di telinga Fattan. Itu teriakan Johan. “Jangan bakar rumah itu..!” Fattan menghentikan langkahnya sebentar. Ia menoleh ke arah asal suara. Beberapa meter dari persembunyian mereka, Fattan melihat Johan yang sedang berusaha menyelamatkan rumah keluarga Fattan. Salah seorang kakaknya sedang menyalakan api dan bermaksud membakarnya. “Diam kau..!” Kata salah satu dari mereka sambil memegangi bahunya “bakar, Yosef..!!” Perintahnya. “Kaka..! Jangan…” Kata Johan setengah merengek. “Mereka bikin gara-gara dengan kita. Kita pantas melakukannya..” Kata Kakak Johan membela diri sambil melempar kayu yang telah tersulut api ke arah rumah keluarga Fattan. Fattan menutup matanya, ibunya yang ada di sampingnya menangis sedih saat kobaran api membakar rumah keluarga sepupunya.

Tiba-tiba terdengar sorak-sorai dikejauhan. Para pemuda kampung Hilir datang sambil membawa pentung, parang, tombak dan panah. Jumlahnya ada sekitar lima puluhan orang. “Akan ada pertumpahan darah..” Bisik Kang Supri sambil menarik nafas. “Saat begini dimana polisi..” Keluh ibu Fattan. Kampung Hulu dan Hilir memang kampung pelosok dan jauh dari perkotaan. Namun salah satu kampung yang jadi kampung percontohan karena jauh dari konflik Sara. Hingga musibah ini terjadi. Fattan melihat para pemuda kampung Hulu dan Hilir saling baku pukul. Johan terjepit di tengah-tengah perkelahian itu. “Johan..” Desis Fattan cemas. Johan tampak ketakutan, dia berusaha menghindar tapi terkepung di tengah-tengah perkelahian. Tiba-tiba ada salah satu pemuda kampung Fattan menghampirinya dan menghujamkan pisau ke perutnya. Fattan tanpa sadar berteriak ketika tubuh Johan tersungkur di tanah. “Fattan kau mau kemana..” Teriak ibunya ketika Fattan berdiri. Fattan menoleh ke arah ibunya, “Aku harus menyelamatkan Johan, bu..” “Tapi kau nanti bisa terbunuh..!” “Hidup dan mati itu Allah yang ngatur bu, maafkan Fattan bu, Fattan tak bisa melihat Johan mati disana..” Kata Fattan sambil berlari ke arah Johan. Ia tidak mengindahkan teriakan ibunya dan berlari menghampiri Johan.

“Kau tak apa-apa..?” Katanya cemas “JO.. buka matamu..” Johan membuka matanya bibirnya mendesis pelan. Apa yang kau lakukan disini..? Pergi…” “Aku tak bisa pergi tanpamu… ayo kugendong..” “Sudah tak ada guna…” “Masih kataku..” Kata Fattan sambil menaikkan badan Johan yang sudah lemah kepunggungnya. Fattan dapat merasakan rembesan darah Johan di punggungnya. Ia menangis pelan. “Aku tak akan membiarkan kamu disini. Dulu kau pernah menolongku saat aku terkilir saat main bola. Kau juga menggendongku sampai di rumah. Jadi beri aku kesempatan untuk membalasmu..” “Ini bukan waktunya…, cepat pergi..” “Tidak..! Jika kita mati… kita mati bersama..” Kata Fattan bertekad. Ia berjalan berlahan-lahan sambil menggendong Johan menjauhi daerah konflik. Langkahnya tertatih-tatih tubuh Johan mulai terlihat lemah. “Kau harus bertahan sobat, terus buka matamu walau kau sangat mengantuk sekalipun..!” Terdengar deru pesawat di udara dan suara sirine di kejauhan. Fattan mendesah lega. “Kau dengar itu..? Polisi datang..!” “SEMUANYA..!! LETAKKAN SENJATA SEKARANG JUGA..!!”

Kepala suku kampung Hulu dan pak ustad Udin dan kepala desa serta tetua kampung Hilir datang bersama-sama komisaris Polisi. Mereka naik Helikopter tadi. Fattan menghampiri mereka. “Tolong pak Ustad..! Tolong sahabat saya. Dia tertusuk. Dia banyak kehilangan darah…” “Ya Allah Fattan apa yang kau…” Ustad Udin melihat bocah yang digendongnya. “Susteeer..! Ada yang terluka..!” “Tuhan Yessuus… Johan..” Kata kepala suku ketika melihat Johan dalam gendongan Fattan. Ia lalu mengambil alih tubuh Johan dan membopongnya sambil teriak memanggil suster. Suster datang sambil membawa kereta dorong dan badan Johan diletakkan disana. Fattan mau ikut tapi dipegang oleh ustad Udin. Dia menggelengkan kepala melarang. “Bapak Abraham sudah menelpon orangtua Johan.” Katanya sambil menunjuk ke arah kepala suku kampung Hulu yang sedang sibuk menelpon. Fattan hanya bisa melihat sedih ketika Johan dimasukkan ke dalam Helikopter.

“Pak ustad, dia akan sembuh kan..?” Tanyanya dengan suara bergetar. “Terus berdoa pada Allah SWT, Fattan..” Hibur ustad Udin sambil menepuk bahunya. “Dia akan selamat, nak. Johan anak yang kuat. Terima kasih ya Ko telah menolong dia…” Kata kepala suku kampung Hulu sambil mengusap kepalanya. “Sekarang biarkan kami yang bekerja melerai perkelahian ini..” Katanya dengan wajah serius. Lalu kepala suku, tetua adat, pak kepala desa, pak ustad dan para polisi merangsek ke depan sambil membawa tameng baja dan senjata gas air mata. “Hentikan..!! Hentikan semuanya..!” Teriak kepala polisi. Ketika peringatan mereka tak diindahkan oleh mereka. Dia memberi aba-aba agar menyemprotkan gas air mata ke arah mereka.

Langsung saja mereka berhamburan ketika merasakan rasa pedih dan panas di mata mereka. Dan perkelahian itu sedikit mereda. “Apa kalian tahu..!! Akibat dari perbuatan kalian ini..?” Suara kepala suku kampung Hulu menggelegar membuat suasana hening sejenak. Kepala Suku kampung Hulu menyeruak maju. Badannya yang masih tegap dan gagah walau sudah berusia lebih dari setengah abad membuat para pemuda kampung Hulu mundur teratur. “Contohlah anak ini..! Katanya sambil menunjuk ke arah Fattan. Disaat kalian berkelahi mempertahankan ego. Dia dengan badan kecilnya itu dengan berani menyelamatkan sahabatnya. Walau dia tahu itu membahayakan nyawanya. Kalian tahu siapa sahabat dia..?!!” Kakak Johan menyeruak maju dengan wajah pucat. Dia langsung berlari ke arah Fattan dan mengguncang-guncang bahunya. “Fattan..! Dimana Johan..? Apa yang terjadi dengan dia..?” Kata kakak Johan panik. “Di.. dia kena pisau… sudah dibawa ke rumah sakit..” Kata Fattan tergagap. “Ooh Tuhan Yesus… Johan…” Katanya sambil menangis histeris. Panah yang ia bawa ia jatuhkan ke tanah. Dia menatap ke arah kepala suku Hulu.” Inikah yang kau inginkan..? Kehilangan saudaramu..? Darah dibalas dengan darah..? Rumah dibakar dan kau lakukan pembalasan serupa..? Lalu sampai kapan habisnya..? Apakah negara kita tak memiliki badan hukum..? Lalu apa gunanya polisi..?” Kata kepala Suku Hulu membuat semua yang bertikai terdiam. Kata-katanya sangat mengena. “Jangan gunakan lagi hukum rimba dengan kekerasan. Kita ini semua bersaudara…” Tambah ustad udin. “Sudah saatnya kita berdamai saudaraku… saling gotong royong dan tolong menolong…” Tambah tetua adat. Kepala mereka tertunduk dalam, satu demi satu senjata di tangan mereka dijatuhkan ke tanah. “Contohlah persahabatan Fattan dan Johan. Walau mereka beda suku, agama dan kebiasaan. Mereka bisa saling bergandengan tangan dan bersama menatap masa depan..” Tambah tetua adat lagi. “Sudah saatnya mari saling berpelukan dan bermaafan..” Kata kepala suku Hulu dengan memberi contoh, beliau mengulurkan tangan ke arah tetua adat kampung Hilir “maafkan rakyat saya bapak… saya yang salah dan terlalu bodoh dalam membina rakyat saya..” Katanya merendah. Tetua adat kampung Hilir menerima uluran tangannya dan merangkul bahunya. Mereka berdua berpelukan layaknya seorang sahabat yang lama tidak bertemu. Melihat ketua adat mereka saling berpelukan. Mereka pun dengan malu-malu saling mengulurkan tangan dan meminta maaf.

“Begitu ceritanya…” Kata Fattan setelah menyeleseikan ceritanya, sambil mencomot keripik singkong dari piring Johan. Hari ini dia menjenguk Johan yang baru saja selesei dioperasi di rumah sakit. Untung saja luka di perutnya tidak terlalu parah hingga nyawanya bisa ditolong.” Saat aku pergi kemari, mereka saling bergotong royong membersihkan puing-puing sisa kekacauan kemarin dan ada juga yang bantu membangun rumah korban kerusuhan kemarin… tentu saja dengan diawasi oleh para tetua adat..” Kata Fattan menambahkan. “Tapi ada korban jiwa..” Kata Johan dengan wajah muram. Lima orang yang meninggal saat kekacauan itu. Tiga dari pihak kampung Hilir dan dua dari kampung Hulu. Semuanya sudah dikebumikan kemarin.” Semoga saja kejadian ini tidak terulang lagi..” Doa Fattan. “Ya, semoga saja…” Desis Johan.

Fattan menggenggam tangan Johan dan Johan meremasnya. Perjalanan mereka masih panjang. Tapi mereka yakin bisa merubah orang di sekelilingnya agar saling peduli pada sesama dan walau berbeda-beda tapi mereka adalah satu. Satu bangsa dan satu negara.

T A M A T

Cerpen Karangan: Ririn
Blog: http://cerpen-airin.blogspot.com

0 komentar:

Post a Comment