Hormaaaat gerak!! serentak
terdengar suara gerakan tangan para siswa-siswi Yayasan Perguruan Islam Ganra
(YPIG) Kab. Soppeng saat melakukan penghormatan kepada bendera merah putih,
lagu Indonesia Raya pun dikumandangkan kain yang berwarna merah putih itu secara
perlahan-lahan dinaikkan di tiang tertinggi di sekolah itu. Setelah sesi
pengibaran bendera selesai, seperti biasanya di sekolah kami setiap upacara
hari senin para kepala sekolah (MI, SD, MTs, SMP dan MA) akan bertindak sebagai
pembina upacara secara bergiliran, karena minggu itu yang bertugas sebagai
pelaksana adalah Madrasah Ibtidaiyah (MI) maka yang bertindak sebagai Pembina
Upacara adalah Pak Hendri selaku kepsek MI.
Sebelum beliau memulai
sambutannya sebagian besar teman-teman memang sudah mengira jikalau beliau akan
menyampaikan sesuatu yang berbeda pada upacara kali ini, pasalnya pasca
pengibaran merah putih tadi yang nampak dari beliau hanyalah wajah merah dan
sedikit terlihat tidak sabar untuk berbicara. Dan setelah memberikan salam,
betul dugaan kami, tanpa basa-basi beliau langsung marah dan mengacungkan
tangan kanannya ke arah peserta upacara, serentak pula semua orang di lapangan
sekolah itu terdiam termasuk adik Taman Kanak-Kanak yang memang paling sering
meribut. Ternyata beliau menyampaikan rasa kekesalannya terhadap beberapa
peserta upacara yang terdengar tertawa dan berisik saat merah putih dinaikkan
di tiang bendera.
Beliau mengatakan hampir saya
tidak melihat orang di lapangan ini bisa menghormati bendera merah putih, semua
lengang, tertawa, berbicara, sibuk sendiri dan tidak serius padahal kalian
hanya dimintai waktunya 3 (tiga) menit dalam seminggu untuk menghargai dan
menghormati merah putih, kalian pasti tahu para pendahulu kita harus
membutuhkan waktu 3 (tiga) abad lebih lamanya untuk bisa mengibarkan kain merah
putih itu (sambil menunjuk ke arah tiang bendera). Kalian pernah mendengar
insiden di Hotel Yamato?, para pemuda disana rela ditembaki oleh Tentara
Belanda saat berusaha merobek bendera warna biru demi mengibarkan sang merah
putih, Tegasnya.
Cerpen Amir dan Merah Putih di Pesantren Ganra
Setelah pak Hendry menyudahi
marahnya itu, sepintas saya langsung mengingat seseorang di sekolah kami yang
setiap hari selalu menghormati dan menjaga sang merah putih. Benar dialah Amir
(La Mire’) seorang lelaki separuh baya yang hari-harinya bertugas sebagai
pengamanan di sekolah kami. Dulunya dia pernah menjadi salah satu karyawan PLN
cabang Ganra yang berkantor tepat di depan sekolah kami namun dia keluar
setelah musibah besar menimpanya yaitu saat melakukan tugas dia memanjat untuk
menyambung salah satu kabel utama yang putus akibat pohon yang tumbang di desa
Enrekeng tapi naas dia tersengat listrik sampai tak sadarkan diri, meski
terbilang selamat dari kejadian tersebut namun dampak yang dialaminya cukup
fatal yaitu mengalami keterbelakangan mental akibat gangguan saraf. Dan sejak
itulah Amir terlihat berbeda, banyak aktivitas-aktivitasnya yang tidak
dilakukannya lagi sebagai seorang pengamanan di sekolah bahkan yang paling
menyedihkan banyak di antara anak-anak sekolah sering mengejeknya karena
kelakuannya yang tidak biasa.
Meski dalam kondisi tersebut
akan tetapi ada satu kebiasaannya yang tidak pernah berubah sedikitpun yaitu
mengibarkan bendera merah putih di pagi hari dan menurunkannya di sore hari,
layaknya prajurit militer TNI yang bertugas di Koramil, kegiatan itu ia selalu
lakukan setiap harinya sebagai rutinitas di tiang bendera halaman utama sekolah
kami terkecuali hari Jumat karena hari libur. Setiap hari saya bersama teman
selalu memperhatikan aktivitasnya itu pasalnya tepat sebelah utara tiang
bendera itu adalah asrama kami para anak penghafal (As-Syifa’) jadi ketika kami
selesai pakaian sekolah di pagi hari dia kami lihat datang membawa kain merah
putih itu ke arah tiang bendera, dan ada lagi yang membuat saya lebih kagum
terhadapnya yaitu ketika selesai menaikkan bendera merah putih, dia tidak akan
pernah meninggalkan tiang bendera sebelum mengangkat tangan kanannya untuk
memberi hormat kepada merah putih. Begitupun pada sore hari beliau tidak akan
menurunkan sang bendera sebelum memberikan penghormatan. Saya rasa itu adalah
merupakan kebiasaan yang sangat positif untuk menunjukkan rasa simpati dan
kecintaan terhadap negeri ini.
Kisah semangat nasionalis Amir
belum berakhir sampai disitu, masih teringat jelas di pikiran saya kalah itu
saya bersama teman-teman tengah asyik bermain takraw di lapangan utama
pesantren, belum lama menikmati permainan tersebut tiba-tiba hujan turun begitu
deras kami pun satu persatu-satu berlari ke arah depan kantor SMP dan Madrasah
Alyah dengan maksud ingin berteduh, tapi Amir justru melakukan hal yang berbeda
dia malah keluar dan berusaha menembus derasnya hujan, sebagian teman-teman
mengira jika Amir akan meneduhkan seekor sapi milik pesantren yang ada di dekat
pintu pagar, tapi apa gunanya sapi kan tak takut hujan, ternyata dia berhenti
tepat dimana terpancang tonggak tiang bendera. Kemudian di tengah derasnya
hujan terlihat dia berusaha menurunkan kain merah putih itu, sebagian
teman-teman berteriak mengingatkan “miiir bosi” tapi seakan tak peduli dia
tetap melanjutkan aksi yang langka itu, tak mudah ia membuka ikatan bendera
tersebut mungkin pada saat dia naikkan tadi pagi ikatannya cukup kuat, terlihat
lama dia berdiam diri berusaha membukanya tapi belum berhasil, hujan pun
semakin deras dia pun basah kuyup semua perhatian teman tertuju padanya, dalam
benakku pun mengatakan orang ini betul-betul fenomenal bagaimana tidak, di
tengah hujan turun begitu deras ia mau-maunya menurunkan bendera itu, toh ia
bukan tentara atau security instansi resmi, kalaupun ia rasanya tak usah susah
payah di tengah derasnya hujan dan rela basah kuyup hanya untuk menurunkan
bendera. Saya pribadi dan mungkin kebanyakan orang pasti akan memaklumi jika
dihadapkan pada situasi seperti itu.
Melihat aksi nasionalisnya
itu, saya justru merasa malu sebagai kader paskibra, kurang lebih 2 (dua) bulan
saya bersama beberapa teman pernah merasakan kerasnya latihan dalam barisan
pasukan pengibar bendera (paskibra) tapi ternyata jiwa nasionalisme yang kami
punya tidak ada apa-apanya di mata seorang Amir, aksinya itu betul-betul
menjadi tamparan keras bagi kami sebagai generasi muda yang pernah merasakan
atmosfir paskibra. Saya tidak bisa bayangkan jika sore itu Amir tidak ada, saya
pastikan merah putih itu akan kehujanan dan kami akan membiarkannya suntuk
semalam di tiang bendera tanpa rasa peduli sedikitpun, seingat saya selama di
pesantren Amir tidak pernah membiarkan semalam saja bendera itu terpampang di
tiang bendera.
Setelah berusaha di tengah
derasnya hujan akhirnya ia terlihat berhasil membuka tali bendera itu, lalu
melipatnya dan memasukkannya ke dalam baju seakan takut bendera merah putih itu
kedinginan. Akankah kita melakukan hal yang sama?
Kisah lain di tempat yang sama,
Cepa (cella’ pance’E) begitu nama panggilannya seorang bocah penjual kue yang
tinggal tidak jauh dari pesantren kami, kalah itu saya serius menonton teman
main takraw tepat sebelah barat tiang bendera itu, di tengah-tengah asyiknya
menonton ternyata Cepa juga asyik memainkan tali bendera tepat di belakangku
sesekali dia menaik-turunkan bendera merah putih itu meski beberapa kali saya
tegur tapi dia tak kunjung mau mendengar, dan secara tiba-tiba Amir pun melihat
aksi bocah itu dia pun marah besar dan alhasil Cepa sempat merasakan sepakan
kaki kanan Amir yang mendarat tepat di pantatnya, kasihan bocah itu terlihat
mau nangis tapi karena rasa malu dia pun menahannya. Amir pun bergegas
mengambil bendera merah putih yang sudah melantai di tanah, dan anehnya Amir
kembali menaikkan merah putih di tiang bendera padahal hari sudah sore, meski
Amir terbilang anarkis terhadap bocah itu, tapi entahlah saya lupakan bocah itu
dan dengan penuh rasa penasaran saya pun mendekati Amir dan mencoba untuk
bertanya “Amir kenapa benderanya dinaikkan kembali bukannya ini sudah sore?”
Tanyaku dengan penasaran “iya tapi ini kan belum jam 5 sore”, jawabnya. Dari
kejadian tersebut, saya mengakui bahwa itulah kelebihan seorang Amir,
kedisiplinan dan keikhlasannya dalam menghargai merah putih.
Mungkin sebagian di antara kita beranggapan jika aksi
macam itu terbilang aneh, kurang kerjaan atau bahkan sesuatu yang tidak perlu
untuk dilakukan, akan tetapi dengan aksi mulianya itu Amir justru memberikan
isyarat nasionalis kepada kita semua tentang betapa pentingnya menghargai,
menghormati dan menjaga merah putih.
Benar merah putih hanya
atribut atau simbol Negara kita, tapi bukankah kain merah putih itu telah
menjadi saksi bisu terhadap perjuangan para pendahulu kita, bukankah merah
putih itu telah menjadi darah dan keringat para pahlawan kita dalam merebut
kemerdekaan, sebagian orang mungkin hanya beranggapan bahwa 17 Agustus itu
hanya sekedar seremonial peringatan hari kemerdekaan saja akan tetapi mereka
tidak tahu merah putih baru bisa berkibar seperti yang kita saksikan hari ini
membutuhkan perjuangan yang gigih selama 3 (tiga) abad lebih lamanya.
Sekarang ini Indonesia tidak
menuntut kita seperti apa yang telah dilakukan oleh pejuang kita, cukup dengan
melanjutkan perjuangan mereka tentunya sudah bisa membuat tersenyum para
pejuang kita di alam sana, salah satunya adalah dengan menjaga merah putih tetap
berkibar, tapi nampaknya itu semua terasa sulit, terbukti sekarang masih banyak
saudara-saudara kita terlihat malas untuk menaikkan bendera merah putih di
halaman depan rumahnya padahal hari ini adalah DIRGAHAYU KEMERDEKAAN KITA YANG
KE- 68, jangankan menjaga mengibarkannya saja tidak bisa. Negara ini butuh
orang-orang yang berjiwa nasionalis, kalian pasti sepakat Negara ini sudah
terlalu busuk akibat ulah para koruptor, itu salah satu dampak jika sosok tokoh
atau pejabat Negara tidak berjiwa nasionalis, rela memakan uang Negara dan
menyengsarakan rakyat, mestinya mereka malu terhadap para pejuang kita, harta
bahkan nyawa mereka rela persembahkan demi negeri ini. Para pejuang dan
pahlawan kita di sana pastinya akan merasa sedih jika melihat anak cucunya
tidak bisa memberikan apa-apa untuk negeri ini. Sudah terlalu banyak mereka
korbankan mestinya kita menghargai dan melanjutkan perjuangan mereka.
Sore itu saya diingatkan
tentang jiwa nasionalisme yang tinggi oleh seorang yang begitu sederhana akan
tetapi memiliki kecintaan begitu besar terhadap negerinya walaupun hanya dengan
menjaga merah putih tetap berkibar di halaman sekolah/pesantren YPIG, rasa
sedih ketika mendengarkan kabar beliau meninggal akibat tenggelam di sungai
lebu-lebuE yang tidak jauh dari pesantren kami beberapa tahun yang lalu, dan
setelah kepergiannya saya tidak pernah melihat Merah Putih itu berkibar lagi di
tiang bendera halaman sekolah/pesantren kami.
Selamat Jalan Amir
&
DIRGAHAYU UNTUK KEMERDEKAAN
INDONESIA YANG KE-68
17 Agustus 2013.
Cerpen Karangan: Irsyad Syamsuddin
Blog: santriganra.blogspot.com
Nama: Muh. Irsyad Syamsuddin
TTL: Soppeng, 5 Juni 1992
0 komentar:
Post a Comment