Adzan Isyak baru selesai berkumandang
dari mikrophone tua masjid seberang jalan, sebentar lagi kewajiban akan
tertunaikan oleh segelintir umat yang taat. Malam ini rombongan Kethoprak kami
mendapatkan kesempatan menghibur penonton di halaman Balai desa seperti
tahun-tahun kemarin. Tapi pagelaran tahun ini ada sesuatu yang mengganjal di
hati kami, mulai dari banyaknya protes yang tidak setuju jika acara malam
puncak seni di desa kami di isi dengan pagelaran kethoprak sampai kondisi
kesehatan dari salah satu pemain andalan kami yang kian memburuk.
Bau asap rok*k murahan hasil sumbangan
dari warga kami yang kasihan, bercampur dengan aroma bedak hasil patungan kami,
mengiringi alunan suara gamelan yang di tabuh para niyogo kami membabar
gendhing srepeg mataram terasa mendayu seperti menggambarkan suasana hati kami
yang resah.
“Aku kira kamu benar-benar tidak jadi datang” sambutku membuka
percakapan.
“Tenang kawan suara gamelan ini yang memaksaku datang lagipula di
pagelaran terakhir ini aku tidak ingin mengecewakan penggemarku…” katanya
sambil menghisap rok*k dalam-dalam.
“Uhuk… uhuk…!” batuknya memaksa untuk tidak melanjutkan kata-kata yang
belum selesai.
“Kamu benar tidak apa-apa?” tanyaku sedikit khawatir, karena pesan
singkat dari istrinya yang masuk ke telephon genggamku belum ku hapus “Mas,
mohon maaf kondisi mas Didik kurang sehat mas cari penggantinya saja ya” begitu
bunyi pesan singkat dari istrinya.
“Nggak apa-apa aku sudah minum obat…” katanya berusaha menyembunyikan
sakit.
“Aku jadi apa malam ini…?” tanya nya.
“Biasalah… jadi musuhku… hahahahaha…” kataku sambil menepuk pundaknya.
“Dari dulu kita musuhan terus ya…?” tanyanya sambil tersenyum.
“Nggak apa-apa di panggung kita selalu jadi musuh tapi di belakang
panggung kau adalah sahabat terbaiku…” balasku.
“Aku rias dulu… masalahnya aku keluar adegan pertama” katanya sambil ngeloyor
ke sudut ruang ganti.
“Ya… kostummu sudah disiapkan sama teman-teman” jawabku.
Tari gambyong pari anom baru saja selesai di suguhkan sebagai tarian
wajib untuk sebuah pagelaran kethoprak karena merupakan tarian pembuka yang
berfungsi sebagai ucapan selamat datang untuk para penonton.
Adegan per adegan kami lakonkan dengan
sepenuh hati, saatnya tiba adegan dimana aku dan dia beradu akting aku
memerankan tokoh Ranggalawe dan dia memerankan tokoh Nambi, penonton ikut
tegang ketika Ranggalawe tidak setuju dengan keputusan Raden Wijaya yang
mengangkat Nambi sebagai Mahapatih Mangku Bumi di Majapahit, mereka seakan ikut
hanyut terbawa alur cerita dan seakan kembali ke masa ratusan tahun silam.
Penonton yang tadi sore berjubel memenuhi
halaman balai desa kini tinggal separuhnya, mungkin hanya tinggal penonton yang
benar-benar pecinta kethoprak, hingga mereka penasaran untuk mengikuti sampai
akhir cerita pertunjukan kami, atau bisa jadi mereka adalah orang-orang
penderita insomnia, atau mungkin mereka masih menunggu anak-anak mereka yang
belum mau diajak pulang.
Sepertiga malam telah berlalu…
Pertunjukan kami akhirnya selesai, suara
gending ayak-ayak pamungkas karya Ki Narto Sabdo mengalun malas, semalas
pesinden dan para niyogo yang mulai diserang rasa kantuk, juga membayangkan
upah mereka yang tidak sesuai untuk harga menahan tidak tidur semalaman.
Penonton sudah sepi, kini tinggal para
pedagang kaki lima yang sibuk mengemasi daganganya, wajah mereka sedikit
berbinar membayangkan rupiah hasil untung dagangnya, aku ikut tersenyum ada
perasaan bangga menyeruak dalam dada, “Ternyata pementasan ini membawa berkah
tersendiri buat mereka” gumanku dalam hati.
“Baju merah kumpulkan sama merah, baju hitam kumpulkan sama hitam,
kain batik di lipat yang rapi…” instruksiku kepada teman-teman, karena aku
tidak mau harus mengganti rugi kepada pemilik baju-baju sewaan ini, pengalaman
tahun kemarin tidak ingin kami ulang kembali, dimana kami harus patungan untuk mengganti
kain batik yang hilang.
“Ini baju siapa…?!!” tanyaku dengan nada tinggi bercampur jengkel,
karena di sudut ruang ganti ada tas plastik berisi baju satu set tergeletak
tanpa ada identitasnya, peraturan yang kami sepakati bersama sesudah selesai pertunjukan
baju yang sudah di pakai harus di lipat, dimasukan tas pastik, di beri
identitas pemakainya.
“Nggak tau mas…” jawab Istiono pemeran Lembu Sora.
“Besok kalau ada yang hilang aku tidak mau ikut patungan” ancam
Effendi pemeran Raden Wijaya, memang teman kami yang satu ini sedikit
tempramental tapi pada dasarnya baik.
“Kayaknya itu kostumnya didik” sahut Rustam pemeran kebo Anabrang,
mencoba mendinginkan suasana.
“Orangnya mana?!!! Wah gak tanggung jawab!!!” teriaku karena rasa
jengkel yang sudah memuncak.
“Sabar yah… ayah jangan marah-marah…” istriku mencoba meredakan
kemmarahan ku.
Kulirik istriku, kulihat dia menggendong anak kami yang sudah tertidur
pulas, memang setelah ku lihat nyenyaknya tidur anak kami, rasa amarah kian
mereda atau mungkin aku tidak tega membangunkan tidur anaku dengan teriakan ku.
“Ya sudah tolong di rapikan dan di data jangan sampai ada yang hilang
seperti tahun depan” instruksiku.
“Siap komandan!!!” jawab Supat dan Peno serempak sambil menghormat
kepadaku layaknya seorang tentara, duo pemeran dagelan kami ini memang dia
paling bisa mencairkan suasana, tidak sia-sia mereka selalu jadi ujung tombak
kami untuk mengocok perut penonton.
“Tam… tolong beritahu Didik besok tak tunggu di rumah…” kata ku.
“ya…” jawab Rustam pendek, rupanya pengaruh alkohol dari minuman khas
daerah kami mulai bekerja, mungkin kepalanya sudah terasa pusing sehingga ingin
cepat-cepat tidur.
Malam beranjak pagi, kurebahkan tubuhku
di sela-sela teman-teman yang sudah mendahului ku menggapai alam mimpi.
Matahari mulai meninggi memaksa mata ku untuk tidak terpejam lagi, ku
hapus mimpi dalam tidur yang tidak lebih 3 jam tadi. Semalam aku jadi seorang
adipati tuban, sekarang… kembali ke kehidupan nyata yang penuh realita,
demikian juga teman-teman yang lain mereka tinggalkan semua peran mereka tadi
malam.
Tergopoh-gopoh Rustam menemuiku, “Lok…
ada kabar buruk” katanya, memang aku sering di panggil Mbolok oleh teman-teman
entah apa artinya aku sendiri tidak tahu, dan aku juga lebih nyaman di panggil
seperti itu.
“Kabar buruk apa…?” kataku.
“Didik masuk rumah sakit” katanya.
“Masya Alloh… rumah sakit mana…?” tanyaku. Hilang sudah rasa jengkel,
sekarang hatiku di penuhi dengan kekhawatiran.
“Bangilan…” jawabnya pendek.
“Tunggu apa lagi ayo kita ke sana…” kataku.
“Ayo…” katanya.
Motor Karisma butut ku menderu-deru,
kupacu hingga kecepatan maksimal yang tidak pernah sampai 60 km/jam. Akhirnya
kami sampai juga di Rumah Sakit.
Tidak sulit untuk menemukan ruang
istirahat pasien di rumah sakit di kota kecil ini, Aku langsung masuk menemui
nya.
“Aku menunggu di luar saja aku tidak tega melihat orang sakit” kata
Rustam memang temanku yang satu ini walau berbadan kekar tapi berhati lembut
dan paling tidak bisa menahan air mata ketika melihat penderitaan orang lain.
Di atas tempat tidur ber sprei putih,
kulihat dia tergeletak lemas, tatapan matanya kosong, kedua tangan dan kedua
lobang hidung nya terpasang selang yang aku tidak tahu apa fungsinya. Di
samping kakinya yang kelihatan kurus duduk bersimpuh istrinya sambil
memijit-mijit, mata istrinya sembab menandakan dia belum berhenti menangis dari
tadi malam.
“Habis pulang pentas semalam, mas Didik langsung begini mas…” kata
istrinya. Ada sedikit penekanan suara di kata “pentas semalam”, sepertinya dia
ingin meminta pertanggungjawaban ku.
Kudekati dia, kuraba keningnya dingin…
benar benar dingin… kucoba rapal do’a sebisa ku mulai dari do’a bahasa arab
yang dulu diajarkan guru ngaji ku sampai do’a bahasa jawa kuno yang aku peroleh
dari dukun di kampung sebelah, semua kurapalkan, aku berharap mudah-mudahan ada
salah satu do’aku yang manjur.
“Dik… apa yang kamu rasakan…?” tanyaku. Dia menatap ke arah ku sambil
tersenyum.
“Ronggolawe sing teko iki” (“Ranggalawe yang datang ini…”) jawabnya
balik bertanya.
“Iya” jawabku.
“Nambi wis ora kuat…” (“Nambi sudah tidak kuat”) katanya.
“Sudah Dik… main kethoprak nya nanti saja kalau kamu sudah sembuh…”
kataku.
“Tidak bisa… setiap tarikan nafasku, setiap detak jantungku, suasana
panggung selalu ada dalam benaku, ragaku boleh mati, jasadku boleh termakan
cacing tanah, tapi semua itu tidak akan bisa melunturkan kecintaanku pada
kethoprak Lok…” katanya, aku diam belum sempat aku bicara dia meneruskan kata-katanya.
“Lanjutkan perjuangan kita Lok… masih banyak impian-impian kita
tentang kethoprak yang belum tercapai, dulu kita merintis dari nol… kita main
dengan iringan kaset tape yang kita edit, kita main dengan kostum alakadarnya,
kita main tanpa geber, kita memimpikan bisa main dengan iringan gamelan asli,
kita main dengan kostum kethoprak sebenarnya, kita main dengan panggung
kethoprak sebenarnya, kita juga bermimpi ada donatur yang mengabadikan
pementasan kita dengan syuting video, kita bermimpi kethoprak ini ada yang
nanggap, kini semua sudah menjadi kenyataan, kamu tinggal melanjutkan Lok…
ibarat jalan sudah kita babat tinggal melewati saja… Kita punya impian agar
bisa tampil di layar televisi, kita akan geser sinetron-sinetron tidak mendidik
itu, kita jadikan Kethoprak sebagai penyambung lidah rakyat, kita jadikan
kethoprak sebagai corong syiar agama, kita jadikan kethoprak sebagai benteng
masuknya kebudayaan barat yang tidak sesuai dengan norma-norma ketimuran… Lok…
aku mau nembang…” katanya lirih.
“Ya nembang lah mungkin bisa sedikit mengurangi rasa sakitmu… kan
suaramu lebih merdu dari suaraku…” sahutku.
Sayup-sayup terdengar syair tembang pamit ciptaan almarhum Gesang.
“Lilanono pamit muleh…”
Hening… sunyi… kutunggu lanjutan syair
berikutnya, tapi tiada terdengar… malah jeritan histeris istrinya sebagai
lanjutan syair tembang yang belum selesai di bawakanya. Kulihat Rustam menangis
di balik jendela, sebelum sadar apa yang terjadi, tiba-tiba duniaku gelap…
gelap dan tanpa terasa aku menangis.
Selamat jalan sobat…
Cerpen ini saya dedikasikan untuk seorang
sahabat, seniman sejati, saudara kami, Didik Sugiarto Almarhum, semoga kau
tenang di sana, walau ragamu kini tidak bersama kami, tapi semangatmu dan
kecintaanmu terhadap kethoprak akan selalu jadi inspirasi buat kami, sobat…
kami kehilanganmu…
Mbolok sitompul si pena tajam
Cerpen Karangan: Bolok Sitompul
0 komentar:
Post a Comment