Di sebuah daerah yang jauh
dari bisingnya kota dan ramainya kendaraan. Sebuah Desa yang berada di pulau
kecil. Desa yang sangat sederhana itu hanya berpenduduk sedikit. Kecil, reot
dan pengap adalah suasana dan kenyataan rumah-rumah di Desa itu. Desa Makmur
Jaya adalah namanya. Ironi, masyarakat yang tinggal disana jauh dari kata
Makmur, bahkan sangat jauh dari kata Jaya. Pendidikan masih menjadi sayatan
hati bagi siapa yang melihatnya.
Di sebuah rumah
kecil, hiduplah seorang nenek janda miskin bersama cucunya yang masih sekolah
di seberang pulau lain. Nek ira adalah panggilannya, ia mempunyai cucu
satu-satunya, sekaligus menjadi teman hidupnya selama ini. Yusuf namanya, Yusuf
sangat menyayangi neneknya, bahkan baginya neneknya adalah sebagai sosok
ibunya. Ibu Yusuf telah lama meninggal sejak melahirkan Yusuf, sementara itu
Ayahnya pergi merantau ke Jakarta beberapa bulan kemudian semenjak kepergian
ibunya dan semenjak itu tidak ada sosok Ayah dan Ibu untuk Yusuf.
Dalam hatinya
terkadang ada rasa rindu yang menggebu, namun di sisi lain ada rasa marah yang
membara. Ingin ia memeluk Ayahnya, namun ia pun ingin membalas perbuatan
Ayahnya yang telah mensia-siakan dirinya. “Ayah, mengapa kau tak izinkan aku
mengenal sosok dirimu, mengapa kau memilih untuk meninggalkanku?”, desah ia
dalam hati.
Setiap hari Yusuf
bangun sebelum fajar tiba, bahkan sebelum ayam-ayam berkokok nyaring. Ia memang
bukan seorang wanita, namun kegiatannya mencuci pakaian, mengurus rumah adalah
aktivitas rutinnya sebelum ia berangkat menuju sekolah. Sekolah Yusuf cukup
jauh, berada di seberang pulau.
“Nek, Yusuf berangkat sekolah
dahulu”, ucap Yusuf di suatu pagi.
“Iyah nak hati-hati dan jangan lupa baca doa sebelum melakukan aktivitas”, sahut nek Ira.
“Baik nek, Assalamualaikum”
“Walaikumsalam nak”
“Iyah nak hati-hati dan jangan lupa baca doa sebelum melakukan aktivitas”, sahut nek Ira.
“Baik nek, Assalamualaikum”
“Walaikumsalam nak”
Yusuf berangkat
menuju sekolah menggunakan sampan bersama teman-temannya. Latar belakang
kehidupan yang sama, keluarga nelayan kecil. Tidak menyurutkan dan memupuskan
harapan meraka anak Desa makmur Jaya yang ingin bersekolah menempuh gelanggang
pendidikan yang tinggi setinggi mimpi mereka. Kebiasaan setiap pagi sebelum
berangkat adalah saling menunggu satu sama lain. Sampan kecil dengan panjang 1,5
meter dan berdiameter 60 cm menjadi kendaraan 12 orang yang akan bersekolah
baik SD, SMP maupun SMA, seperti Yusuf.
Yusuf bersekolah
di SMA Harapan Bangsa. Sekolah yang sangat sederhana dan kecil itu adalah
tempat Yusuf bernaung menuntut ilmu. Guru yang masih sedikit dan sarana yang
kurang memadai adalah fakta dari sebuah nama Sekolah Harapan Bangsa. Pak Mito
adalah salah satu guru yang sangat setia memberikan ilmu walau dengan
kekurangannya.
Pak Mito adalah potret dan
semangat bagi Yusuf dan anak-anak lainnya. Di tengah kekurangannya dalam
melihat, mata hatinya belum tertutup. Ia yang mengajarkan mereka tentang
pendidikan bagi Warga Negara dan hal-hal lain yang dianggap mudah, tetapi
sebenarnya sangat berat bagi setiap generasi ini.
“Anak-anak menurut kalian apa
yang di maksud Kemerdekaan?”, tanya pak Mito kepada murid-muridnya.
“Kemerdekaan itu yang sekarang telah kita raih pak”, jawab Sani
“Bagi saya kemerdekaan adalah meratanya seluruh keadilan di Negari ini pak. Itu arti kemerdekaan yang sesungguhnya”, jawab Yusuf dengan nada lantang.
“Baik anak-anak jawaban yang bagus. Apakah menurut kalian, kalian telah menerima kemerdekaan yang benar-benar merdeka?”, tanya pak Mito kembali.
“Bagi saya, saya belum mendapatkan kemerdekaan itu pak. Saya dan teman-teman disini belum mendapat hak secara adil dalam pendidikan, padahal kami dan mereka anak-anak kota adalah pemuda-pemudi harapan bangsa. Saya dan warga di Desa saya belum sepenuhnya merdeka dan makmur, kami masih hidup dalam kekurangan dan keterbatasan”, jawab Yusuf dengan beraninya.
“Baik Yusuf itu memang fakta dan kenyataan yang ada. Tapi, sebagai warga negara yang baik kita tetap harus mensyukuri dan mengisi kemerdekaan yang telah kita raih. Lalu, bagaimana caramu agar kamu mendapatkan kemerdekaan itu?”, lontaran pertanyaan dari pak Mito.
“Saya yakin pak, dengan bersekolah, bekerja dan berusaha, saya mampu menciptakan perubahan di lingkungan masyarakat, sekolah bahkan Bangsa saya. Bukankah itu harapan para Pahlawan terhadap pemuda Indonesia?”
“Bapak sungguh bangga mempunyai anak didik sepertimu Yusuf. Teruskan mimpi dan cita-citamu itu, bapak akan mendoakanmu untuk mewujudkan impian perubahanmu. Beri tepuk tangan dan dukungan untuk Yusuf”, ucap pak Mito dengan bangga dan penuh harapan.
Semua anak-anak seisi kelas itu pun memberi tepuk tangan dan tersirat harapan kepada Yusuf.
“Kemerdekaan itu yang sekarang telah kita raih pak”, jawab Sani
“Bagi saya kemerdekaan adalah meratanya seluruh keadilan di Negari ini pak. Itu arti kemerdekaan yang sesungguhnya”, jawab Yusuf dengan nada lantang.
“Baik anak-anak jawaban yang bagus. Apakah menurut kalian, kalian telah menerima kemerdekaan yang benar-benar merdeka?”, tanya pak Mito kembali.
“Bagi saya, saya belum mendapatkan kemerdekaan itu pak. Saya dan teman-teman disini belum mendapat hak secara adil dalam pendidikan, padahal kami dan mereka anak-anak kota adalah pemuda-pemudi harapan bangsa. Saya dan warga di Desa saya belum sepenuhnya merdeka dan makmur, kami masih hidup dalam kekurangan dan keterbatasan”, jawab Yusuf dengan beraninya.
“Baik Yusuf itu memang fakta dan kenyataan yang ada. Tapi, sebagai warga negara yang baik kita tetap harus mensyukuri dan mengisi kemerdekaan yang telah kita raih. Lalu, bagaimana caramu agar kamu mendapatkan kemerdekaan itu?”, lontaran pertanyaan dari pak Mito.
“Saya yakin pak, dengan bersekolah, bekerja dan berusaha, saya mampu menciptakan perubahan di lingkungan masyarakat, sekolah bahkan Bangsa saya. Bukankah itu harapan para Pahlawan terhadap pemuda Indonesia?”
“Bapak sungguh bangga mempunyai anak didik sepertimu Yusuf. Teruskan mimpi dan cita-citamu itu, bapak akan mendoakanmu untuk mewujudkan impian perubahanmu. Beri tepuk tangan dan dukungan untuk Yusuf”, ucap pak Mito dengan bangga dan penuh harapan.
Semua anak-anak seisi kelas itu pun memberi tepuk tangan dan tersirat harapan kepada Yusuf.
Siang hari itu,
lonceng sekolah berbunyi. Menandakan anak-anak sudah boleh pulang ke rumahnya
masing-masing. Begitupun Yusuf dan teman-teman 1 Desanya. Mereka pun
meninggalkan Sekolah, tetapi mereka tidak langsung pulang ke rumah. Mereka
berganti pakaian, lalu menaiki sampan dan memulai aktivitasnya pada siang hari
di laut. Tas, sepatu dan pakaian sekolah mereka jadikan 1 dan mereka kumpulkan
bersama.
Mengarungi laut dengan doa dan harapan untuk melakukan kegiatan di siang yang terik itu. Ada yang memancing, mengumpulkan kerang dan mengumpulkan rumput laut.
Yusuf dengan kail pancingnya berharap ada ikan yang memakan umpannya, dan terkumpullah banyak ikan untuk ia jual di pengepul ikan yang biasanya setiap sore lewat dan berhenti sejenak untuk menegepul ikan, kerang dan rumput laut yang dikumpulkan petani-petani kecil. Lagi-lagi, di tengah laut, ia merindukan sosok seorang Ayah, namun ia mencoba menutupinya karena rasa kemarahannya.
Mengarungi laut dengan doa dan harapan untuk melakukan kegiatan di siang yang terik itu. Ada yang memancing, mengumpulkan kerang dan mengumpulkan rumput laut.
Yusuf dengan kail pancingnya berharap ada ikan yang memakan umpannya, dan terkumpullah banyak ikan untuk ia jual di pengepul ikan yang biasanya setiap sore lewat dan berhenti sejenak untuk menegepul ikan, kerang dan rumput laut yang dikumpulkan petani-petani kecil. Lagi-lagi, di tengah laut, ia merindukan sosok seorang Ayah, namun ia mencoba menutupinya karena rasa kemarahannya.
Beberapa jam
kemudian, mereka pun menyudahkan kegiatan mereka, lalu bergegas untuk pulang.
Sampan kecil yang berisikan tas, sepatu, baju sekolah dan hasil melaut mereka.
Yusuf, Reza, Ahmad dan Bahri bertugas mendayung sampan untuk sampai ke Desa
mereka.
Ketika tiba di rumah, nenek menyambut Yusuf dengan wajah bahagia dan penuh harap.
“Alhamdulillah nek, hasil melaut hari ini lumayan”, sapa Yusuf dengan ceria.
“Alhamdulillah nak. Tapi, jangan terlalu cape sup, kamu kan sudah kelas 3 sebentar lagi ujian, nanti kamu malah sakit”, nenek berkata dengan nada menasihati.
“Yusuf tidak mengapa nek, yang terpenting kita bisa makan, dan Yusuf tetap bisa bersekolah, Yusuf pingin jadi orang nek. Yusuf pingin jadi pemuda yang di banggakan nek, doakan Yusuf yah nek”, ucap Yusuf meyakinkan,
“Iyah nak, nenek akan selalu mendoakanmu”, balas nenek dengan raut sedih tetapi tersenyum.
Yusuf adalah pemuda yang sederhana, berpenampilan apa adanya serta ia selalu jujur denagan apa yang terjadi, sehingga walaupun ia bukan anak orang kaya, tetapi orang di kampungnya sangat menyeganinya.
Ketika tiba di rumah, nenek menyambut Yusuf dengan wajah bahagia dan penuh harap.
“Alhamdulillah nek, hasil melaut hari ini lumayan”, sapa Yusuf dengan ceria.
“Alhamdulillah nak. Tapi, jangan terlalu cape sup, kamu kan sudah kelas 3 sebentar lagi ujian, nanti kamu malah sakit”, nenek berkata dengan nada menasihati.
“Yusuf tidak mengapa nek, yang terpenting kita bisa makan, dan Yusuf tetap bisa bersekolah, Yusuf pingin jadi orang nek. Yusuf pingin jadi pemuda yang di banggakan nek, doakan Yusuf yah nek”, ucap Yusuf meyakinkan,
“Iyah nak, nenek akan selalu mendoakanmu”, balas nenek dengan raut sedih tetapi tersenyum.
Yusuf adalah pemuda yang sederhana, berpenampilan apa adanya serta ia selalu jujur denagan apa yang terjadi, sehingga walaupun ia bukan anak orang kaya, tetapi orang di kampungnya sangat menyeganinya.
Pulang sekolah dan melaut
Yusuf tidak hanya duduk manis di rumah. Ia makan serta bersiap-siap, ia pun
tidak pernah meninggalkan sholat, sebagai media komunikasi ia dengan Tuhannya.
Ia bersiap-siap untuk mengambil air di pulau lain, sebab air di daerah laut
sangat asin, dan ia harus mencari air untuk keperluan memasak dan minum
sehari-hari.
Kegiatan Yusuf yang padat tidak menyurutkan hatinya untuk tetap belajar. Ia selalu menyempatkan belajar dan berdoa untuk Ibu dan neneknya, meski sering ia mendokan Ayahnya tanpa ia sadari.
“Suatu hari, aku ingin mencari dan membuktikan kepada Ayah, bahwa tanpa dia aku juga masih bisa tetap hidup dan menjadi seorang pemuda yang dapat dibanggakan”, ucap ia dalam hati.
Kegiatan Yusuf yang padat tidak menyurutkan hatinya untuk tetap belajar. Ia selalu menyempatkan belajar dan berdoa untuk Ibu dan neneknya, meski sering ia mendokan Ayahnya tanpa ia sadari.
“Suatu hari, aku ingin mencari dan membuktikan kepada Ayah, bahwa tanpa dia aku juga masih bisa tetap hidup dan menjadi seorang pemuda yang dapat dibanggakan”, ucap ia dalam hati.
Tiga bulan lagi, Ujian
Nasional akan diadakan. Semua siswa-siswi menyiapkan mental dan materi untuk
menempuh Ujian Nasional, tidak terkecuali dengan Yusuf, ada rasa senang. Sebab
ia akan meluluskan bangku pendidikan SMA, namun di sisi lain ada rasa khawatir
tentang Ujian.
Suatu hari pak lurah datang ke
Desa Makmur Jaya dan berkata akan memberikan kabar gembira.
“Bapak-bapak, ibu-ibu dan saudara sekalian, saya akan memyampaikan kabar gembira disini”, ucap pak lurah.
“Kabar gembira apa pak? Apa tentang BLSM atau sembako gratis?”, tanya salah 1 warga.
“Oh tentu saja bukan”
“Lantas apa pak?”
“Pemerintah kota mencanangkan akan memberi Beasiswa bagi murid SMA yang mendapatkan nilai tertinggi serta berprestasi untuk melanjutkan kuliah di Jakarta dengan biaya yang ditanggung pemerintah”, ucap pak lurah dengan percaya dirinya.
“Apakah ucapan bapak benar? Walau anak-anak kami adalah anak nelayan kecil, pemerintah akan tetap memberi bantuan untuk kuliah?”, tanya salah satu warga dengan nada kurang yakin.
“Oh tentu saja ucapan saya benar. Pemerintah tidak akan pandang bulu, apalagi ini menyangkut tentang pendidikan, pendidikan kan masa depan Indonesia. Tentu hal itu akan sangat diperhatikan oleh Pemerintah”, ucap pak lurah dengan nada yang meyakinkan.
“Yah semoga saja ucapan bapak benar dan dapat dipertanggung jawabkan”, tegas salah satu warga.
Yusuf yang ketika itu mendegar ucapan pak lurah, marasa senang dan mempunyai harapan. Ia ingin sekali Kuliah walau saat ini hal itu belum pasti.
“Kalau aku berhasil mendapatkan nilai tertinggi Ujian Nasional, pasti aku akan mendapat beasiswa itu. Dengan demikian aku akan mendapatkan pendidikan yang tinggi tanpa harus membebani nenek. Dan aku punya harapan untuk bertemu ayah di Jakarta. Tapi, bagaimana nenek disini, ia akan hidup sebatang kara”, bisiknya dalam hati di selimuti rasa bimbang.
Yusuf pun pulang meninggalkan pak lurah dan kerumunan warga, dalam perjalanan hatinya masih saja terus bergejolak. Pikiran tentang beasiswa di Jakarta tidak pernah berhenti terpikir di pikiran Yusuf, hingga ia pun sampai ke rumah.
“Nak, pak lurah memberi pengumuman apa?”, tanya nek ira memecahkan lamunan Yusuf.
“Pak lurah memberi kabar tentang beasiswa nek. Kata pak lurah, kalau ada siswa yang mendapatkan nilai tertinggi Ujian Nasional, ia akan dapat beasiswa kuliah di Jakarta dari pemerintah nek”, jawab Yusuf.
“Alhamdulillah. Itu kesempatan kau cucuku. Kau harus rajin belajar dan berusaha serta berdoa agar kau mendapat hasil Ujian yang memuaskan dan kau dapatkan Beasiswa kuliah di Jakarta itu secara gratis”, ucap nenek dengan nada semangat.
“Iyah nek, Yusuf ingin sekali kuliah di Jakarta untuk menempuh pendidikan yang tinggi. Dan di Jakarta nanti Yusuf ingin bertemu ayah. Namun, bagaimana dengan nenek disini? Siapa yang akan mengurus dan menjaga nenek?”, ucap Yusuf dengan nada bimbang
“Tidak perlu kau perdulikan nenek cucuku. Yang terpenting adalah masa depanmu, kau ini pemuda harapan Desa ini nak. Nenek masih sanggup untuk hidup sendiri. Yang terpenting sekarang kau harus rajin belajar agar kau memperoleh beasiswa itu. Tolong, jangan kau kecewakan nenek”, ucap nenek dengan nada meyakinkan.
Yusuf tidak menjawab dan ia hanya tersenyum, lalu meninggalkan neneknya. Ada gejolak yang begitu besar di dalam hatinya. Yusuf pun berwudhu dan melaksanakan sholat.
“Ya Allah beri hambamu ini petunjuk. Hanya kepadaMu hamba serahkan takdir hamba”, bisik ia dalam hati dengan nada lirih lalu meneteskan air mata.
“Bapak-bapak, ibu-ibu dan saudara sekalian, saya akan memyampaikan kabar gembira disini”, ucap pak lurah.
“Kabar gembira apa pak? Apa tentang BLSM atau sembako gratis?”, tanya salah 1 warga.
“Oh tentu saja bukan”
“Lantas apa pak?”
“Pemerintah kota mencanangkan akan memberi Beasiswa bagi murid SMA yang mendapatkan nilai tertinggi serta berprestasi untuk melanjutkan kuliah di Jakarta dengan biaya yang ditanggung pemerintah”, ucap pak lurah dengan percaya dirinya.
“Apakah ucapan bapak benar? Walau anak-anak kami adalah anak nelayan kecil, pemerintah akan tetap memberi bantuan untuk kuliah?”, tanya salah satu warga dengan nada kurang yakin.
“Oh tentu saja ucapan saya benar. Pemerintah tidak akan pandang bulu, apalagi ini menyangkut tentang pendidikan, pendidikan kan masa depan Indonesia. Tentu hal itu akan sangat diperhatikan oleh Pemerintah”, ucap pak lurah dengan nada yang meyakinkan.
“Yah semoga saja ucapan bapak benar dan dapat dipertanggung jawabkan”, tegas salah satu warga.
Yusuf yang ketika itu mendegar ucapan pak lurah, marasa senang dan mempunyai harapan. Ia ingin sekali Kuliah walau saat ini hal itu belum pasti.
“Kalau aku berhasil mendapatkan nilai tertinggi Ujian Nasional, pasti aku akan mendapat beasiswa itu. Dengan demikian aku akan mendapatkan pendidikan yang tinggi tanpa harus membebani nenek. Dan aku punya harapan untuk bertemu ayah di Jakarta. Tapi, bagaimana nenek disini, ia akan hidup sebatang kara”, bisiknya dalam hati di selimuti rasa bimbang.
Yusuf pun pulang meninggalkan pak lurah dan kerumunan warga, dalam perjalanan hatinya masih saja terus bergejolak. Pikiran tentang beasiswa di Jakarta tidak pernah berhenti terpikir di pikiran Yusuf, hingga ia pun sampai ke rumah.
“Nak, pak lurah memberi pengumuman apa?”, tanya nek ira memecahkan lamunan Yusuf.
“Pak lurah memberi kabar tentang beasiswa nek. Kata pak lurah, kalau ada siswa yang mendapatkan nilai tertinggi Ujian Nasional, ia akan dapat beasiswa kuliah di Jakarta dari pemerintah nek”, jawab Yusuf.
“Alhamdulillah. Itu kesempatan kau cucuku. Kau harus rajin belajar dan berusaha serta berdoa agar kau mendapat hasil Ujian yang memuaskan dan kau dapatkan Beasiswa kuliah di Jakarta itu secara gratis”, ucap nenek dengan nada semangat.
“Iyah nek, Yusuf ingin sekali kuliah di Jakarta untuk menempuh pendidikan yang tinggi. Dan di Jakarta nanti Yusuf ingin bertemu ayah. Namun, bagaimana dengan nenek disini? Siapa yang akan mengurus dan menjaga nenek?”, ucap Yusuf dengan nada bimbang
“Tidak perlu kau perdulikan nenek cucuku. Yang terpenting adalah masa depanmu, kau ini pemuda harapan Desa ini nak. Nenek masih sanggup untuk hidup sendiri. Yang terpenting sekarang kau harus rajin belajar agar kau memperoleh beasiswa itu. Tolong, jangan kau kecewakan nenek”, ucap nenek dengan nada meyakinkan.
Yusuf tidak menjawab dan ia hanya tersenyum, lalu meninggalkan neneknya. Ada gejolak yang begitu besar di dalam hatinya. Yusuf pun berwudhu dan melaksanakan sholat.
“Ya Allah beri hambamu ini petunjuk. Hanya kepadaMu hamba serahkan takdir hamba”, bisik ia dalam hati dengan nada lirih lalu meneteskan air mata.
Hari yang ditunggu-tunggu
yaitu Ujian Nasional pun tiba. Seminggu sebelum Ujian Nasional sekolah Yusuf
mengadakan doa bersama agar diberi kemudahan dan dapat lulus dengan hasil yang
memuaskan.
Hari pertama Ujian Nasional pun tiba. Anak-anak Desa Makmur Jaya pun berangkat lebih awal dari biasanya. Mereka takut kalau sampai harus terlambat.
“Teman-teman jika nanti lulus kalian akan bekerja dimana?”, tanya Reza sambil mendayung sampan.
“Aku akan ikut bapakku bekerja seperti biasanya. Mencari ikan pada malam hari dan membuat garam pada siang hari”, jawab Bahri
“Aku ingin kuliah di Jakarta!”, jawab Yusuf
“Hahaha ada-ada saja kau suf, emang kau sudah bertemu bapakmu? Atau nenekmu punya biaya? Hidup di Jakarta keras suf”, ucap Ahmad dengan nada meledek.
“Jaga ucapanmu kawan. Aku ingin kuliah di Jakarta dengan tidak merepotkan siapapun, aku ingin mendapatkan beasiswa dari pemerintah itu secara gratis”, jawab Yusuf dengan yakin
“Yusuf aku sarankan padamu, kalau bermimpi jangan tinggi-tinggi. Kalau jatuh pasti rasanya sakit, hahaha”, Ahmad dengan nada menertawakan.
Hampir saja Yusuf terpancing emosi, ia merasa jika direndahkan. Lalu, suara Sani menghentikan percakapan itu.
“Sudah teman-teman jangan berkelahi. Ahmad kamu tidak boleh seperti itu, harusnya sebagai teman kita saling mendukung”, ucap Sani dengan nada menasihati.
“Iyah aku mengaku salah. Maafkan aku Yusuf, aku berjanji tidak akan mengulanginya kembali”, kata Ahmad meminta maaf.
“Iya. Aku sudah memaafkanmu. Lagi pula sebentar lagi kita akan berpisah, kita tetap harus menjaga kekompakkan”
“Nah begitu baru namanya anak-anak desa Makmur Jaya”, kata Sani menambahkan.
Hari pertama Ujian Nasional pun tiba. Anak-anak Desa Makmur Jaya pun berangkat lebih awal dari biasanya. Mereka takut kalau sampai harus terlambat.
“Teman-teman jika nanti lulus kalian akan bekerja dimana?”, tanya Reza sambil mendayung sampan.
“Aku akan ikut bapakku bekerja seperti biasanya. Mencari ikan pada malam hari dan membuat garam pada siang hari”, jawab Bahri
“Aku ingin kuliah di Jakarta!”, jawab Yusuf
“Hahaha ada-ada saja kau suf, emang kau sudah bertemu bapakmu? Atau nenekmu punya biaya? Hidup di Jakarta keras suf”, ucap Ahmad dengan nada meledek.
“Jaga ucapanmu kawan. Aku ingin kuliah di Jakarta dengan tidak merepotkan siapapun, aku ingin mendapatkan beasiswa dari pemerintah itu secara gratis”, jawab Yusuf dengan yakin
“Yusuf aku sarankan padamu, kalau bermimpi jangan tinggi-tinggi. Kalau jatuh pasti rasanya sakit, hahaha”, Ahmad dengan nada menertawakan.
Hampir saja Yusuf terpancing emosi, ia merasa jika direndahkan. Lalu, suara Sani menghentikan percakapan itu.
“Sudah teman-teman jangan berkelahi. Ahmad kamu tidak boleh seperti itu, harusnya sebagai teman kita saling mendukung”, ucap Sani dengan nada menasihati.
“Iyah aku mengaku salah. Maafkan aku Yusuf, aku berjanji tidak akan mengulanginya kembali”, kata Ahmad meminta maaf.
“Iya. Aku sudah memaafkanmu. Lagi pula sebentar lagi kita akan berpisah, kita tetap harus menjaga kekompakkan”
“Nah begitu baru namanya anak-anak desa Makmur Jaya”, kata Sani menambahkan.
Mereka pun melanjutkan
perjalanan mengarungi laut untuk menuju Sekolah. Setibanya di Sekolah mereka
memasuki kelas masing-masing untuk melaksanakan Ujian Nasional pertama bahasa
Indonesia.
Hari-hari yang dilalui ketika
Ujian Nasional menjadi sangat berarti untuk Yusuf. Ia tidak sabar untuk
mengetahui nilainya. Di dalam hatinya ada rasa yakin yang menguat, namun ada
pula keraguan yang mendalam.
Hari-hari yang di tunggu semua
anak-anak pun tiba. Hari ini mereka akan mendengar pengumuman kelulusan. Yusuf
tidak sabar untuk mendengar pengumuman itu,
“Aku berharap akulah yanag mendapat beasiswa itu”, ucap ia dalam hati dengan penuh rasa harap.
“Aku berharap akulah yanag mendapat beasiswa itu”, ucap ia dalam hati dengan penuh rasa harap.
Semua anak berkumpul di
lapangan beserta bapak kepala sekolah, guru, serta perwakilan pemerintah yang
akan memberi tahu nilai kelulusan dan memberikan beasiswa bagi murid
berprestasi.
“Baik anak-anak bapak akan memberi tahu kabar gembira untuk kalian. Semua siswa-siswi SMA Harapan Bangsa dinyatakan lulus. Dan yang lebih meneggembirakan lagi, salah satu murid SMA ini mendapat nilai tertinggi 1 Kabupaten dan ia berhak mendapatkan beasiswa di Jakarta secara gratis”, kata bapak kepala sekolah.
Semua siswa-siswi SMA Harapan Bangsa bersuka-ria mendengarnya, mereka pun berpeluk serta melepas kegembiraan bersama.
“Oh iya pak, siapa salah satu dari kami yang mendapat nilai tertingi itu dan berhak mendapatkan beasiswa ke Jakarta?”, tanya salah seorang murid dengan nada penasaran.
“Nama murid itu adalah Muhammad Yusuf Pratama”, ucap bapak kepala sekolah.
Semua siswa-siswi bersorak histeris dan seakan tidak percaya, begitu pun dengan Yusuf. Ia bangga, sekalipun bahagia, walaupun ada perasaan bimbang dan bingung. Yusuf pun maju ke depan mimbar dan mendapatkan ucapan selamat dari kepala sekolahm guru-guru, serta dari perwakilan Dinas Pendidikan.
“Selamat Yusuf atas prestaasimu. Minggu depan kamu bisa kami kirim ke jakarta untuk mnegurus surat-suratmu”, kata bapak perwakilan Dinas Pendidikan.
Yusuf pun hanya tersenyum dan hanya mengiyakan. Setelah pengumuman itu selesai mereka semua pulang ke rumah masing-masing. Begitu juga dengan anak-anak desa Makmur Jaya.
“Baik anak-anak bapak akan memberi tahu kabar gembira untuk kalian. Semua siswa-siswi SMA Harapan Bangsa dinyatakan lulus. Dan yang lebih meneggembirakan lagi, salah satu murid SMA ini mendapat nilai tertinggi 1 Kabupaten dan ia berhak mendapatkan beasiswa di Jakarta secara gratis”, kata bapak kepala sekolah.
Semua siswa-siswi SMA Harapan Bangsa bersuka-ria mendengarnya, mereka pun berpeluk serta melepas kegembiraan bersama.
“Oh iya pak, siapa salah satu dari kami yang mendapat nilai tertingi itu dan berhak mendapatkan beasiswa ke Jakarta?”, tanya salah seorang murid dengan nada penasaran.
“Nama murid itu adalah Muhammad Yusuf Pratama”, ucap bapak kepala sekolah.
Semua siswa-siswi bersorak histeris dan seakan tidak percaya, begitu pun dengan Yusuf. Ia bangga, sekalipun bahagia, walaupun ada perasaan bimbang dan bingung. Yusuf pun maju ke depan mimbar dan mendapatkan ucapan selamat dari kepala sekolahm guru-guru, serta dari perwakilan Dinas Pendidikan.
“Selamat Yusuf atas prestaasimu. Minggu depan kamu bisa kami kirim ke jakarta untuk mnegurus surat-suratmu”, kata bapak perwakilan Dinas Pendidikan.
Yusuf pun hanya tersenyum dan hanya mengiyakan. Setelah pengumuman itu selesai mereka semua pulang ke rumah masing-masing. Begitu juga dengan anak-anak desa Makmur Jaya.
Anak-anak desa Makmur Jaya
tiba di desa mereka dengan penuh rasa senang. Semua warga memberikan selamat
kepada Yusuf atas prestasinya. Yusuf pun pulang menuju ke rumah.
“Assalamualaikum nek. Nek ternyata Yusuf yang mendapat nilai tertinggi itu dan Yusuf akan mendapatkan beasiswa kuliah di Jakarta seperti yang waktu itu Yusuf katakan”, kata Yusuf.
“Alhamdulillah nak, nenek bangga denganmu. Jangan kau pikirkan nenek, pasti nenek akan baik-baik saja disini”, ucap nenek memberi semangat.
“Baik nek Yusuf akan menuriti nenek. Yusuf akan mengambil beasiswa itu. Terimakasih nek untuk semuanya yang nenek berikan pada Yusuf. Yusuf janji akan membanggakan nenek”, ucap Yusuf dengan penuh keyakinan.
“Assalamualaikum nek. Nek ternyata Yusuf yang mendapat nilai tertinggi itu dan Yusuf akan mendapatkan beasiswa kuliah di Jakarta seperti yang waktu itu Yusuf katakan”, kata Yusuf.
“Alhamdulillah nak, nenek bangga denganmu. Jangan kau pikirkan nenek, pasti nenek akan baik-baik saja disini”, ucap nenek memberi semangat.
“Baik nek Yusuf akan menuriti nenek. Yusuf akan mengambil beasiswa itu. Terimakasih nek untuk semuanya yang nenek berikan pada Yusuf. Yusuf janji akan membanggakan nenek”, ucap Yusuf dengan penuh keyakinan.
Minggu yang di tunggu-tunggu
pun tiba. Hari ini Yusuf akan berangkat menuju Jakarta, menggapai semua mimpi
dan cita-citanya untuk memeruskan bangku pendidikan, setinggi mimpinya selama
ini. Semua warga dan aparat desa melepas kepergian Yusuf dengan penuh suka
cita. Begitupun dengan nek ira, nenek yang telah mengasuh dan merawat Yusuf
sejak ia dilahirkan.
“Yusuf, kalau kau sudah pintar dan jadi orang berpendidikan tinggi, jangan kau lupakan desamu ini. Desa yang telah membesarkanmu”, ucap pak lurah
“Baik pak saya janji akan menempuh pendidikan dan akan membanggakan desa ini”, ucap Yusuf meyakinkan.
“Kau jangan lupakan nenekmu ini nak. Doa nenek akan selalu menyertaimu. Nenek sangat menyayangimu”, ucap nenek dengan menitihkan air mata.
“Iya nak, Yusuf pun sangat menyayangi nenek dan Yusuf berjanji akan menjadi orang sukses di Jakarta nanti”, ucap Yusuf untuk yang terakhir kalinya sebelum ia meninggalkan desanya.
“Yusuf, kalau kau sudah pintar dan jadi orang berpendidikan tinggi, jangan kau lupakan desamu ini. Desa yang telah membesarkanmu”, ucap pak lurah
“Baik pak saya janji akan menempuh pendidikan dan akan membanggakan desa ini”, ucap Yusuf meyakinkan.
“Kau jangan lupakan nenekmu ini nak. Doa nenek akan selalu menyertaimu. Nenek sangat menyayangimu”, ucap nenek dengan menitihkan air mata.
“Iya nak, Yusuf pun sangat menyayangi nenek dan Yusuf berjanji akan menjadi orang sukses di Jakarta nanti”, ucap Yusuf untuk yang terakhir kalinya sebelum ia meninggalkan desanya.
Terpaan angin
laut membawa Yusuf dengan kapalnya bersama perwakilan Dinas Pendidikan.
Lama-lama kapalnya pun tidak terlihat dari tepi pantai. Dan, pada akhirnya,
seorang pemuda Desa yang terpencil dengan keterbatasan hidupnya, mampu membawa
ia pada cita-citanya untuk melanjutkan gelanggang pendidikan yang tinggi yang
selama ini ia impikan.
Payung tidak akan menghentikan hujan. Tetapi, payung dapat membantu kita ubtuk menembus hujan. Untu itu, janganlah menyerah pada keadaan.
Payung tidak akan menghentikan hujan. Tetapi, payung dapat membantu kita ubtuk menembus hujan. Untu itu, janganlah menyerah pada keadaan.
SELESAI..
Cerpen Karangan: Amilia Rahestri
Facebook: Amilia Rahestri
Facebook: Amilia Rahestri
Nama: Amilia Rahestri (X
IPA_3)
Sekolah: SMA N1 Pringsewu, Lampung, Indonesia
Sekolah: SMA N1 Pringsewu, Lampung, Indonesia
Nama Amilia Rahestri.
Bersekolah di SMA N1 Pringsewu, Lampung kelas X IPA_3.Lahir pada tgl 01 Juli
1998. Hobi menulis & membaca puisi. :)
0 komentar:
Post a Comment