3 Desember di bumi Jatisari
Awan hitam menyelimuti pagi
itu. matahari seakan enggan menunjukkan kegagahan sinar putihnya. Nyanyian
istiqomah burung pipit tak lagi terdengar di seantero telinga manusia, seakan
mereka berjanji tuk puasa bersama. Adakah mereka tahu dan memberikan sinyal
kedaruratan akan terjadinya peristiwa yang mendukakan salah satu madrasah di
bumi ini.
Ya… mereka tahu akan pagi yang
mendukakan setiap insan. karena pada pagi itu Niwa sang wanita sholehah nan
sabar dipanggil sang pemilik cinta dan kesabaran yang sesungguhnya. Tak begitu
lama Niwa ku kenal, namun kepribadian yang begitu mengasyikkan dan berbeda
banyak dengan kebanyakan pribadi orang sekarang serta selalu memberikan nasehat
bagi insan yang berpikir.
Ingat benar Aku disaat Niwa
dengan semangat membonceng adiknya ke rumahku untuk mengumpulkan tugas tik yang
menurut sebagian besar siswaku begitu kompleks dan merepotkan hingga
menghabiskan waktu bersantainya.
Aku pun bertanya kepada dia “Ni, apakah kamu capek
mengerjakan ini semua…?”
Niwa dengan senyum manisnya menjawab “ah, tidak kok Kak,
ini tugas dan kewajiban saya sebagai siswa yang ingin bisa.”
Ya… ingin bisa. itulah jawaban yang begitu penuh makna.
Aku pun terenyah ketika tahu bahwa Niwa adalah gadis yang mengidap penyakit
dalam yang kapan saja bisa merengut jiwanya. Niwa kau begitu kuat, walau
penyakit kronis itu kau derita namun kau tak pernah alpha untuk memperhatikan
tugas muliamu menjadi seorang siswa.
Sebagai manusia yang bisa
dibilang tak berbeban berat, Aku kadang malu padanya. Dia gadis yang begitu
semangat, walau kadang ketika kulihat mata sayunya dia tak bisa membohongi
penyakitnya yang begitu menyakitkan. Dalam mengerjakan tugas dia selalu tepat
waktu, berbeda jauh denganku. Ya Aku. sosok tak berbeban namun selalu
ketinggalan, Ketinggalan dalam kewajiban. Bagiku “ah, bisa besok, ah… bisa
lusa, ah, bisa minggu depan dan ah.. ah… ah, ah, ahai malez ku sekarang. Ya
begitulah diri ini yang walau sering diingatkan kepala madrasah, namun tetap
selalu mengharapkan ketenangan instan tanpa adanya perjuangan.
Kadang Aku berpikir, betapa
kurang bersyukurnya diri ini diberi kesempurnaan kesehatan, diberi keluangan
waktu tanpa harus berpikir nantinya akan ada yang sakit, diberi nikmat bebas
mengetahui rasa semua makanan, tanpa harus was-was apa lagi takut pada
kambuhnya penyakit pada diri ini. Namun Aku terlena dengan kenikmatan yang
diberi. Aku lupa bahwa kenikmatan yang ada pada diri ini adalah sebentar saja
dan merupakan hak prerogative Tuhan tuk kapan saja mencabutnya.
Sejenak ku berpikir tentang
Niwa, betapa besar perjuanganya. dikala ia hendak melakukan perjalanan ke rumah
teman saat ada tugas kelompok, pastilah rasa sakit itu membayangi setiap
langkahnya. Ketika sampai di rumah temannya, cobaan kembali datang. Ya, cobaan
rasa makanan yang menurut sebagian orang nikmat, namun jika ia berani
memakannya maka langsung datang dalam benaknya bayangan akan kambuh
penyakitnya. Walau Aku tak menjadi dirinya, namun Aku mengerti bahwa ingin pula
ia menyantap bersama rujak mangga dicampur masako dan dipoles dengan pedasnya
cabai rawit mentah ala anak madrasah seusianya. Walau banyak anak menghiraukan efek
negatif asam glutamat yang tergandung dalam masako tadi.
Ah, Niwa, kau begitu kuat.
walaupun engkau selalu siap bertarung melawan bocor ginjalmu, namun sampai
detik terakhir engkau kulihat tak pernah kudengar keluh kesahmu. Seperti keluh
kesah tentang sakitnya dirimu, tidak bisanya engkau lama berdiri, kurang enak
ketika makan, sampai tak bisanya engkau tidur karena terganggu sakitnya
penyakitmu. Tidak, tidak pernah ku mendengarnya karena engkau sendiri enggan
menceritakannya.
Berbeda dengan Aku yang selalu
meradang, menggema, menggaung ketika ada kegalauan sesaat. tanpa berpikir
panjang langsung saja ku curhatkan kegalauan tersebut kepada orang lain, Yah…
yang kuharapkan adalah agar orang yang ku gaungi dan kugemahi menjadi iba dan
simpati kepadaku.
Mungkin goresan tinta
terakhirmu itu yang menjadi jawaban alasan kenapa engkau enggan menceritakannya
“jangan pikirkan Aku, Aku baik-baik saja, kalian fokuskan aja pada ujian,
belajar… belajar…”
“Belajar” kata itulah yang begitu menggetarkan hati ini.
Disaat engkau berjuang melawan kesakitan penyakitmu, namun tak melupakanmu pada
kewajiban belajar. Sungguh Aku tak bisa berkata dan menggambarkan betapa bodoh
dan tak bersyukurnya diri ini. Diri yang selalu lupa dengan kewajiban yang
diperintahkan Nabi. Perintah yang dimulai sejak dari lahir sampai menempati
liang lahat.
Tapi, Begitu banyak alasan untuk melupakan kewajiban
belajarku. Mulai dari alasan malas, ada teman minta ditemenin es-em-san, ada
ajakan buat ruja’an lagi, ada dan ada saja alasan yang tak kusadari telah
merenggut kewajibanku untuk belajar. Namun kembali ku kalah dengan dirimu, yang
walaupun engkau sakit, ingin makan saja minta disuapin, namun masih bisa
bersabar dan belajar serta mengingatkan kepada para ikhwanmu yang terkena
penyakit epilepsy kambuhan untuk belajar. Sungguh engkau menang dan Aku
terpuruk kekalahan. Ya terpuruk kalah seperti saat timnas Indonesia di hajar
0-10 oleh Bahrain dalam kualifikasi piala dunia 2014. Sungguh sangat memalukan.
Kini yang kau titahkan dalam
prasasti konstitusi yang berjudul “Kpd. yth teman-teman musholla putri” telah
menjadi kenyataan. Kau bilang kau takkan lagi ditemukan dalam rumah duniamu
yang fana itu. Ya ku tahu kau telah boyongan pindah ke rumah firdausmu di surga
sana. Kau telah lunas mengkredit rumah besarmu dengan cicilan kesabaran dan
keikhlasanmu. Kau telah sukses membangun rumah mewah nan megah tanpa khawatir
bocor gentingnya seperti bocornya ginjalmu dulu.
Niwa… engkau akan selalu ku
kenang, ya ku kenang sebagai contoh pelita kehidupan yang serba kekurangan
namun bisa mengalahkan semua yang berkecukupan bahkan berlebihan. Pesanmu akan
ku jadikan semangatku dalam memberikan pelajaran belajarku. Hal itu ku jadikan
bukti bahwa kau akan selalu abadi di dalam sanubari hati ini.
Selamat jalan Niwa, tenanglah kau di rumah firdausmu yang
abadi…
By: zikin_chi_kudo_mikir_terus
In Memorial Ani Waningsih My Best Student
Cerpen Karangan: Khoirur Rozikin
0 komentar:
Post a Comment