Wednesday 8 October 2014

CERPEN INSPIRATIF : Pelita Hati yang Kerontang



3 Desember di bumi Jatisari
Awan hitam menyelimuti pagi itu. matahari seakan enggan menunjukkan kegagahan sinar putihnya. Nyanyian istiqomah burung pipit tak lagi terdengar di seantero telinga manusia, seakan mereka berjanji tuk puasa bersama. Adakah mereka tahu dan memberikan sinyal kedaruratan akan terjadinya peristiwa yang mendukakan salah satu madrasah di bumi ini.

Ya… mereka tahu akan pagi yang mendukakan setiap insan. karena pada pagi itu Niwa sang wanita sholehah nan sabar dipanggil sang pemilik cinta dan kesabaran yang sesungguhnya. Tak begitu lama Niwa ku kenal, namun kepribadian yang begitu mengasyikkan dan berbeda banyak dengan kebanyakan pribadi orang sekarang serta selalu memberikan nasehat bagi insan yang berpikir.


Ingat benar Aku disaat Niwa dengan semangat membonceng adiknya ke rumahku untuk mengumpulkan tugas tik yang menurut sebagian besar siswaku begitu kompleks dan merepotkan hingga menghabiskan waktu bersantainya.
Aku pun bertanya kepada dia “Ni, apakah kamu capek mengerjakan ini semua…?”
Niwa dengan senyum manisnya menjawab “ah, tidak kok Kak, ini tugas dan kewajiban saya sebagai siswa yang ingin bisa.”
Ya… ingin bisa. itulah jawaban yang begitu penuh makna. Aku pun terenyah ketika tahu bahwa Niwa adalah gadis yang mengidap penyakit dalam yang kapan saja bisa merengut jiwanya. Niwa kau begitu kuat, walau penyakit kronis itu kau derita namun kau tak pernah alpha untuk memperhatikan tugas muliamu menjadi seorang siswa.

Sebagai manusia yang bisa dibilang tak berbeban berat, Aku kadang malu padanya. Dia gadis yang begitu semangat, walau kadang ketika kulihat mata sayunya dia tak bisa membohongi penyakitnya yang begitu menyakitkan. Dalam mengerjakan tugas dia selalu tepat waktu, berbeda jauh denganku. Ya Aku. sosok tak berbeban namun selalu ketinggalan, Ketinggalan dalam kewajiban. Bagiku “ah, bisa besok, ah… bisa lusa, ah, bisa minggu depan dan ah.. ah… ah, ah, ahai malez ku sekarang. Ya begitulah diri ini yang walau sering diingatkan kepala madrasah, namun tetap selalu mengharapkan ketenangan instan tanpa adanya perjuangan.

Kadang Aku berpikir, betapa kurang bersyukurnya diri ini diberi kesempurnaan kesehatan, diberi keluangan waktu tanpa harus berpikir nantinya akan ada yang sakit, diberi nikmat bebas mengetahui rasa semua makanan, tanpa harus was-was apa lagi takut pada kambuhnya penyakit pada diri ini. Namun Aku terlena dengan kenikmatan yang diberi. Aku lupa bahwa kenikmatan yang ada pada diri ini adalah sebentar saja dan merupakan hak prerogative Tuhan tuk kapan saja mencabutnya.

Sejenak ku berpikir tentang Niwa, betapa besar perjuanganya. dikala ia hendak melakukan perjalanan ke rumah teman saat ada tugas kelompok, pastilah rasa sakit itu membayangi setiap langkahnya. Ketika sampai di rumah temannya, cobaan kembali datang. Ya, cobaan rasa makanan yang menurut sebagian orang nikmat, namun jika ia berani memakannya maka langsung datang dalam benaknya bayangan akan kambuh penyakitnya. Walau Aku tak menjadi dirinya, namun Aku mengerti bahwa ingin pula ia menyantap bersama rujak mangga dicampur masako dan dipoles dengan pedasnya cabai rawit mentah ala anak madrasah seusianya. Walau banyak anak menghiraukan efek negatif asam glutamat yang tergandung dalam masako tadi.

Ah, Niwa, kau begitu kuat. walaupun engkau selalu siap bertarung melawan bocor ginjalmu, namun sampai detik terakhir engkau kulihat tak pernah kudengar keluh kesahmu. Seperti keluh kesah tentang sakitnya dirimu, tidak bisanya engkau lama berdiri, kurang enak ketika makan, sampai tak bisanya engkau tidur karena terganggu sakitnya penyakitmu. Tidak, tidak pernah ku mendengarnya karena engkau sendiri enggan menceritakannya.

Berbeda dengan Aku yang selalu meradang, menggema, menggaung ketika ada kegalauan sesaat. tanpa berpikir panjang langsung saja ku curhatkan kegalauan tersebut kepada orang lain, Yah… yang kuharapkan adalah agar orang yang ku gaungi dan kugemahi menjadi iba dan simpati kepadaku.

Mungkin goresan tinta terakhirmu itu yang menjadi jawaban alasan kenapa engkau enggan menceritakannya “jangan pikirkan Aku, Aku baik-baik saja, kalian fokuskan aja pada ujian, belajar… belajar…”
“Belajar” kata itulah yang begitu menggetarkan hati ini. Disaat engkau berjuang melawan kesakitan penyakitmu, namun tak melupakanmu pada kewajiban belajar. Sungguh Aku tak bisa berkata dan menggambarkan betapa bodoh dan tak bersyukurnya diri ini. Diri yang selalu lupa dengan kewajiban yang diperintahkan Nabi. Perintah yang dimulai sejak dari lahir sampai menempati liang lahat.
Tapi, Begitu banyak alasan untuk melupakan kewajiban belajarku. Mulai dari alasan malas, ada teman minta ditemenin es-em-san, ada ajakan buat ruja’an lagi, ada dan ada saja alasan yang tak kusadari telah merenggut kewajibanku untuk belajar. Namun kembali ku kalah dengan dirimu, yang walaupun engkau sakit, ingin makan saja minta disuapin, namun masih bisa bersabar dan belajar serta mengingatkan kepada para ikhwanmu yang terkena penyakit epilepsy kambuhan untuk belajar. Sungguh engkau menang dan Aku terpuruk kekalahan. Ya terpuruk kalah seperti saat timnas Indonesia di hajar 0-10 oleh Bahrain dalam kualifikasi piala dunia 2014. Sungguh sangat memalukan.

Kini yang kau titahkan dalam prasasti konstitusi yang berjudul “Kpd. yth teman-teman musholla putri” telah menjadi kenyataan. Kau bilang kau takkan lagi ditemukan dalam rumah duniamu yang fana itu. Ya ku tahu kau telah boyongan pindah ke rumah firdausmu di surga sana. Kau telah lunas mengkredit rumah besarmu dengan cicilan kesabaran dan keikhlasanmu. Kau telah sukses membangun rumah mewah nan megah tanpa khawatir bocor gentingnya seperti bocornya ginjalmu dulu.

Niwa… engkau akan selalu ku kenang, ya ku kenang sebagai contoh pelita kehidupan yang serba kekurangan namun bisa mengalahkan semua yang berkecukupan bahkan berlebihan. Pesanmu akan ku jadikan semangatku dalam memberikan pelajaran belajarku. Hal itu ku jadikan bukti bahwa kau akan selalu abadi di dalam sanubari hati ini.
Selamat jalan Niwa, tenanglah kau di rumah firdausmu yang abadi…

By: zikin_chi_kudo_mikir_terus
In Memorial Ani Waningsih My Best Student

Cerpen Karangan: Khoirur Rozikin

0 komentar:

Post a Comment