Wednesday 8 October 2014

CERPEN INSPIRATIF : Tulisan Di Balik Sepotong Ubin



“Hidup ini ibarat labirin yang hanya mempunyai dua pintu, pintu masuk dan pintu keluar. Ketika telah masuk maka akan ada simpangan berliku yang harus dihadapi walau tanpa seteguk kopi”
Aku mendengus pelan memperhatikan setiap jentik tulisan yang ku buat berulang kali.

“ah kalau begini ceritanya bagaimana kau bisa menjadi penulis sejati?” berucap monolog
“huh sudah lah sudah larut malam, lebih baik aku menulis di dalam mimpiku saja” ucapku mengakhiri pembicaraan kepada diriku sendiri.


Pagi itu adalah selasa dengan cinta, di saat semalam aku benar-benar frustasi dengan hidup yang mengecewakan. Terlebih dengan kenyataan bahwa aku tak pernah mengerti tentang trigonometri atau laju reaksi. Aku juga tak ahli dalam biologi bahkan seni musik pun tak pernah ku ilhami.

Setelah sekian lama berargumen dengan diriku sendiri, akhrinya aku memutuskan untuk bergegas ke sekolah lebih awal. Untung saja jarak sekolah dan rumahku terlampau dekat, hanya butuh 10 menit untuk berjalan kaki.

“Kota medan kali ini benar-benar tumpah dengan desakan air, november yang menutup mentari” ucap seseorang yang mendahuluiku

Aku melihatnya sekilas, dan kemudian tak ku sangka dia adalah yugo. Yugo? Benarkah? Mimpi apa aku semalam?
aku tak berani menatap, hanya bisa tersenyum tak terungkap. dia meninggalkan ku lagi – berulang kali.

Setelah sampai di kelas, segalanya lebih berbeda. Tidak ada ku lihat percikan air yang menggenang. Suasana tak terkendali, mereka panik. Sementara aku meneguk kopi yang dibungkus dalam botol minumku dengan santai. Suma melihatku sekilas

“sudah siap fisika, ulna?” tanyanya dengan rancu

Aku masih saja melamunkan hujan tadi, hujan yang mempertemukanku dengan yugo

“u-l-n-a? Kau tak mendengarkan ku ya?” ucapnya memaksimalkan tekanan suara
“ah yaa. Aku mendengar perkataanmu, coba ulangi sekali lagi? Hehe” ucapku
“itu sama saja, kau tidak mendengarkan ku. KAU SUDAH SIAP FISIKA, ULNA?” sumi bertanya dengan wajah datar

Aku langsung meninggalkan sumi dan mencari buku fisika ku, alhasil tak ada goresan tinta yang ku buat sedikitpun. Aku mencoba untuk mencari jalan keluar dari persoalan fisika yang benar-benar membawaku ke dunia fantasi blantara. Seakan aku tercabik-cabik dalam hitungan detik, dalam dekap sang raja rimba atau bahkan Crocodylus porosus. Aku benar-benar tak mengerti. Untung saja ada sumi beserta jawaban fisika sumi yang terbungkus dalam cover buku minimous yang lucu.

Tik-tok-tik-tok tak ku sangka pak burhan datang dengan segala pesona, mereka langsung diam seribu bahasa, begitu juga denganku. Aku tak bisa berkutik sedikitpun. Aku~ selalu kalah dalam materi pembelajaran ini. aku selalu terasingkan. aku~ aku~ aku~

Jam berotasi dengan segala himpunan detik. Waktu berputar tanpa arti, aku sudah bosan mendengar cerita pak burhan. Kopi yang dibuat ibuku telah dingin, tak ada pasokan energi lagi untuk meminum kopi itu. aku mendengus nafas secara perlahan kemudian bunyi bell mengambang di permukaan. Itu bell istirahat kesukaanku

Aku melanjutkan tepak langkah berikutnya, menuju kantin idaman setiap pelajar. Membeli secangkir kopi. Kemudian merasakan canda-tawa teman-temanku. Namun bagian terfavorit adalah melihat senyum yugo. Yugo ada di sana. Di ujung bangku sebelah meja merah.

Aku selalu malu-malu dalam desakan yang temaram, aku tak mengerti tentang segala sanubari. Dahulu, yugo yang memulainya dengan memanggilku “si wajah oriental” dia bilang aku seperti putri malu. Jika disentuh sedikit saja langsung menguncup! Huh menyebalkan.

Waktu tak pernah berhenti dalam aksinya. Dia selalu saja mendahuluiku. Kopiku juga sudah dingin, dan yugo juga sudah meninggalkan ku. Berulang kali meninggalkanku. Sumi mengajakku untuk masuk dan meinggalkan gemuruh kantin. Namun batinku berkata untuk tetap tinggal di kantin. Dan nyatanya sumi berjalan ke kelas tanpa aku.

Di tengah perjalanan di lorong taman sekolah, aku melihat sepotong ubin terepecah belah. Aku mencatat dalam buku labirin merah jambuku
“sungguh kasihan ubin itu. di saat seluruh ubin terlihat luarbiasa, hanya sepotong ubin itu yang terpuruk dalam nasibnya. Kisahnya hampir sama denganku, namun nasibku tidak seburuk itu”
Setelah memperhatikan dengan seksama. Aku agak menggeser ubin itu ke tempat semula, agar sepotong ubin tersebut tidak sendirian, tidak kesepian.

Lantas terjajar sebuah kertas buram berwarna kuning dengan segala tulisan yang menghentak

Lembar pertama:
“Tugas kita bukanlah untuk berhasil. Tugas kita adalah untuk mencoba, karena di dalam mencoba itulah kita menemukan dan belajar membangun kesempatan untuk berhasil”

Lembar kedua:
“jika memang hal itu diperlukan, maka beranikanlah diri anda untuk melakukannya.”

Lembar ketiga :
“peluang emas selalu berada satu langkah dari anda. Yang anda butuhkan adalah keberanian untuk melangkahkan kaki pertama”

Dan lembar terakhir :
“semua karya besar, diawali dengan keberanian untuk membuatnya.”

Aku mencerna hal-hal tersebut. Kemudian inisiatifku memintanya untuk menyimpan tulisan-tulisan itu. Aku berjalan menjauhi ubin itu, semakin jauh dan jauh. Hingga sumi menemukan ku dan bertanya mengapa jalanku terseok-seok seperti seorang mafia yang diselidiki polisi.

Aku terdiam seribu kata, tanpa jeda tanpa suara hanya udara yang terdengar. Tiga detik kemudian, aku menceritakannya kepada sumi. Dan sumi tak mau menanggapi, mungkin hanya aku saja yang termotivasi atau aku yang melebihkan arti? Entahlah aku juga tak mengerti.

Siang itu juga ketika sumi dan seluruh isi sekolah meninggalkanku. Aku masih saja menepaki sekolahku. Melihat yugo di tengah-tengah desakan pelajar yang merindukan rumah mereka. Aku memandangnya dari jauh.
“jika memang hal itu diperlukan, maka beranikanlah diri anda untuk melakukannya.”

Tiba-tiba saja tulisan tersebut muncul di lorong pemikiran, yugo juga melihatku. Aku memberanikan diri untuk tersenyum. Yugo menghampiriku dengan perawakan langkahnya yang panjang,
aku tak bisa bernafas, segalanya menjadi terdesak. Sungguh sesak sekali

“ulna kan? Yang rumahnya di kompleks utara?” yugo bertanya memastikan
“eh iya? Kok tau?” aku menjawabnya tanpa sengaja
“kita kan satu kompleks?” yugo menjawabnya juga dengan heran

Setelah heran dan heran menyatu, akhirnya kami tertawa berasamaan. Yugo menemaniku dalam perjalanan pulangku. Aku sungguh bahagia kala itu, yang terpenting karena tulisan di balik ubin itu aku jadi mengetahui ternyata yugo satu kompleks denganku.

Keesokan paginya ketika aku yang telah siap menerima pelajaran pak basuki tentang laju reaksi, suma menghampiri ku lagi

“ulna, ada apa gerangan? Mengapa kau terlihat anteng begini? Seperti bukan dirimu saja” tanya suma dengan heran
“sudahlah jangan terlalu kau fikirkan tentang aku, jalani saja hidupmu” jawabku sambil tertawa
Selepas dari pembicaraan itu, suara pak basuki yang berat menghentikan pembicaraan kami, dia menulis soal laju reaksi di papan tulis putih.
“ada yang bisa menjawab” tanyanya dengan sangat serius
Tak ada yang berani menjawab. Semuanya terkena (bahasa latin dari bisu), termasuk aku juga.
Lagi-lagi fikiranku masih saja menerawang tulisan ubin yang lampau
“Tugas kita bukanlah untuk berhasil. Tugas kita adalah untuk mencoba, karena di dalam mencoba itulah kita menemukan dan belajar membangun kesempatan untuk berhasil”

Cerpen Karangan: Fatia Andriani
Facebook: Fatia Andriani Says
nama saya fatia andriani, penerus kartini yang senang menulis :)

0 komentar:

Post a Comment