Aku pernah bermimpi berdiri di
belakang meja panjang —berisi deretan kaleng besar, kocokan, cangkir, gelas,
poci, dan bush kettle— dengan kedua tangan menari bersama mesin. Memandangi
serbuk hitam itu sembari menghirup aroma sedapnya yang menempel di setiap
dinding kafe. Aku pernah bermimpi menjadi seorang peramu kopi, sebut saja
barista.
K-o-p-i. Sudah ribuan kali aku
memikirkan sihir apa yang dimiliki serbuk hitam beraroma sedap itu —yang kerap
kali membuatku tergila-gila. Satu kata yang membuatku kalap demi mengetahui
takaran paling pas untuk membuat caffe latte, cappuccino, espresso, Russian
coffee, irish coffee, macchiato, dan yang lainnya.
Membuka kedai kopi sendiri,
aku sudah memikirkannya sejak lama. Namun beberapa pertimbangan kembali
menyurutkan niatku. Salah satunya adalah karena restu orangtua —yang satu ini
aku tidak mendapatkannya. Kedua orangtuaku beranggapan bahwa seorang wanita
sangatlah tidak cocok menjadi barista. Aku benar-benar tidak setuju, memangnya
apa masalahnya?
Tapi, kembali lagi, restu orangtua adalah restu Sang
Khalik.
Katakan padaku, sekarang aku harus bagaimana?
—
Aku pernah bermimpi, sebelah
tanganku memegang cangkir berisi foam dan tangan yang lainnya menggenggam
lengan cangkir berisi kopi. Dan dengan kemampuan juga kelihaian tanganku,
menciptakan latte art yang berbeda di setiap cangkirnya. Lihatlah, wahai Ayah,
Ibu, seorang barista juga mengenal seni.
Tapi, Ayah, apabila aku
ditanya kopi apa yang paling kusuka, maka aku akan langsung menjawab: “Aku
menyukai kopi tubruk.”
Dan apabila Ayah menanyaiku ‘mengapa?’ maka akan kujawab
sambil tersenyum membayangkan aroma kopi tubruk yang menimbulkan candu untukku:
“Sederhana, lugu, tapi memikat. Terutama aromanya.”
Aku pernah membayangkan
bagaimana Ayah akan datang ke kedai kopi milikku saat makan siang tiba.
Kemudian Ayah akan memintaku untuk meramukan secangkir cappuccino dengan dark
rosetta sebagai latte art-nya. Ayah akan menyukainya, bukan?
Dengan dua cangkir kopi yang masing-masing berisi
cappuccino dan kopi tubruk, kita akan menyesap kopi bersama-sama, membicarakan
tentang hal-hal yang akan menghangatkan suasana sampai sore tiba.
Tahukah Ayah, bahwa ketika kita saling bercerita kita
akan semakin dekat? Berawal dari kopi, Ayah. Kopi juga bisa membuat hubungan
kita menjadi lebih dekat.
Bukankah itu bagus, Ayah?
—
Aku pernah bermimpi, ketika
Ibu berkumpul bersama teman lama lalu membicarakan tentang anaknya
masing-masing. Ketika yang lainnya sibuk memuji anaknya, Ibu akan tersenyum
karena mengingatku. Mengingatku yang tersenyum dibalik mesin kopi dan dengan
kedua tangan membuat buih yang mengapung di atasnya.
Lalu aku akan berteriak lantang, “Ibu, kopinya sudah
siap! Oh, ya, aku membuat bentuk baru hari ini, apakah Ibu ingin melihatnya?”
Kemudian teman-teman Ibu akan
bertanya, apakah aku membuat Ibu bangga? Dengan mantap, Ibu akan menjawab, “Dia
berbeda dengan caranya —bayangkan, dia adalah seorang barista. Dia mahir
meracik kopi, dan aku amat bangga padanya.”
Tahukah Ibu, berbeda itu istimewa? Aku ingin menjadi
berbeda dengan caraku, Ibu. Menjadi seorang barista juga bukan hal yang tabu,
justru dengan itu aku bisa menjadi istimewa —karena aku berbeda.
Benar, kan, Bu?
—
Hari itu, aku bermimpi bertemu
dengan seorang barista andal bernama Aiden. Dia yang menemukan terobosan baru,
menjadikan salah satu kedai kopi di kotaku sebagai magnet baru. Aiden membuatku
penasaran, dia benar-benar seperti magnet.
Malam berikutnya, aku bertekad untuk mengunjungi kedai
kopi miliknya. Aku ingin berbincang lebih dalam dengannya, mengenai kopi —tentu
saja. Sudah kuduga, aku akan kesulitan mencari waktu yang tepat karena Aiden
sangat sibuk sepanjang hari.
Akhirnya kami sepakat, pukul sepuluh malam. Itu kali
pertamanya aku minum kopi panas dengannya. Dengan Aiden, Si Barista Andal.
—
Saat aku datang, kafe sudah
sepi. Hanya ada dua pelanggan yang masih duduk di kursi masing-masing. Salah
seorang di antaranya tampak sedang mengobrol dengan Aiden. Yang kulihat di
sini, Aiden adalah orang yang ramah. Aku bersyukur tentang satu hal itu.
Mendengar pertanyaan pelanggan itu, aku tersenyum.
Pelanggan itu bertanya, “Apa ciri khas cappuccino?” Jawabannya mudah saja,
penampilannya. Meski penampilannya cukup mirip dengan caffe latte, untuk
cappuccino memang dibutuhkan standar penampilan yang tinggi. Mengapa? Karena
seorang penikmat cappuccino sejati, akan memerhatikan penampilannya. Apabila
tidak terkonsep, bisa memengaruhi suasana hati penikmatnya. Itu opiniku.
Beberapa menit berikutnya, aku
sudah duduk dengan kopi panas yang masih mengepul uapnya bersama Aiden. Mataku
mengedarkan pandangan, lantai dan dinding kafe tersebut terbuat dari kayu
merbau yang berurat kasar. Di sepanjang dinding kafe ditempeli poster-poster
kopi dengan bermacam pose. Puncaknya, sebuah plat besar yang menempel di dekat
meja panjang barista, yang berisi tulisan model lama menggunakan Bahasa
Belanda:
Adn Koffie
Keningku berkerut samar. Adn?
“Adn. Nama salah satu surga. Selamat datang di surgaku!”
Seorang laki-laki berseru. Suara Aiden. Aku menoleh, lalu tersenyum ke arah
Aiden. Alunan musik klasik yang menenangkan, dengan kombinasi aroma berbagai
macam kopi yang memabukkan. Benar, tempat ini adalah surga bagi para penggila
kopi, sepertiku.
Aku lalu bercerita kepadanya,
tentang kecintaanku terhadap kopi. Aiden mendengarkanku dengan seksama,
sekali-kali dia mengangguk-anggukkan kepalanya sebagai respon. Kemudian aku
sadar bahwa aku terlalu banyak bercerita ketika aku mulai megap-megap, seperti
ikan yang mulai kehabisan napas. Ini gila, aku belum pernah se-antusias ini
saat bercerita.
“Oh, ya, satu lagi. Aku benar-benar ingin menjadi seorang
barista, Aiden. Ya, sepertimu,” Selanjutnya aku berhenti berbicara,
tenggorokanku seperti terlilit sekarang.
Perhatianku teralih pada kopi
panas di depanku. Kupejamkan mataku, membiarkan indra perasaku mengambil alih
hal ini. Cuping hidungku mengembang, menghirup dalam-dalam kepulan asap yang
mengepul dari cangkirnya. Merasakan aroma khasnya mengontaminasi udara di
sekitar hidungku. Ini espresso, aku hafal aromanya.
Aku kembali membuka mata ketika suara Aiden sampai di
telingaku. “Kamu bisa menjadi barista, Lillit,” katanya penuh teka-teki.
Keningku berlipat, tidak mengerti.
“Ikut aku.” Setelah mengatakan itu, Aiden berjalan
meninggalkan kursinya menuju meja panjang di dekat plat besar. Tempat itu
nyaris membuatku melompat saking gembiranya. Bayangkan, tempat keramat itu
—Meja barista!
—
Aku memerhatikannya, kedua
tangan Aiden yang menari bersama mesin, deretan kaleng besar, kocokan, cangkir,
gelas, dan segala macam perkakas di meja panjang itu.
Di tangan kirinya, tergenggam cangkir putih yang
sepertiga dari isinya berisi kopi. Aku yakin sekali, Aiden akan membuat latte
art, proses yang paling kusuka. Tapi ternyata dugaanku salah, Aiden menyerahkan
cangkir itu kepadaku. Aku menatapnya tak mengerti, namun Aiden hanya mengangkat
sebelah alisnya.
“Hari ini, aku menantangmu untuk membuat latte art,”
katanya.
Mataku berpendar-pendar, seolah sebuah semangat baru
telah disuntikkan ke dalam darahku. Aku menerima tantangan itu, setidaknya aku
akan membuktikan pada Aiden, aku juga layak menjadi seorang barista.
—
Otakku kembali memutar
kejadian beberapa menit yang lalu, ketika Aiden menonton aksiku membuat latte
art. Awalnya aku kebingungan, berhadapan langsung dengan kopi dan foam
membuatku sulit berpikir. Yang kupikirkan saat itu hanyalah, bagaimana aku bisa
memberikan seni pada kopi yang masih polos itu.
Saat ini, di hadapanku terdapat karya latte art
perdanaku. Latte art yang sederhana—berbentuk hati yang apik. Rasanya, aku
ingin memuseumkan kopi itu sekarang juga.
Aku masih mengingat betul
kata-kata Aiden yang rasanya patut untuk kugarisbawahi. Secara tidak langsung,
Aiden telah memberiku semangat saat mengatakannya, “Kamu tahu? Ketika kamu
sedang bernyanyi, maka kamu telah menjadi seorang penyanyi. Dan ketika kamu
sedang meramu kopi dan membuat latte art di atasnya, kamu telah menjadi seorang
barista.”
Kejadian ini seperti menarikku kembali ke realita.
Membuatku sadar bahwa ini bukanlah ruang maya, karena semua ini nyata. Aku
sedang tidak bermain imajinasi ketika aku berkenalan dengan Aiden, meramu kopi
bersamanya, dan membuat latte art saat larut malam—semua ini nyata.
Dia Aiden, orang yang baru
saja mengenalku dan percaya dengan mimpiku, mendukungku untuk terus meraih
mimpi itu. Menjadi seorang barista, ini yang kuimpikan sejak dulu. Ayah, Ibu,
Aiden telah membuktikan bahwa aku bisa menjadi seorang barista sekalipun aku
wanita. Kalau begitu, bukankah dia hebat, Ayah, Ibu? Bukankah Aiden hebat?
Gresik, 15 Oktober 2013—10:29
—Selesai—
Cerpen Karangan: Dian Agustin
Blog: winglessdiangel.blogspot.com
Dian Agustin. Panggil saya Dian.
0 komentar:
Post a Comment