Wednesday 15 October 2014

CERPEN ISPIRATIF : Pagelaran Terakhir

Adzan Isyak baru selesai berkumandang dari mikrophone tua masjid seberang jalan, sebentar lagi kewajiban akan tertunaikan oleh segelintir umat yang taat. Malam ini rombongan Kethoprak kami mendapatkan kesempatan menghibur penonton di halaman Balai desa seperti tahun-tahun kemarin. Tapi pagelaran tahun ini ada sesuatu yang mengganjal di hati kami, mulai dari banyaknya protes yang tidak setuju jika acara malam puncak seni di desa kami di isi dengan pagelaran kethoprak sampai kondisi kesehatan dari salah satu pemain andalan kami yang kian memburuk.

Bau asap rok*k murahan hasil sumbangan dari warga kami yang kasihan, bercampur dengan aroma bedak hasil patungan kami, mengiringi alunan suara gamelan yang di tabuh para niyogo kami membabar gendhing srepeg mataram terasa mendayu seperti menggambarkan suasana hati kami yang resah.
“Aku kira kamu benar-benar tidak jadi datang” sambutku membuka percakapan.
“Tenang kawan suara gamelan ini yang memaksaku datang lagipula di pagelaran terakhir ini aku tidak ingin mengecewakan penggemarku…” katanya sambil menghisap rok*k dalam-dalam.
“Uhuk… uhuk…!” batuknya memaksa untuk tidak melanjutkan kata-kata yang belum selesai.
“Kamu benar tidak apa-apa?” tanyaku sedikit khawatir, karena pesan singkat dari istrinya yang masuk ke telephon genggamku belum ku hapus “Mas, mohon maaf kondisi mas Didik kurang sehat mas cari penggantinya saja ya” begitu bunyi pesan singkat dari istrinya.

“Nggak apa-apa aku sudah minum obat…” katanya berusaha menyembunyikan sakit.
“Aku jadi apa malam ini…?” tanya nya.
“Biasalah… jadi musuhku… hahahahaha…” kataku sambil menepuk pundaknya.
“Dari dulu kita musuhan terus ya…?” tanyanya sambil tersenyum.
“Nggak apa-apa di panggung kita selalu jadi musuh tapi di belakang panggung kau adalah sahabat terbaiku…” balasku.
“Aku rias dulu… masalahnya aku keluar adegan pertama” katanya sambil ngeloyor ke sudut ruang ganti.
“Ya… kostummu sudah disiapkan sama teman-teman” jawabku.

Tari gambyong pari anom baru saja selesai di suguhkan sebagai tarian wajib untuk sebuah pagelaran kethoprak karena merupakan tarian pembuka yang berfungsi sebagai ucapan selamat datang untuk para penonton.
Adegan per adegan kami lakonkan dengan sepenuh hati, saatnya tiba adegan dimana aku dan dia beradu akting aku memerankan tokoh Ranggalawe dan dia memerankan tokoh Nambi, penonton ikut tegang ketika Ranggalawe tidak setuju dengan keputusan Raden Wijaya yang mengangkat Nambi sebagai Mahapatih Mangku Bumi di Majapahit, mereka seakan ikut hanyut terbawa alur cerita dan seakan kembali ke masa ratusan tahun silam.

Penonton yang tadi sore berjubel memenuhi halaman balai desa kini tinggal separuhnya, mungkin hanya tinggal penonton yang benar-benar pecinta kethoprak, hingga mereka penasaran untuk mengikuti sampai akhir cerita pertunjukan kami, atau bisa jadi mereka adalah orang-orang penderita insomnia, atau mungkin mereka masih menunggu anak-anak mereka yang belum mau diajak pulang.

Sepertiga malam telah berlalu…
Pertunjukan kami akhirnya selesai, suara gending ayak-ayak pamungkas karya Ki Narto Sabdo mengalun malas, semalas pesinden dan para niyogo yang mulai diserang rasa kantuk, juga membayangkan upah mereka yang tidak sesuai untuk harga menahan tidak tidur semalaman.

Penonton sudah sepi, kini tinggal para pedagang kaki lima yang sibuk mengemasi daganganya, wajah mereka sedikit berbinar membayangkan rupiah hasil untung dagangnya, aku ikut tersenyum ada perasaan bangga menyeruak dalam dada, “Ternyata pementasan ini membawa berkah tersendiri buat mereka” gumanku dalam hati.
“Baju merah kumpulkan sama merah, baju hitam kumpulkan sama hitam, kain batik di lipat yang rapi…” instruksiku kepada teman-teman, karena aku tidak mau harus mengganti rugi kepada pemilik baju-baju sewaan ini, pengalaman tahun kemarin tidak ingin kami ulang kembali, dimana kami harus patungan untuk mengganti kain batik yang hilang.
“Ini baju siapa…?!!” tanyaku dengan nada tinggi bercampur jengkel, karena di sudut ruang ganti ada tas plastik berisi baju satu set tergeletak tanpa ada identitasnya, peraturan yang kami sepakati bersama sesudah selesai pertunjukan baju yang sudah di pakai harus di lipat, dimasukan tas pastik, di beri identitas pemakainya.
“Nggak tau mas…” jawab Istiono pemeran Lembu Sora.
“Besok kalau ada yang hilang aku tidak mau ikut patungan” ancam Effendi pemeran Raden Wijaya, memang teman kami yang satu ini sedikit tempramental tapi pada dasarnya baik.
“Kayaknya itu kostumnya didik” sahut Rustam pemeran kebo Anabrang, mencoba mendinginkan suasana.
“Orangnya mana?!!! Wah gak tanggung jawab!!!” teriaku karena rasa jengkel yang sudah memuncak.
“Sabar yah… ayah jangan marah-marah…” istriku mencoba meredakan kemmarahan ku.
Kulirik istriku, kulihat dia menggendong anak kami yang sudah tertidur pulas, memang setelah ku lihat nyenyaknya tidur anak kami, rasa amarah kian mereda atau mungkin aku tidak tega membangunkan tidur anaku dengan teriakan ku.
“Ya sudah tolong di rapikan dan di data jangan sampai ada yang hilang seperti tahun lalu” instruksiku.

“Siap komandan!!!” jawab Supat dan Peno serempak sambil menghormat kepadaku layaknya seorang tentara, duo pemeran dagelan kami ini memang dia paling bisa mencairkan suasana, tidak sia-sia mereka selalu jadi ujung tombak kami untuk mengocok perut penonton.
“Tam… tolong beritahu Didik besok tak tunggu di rumah…” kata ku.
“ya…” jawab Rustam pendek, rupanya pengaruh alkohol dari minuman khas daerah kami mulai bekerja, mungkin kepalanya sudah terasa pusing sehingga ingin cepat-cepat tidur.

Malam beranjak pagi, kurebahkan tubuhku di sela-sela teman-teman yang sudah mendahului ku menggapai alam mimpi.
Matahari mulai meninggi memaksa mata ku untuk tidak terpejam lagi, ku hapus mimpi dalam tidur yang tidak lebih 3 jam tadi. Semalam aku jadi seorang adipati tuban, sekarang… kembali ke kehidupan nyata yang penuh realita, demikian juga teman-teman yang lain mereka tinggalkan semua peran mereka tadi malam.
Tergopoh-gopoh Rustam menemuiku, “Lok… ada kabar buruk” katanya, memang aku sering di panggil Mbolok oleh teman-teman entah apa artinya aku sendiri tidak tahu, dan aku juga lebih nyaman di panggil seperti itu.
“Kabar buruk apa…?” kataku.
“Didik masuk rumah sakit” katanya.
“Masya Alloh… rumah sakit mana…?” tanyaku. Hilang sudah rasa jengkel, sekarang hatiku di penuhi dengan kekhawatiran.
“Bangilan…” jawabnya pendek.
“Tunggu apa lagi ayo kita ke sana…” kataku.
“Ayo…” katanya.

Motor Karisma butut ku menderu-deru, kupacu hingga kecepatan maksimal yang tidak pernah sampai 60 km/jam. Akhirnya kami sampai juga di Rumah Sakit.
Tidak sulit untuk menemukan ruang istirahat pasien di rumah sakit di kota kecil ini, Aku langsung masuk menemui nya.
“Aku menunggu di luar saja aku tidak tega melihat orang sakit” kata Rustam memang temanku yang satu ini walau berbadan kekar tapi berhati lembut dan paling tidak bisa menahan air mata ketika melihat penderitaan orang lain.
Di atas tempat tidur ber sprei putih, kulihat dia tergeletak lemas, tatapan matanya kosong, kedua tangan dan kedua lobang hidung nya terpasang selang yang aku tidak tahu apa fungsinya. Di samping kakinya yang kelihatan kurus duduk bersimpuh istrinya sambil memijit-mijit, mata istrinya sembab menandakan dia belum berhenti menangis dari tadi malam.
“Habis pulang pentas semalam, mas Didik langsung begini mas…” kata istrinya. Ada sedikit penekanan suara di kata “pentas semalam”, sepertinya dia ingin meminta pertanggungjawaban ku.
Kudekati dia, kuraba keningnya dingin… benar benar dingin… kucoba rapal do’a sebisa ku mulai dari do’a bahasa arab yang dulu diajarkan guru ngaji ku sampai do’a bahasa jawa kuno yang aku peroleh dari dukun di kampung sebelah, semua kurapalkan, aku berharap mudah-mudahan ada salah satu do’aku yang manjur.
“Dik… apa yang kamu rasakan…?” tanyaku. Dia menatap ke arah ku sambil tersenyum.
“Ronggolawe sing teko iki” (“Ranggalawe yang datang ini…”) jawabnya balik bertanya.
“Iya” jawabku.
“Nambi wis ora kuat…” (“Nambi sudah tidak kuat”) katanya.
“Sudah Dik… main kethoprak nya nanti saja kalau kamu sudah sembuh…” kataku.
“Tidak bisa… setiap tarikan nafasku, setiap detak jantungku, suasana panggung selalu ada dalam benaku, ragaku boleh mati, jasadku boleh termakan cacing tanah, tapi semua itu tidak akan bisa melunturkan kecintaanku pada kethoprak Lok…” katanya, aku diam belum sempat aku bicara dia meneruskan kata-katanya.
“Lanjutkan perjuangan kita Lok… masih banyak impian-impian kita tentang kethoprak yang belum tercapai, dulu kita merintis dari nol… kita main dengan iringan kaset tape yang kita edit, kita main dengan kostum alakadarnya, kita main tanpa geber, kita memimpikan bisa main dengan iringan gamelan asli, kita main dengan kostum kethoprak sebenarnya, kita main dengan panggung kethoprak sebenarnya, kita juga bermimpi ada donatur yang mengabadikan pementasan kita dengan syuting video, kita bermimpi kethoprak ini ada yang nanggap, kini semua sudah menjadi kenyataan, kamu tinggal melanjutkan Lok… ibarat jalan sudah kita babat tinggal melewati saja… Kita punya impian agar bisa tampil di layar televisi, kita akan geser sinetron-sinetron tidak mendidik itu, kita jadikan Kethoprak sebagai penyambung lidah rakyat, kita jadikan kethoprak sebagai corong syiar agama, kita jadikan kethoprak sebagai benteng masuknya kebudayaan barat yang tidak sesuai dengan norma-norma ketimuran… Lok… aku mau nembang…” katanya lirih.
“Ya nembang lah mungkin bisa sedikit mengurangi rasa sakitmu… kan suaramu lebih merdu dari suaraku…” sahutku.
Sayup-sayup terdengar syair tembang pamit ciptaan almarhum Gesang.
“Lilanono pamit muleh…”
Hening… sunyi… kutunggu lanjutan syair berikutnya, tapi tiada terdengar… malah jeritan histeris istrinya sebagai lanjutan syair tembang yang belum selesai di bawakanya. Kulihat Rustam menangis di balik jendela, sebelum sadar apa yang terjadi, tiba-tiba duniaku gelap… gelap dan tanpa terasa aku menangis.
Selamat jalan sobat…

Cerpen ini saya dedikasikan untuk seorang sahabat, seniman sejati, saudara kami, Didik Sugiarto Almarhum, semoga kau tenang di sana, walau ragamu kini tidak bersama kami, tapi semangatmu dan kecintaanmu terhadap kethoprak akan selalu jadi inspirasi buat kami, sobat… kami kehilanganmu…

Mbolok sitompul si pena tajam


Cerpen Karangan: Bolok Sitompul

0 komentar:

Post a Comment