Wednesday 8 October 2014

CERPEN INSPIRATIF : Sekolah Itu Bisa Tambah, Kurang, Kali dan Bagi Bu




“Pagiku cerahku matahari bersinar, kugendong tas merahku di pundak. Muridku tersayang muridku tercinta, ku disini ingin menjadikanmu orang yang hebat suatu saat nanti”, nanananaa… (bermaksud sedikit merubah lirik lagu, tapi berharap penciptanya tidak menuntut saya. Heheheee) itulah lirik lagu yang selalu membuat saya bersemangat setiap hari.

19 April 2012
Siang ini saya bersiap memasuki kelas VIIA untuk mengajar Bahasa Indonesia. Karena selama 2 hari ada kegiatan KKG guru SD sampai sore hari dan kegiatan tersebut memaksa untuk menggunakan ruang kelas V dan VI (multifungsi, siang hari menjadi ruang kelas SMP, untuk kelas VIIA dan VIIB).


Pada hari ini mau tidak mau terpaksa kami menggunakan ruang kelas IV SD (karena satu atap dengan SMP) yang bangunannya sungguh begitu membuat hati saya menangis teriris. Bangunan dengan ukuran 4 x 5 meter ini mungkin sudah sangat tidak layak dijadikan ruang kelas. Bambu-bambu yang dicacah disusun mengelilingi ruang kelas menjadi pengganti sebagai tembok, meja dan kursi terlihat seadanya. Mungkin ketika duduk, maka mereka semua akan berdesak-desakan seperti penumpang di Bus kelas ekonomi yang sangat sesak, panas dan pengap. Apalagi bau anak-anak sungguh harum seperti bau parfum Paris Hilton (minyak bibit; hanya istilah saja biar sedikit keren. Hehee) yang menyengat membuat saya sedikit pusing (parfum: bau keringat karena bau badan. Maklum, tak mungkin mereka pakai parfum kan?), lantainya pun masih tanah, jendela yang lubangnya begitu besar tak ada tutupnya, dan bahkan nyaris tak ada pintu di ruang kelas ini. Ya Tuhan, tapi anak-anak ini bahagia semua. Entah apakah saya mampu bertahan hidup tinggal disini. Menerima ke-apa-adaan dan ke-apa-adanya segala sesuatu yang sulit diperoleh. Uang saja mereka tak punya, bagaimana mau memprotes dan menuntut fasilitas hidup di desa terpencil ini.

Bagi masyarakat disini, makan tiga kali sehari merupakan hal istimewa untuk setiap keluarga di Poka dan Redong, 2 desa yang dekat dengan Rangkang Kalo. Itu pun dengan makan sayur yang sangat standar, sondaing, labu ndesi, kacang merah (lebih kerennya kacang Azuki: setelah semalam saya browser di internet tentang kacang Azuki yang mirip seperti kacang merah hasil kebun masyarakat Poka & Redong). Ternyata hasil penelitian kacang Azuki (ada di Jepang) mengandung protein yang sangat tinggi. Waaww…”
Semoga saja makanan-makanan itu mampu menjadikan semua murid-murid saya pandai, pintar, dan tentunya sehat. Menjadi orang-orang hebat yang suatu saat bisa duduk di kursi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat menggantikan menteri-menteri, bekerja di Dinas Pemuda dan Olahraga (PPO) Ruteng, Manggarai, menjadi guru seperti cita-cita mereka, menjadi Dokter yang profesional, atau bahkan presiden atau mungkin ilmuwan. Karena hampir semua makanan yang mereka makan mengandung zat gizi untuk kesehatan tubuh.
Ah, betapa tingginya angan dan pengharapan saya kepada mereka. Meskipun ini semua sangat mustahil untuk mereka dan untuk saya, tapi inilah doa saya dalam hati…

Ruang kelas IV SD Satap Rangkang Kalo
“Selamat siang anak-anak, masih semangat kan siang hari ini?”, sapa saya kepada seluruh siswa kelas VIIA SMP Satap Rangkang Kalo. “Masih semangat buuuuu…”, jawab mereka bersemangat. “Bagus anak-anak, semangat kalian itulah yang membuat saya tak pernah berhenti menebarkan senyum bahagia setiap memasuki ruang kelas”, kata saya dalam hati.
“Baik semuanya, sebelum kita memulai pelajaran, Ibu ada sedikit permainan untuk kalian. Tapi ingat harus konsentrasi pada setiap pertanyaan yang Ibu berikan. Dalam satu kelas bagilah menjadi dua kelompok, berarti ada sekitar 12 anak. Setiap pertanyaan yang Ibu berikan harus dijawab dan ditulis di depan papan tulis. Berilah kesempatan kepada setiap anggota kelompok untuk dapat menjawab. Jangan gaduh, jangan ribut, dan kita bermain secara jujur, cepat, dan tepat. Mengerti semuanya?, ucap saya kepada mereka. “Mengerti bu, ayo kita mulai bu”, kata mereka serentak.

“Baik anak-anak, silahkan masing-masing kelompok berbaris rapi menghadap ke papan tulis. Berdiri yang rapi dan dengarkan setiap pertanyaan yang Ibu lontarkan. Untuk kelompok matahari dan kelompok anggrek siap?, kata saya penuh semangat seperti sedang lomba cerdas cermat tingkat Nasional. “Siaaappp Buuuuu…”, jawab mereka dengan sangat antusias.

Pertanyaan pertama, “Siapakah presiden pertama negara Indonesia?”, soal pertama saya untuk mereka. Lalu masing-masing anggota kelompok maju ke depan dan menulis jawaban dari soal pertama saya dengan jawaban Ir. Soekarno. Bagus, langkah awal berjalan lancar dan mereka menjawab dengan benar. Lanjut pertanyaan kedua, “Apa lambang negara Indonesia?”, “Burung Garuda bu”, jawab mereka cepat. Bagus mereka paham, meskipun saya menyadari tak ada replika burung garuda di ruang kelas ataupun kantor guru SD dan SMP tapi setidaknya mereka mengerti lambang negara Indonesia. “Ok, kalian benar. Selanjutnya soal ketiga, sebutkan air yang mempunyai rasa asin?”. Seketika Fani dari kelompok anggrek lari ke depan papan tulis menulis jawaban ‘air laut’. “Good”, jawab saya dengan senyum mengembang. Yang lebih membuat lucu adalah Yulin dari kelompok matahari menjawab ‘air garam’. Lalu saya bertanya kepada dia, “Yulin kok jawab air garam?”. “Iya Bu, kan saya punya garam di rumah. Kalau dikasih air pasti rasanya asin kan bu?”, celoteh Yulin murid pintar kesayangan saya di kelas VIIA. Hahahahaaa benar juga ya jawaban Yulin. Jawaban ini tidak saya salahkan, justru dengan bangga saya melemparkan senyuman untuknya. “Yulin pintar”, kata saya dalam hati.

Suasana kelas semakin semangat dan panas membara, sepanas ruang kelas dan cuaca siang hari ini. “Masih semangat?”, “masih bu, ayo lanjut soal lagi”, jawaban antusias mereka menambah semangat saya. Baik, sekarang kita lanjut ke soal matematika. Berapakah (20 – 14 + 11 + 3) : 2. Diluar kendali saya semuanya maju ke depan papan tulis dan berlomba-lomba menulis jawaban mereka dengan jawaban 10. Brilian, bagus sekali, hebat, genius. Meskipun hanya soal tambah, kurang, dan bagi yang saya buat sangat sederhana, mereka cepat berpikir. Ini bukan soal mudah atau sulit, tapi bagaimana mareka mampu memahami soal. “Hebat, jawaban kalian benar dan tepat”, puji saya kepada mereka. Tiba-tiba ada yang berceletuk, “Iya Bu, yang penting bagi kita sekolah itu bisa belajar tambah-kurang-kali-bagi. Supaya kalau kita pergi merantau bisa dapat ijazah bu”, jawab Ari. Astagfirullah, jawaban yang sangat menusuk jantung saya. Tiba-tiba saya terdiam tak bisa berkata apa-apa dan berusaha mencerna pelan-pelan jawaban Ari. Masuk dari lubang telinga, tulang-tulang pendengaran, lalu ke rumah siput, dan diteruskan oleh saraf-saraf yang kemudian diproses oleh otak. Kemudian tenggg…!!! Memang benar jawaban Ari, jawaban sederhana dan lugu. Bagi mereka sekolah itu yang penting bisa belajar tambah-kurang-kali-bagi. Sesuatu yang benar-benar membuat saya terenyuh. Anak-anak, jadilah orang yang hebat suatu saat nanti. Ibu tidak akan pernah menenggelamkan angan dan cita-cita kalian, justru ibu akan selalu menyertai setiap langkah kalian.
“Wah kalian memang hebat, ibu seperti sedang berada di depan para ilmuwan genuis. Seperti Albert Einstein, seorang penemu rumus relativitas E= m.c2 yang menderita disleksia, tak bisa membaca dan menulis. Tapi dengan kesederhanaan, keluguan, dan kegeniusannya Albert mampu menjadi penemu yang sangat luar biasa. Suatu saat nanti Ari bisa menjadi seorang Albert Einstein”, puji saya pada Ari.
“Baik, sekarang kita lanjutkan 6 pertanyaan lagi ya. Saat ini ibu tetapkan kalian sebagai para ilmuwan genius kelas VIIA yang terbaik. Maka dari itu saya minta temukan dan berikan jawaban terbaik kalian untuk Indonesia. Setuju???”, pinta saya pada mereka.
“Setuju Bu”, jawab mereka.

Hari ini pun menjadi awal kehidupan terbaik untuk anak-anak Rangkang Kalo. Dunia imajinasi mereka akan saya penuhi dengan dunia pendidikan, pengetahuan, dunia luar, dan seisi alam semesta untuk berfantasi sekehendak hati mereka.
Bukan kesengsaraan, keluhan, ataupun penderitaan yang saya ceritakan disini. Tetapi justru kegeniusan para ilmuwan anak-anak Rangkang Kalo lah yang menjadikan kehebatan kisah cerita ini sehingga saya berharap dapat menumbuhkan secercah harapan bagi masa depan mereka kelak.

“Ikuti apa keinginan anak-anak, jangan menjadikan anak sebagai seorang tertuduh ketika sedikit menyimpang. Bermain dan nikmatilah dunia mereka, dan jangan paksakan mereka harus mengerti dengan dunia kita. Yang mereka inginkan adalah perhatian dan senyuman sebagai seorang sahabat”.
“Anak-anakku, dunia sangat terbuka lebar untuk segala kemungkinan. Kalian bebas menjadi apapun yang kalian inginkan. Proyeksi hidup kalian saat ini dan ke depan sepenuhnya berada dalam genggaman tangan kalian sendiri. Maka dari itu, selalu berkeyakinanlah bahwa semua akan baik-baik saja”
(Harapan saya untuk anak-anak Negeri: Poka, 24 April 2012)

Cerpen Karangan: Dewi Sri Warni


0 komentar:

Post a Comment