Hari ini aku dan kawanku Fadyta
berkunjung ke salah satu desa di Kabupatenku, Kabupaten Banjarawi. Disana kami
telah merencanakan apa yang akan kami lakukan sesuai perintah Pak Fajar Arif,
wali kelasku. Pak Fajar memerintahkan aku dan teman-teman sekelasku untuk
berkunjung ke Desa Kartini di Kabupaten Banjarawi. Disana, kami ditugaskan
untuk mewawancarai seseorang yang kami anggap sebagai wanita yang istimewa di
desa itu. Maklum, kata Pak Fajar disana banyak wanita yang istimewa yang tegar
dan sangat bijaksana.
Oh iya, perkenalkan, namaku Akyas
Az-Zahra, panggil saja aku Zahra atau Kyas. Setelah bertanya kepada beberapa
orang di desa itu, aku dan Dyta akhirnya menemukan seorang wanita yang menurut
warga desa beliau sangat ramah dan bijaksana. Langsung saja aku dan Dyta
menghampiri rumah yang sudah disebutkan ciri-cirinya oleh seorang warga. Tok…
tok… tok… Suara ketukan pintu membuat wanita 43 tahun yang tengah membaca koran
sontak meninggalkan bacaanya dan langsung membuka pintu untuk kami. Setelah
pintu dibuka dan kami dipersilahkan masuk oleh ibu Sartika, atau panggil saja
beliau ibu Tika, kami langsung memperkenalkan diri dan memberi tahu maksud
kedatangan kami ke rumah ibu Tika. Setelah perkenalan, kami mencetuskan
beberapa pertanyaan untuk ibu Tika. Jawaban ibu Tika membuat kami kagum dan
terharu mendengarnya.
Ibu Tika dulunya hanya anak buruh tani
yang miskin. Tetapi, beliau terus bersemangat untuk menggapai cita-citanya.
Maka dari itu, beliau rajin belajar hingga sampai di SMA beliau tidak pernah
membebani kedua orangtuanya untuk membiayai bersekolah. Itu karena beliau
selalu mendapat beasiswa. Pada jaman itu, anak-anak di desa Bu Tika banyak yang
putus sekolah, bahkan tidak pernah mencicipi bagaimana rasanya bersekolah.
Akhirnya, setelah menikah dengan seorang yang dapat dibilang kaya, ibu Tika
mendirikan satu yayasan yang diberi nama Yayasan Panglipur Mustaka atau berarti
Yayasan pelipur kepala (yang dimaksud kepala adalah otak atau akal). Beliau
mengajar anak-anak dari usia 8 – 17 tahun dengan cara mengajar yang tidak
membosankan dan sangat mudah dipahami. 3 tahun kemudian, ibu Tika dianugerahi
medali dan piagam oleh presiden karena telah memajukan anak-anak di desanya.
Hingga sekarang, yayasan yang didirikan ibu Tika masih bertahan dan mulai
menyebar di Kabupaten Banjarawi.
Seusai wawancara, kami mengucapkan terima
kasih pada Ibu Tika dan pamit pulang ke rumah. Aku membawa hasil wawancara yang
berupa rekaman di handphone untuk diserahkan pada Pak Fajar esok.
Keesokan harinya, aku sangat bersemangat
berangkat ke sekolah. Di dalam benakku, aku masih ingat tutur kata lembut ibu
Tika dan kisah mengesankan yang dialami beliau. “selamat pagi?” sapa Pak Fajar
pada kelas 7a. “pagi pak…” jawab siswa 7a serempak. “apakah tugas yang bapak
berikan satu minggu yang lalu sudah siap dikumpulkan?” tanya Pak Fajar
memastikan. “sudah pak..” teriak siswa 7a. “hari ini, kalian bertugas
mempresentasikan hasil pekerjaan kalian di depan kelas, yang sudah siap, mari
ke depan dan mulai presentasi!” tukas Pak Fajar. “Saya pak” jawabku semangat.
Aku maju ke depan kelas dan mempresentasikannya.
“pada tanggal 10 April, saya, Akyas
Az-Zahra dan kawan saya, yaitu Fadyta Fisanetya telah mengunjungi kediaman Ibu
Sartika. Beliau adalah orang yang telah mendirikan Yayasan Panglipur Mustaka
atau yayasan pelipur akal. Dalam mendirikan yayasan tersebut, beliau terlebih
dulu melewati jalan yang tidak mudah. Dulunya, beliau hanya seorang anak buruh
tani miskin. Tetapi beliau sangat rajin, hingga beliau dapat bersekolah hingga
tingkat SMA tanpa membebani biaya sekolah pada orangtuanya karena beliau selalu
mendapatkan beasiswa. Setelah menikah dengan seorang yang kaya, beliau
berinisiatif mendirikan sebuah yayasan yang diberi nama Yayasan Panglipur
Mustaka. Beliau prihatin melihat anak-anak di desanya sangat sulit mendapat
pendidikan. Dengan pengajaran beliau yang sangat ramah dan lemah lembut,
anak-anak di desa beliau yang dulunya tidak mengerti baca tulis dan berhitung,
kini mereka telah maju dan berkembang amat pesat. Setelah 3 tahun beliau
mendirikan yayasan, beliau mendapat medali dan piagam penghargaan langsung dari
presiden RI yang menjabat pada waktu itu. Kesimpulannya, bahwa inilah wanita
Indonesia, wanita yang bijak, wanita yang lembut, wanita yang sangat amat
berkharisma di hadapan orang lain maupun orang dekatnya. Inilah contoh wanita
bangsa yang patut dan mesti diteladani sikap dan perilaku serta pemikirannya
yang tidak egois dan sangat merakyat. Cukup sekian dari saya, terima kasih atas
perhatiannya.” Inilah presentasiku. Seusai presentasi, tepuk tangan meriah
terlontar dari telapak-telapak tangan siswa di kelasku, kelas 7a.
“Wah, hebat sekali Zahra, kamu patut
mewakili sekolah mengikuti lomba bercerita tokoh wanita yang hebat dalam rangka
memperingati hari Kartini pada tanggal 21 April esok.” Ucap Pak Fajar seusai
aku mempresentasikan wawancaraku tadi. “terima kasih pak, saya akan berusaha
agar sekolah bangga pada saya, dan saya janji akan mencontoh sikap Ibu Kartini
dan Ibu Sartika kelak.” Jawabku sambil cengar cengir tanda gembiranya
perasaanku.
Cerpen Karangan: Annisa Yuni Thorika
Facebook: Annisa Yuni Thorika
0 komentar:
Post a Comment