Kini setelah mendapat pesetujuan dari
keluarga. Ryan sekarang tercatat sebagai salah satu mahasiswa di universitas
negeri terbaik di Jakarta Fakultas Hukum. Sejak dulu Ryan memang sudah
memimpikan untuk bisa menyandang gelar sarjana hukum, sama seperti sahabatnya
Arif yang sekarang juga mengambil jurusan hukum. Bedanya adalah Arif berada di
bawah naungan salah satu Universitas terbaik di Inggris. Meskipun sekarang
mereka terpisah oleh jarak yang cukup jauh, namun intensitas komunikasi mereka
tetap berjalan terus. Maklumlah, kedua orang ini memang sudah begitu dekat
sejak kecil. Namun kali ini mereka harus terpisah sejenak untuk mimpi mereka
masing-masing.
Setiap hari, Ryan menjalani rutinitas
perkuliahan yang begitu padat. Panas Ibukota yang selalu sama dan tak bisa
diajak kompromi itu, serta macetnya jalan tak membuat Ryan untuk mengeluh
mengendarai sepeda motornya menuju kampus. Kali ini dia berangkat berboncengan
dengan salah satu kerabat kelasnya Adit. Anak muda seperti Ryan dan Adit memang
sedang asyik-asyiknya kuliah. Apalagi Ryan terbilang aktif mengikuti kegiatan
dan banyak mengikuti organisasi di kampus. Namun Ryan begitu senang, karena
memang untuk itulah kita hidup, untuk berkarya. Kita masih muda kawan.
Lampu merah, dan sebagai pengendara yang
baik, Ryan mematuhi aturan yang ada. Dia tak mau hanya karena memburu waktu
untuk segera tiba ke kampus harus melanggar aturan yang ada, mungkin saja dia
tidak akan rugi karena bisa segera tiba dengan cepat. Tapi resikonya adalah dia
bisa merugikan pengendara yang lain akibat ulahnya itu. Hal yang besar pada
dasarnya bermula dari pelanggaran kecil.
“Mas, minta uangnya mas” seorang anak
kecil tiba-tiba datang menghampiri Ryan dengan tatapan dan suara memelas. Hal
itu membuatnya miris. Namun tak ada balasan dari sapaan anak kecil itu. Ryan
hanya melambaikan tangan kosong. Sebuah isyarat bahwa dia tidak akan memberikan
apa-apa dan menyuruhnya segera pergi.
“Ryan, beri uang seribuan aja, kasihan”
suara Adit tampak menyuruh dari belakang.
“Aku bukannya anti beramal dit, tapi ini
masalah ideologi dan karakter bangsa kita kelak. Untuk memberikan uang pada
pengamen terkhusus kepada anak-anak kecil di jalanan seperti itu adalah sebuah
kesalahan. Dengan mudahnya kita memberikan uang, mereka akan mengira mencari
uang itu adalah hal yang gampang dan tidak perlu perjuangan. Cukup minta
sana-sini, maka uang akan muncul sendiri. Jika mental itu terbawa sampai mereka
dewasa, bukankah negeri ini akan semakin terpuruk?” jawab Ryan dengan lantang
sambil meneruskan perjalanan mereka.
“Iya benar sih. Makin miris juga setiap
hari melihat makin banyak anak-anak yang mengemis di jalanan”
“Itulah. Jika memiliki uang lebih,
sepertinya lebih aman jika kita sumbangkan pada dinas sosial saja. Untuk
selanjutnya, uang itu digunakan mengurusi anak-anak jalanan agar lebih memiliki
masa depan. Sepertinya itu lebih baik dit.” Ryan sedikit menyarankan. Ya,
seperti itulah prinsip Ryan selalu yang tidak akan berubah, selalu analisa
dengan matang sebelum bertindak.
Bertatap muka dengan pengamen-pengamen
yang mendominasi anak kecil itu bukan hal yang baru lagi buat Ryan setiap
menuju ke kampus. Itu bukan menjadi pandangan yang baru lagi. Namun hal itu tak
pernah membuatnya patah semangat untuk terus menuntut ilmu di Universitas
terbaik se-Indonesia itu.
Menyimak, memperhatikan, bahkan
menanyakan ulang apa yang belum dipahami sudah menjadi hal yang mutlak dalam
proses pembelajaran. Sepertinya anak yang sekarang berusia 18 tahun ini tak mau
hanya menjadi mahasiswa yang sekedar datang, duduk, dan diam semata. Dia mau
berkembang dan bersosialisasi agar kelak dia bisa juga menjadi kebanggaan buat
tanah air Indonesia. Ryan sadar anak muda seperti dirinya, harus memupukkan
semangat yang besar untuk melakukan hal-hal positif guna di masa tua nanti tak
ada penyesalan yang hadir.
Perjalanan perkuliahan Ryan memang nampak
begitu menyenangkan namun kadang terbilang sulit. Di awal-awal dia harus
bersosialisasi dengan wajah-wajah baru. Namun ada pula beberapa wajah yang
sudah tidak asing lagi, karena beberapa teman semasa bangku SMA dulu. Tapi satu
hal yang membuat Ryan merasa bangga melanjutkan studinya di negara sendiri
adalah tak lain dan tak bukan banyak dari warga negara tetangga yang rupanya
juga menjatuhkan pilihan mereka di Indonesia. Sungguh suatu kebanggaan! Itu
bisa membuktikan bahwa pendidikan Indonesia juga layak dibanggakan. Meskipun
Ryan sadar belum bisa menjadi terbaik di mata dunia. Bertahun-tahun dia harus
memupuk semangat dan menambah pengetahuan serta bersosialisasi dengan banyak
macam karakter. Bahkan tak sering Ryan selalu bertukar informasi kepada mereka
yang baru memulai pendidikan di Indonesia. Ryan tak segan memberi pengetahuan
tentang budaya, serta makanan khas yang ada di negeri ini. Begitu sederhana,
tapi buatnya itu bisa menjadi nilai tersendiri agar kebudayaan yang ada di
negara Ibu Pertiwi ini bisa di kenal oleh masyarakat luar.
Kini, saat sudah menginjak semester
empat. Ryan diutus dari Fakultas sebagai salah satu calon untuk ikut
berpartisipasi dalam debat Hukum Internasional. Memang masih sekedar calon,
karena akan diseleksi lima orang terbaik lagi untuk nantinya di ikut sertakan
dalam ajang bertaraf Internasional yang dilaksanakan di Inggris. Mendapat
kepercayaan dari universitas tempatnya bernaung serasa mimpi di siang bolong.
Tapi ini nyata. Ini adalah mimpinya sedari dulu. Membawa nama Indonesia ke mata
dunia atas kemampuan yang dimilikinya. Tapi, rasa takut dan pesimis selalu
menghantui. Bukan hanya itu, dia harus menyingkirkan 15 orang lain dari
berbagai universitas di Indonesia. Untuk pada akhirnya bisa betul-betul
mewakili nama Negara tempatnya berpijak.
“Bukannya itu dulu mimpi kamu? Sekarang
kenapa jadi ragu begitu?” tanya sang Ibu saat Ryan menceritakan semuanya.
“Ada 20 orang bu, dan yang terpilih hanya lima orang saja. Mereka semua
hebat-hebat”
“Dulu kamu sendiri yang bilang, kelak suatu hari nanti ingin
membanggakan negara kamu ini. Sekarang di saat kamu punya kesempatan untuk
mewujudkannya malah langsung nyerah gitu”
“…”
“Oh iya bukannya dengan kamu pergi ke
Inggris nanti, kamu malah bisa ketemu sama Arif juga kan? Kalian sudah tidak
ketemu selama dua tahun belakangan ini lho” ibu menambahkan.
“Oh iya (sambil menepuk jidatnya). Baru
ingat kalau ada Arif di Inggris. Sahabat macam apa aku, sampai lupa sahabat
sendiri”
“Maka dari itu, selain nanti kamu bisa
membawa nama Indonesia. Kamu juga bisa sekaligus jumpa kangen lah sama Arif
disana” Ibu menyarankan.
Kali ini sepertinya, rasa pesimis Ryan sedikit mereda. Dia yakin
dengan semangat dan kemampuannya kelak bisa tercapai untuk mengharumkan nama
Indonesia.
“Anak muda seperti kamu itu adalah
penerus untuk masa depan. Makanya di tangan kaum mudalah nasib suatu bangsa ini
dipertaruhkan. Kalau kamu sendiri tidak punya keyakinan dan semangat yang
tinggi, kamu harus siap melihat bangsa ini sedikit demi sedikit akan mulai
hancur.” Ibu menambahkan lagi.
Ryan terdiam sejenak. Dia mulai sedikit
meresapi. Dia sadar begitu banyak para generasi pendahulu telah menghasilkan
karya besar buat negeri ini. Kemerdekaan yang sekarang diraih, bukan dihasilkan
melalui warisan para penjajah, namun dihasilkan melalui tercecernya keringat
dan darah, semangat dan aktivitas, serta retorika dan diplomasi yang dilakukan
oleh para pendahulu. Itulah yang mulai tertanam di benaknya. Mulai saat itulah,
Ryan giat belajar, berlatih berbicara di depan cermin, dan sering-sering
bertanya guna menambah wawasannya untuk debat nanti. Setiap hari dilakukan
tanpa adanya keluhan, lelah dan letih sudah makanan setiap hari. Tapi itu tak
merubah antusiasnya untuk bisa menjadi salah satu calon dari Indonesia
bertanding di Inggris kelak.
Hal yang dinanti kini tiba. Kurang lebih
sebulan Ryan mempersiapkan segalanya. Waktu itu masih terlalu pagi. Tapi dia
sudah buru-buru segera menuju ke kampus.
“Kak Ryan, tunggu aku” suara sang adik tampak kedengaran dari dalam
rumah.
“Pagi ini kamu naik angkot atau taksi saja yah. Aku harus segera tiba
ke kampus” teriak Ryan yang langsung menjalankan sepeda motornya.
“…”
Masih terbilang pagi memang, belum ada sinar
matahari yang begitu dahsyat. Hari itu Ryan akan mengikuti seleksi untuk ajang
debat Hukum Internasional nanti. Gugup, takut, dan gelisah sudah nampak
menghampiri. Tapi di sisi lain Ryan percaya akan kemampuan yang dimilikinya.
Dia yakin dia bisa menjadi satu dari lima orang yang nantinya akan terpilih.
“Kepada semua 20 peserta debat diharapkan segera memasuki ruang
auditorium sekarang juga” tampak suara salah satu panitia menyuruh.
“Nanti kalian akan dibagi empat kelompok,
jadi satu grup beranggotakan lima orang. Jadi saya harap kalian bisa memberikan
kemampuan kalian yang terbaik. Keluarkan semua apa ingin kalian katakan, dan
satu hal jangan pernah merasa takut. Karena disini kita butuh orang-orang yang
bersikap kritis. Mengerti?” lanjut panitia mengarahkan.
“Mengerti…” tampak serempak mereka menjawab.
Setelah pembagian kelompok selesai, Ryan
ternyata mendapat grup pertama dimana dua orang temannya berasal dari
universitas yang berbeda dan dua lainnya berasal dari universitas yang sama
dengan Ryan. Disini mereka di tuntut habis-habisan untuk mengeluarkan segala
pendapat mereka. Disini lah nampaknya dilihat sifat pemimpin dan tegas dari
para mahasiswa/i yang mengambil jurusan Hukum itu. Selama acara debat
berlangsung, Ryan nampak begitu tegas menyampaikan setiap gagasannya. Badan
yang tegap dengan suara yang lantang menambah keyakinannya untuk mampu
memberikan yang terbaik. Kemampuannya dalam mengolah kata-kata membuat acara
debat itu semakin berkesan, aura wajahnya tak bisa dibohongi, dia begitu yakin
dan percaya akan setiap gagasannya.
“Oke, terimakasih kepada semua peserta
atas partisipasinya. Kalian adalah generasi muda yang luar biasa. Kalian berani
menunjukkan sikap kritis. Dan tim juri juga sudah menilai penampilan kalian
semua, dan minggu depan akan segera diberitahu hasilnya.” penyampaian itu
mengisyaratkan berakhirnya penyeleksian debat itu.
Satu minggu, membuatnya harus senam
jantung setiap hari. Ini betul-betul mimpi terbesar dalam hidupnya. Membawa
nama merah putih tercinta. Bukan hanya sekedar pembuktian, dia juga bertekad
dengan cara ini dia akan kembali memupuk semangat teman-teman lain. Bahwa
dengan suatu karya dan prestasi kita bisa membuat negara ini menjadi negara
yang tidak harus selalu bergantung dari negara luar. Ya, kepercayaan, kerja
keras, dan sikap kritis itu membuahkan hasil. Di papan pengumuman dekat
fakultas, namanya tercantum di urutan ke-3 sebagai satu dari lima yang mewakili
Indonesia ke Inggris nanti. Dua nama teratas dan dibawahnya berasal dari
universitas yang berbeda-beda. Bulu kuduknya merinding, wajahnya memamparkan
kebahagiaan yang sejati, dan tatapan mata yang terlihat berkaca-kaca. Seakan
mengisyaratkan kalau apa yang dicapai sekarang bukanlah mimpi.
Rasa haru begitu terasa, ucapan selamat
dari sahabat, dosen pembimbing, serta keluarga tercinta menjadi pembangkit
semangat untuk harus lebih baik di ajang yang bertaraf Internasional itu. Kali
ini apa yang di impikan bukan hanya sekedar angan-angan semata. Mimpinya
tercapai, dia percaya dengan semangat dan kemampuan yang terus diasah apa yang
dianggap tidak mungkin itu menjadi mungkin. Kini, dia mempersiapkan diri dan
mengajak generasi muda lainnya untuk kreatif, mandiri serta mempunyai konsep
diri bangsa yang positif agar dapat menjadi pondasi yang kuat dalam pengembangan
pribadi bangsa negeri. Hal yang paling membanggakan lainnya adalah lewat debat
hukum internasional ini Ryan beserta teman lain mampu memperkenalkan bahasa
Indonesia di mata dunia, karena setiap peserta bisa menggunakan bahasa tempat
asal mereka. Rasa bangga dan terharu tak bisa ditutupi lagi, dengan cara ini
dia bisa mengajak teman-teman lain untuk membangun negeri ini sebagai negeri
yang mandiri, tak selalu bergantung dengan era globalisasi.
Cerpen Karangan: Nurul Fitrah Hafid
Blog: nurulfitrahh.blogspot.com
Nama lengkap saya Nurul Fitrah Hafid, panggil saja Nurul. Lahir di
Parepare (Sulawesi Selatan) tepat tanggal 21 november 1994, sekitar 19 tahun
yang lalu. Anak ke 3 dari 3 bersaudara.
0 komentar:
Post a Comment