Wednesday, 15 October 2014

CERPEN ISPIRATIF : Sikapku Untuk Bangsaku (Part 2)


Kini setelah mendapat pesetujuan dari keluarga. Ryan sekarang tercatat sebagai salah satu mahasiswa di universitas negeri terbaik di Jakarta Fakultas Hukum. Sejak dulu Ryan memang sudah memimpikan untuk bisa menyandang gelar sarjana hukum, sama seperti sahabatnya Arif yang sekarang juga mengambil jurusan hukum. Bedanya adalah Arif berada di bawah naungan salah satu Universitas terbaik di Inggris. Meskipun sekarang mereka terpisah oleh jarak yang cukup jauh, namun intensitas komunikasi mereka tetap berjalan terus. Maklumlah, kedua orang ini memang sudah begitu dekat sejak kecil. Namun kali ini mereka harus terpisah sejenak untuk mimpi mereka masing-masing.

Setiap hari, Ryan menjalani rutinitas perkuliahan yang begitu padat. Panas Ibukota yang selalu sama dan tak bisa diajak kompromi itu, serta macetnya jalan tak membuat Ryan untuk mengeluh mengendarai sepeda motornya menuju kampus. Kali ini dia berangkat berboncengan dengan salah satu kerabat kelasnya Adit. Anak muda seperti Ryan dan Adit memang sedang asyik-asyiknya kuliah. Apalagi Ryan terbilang aktif mengikuti kegiatan dan banyak mengikuti organisasi di kampus. Namun Ryan begitu senang, karena memang untuk itulah kita hidup, untuk berkarya. Kita masih muda kawan.


Lampu merah, dan sebagai pengendara yang baik, Ryan mematuhi aturan yang ada. Dia tak mau hanya karena memburu waktu untuk segera tiba ke kampus harus melanggar aturan yang ada, mungkin saja dia tidak akan rugi karena bisa segera tiba dengan cepat. Tapi resikonya adalah dia bisa merugikan pengendara yang lain akibat ulahnya itu. Hal yang besar pada dasarnya bermula dari pelanggaran kecil.
“Mas, minta uangnya mas” seorang anak kecil tiba-tiba datang menghampiri Ryan dengan tatapan dan suara memelas. Hal itu membuatnya miris. Namun tak ada balasan dari sapaan anak kecil itu. Ryan hanya melambaikan tangan kosong. Sebuah isyarat bahwa dia tidak akan memberikan apa-apa dan menyuruhnya segera pergi.
“Ryan, beri uang seribuan aja, kasihan” suara Adit tampak menyuruh dari belakang.
“Aku bukannya anti beramal dit, tapi ini masalah ideologi dan karakter bangsa kita kelak. Untuk memberikan uang pada pengamen terkhusus kepada anak-anak kecil di jalanan seperti itu adalah sebuah kesalahan. Dengan mudahnya kita memberikan uang, mereka akan mengira mencari uang itu adalah hal yang gampang dan tidak perlu perjuangan. Cukup minta sana-sini, maka uang akan muncul sendiri. Jika mental itu terbawa sampai mereka dewasa, bukankah negeri ini akan semakin terpuruk?” jawab Ryan dengan lantang sambil meneruskan perjalanan mereka.
“Iya benar sih. Makin miris juga setiap hari melihat makin banyak anak-anak yang mengemis di jalanan”
“Itulah. Jika memiliki uang lebih, sepertinya lebih aman jika kita sumbangkan pada dinas sosial saja. Untuk selanjutnya, uang itu digunakan mengurusi anak-anak jalanan agar lebih memiliki masa depan. Sepertinya itu lebih baik dit.” Ryan sedikit menyarankan. Ya, seperti itulah prinsip Ryan selalu yang tidak akan berubah, selalu analisa dengan matang sebelum bertindak.
Bertatap muka dengan pengamen-pengamen yang mendominasi anak kecil itu bukan hal yang baru lagi buat Ryan setiap menuju ke kampus. Itu bukan menjadi pandangan yang baru lagi. Namun hal itu tak pernah membuatnya patah semangat untuk terus menuntut ilmu di Universitas terbaik se-Indonesia itu.
Menyimak, memperhatikan, bahkan menanyakan ulang apa yang belum dipahami sudah menjadi hal yang mutlak dalam proses pembelajaran. Sepertinya anak yang sekarang berusia 18 tahun ini tak mau hanya menjadi mahasiswa yang sekedar datang, duduk, dan diam semata. Dia mau berkembang dan bersosialisasi agar kelak dia bisa juga menjadi kebanggaan buat tanah air Indonesia. Ryan sadar anak muda seperti dirinya, harus memupukkan semangat yang besar untuk melakukan hal-hal positif guna di masa tua nanti tak ada penyesalan yang hadir.

Perjalanan perkuliahan Ryan memang nampak begitu menyenangkan namun kadang terbilang sulit. Di awal-awal dia harus bersosialisasi dengan wajah-wajah baru. Namun ada pula beberapa wajah yang sudah tidak asing lagi, karena beberapa teman semasa bangku SMA dulu. Tapi satu hal yang membuat Ryan merasa bangga melanjutkan studinya di negara sendiri adalah tak lain dan tak bukan banyak dari warga negara tetangga yang rupanya juga menjatuhkan pilihan mereka di Indonesia. Sungguh suatu kebanggaan! Itu bisa membuktikan bahwa pendidikan Indonesia juga layak dibanggakan. Meskipun Ryan sadar belum bisa menjadi terbaik di mata dunia. Bertahun-tahun dia harus memupuk semangat dan menambah pengetahuan serta bersosialisasi dengan banyak macam karakter. Bahkan tak sering Ryan selalu bertukar informasi kepada mereka yang baru memulai pendidikan di Indonesia. Ryan tak segan memberi pengetahuan tentang budaya, serta makanan khas yang ada di negeri ini. Begitu sederhana, tapi buatnya itu bisa menjadi nilai tersendiri agar kebudayaan yang ada di negara Ibu Pertiwi ini bisa di kenal oleh masyarakat luar.

Kini, saat sudah menginjak semester empat. Ryan diutus dari Fakultas sebagai salah satu calon untuk ikut berpartisipasi dalam debat Hukum Internasional. Memang masih sekedar calon, karena akan diseleksi lima orang terbaik lagi untuk nantinya di ikut sertakan dalam ajang bertaraf Internasional yang dilaksanakan di Inggris. Mendapat kepercayaan dari universitas tempatnya bernaung serasa mimpi di siang bolong. Tapi ini nyata. Ini adalah mimpinya sedari dulu. Membawa nama Indonesia ke mata dunia atas kemampuan yang dimilikinya. Tapi, rasa takut dan pesimis selalu menghantui. Bukan hanya itu, dia harus menyingkirkan 15 orang lain dari berbagai universitas di Indonesia. Untuk pada akhirnya bisa betul-betul mewakili nama Negara tempatnya berpijak.

“Bukannya itu dulu mimpi kamu? Sekarang kenapa jadi ragu begitu?” tanya sang Ibu saat Ryan menceritakan semuanya.
“Ada 20 orang bu, dan yang terpilih hanya lima orang saja. Mereka semua hebat-hebat”
“Dulu kamu sendiri yang bilang, kelak suatu hari nanti ingin membanggakan negara kamu ini. Sekarang di saat kamu punya kesempatan untuk mewujudkannya malah langsung nyerah gitu”
“…”
“Oh iya bukannya dengan kamu pergi ke Inggris nanti, kamu malah bisa ketemu sama Arif juga kan? Kalian sudah tidak ketemu selama dua tahun belakangan ini lho” ibu menambahkan.
“Oh iya (sambil menepuk jidatnya). Baru ingat kalau ada Arif di Inggris. Sahabat macam apa aku, sampai lupa sahabat sendiri”
“Maka dari itu, selain nanti kamu bisa membawa nama Indonesia. Kamu juga bisa sekaligus jumpa kangen lah sama Arif disana” Ibu menyarankan.
Kali ini sepertinya, rasa pesimis Ryan sedikit mereda. Dia yakin dengan semangat dan kemampuannya kelak bisa tercapai untuk mengharumkan nama Indonesia.
“Anak muda seperti kamu itu adalah penerus untuk masa depan. Makanya di tangan kaum mudalah nasib suatu bangsa ini dipertaruhkan. Kalau kamu sendiri tidak punya keyakinan dan semangat yang tinggi, kamu harus siap melihat bangsa ini sedikit demi sedikit akan mulai hancur.” Ibu menambahkan lagi.

Ryan terdiam sejenak. Dia mulai sedikit meresapi. Dia sadar begitu banyak para generasi pendahulu telah menghasilkan karya besar buat negeri ini. Kemerdekaan yang sekarang diraih, bukan dihasilkan melalui warisan para penjajah, namun dihasilkan melalui tercecernya keringat dan darah, semangat dan aktivitas, serta retorika dan diplomasi yang dilakukan oleh para pendahulu. Itulah yang mulai tertanam di benaknya. Mulai saat itulah, Ryan giat belajar, berlatih berbicara di depan cermin, dan sering-sering bertanya guna menambah wawasannya untuk debat nanti. Setiap hari dilakukan tanpa adanya keluhan, lelah dan letih sudah makanan setiap hari. Tapi itu tak merubah antusiasnya untuk bisa menjadi salah satu calon dari Indonesia bertanding di Inggris kelak.

Hal yang dinanti kini tiba. Kurang lebih sebulan Ryan mempersiapkan segalanya. Waktu itu masih terlalu pagi. Tapi dia sudah buru-buru segera menuju ke kampus.
“Kak Ryan, tunggu aku” suara sang adik tampak kedengaran dari dalam rumah.
“Pagi ini kamu naik angkot atau taksi saja yah. Aku harus segera tiba ke kampus” teriak Ryan yang langsung menjalankan sepeda motornya.
“…”
Masih terbilang pagi memang, belum ada sinar matahari yang begitu dahsyat. Hari itu Ryan akan mengikuti seleksi untuk ajang debat Hukum Internasional nanti. Gugup, takut, dan gelisah sudah nampak menghampiri. Tapi di sisi lain Ryan percaya akan kemampuan yang dimilikinya. Dia yakin dia bisa menjadi satu dari lima orang yang nantinya akan terpilih.

“Kepada semua 20 peserta debat diharapkan segera memasuki ruang auditorium sekarang juga” tampak suara salah satu panitia menyuruh.
“Nanti kalian akan dibagi empat kelompok, jadi satu grup beranggotakan lima orang. Jadi saya harap kalian bisa memberikan kemampuan kalian yang terbaik. Keluarkan semua apa ingin kalian katakan, dan satu hal jangan pernah merasa takut. Karena disini kita butuh orang-orang yang bersikap kritis. Mengerti?” lanjut panitia mengarahkan.
“Mengerti…” tampak serempak mereka menjawab.
Setelah pembagian kelompok selesai, Ryan ternyata mendapat grup pertama dimana dua orang temannya berasal dari universitas yang berbeda dan dua lainnya berasal dari universitas yang sama dengan Ryan. Disini mereka di tuntut habis-habisan untuk mengeluarkan segala pendapat mereka. Disini lah nampaknya dilihat sifat pemimpin dan tegas dari para mahasiswa/i yang mengambil jurusan Hukum itu. Selama acara debat berlangsung, Ryan nampak begitu tegas menyampaikan setiap gagasannya. Badan yang tegap dengan suara yang lantang menambah keyakinannya untuk mampu memberikan yang terbaik. Kemampuannya dalam mengolah kata-kata membuat acara debat itu semakin berkesan, aura wajahnya tak bisa dibohongi, dia begitu yakin dan percaya akan setiap gagasannya.

“Oke, terimakasih kepada semua peserta atas partisipasinya. Kalian adalah generasi muda yang luar biasa. Kalian berani menunjukkan sikap kritis. Dan tim juri juga sudah menilai penampilan kalian semua, dan minggu depan akan segera diberitahu hasilnya.” penyampaian itu mengisyaratkan berakhirnya penyeleksian debat itu.

Satu minggu, membuatnya harus senam jantung setiap hari. Ini betul-betul mimpi terbesar dalam hidupnya. Membawa nama merah putih tercinta. Bukan hanya sekedar pembuktian, dia juga bertekad dengan cara ini dia akan kembali memupuk semangat teman-teman lain. Bahwa dengan suatu karya dan prestasi kita bisa membuat negara ini menjadi negara yang tidak harus selalu bergantung dari negara luar. Ya, kepercayaan, kerja keras, dan sikap kritis itu membuahkan hasil. Di papan pengumuman dekat fakultas, namanya tercantum di urutan ke-3 sebagai satu dari lima yang mewakili Indonesia ke Inggris nanti. Dua nama teratas dan dibawahnya berasal dari universitas yang berbeda-beda. Bulu kuduknya merinding, wajahnya memamparkan kebahagiaan yang sejati, dan tatapan mata yang terlihat berkaca-kaca. Seakan mengisyaratkan kalau apa yang dicapai sekarang bukanlah mimpi.

Rasa haru begitu terasa, ucapan selamat dari sahabat, dosen pembimbing, serta keluarga tercinta menjadi pembangkit semangat untuk harus lebih baik di ajang yang bertaraf Internasional itu. Kali ini apa yang di impikan bukan hanya sekedar angan-angan semata. Mimpinya tercapai, dia percaya dengan semangat dan kemampuan yang terus diasah apa yang dianggap tidak mungkin itu menjadi mungkin. Kini, dia mempersiapkan diri dan mengajak generasi muda lainnya untuk kreatif, mandiri serta mempunyai konsep diri bangsa yang positif agar dapat menjadi pondasi yang kuat dalam pengembangan pribadi bangsa negeri. Hal yang paling membanggakan lainnya adalah lewat debat hukum internasional ini Ryan beserta teman lain mampu memperkenalkan bahasa Indonesia di mata dunia, karena setiap peserta bisa menggunakan bahasa tempat asal mereka. Rasa bangga dan terharu tak bisa ditutupi lagi, dengan cara ini dia bisa mengajak teman-teman lain untuk membangun negeri ini sebagai negeri yang mandiri, tak selalu bergantung dengan era globalisasi.

Cerpen Karangan: Nurul Fitrah Hafid
Blog: nurulfitrahh.blogspot.com
Nama lengkap saya Nurul Fitrah Hafid, panggil saja Nurul. Lahir di Parepare (Sulawesi Selatan) tepat tanggal 21 november 1994, sekitar 19 tahun yang lalu. Anak ke 3 dari 3 bersaudara.


0 komentar:

Post a Comment