Tuesday, 18 February 2014

RESUME SEJARAH PERADABAN ISLAM




RESUME SEJARAH PERADABAN ISLAM

DIRISALAH ISLAMIYAH II



Nama Pengarang    : Dr. Badri Yatim Badri, M.A
Judul Buku          : Sejarah Peradaban Islam ( Dirasah   Islamiyah II )
Tahun Terbit       : 2006
Tempat Terbit      : Jakarta
Tebal Buku          : XIV + 338 Halaman
Penerbit             : PT Raja Grafindo Persada
ISBN                : 979 – 421 – 337 – 3   




A.    PENDAHULUAN
Peradaban Islam adalah terjemahan dari kata Arab al-Hadhārah al-Islāmiyah. Kata Arab ini sering juga diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan Kebudayaan Islam. Kebudayaan Islam dalam dalam bahasa Arab adalah al-Tsaqāfah. Di Indonesia sebagaimana juga di Arab dan Barat, masih banyak orang yang mensinonimkan dua kata “kebudayaan” (Arab, al-Tsaqāfah; Inggris, culture) dan beradaban (Arab, al-Hadhārah; Inggris, civilization). Dalam perkembangan ilmu antropologi sekarang, kedua istilah itu dibedakan, kebudayaan  adalah bentuk ungkapan tentang semangat mendalam suatu masyarakat. Sedangkan, manifestasi-manifestasi kemajuan mekanis dan teknologis lebih berkaitan dengan peradaban. Kalau kebudayaan lebih banyak direfleksikan dlam seni, sastra, religi (agama), dan moral, maka peradaban terefleksi dalam politik, ekonomi dan teknologi.
Pembahasan sejarah perkembangan peradaban Islam yang sangat panjang dan luas itu tidak bias dilepaskan dari pembahasan sejarah perkembangan politiknya. Bukan saja karena persoalan-persoalan politik sangat menentukan perkembangan aspek-aspek peradaban tertentu seperti yang terlihat di buku karya Dr. Badri Yatim, M.A., tapi terutama karena sistem politik dan pemerintahan itu sendiri merupakan salah satu aspek penting dari peradaban, sebagaimana disebutkan di atas, karena itulah uraian dalam sejarah politik Islam sangat dominan seperti sistem pemerintahan, ekonomi, ilmu pengetahuan, pendidikan dan seni bangunan.

B.    RIWAYAT HIDUP MUHAMMAD
Ketika Nabi Muhammad Saw. lahir (570 M), Makkah adalah sebuah kota yang sangat penting dan terkenal diantara kota-kota di negeri Arab, baik karena tradisinya maupun karena letaknya. Kota ini dilalui jalur perdagangan yang ramai, menghubungkan Yaman di selatan dan Syiria di utara. Dengan adanya Ka’bah ditengah kota, Makkah menjadi pusat keagamaan Arab. Ka’bah adalah tempat mereka berziarah. Didalamnya terdapat 360 berhala, mengelilingi berhala utama, Hubal. Makkah kelihatan makmur dan kuat. Agama dan masyarakat Arab ketika itu mencerminkan realitas kesukuan masyarakat jazirah Arab dengan luas satu juta mil persegi.
Jazirah Arab memang merupakan kediaman mayoritas bangsa Arab yang terbagi menjadi dua bagian besar, yaitu bagian tengah dan pesisir. Disana tidak ada sungai yang mengalir tetap, yang ada hanya lembah-lembah berair dimusim hujan. Sebagian besar daerah jazirah adalah padang pasir sahara yang terletak ditengah dan memiliki keadaan dan sifat yang berbeda-beda, karena itu ia bisa dibagi menjadi tiga bagian:
1.     Sahara langit memanjang 140 mil dari utara ke selatan dan 180 mil dari barat ke timur, isebut juga sahara nufud. Oase dan mata air sangat jarang, tiupan angin seringkali menimbulkan kabut debu yang mengakibatkan daerah sukar ditempuh.
2.    Sahara selatan yang membentang penyambung sahara langit kea rah timur sampai selatan Persia. Hampir seluruhnya merupakan dataran keras, tandus dan pasir bergelombang. Daearah ini juga disebut dengan al-Rub’ al-Khali (bagian yang sepi).
3.    Sahata Harrat, suatu daerah yang terdiri dari tanah liat yang berbatu hitam bagaikan terbakar. Gugusan-gugusan batu hitam itu menyebar keluasan sahara ini, seluruhnya mencapai 29 buah.
Penduduk sahara sangat sedikit terdiri dari suku-suku badui yang mempunyai gaya hidup pedesaan dan nomadic, berpindah-pindah dari daerah satu ke daerah yang lain guna mencari air dan padang rumput untuk binatang gembalaan mereka, kambing dan onta.
Muhammad Saw. adalah anggota Bani Hasyim, suatu kabilah yang kurang berkuasa dalam suku Quraisy. Kabilah ini memegang jabatan siqayah. Nabi Muhammad lahir dari keluarga terhormat yang relative miskin. Ayahnya bernama Abdullah anak Abdul Muthallib, seorang kepala suku Quraisy yang besar pengaruhnya. Ibunya adalah Aminah binti Wahab dari Bani Zuhrah. Tahun kelahiran nabi dikenal dengan nama Tahun Gajah (570 M). Dinamakan demikian, karena pada tahun itu gubernur kerajaan Habsyi (Ethiopia), dengan menunggang kuda menyerbu Makkah untuk menghancurkan Ka’bah.
Muhammad lahir dalam keadaan yatim karena ayahnya Abdullah, meninggal dunia tiga bulan setelah dia menikahi Aminah. Muhammad kemudian diserahkan kepada ibu pengasuh, Halimah Sa’diyah. Dalam asuhannyalah Muhammad dibesarkan sampai usia empat tahun. Setelah itu, kurang lebih dua tahun ia berada dalam asuhan ibu kandungnya. Ketika berusia enam tahun ia menjadi yatim piatu. Setelah Aminah meninggal, Abdul Muthallib mengambil alih tanggung jawab merawat Muhammad. Namun, dua tahun berselang Abdul Muthallib meninggal dan selanjutnya Abu Thalib menjadi pengasuhnya.
Masa muda, Muhammad hidup dengan mengembala kambing keluarga dan penduduk Makkah. Melalui tempat pengembalaan ini, ia bisa merenung dan berpikir. Dalam suasana demikian, ia ingin melihat sesuatu dibalik semuanya. Ia dating ke Dyiria (Syam), pada usia 12 tahun dalam rombongan kafilah dagang. Pada usia 25 tahun, Muhammad berangkat lagi ke Syiria membawa barang dagangan saudagar wanita kaya raya yang telah lama menjanda, Khatijah. Dalam perdagangan ini, Muhammad memperoleh laba yang besar, Khatijah kemudian melamarnya. Lamaran diterima dan perkawinan segera dilaksanakan. Ketika itu, Muhammad berusia 25 tahun dan Khatijah 40 tahun.
Menjelang usia 40 tahun, ia sudah terlalu biasa memisahkan diri dari kegalauan masyarakat, berkontemplasi di Gua Hira, beberapa kilometer di utara Makkah. Di sana Muhammad mula-mula berjam-jam kemudian berhari-hari bertafakkur. Pada tang 17 Ramadhan tahun 611 M, malaikat Jibril muncul dihadapannya dan menyampaikan wahyu pertama dari Allah. Setalah wahyu pertama itu dating, Jibril tidak muncul lagi untuk beberapa lama, sementara Nabi Muhammad menantikannya dan selalu dating ke Gua Hira’. Dalam keadaan menanti itulah turun wahyu yang membawa perintah kepadanya.
Dalam poin ini lebih diprioritaskan pada bahasan tentang Nabi Muhammad saw. yang berhubungan dengan riwayat hidup Muhammad, meliputi Arab sebelum Islam, Dak’wah dan perjuangan, dan pembentukan Negara Madinah.

C.  MASA KEJAYAAN ISLAM I (650-1000 M)

1.  Khalifah Rasyidah
Nabi Muhammad saw. tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan menggantikan beliau sebagai pemimpin politik umat Islam setelah beliau wafat. Karena itulah, tidak lama setelah beliau wafat; belum lagi janazahnya dimakamkan, sejumlah tokoh muhajirin dan anshor berkumpul dib alai kota Bani Sa’idah, Madinah. Mereka memusyawarahkan siapa yang akan dipilih menjadi pemimpin. Musyawarah itu berjalan cukup a lot karena masing-masing pihak, baik muhajirin maupun anshor sama-sama merasa berhak menjadi pemimpin umat Islam. Namun, dengan semangat ukhuwah Islamiah yang tinggi, akhirnya Abu Bakar terpilih. Rupanya semangat keagamaan Abu Bakar mendapat penghargaan yang tinggi dari umat Islam,[1] sehingga masing-masing pihak menerima dan membaiatnya.
Sebagai pemimpin umat Islam setelah Rasul, Abu Bakar disebut Khalifah Rasulillah (pengganti Rasul) yang dalam perkembangan selanjutnya disebut khalifah saja. Khalifah adalah pemimpin yang diangkat sesudah nabi wafat untuk menggantikan tugas beliau sebagai pemimpin agama dan kepala pemerintahan.
Tampaknya, kekuasaan yang dijalankan Abu Bakar, sebagaimana pada masa Rasulullah, bersifat sentral; kekuasaan legislative, eksekutif dan yudikatif terpusat di tangan khalifah. Selain menjalankan roda kepemerintahan, khalifah juga melaksanakan tugas hukum. Meskipun demikian, seperti juga Nabi Muhammad, Abu Bakar selalu mengajak sahabat-sahabat besarnya bermusyawarah.
Ketika Abu Bakar sakit dan merasa ajalnya sudah dekat, ia bermusyawarah dengan para pemuka sahabat, kemudian mengangkat Umar sebagai penggantinya dengan maksud untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan dan perpecahan dikalangan umat Islam. Kebijaksanaan Abu Bakar ternyata diterima masyarakat yang segera secara beramai-ramai membaiat Umar. Umar menyebut dirinya Khalifah Khalifati Rasulillah (pengganti dan pengganti Rasulullah). Ia juga memperkenalkan istilah Amir al-Mu’minin (komandan orang-orang yang beriman).
Di zaman Umar gelombang ekspansi (perluasan daerah kekuasaan) pertama terjadi, ibu kota Syiria, Damaskus, jatuh tahun 635 M. dan setahun kemudian, setelah tentara Bizantium kalah dipertempuran Yarmuk, seluruh daerah Syiria jatuh kebawah kekuasaan Islam. Dengan memakai Syiria sebagai basis, ekspansi diteruskan ke Mesir di bawah kepemimpinan ‘Amr ibn ‘Ash dank e Irak dibawah pimpinan Sa’ad ibn Abi Waqqash. Iskandaria, ibu kota Mesir, ditaklukkan tahun 641 M. dengan demikian, Mesir jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Al-Qudsiyah, sebuah kota dekat Hirah di Irak, jatuh pada tahun 637 M. dari saba peperangan dilanjutkan ke ibu kota Persia, al-Madain yang jatuh pada tahun itu juga. Pada tahun 641 M, Mosul dapat dikuasai. Dengan demikian, pada masa kepemimpinan Umar, wilayah kekuasaan Islam sudah meliputi Jazirah Arab. Palestina, Syiria, sebagian besar wilayah Persia dan Mesir.[2]
Karena perluasan daerah terjadi dengan cepat, Umar segera mengatur administrasi Negara dengan mencontoh administrasi yang sudah berkembang terutama di Persia. Administrasi pemerintahan diatur menjadi delapan wilayah propinsi: Makkah, Madinah, Jazirah, Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir. Beberapa departemen yang dipandang perlu didirikan. Pada masanya mulai diatur dan ditertibkan sistem pembayaran gaji dan pajak tanah. Pengadilan didirikan dalam rangka memisahkan lembaga yudikatif dengan lembaga eksekutif. Untuk menjaga keamanan dan ketertiban, jawatan kepolisian dibentuk. Demikian juga pekerjaan umum.[3] Umar juga mendirikan Bait al-Mal, menempa mata uang dan menciptakan tahun hijrah.
Di masa pemerintahan Usman ibn Affan (644-655 M), Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes, dan bagian yang tersisa dari Persia, Transoxania dan Tabaristan berhasil direbut. Ekspansi Islam pertama berhenti sampai disini. Pemerintahan Usman berlangsung selama 12 tahun. Pada masa paroh terakhir masa kekhalifaannya, muncul perasaan tidak puas dan kecewa dikalangan umat Islam terhadapnya, kepemimpinan Usman memang berbeda dengan kepemimpinan Umar. Ini mungkin karena umurnya yang lanjut (diangkat dalam usia 70 tahun) dan sifatnya yang lemah lembut. Akhirnya, pada tahun 35 H / 655 M, Usman dibunuh oleh kaum pemberontak yang terdiri dari orang-orang yang kecewa itu.
Salah satu faktor yang menyebabkan banyak rakyat kecewa terhadap kepemimpinan Usman adalah kebijaksanaannya mengangkat keluarga dalam kedudukan tinggi. Yang terpenting diantaranya adalah Marwan ibn Hakam. Dialah pada dasarnya yang menjalankan roda kepemerintahan, sedangkan Usman hanya menyandang gelar khalifah.[4] Setelah banyak keluarganya yang duduk dalam jabatan-jabatan penting. Usman laksana boneka dihadapan kerabatnya itu. Dia tidak dapat berbuat banyak dan terlalu lemah terhadap keluarganya. Dia juga tidak tegas terhadap kesalahan bawahan. Harta kekayaan Negara, oleh kerabatnya dibagi-bagikan tanpa terkontrol oleh Usman sendiri. Dengan demikian bukan berarti bahwa pada masa Usman tidak ada kegiatan-kegiatan penting. Usman berjasa membangun bendungan untuk menjaga arus banjir yang besar dan mengatur pembagian air ke kota-kota. Dia juga yang membangun jalan-jalan, jembatan-jembatan, masjid-masjid, dan memperluas masjid nabi di Madinah.
Setelah Usman wafat, masyarakat beramai-ramai membaiat Ali ibn Abi Thalib sebagai khalifah. Ali memerintah hanya enam tahun. Selama masa pemerintahannya, ia menghadapi berbagai pergolakan. Tidak ada masa sedikitpun dalam masa pemerintahannya yang dapat dikatakan stabil. Setelah menduduki jabatan khalifah, Ali memecat para gubernur yang diangkat oleh Usman. Dia yakin bahwa pemberontakan-pemberontakan terjadi karena keteledoran mereka. Dia juga menarik kembali tanah yang dihadiahkan Usman kepada penduduk dengan menyerahkan hasil pendapatannya kepada Negara, dan memakai kembali sistem distribusi pajak tahunan sebagaimana pernah diterapkan oleh Umar.[5]
Tak lama setelah itu, Ali menghadapi pemberontakan Thalhah, Zubair dan Aisyah. Alas an mereka, Ali tidak mau menghukum para pembunuh Usman dan mereka menuntut bela terhadap darah Usman yang telah ditumpahkan secara zalim. Kedudukan Ali semakin lemah sebagai khalifah kemudian dijabat oleh anaknya, Hasan selama beberapa bulan. Namun, karena Hasan ternyata lemah, sementara Mu’awiyah semakin kuat. Maka Hasan membuat perjanjian damai. Perjanjian ini dapat mempersatukan umat Islam kembali dalam satu kepemimpinan politik. Dibawah Mu’awiyah ibn Abi Sufyan. Disisi lain Mu’awiyah juga menjadi penguasa absolute dalam Islam.
2.  Khalifah Bani Umayyah
Memasuki masa kekuasaan Mu’awiyah yang menjadi awal kekuasaan Bani Umayyah, pemerintahan yang bersifat demokrasi berubah menjadi monarchiheridetis (kerajaan turun temurun). Kekhalifaan Mu’awiyah diperoleh melalui kekerasan, diplomasi dan tipu daya, tidak dengan pemilihan atau suara terbanyak. Suksesi kepemimpinan secara turun temurun dimulai ketika Mua’wiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid. Mu’awiyah bermaksud mencontoh kepada monarchi di Persia dan Bizantium. Dia memang tetap menggunakan istilah khalifah, namun dia memberikan interpretasi baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan jawaban tersebut. Dia menyebutnya “khalifah Allah” dalam pengertian “penguasa yang diangkat oleh Allah”.[6]
Kekuasaan Bani Umayyah berumur kurang lebih 90 tahun. Ibu kota Negara dipindahkan Mu’awiyah dari Madinah ke Damaskus, tempat ia berkuasa sebagai gubenur sebelumnya. Khalifah-khalifah besar dinasti Bani Umayyah ini adalah Mu’awiyah ibn Abi Sufyan (661-680 M), Abd. Al-Malik ibn Marwan (685-705 M), Al-Walid ibn Abd. Malik (705-715 M), Umar ibn Abd al-Aziz (717-720 M), dan Hasyim ibn Abd. Malik (724-743 M).
Ekspansi yang terhenti pada masa khalifah Usman dan Ali dilanjutkan kembali oleh dinasti ini. Di sebelah timur, Muawiyah dapat menguasi daerah Khurasan samapi ke sungai Oxus dan Afganistan sampai ke Kabul. Angkatan lautnya melakukan serangan ke ibu kota Bizantium, Konstantinopel. Ekspansi ke timur yang dilakukan Muawiyah kemudian dilanjutkan oleh Abd. Al-Malik, dia mengirim tentara menyebrangi sungai Oxus dan berhasil menundukkan Balkh, Bukhara, Khawariz, Ferghana dan Samarkand. Tentaranya bahkan sampai ke India dan dapat menguasai Balukhistan, Sind, dan daerah Punjab sampai ke Maltan.
3.  Khalifah Bani Abbas
Kekuasaan dinasti Bani Abbas atau khalifah Abbasiyah, sebagaimana disebutkan, melanjutkan kekuasaan Bani Umayyah, dianamakan khalifah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan al-Abbas paman Nabi Muhammad saw. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah al-Suffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas. Kekuasaanya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H / 750 M s/d 656 H / 1258 M. selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik itu, para sejarawan biasanya membagi masa pemerinthan membagi masa pemerintahan Bani Abbas menjadi lima periode;
a.       Periode Pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia pertama.
b.      Periode Kedua (232 H/847 M – 334 H/945 M), disebut masa pengaruh Turki pertama.
c.       Periode Ketiga (334 H/945 M – 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Buwaih dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua.
d.      Periode Keempat (447 H/1055 M – 590 H/1194 M), masa kekuasaan dinasni Bani Saljuk dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Turki kedua.
e.       Periode Kelima (590 H/1194 M – 656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaanya hanya efektif disekitar kota Baghdad.

D.  MASA DISINTEGRASI (1000-1250 M)

1.  Dinasti yang Memerdekakan Diri dari Baghdad
Disentegrasi dalam bidang politik sebenarnya sudah mulai terjadi di akhir zaman Bani Umayyah. Akan tetapi, berbicara tentang politik Islam dalam lintas sejarah, akan terlihat perbedaan antara pemerintahan Bani Umayyah dengan pemerintahan Bani Abbas. Wilayah kekuasaan Bani Umayyah, mulai dari awal berdiri sampai masa keruntuhannya, sejajar dengan batas-batas wilayah kekuasaan Islam. Hal ini tidak seluruhnya benar untuk diterapkan pada pemerintahan Bani Abbas. Kekuasaan ini tidak pernah diakui di Spanyol dan Afrika Utara, kecuali Mesir yang bersifat sementara dan kebanyakan bersifat nominal. Bahkan dalam kenyataannya, banyak daerah tidak dikuasai khalifah.[7] Secara riil, daerah itu berada dibawah kekuasaan gubernur-gubernur propinsi bersangkutan. Hubungannya dengan khalifah ditandai dengan pembayaran upeti.[8]
Akibat dari kebijakan yang lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam dari persoalan politik itu, propinsi-propinsi tertentu di pinggiran mulai lepas dari genggaman kekuasaan Bani Abbas. Ini bisa terjadi dalam salah satu cara: pertama, seorang pemimpin lokal memimpin suatu pemberontakan dan berhasil memperoleh kemerdekaan penuh. Seperti Daulah Umayyah di Spanyol dan Idrisiyah di Maroko. Kedua, seorang yang ditunjuk oleh gubernur menjadi khalifah, kedudukannya semakin bertambah kuat, seperti Daulah Aghlabiyah di Tunisia dan Thahiriyah di Khurasan.

2.  Perebutan kekuasaan di Pusat Pemerintahan
Faktor lain yang menyebabkan peran politik Bani Abbas menurun adalah perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan. Hal ini sebenarnya juga terjadi pada pemerintahan-pemerintahan Islam sebelumnya. Tetapi, apa yang terjadi pada pemerintahan Abbasiyah berbeda dengan yang terjadi sebelumnya. Pertumpahan darah pertama dalam Islam karena perebutan kekuasaan terjadi pada masa kekhalifaan Ali ibn Abi Thalib. Pertama-tama, Ali menghadapi pemberontakan dari Thalhah, Zubair dan Aisyah. Alasan pemberontakan itu adalah Ali tidak mau menghukum para pembunuh Usman.
Pada masa pemerintahan Bani Abbas, perebutan kekuasaan seperti itu juga terjadi, terutama di awal berdirinya. Akan tetapi, pada masa-masa berikutnya, seperti yang terlihat pada periode kedua dan seterusnya, meskipun khalifah tidak berdaya, tidak ada usaha untuk merebut jabatan khalifah dari tangan Bani Abbas. Hal ini disebabkan khalifah sudah dianggap sebagai jabatan keagamaan yang sacral dan tidak bisa diganggu gugat lagi. Sedangkan, kekuasaan dapat didirikan di pusat maupun daerah yang jauh dari pusat pemerintahan dalam bentuk dinasti-dinasti kecil yang merdeka. Tentara Turki berhasil merebut kekuasaan tersebut.

3.  Perang Salib
Gerakan penting dalam gerakan ekspansi yang dilakukan oleh Alp Arselan adalah peristiwa Manzikart (464 H/1071 M). tentara Alp Arselan yang hanya berkekuatan 15.000 prajurit, dalam peristiwa ini berhasil mengalahkan tentara Romawi yang berjumlah 200.000 orang terdiri dari tentara Romawi, Ghuz, Al-Akraj, Al-Hajr, Prancis dan Armenia. Peristiwa ini menanamkan benih permusuhan dan kebencian orang Kristen terhadap umat Islam, yang kemudian mencetuskan Perang Salib. Kebencian itu bertambah setelah Dinasti Saljuk dapat merebut Bait al-Maqdis pada tahun 471 H dari kekuasaan Dinasti Fathimiyah, Mesir. Penguasa Saljuk menetapkan beberapa peraturan bagi umat Kristen yang ingin berziarah ke Bait al-Maqdis. Peraturan itu dirasakan sangat menyulitkan mereka.[9] Untuk memperoleh kembali keleluasan berziarah ke tanah suci Kristen itu, pada tahun 1095 M, Paus Urbanus II berseru kepada umat Kristen di Eropa supaya melakukan perang suci.[10] Perang ini kemudian dikenal dengan nama Perang Salib, yang terjadi dalam tiga periode;
a.    Periode Pertama; tahun 1095 M., 150.000 orang Eropa, sebagian besar bangsa Prancis dan Norman, berangkat menuju konstantinopel, kemudian ke Palestina. Tentara Salib yang dipimpin oleh Godfrey, Bohemond, dan Raymond ini memperoleh kemenangan besar. Setelah menaklukkan Bait al-Maqdis, tentara Salib melanjutkan ekspansinya. Mereka menguasai kota Akka (1104 M), Tripoli (1109 M), dan Tyre (1124 M). di Tripoli mereka mendirikan kerajaan Latin IV. Rajanya adalah Raymond.[11]

b.    Periode Kedua; imaduddin Zanki, penguasa Moshul dan Irak, berhasil menaklukkan kembali Aleppo, Hamimah dan Edessa pada tahun 1144 M. namun, ia wafat tahun 1146 M. tugasnya dilanjutkan oleh puteranya, Nuruddin Zanki. Yang berhasil mereput Antiochia dan Edessa dapat direbut kembali. Jatuhnya Yarussalem ke tangan kaum muslimin sangat memukul perasaan tentara salib. Merekapun menyusun rencana balasan. Kali ini tentara Salib dipimpin oleh Frederick Barbarossa, raja Jerman, Richard The Lion Hart, raja Inggris, dan Philip Augustus, raja Prancis.

c.    Periode Ketiga; tentara Salib pada periode ini dipimpin oleh raja Jerman, Frederick II. Kali ini mereka berusaha merebut Mesir lebih dahulu sebelum ke Palestina, dengan harapan dapat bantuan dari orang-orang Kristen Qibthi. Perang Salib yang berkobar di timur. Perang ini tidak berhenti di Barat, di Spanyol, sampai umat Islam terusir dari sana. Walaupun umat Islam berhasil mempertahankan daerah-daerah dari tentara Salib, namun kerugian yang mereka derita bayak sekali, karena peperangan terjadi di kawasan Islam.

4.  Sebab-Sebab Kemunduran Pemerintahan Bani Abbas
Berakhirnya kekuasaan dinasti Saljuk atas Baghdad atau khalifah Abbasiyah merupakan awal dari periode kelima. Pada periode ini, khalifah Abbasiyah tidak lagi berada di bawah kekuasaan atau dinasti tertentu, walaupun banyak sekali dinasti Islam berdiri. Ada diantaranya yang cukup besar, namun yang banyak adalah dinasti kecil. Di samping kelemahan khalifah, banyak faktor yang menyebabkan khalifah Abbasiyah menjadi mundur, masing-masing faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain. Beberapa di antaranya adalah; a) Persaingan antar Bangsa, b) Kemerosotan ekonomi, c) Konflik keagamaan, dan d) Ancaman dari luar.

E.  ISLAM SPANYOL DAN PENGARUHNYA TERHADAP RENAISANS DI EROPA

1.  Masuknya Islam ke Spanyol
Spanyol diduduki umat Islam pada zaman Khalifah al-Walid (705-715 M), salah seorang khalifah dari Bani Umayyah yang berpusat di Damaskus. Sebelum penaklukan Spanyol, umat Islam telah menguasai Afrika Utara dan menjadikannya sebagai salah satu propinsi dari Dinasti Bani Umayyah, dan penguasaan Afrika Utara terjadi pada zaman Khalifah Abdul Malik (685-705 M).
Dalam proses penaklukan Spanyol terdapat tiga pahlawan Islam yang dapat dikatakan paling berjasa memimpin pasukan. Mereka adalah Tharif ibn Malik, Thariq ibn Ziyad dan Musa ibn Nushair. Tharif disebut sebagai perintis dan penyidik. Ia menyeberangi selat yang berada diantara Maroko dan Benua Eropa. Thariq lebih banyak dikenal sebagai penakluk Spanyol. Karena pasukannya lebih besar dan hasilnya lebih nyata. Pasukan kemudian menyeberangi selat dibawah pimpinan Thariq ibn Ziyad.
Dalam pertempuran di Bakkah, Raja Roderick dapat dikalahkan. Dari situ Thariq dan pasukannya terus menaklukkan kota-kota penting, seperti Cordova, Granada dan Toledo (ibu kota kerajaan Goth saat itu).[12]
2.  Perkembangan Islam di Spanyol

a.    Periode Pertama (711-755 M); Spanyol berada dibawah pemerintahan para wali yang diangkat oleh khalifah Bani Umayyah yang berpusat di Damaskus. Pada periode ini stabilitas negeri Spanyol belum tercapai secara sempurna, gangguan-gangguan masih terjadi, baik dari dalam (perselisihan para elit penguasa dalam perbedaan etnis dan golongan) maupun dari luar (sisa-sisa musuh Islam yang berada di daerah-daerah di Spanyol).

b.    Periode Pertama (755-912 M); Spanyol berada dibawah pemerintahan seorang yang bergelar amir (panglima atau gubernur) tapi tidak tunduk pada pusat pemerintahan Islam yang dipegang oleh khalifah Abbasiyah di Baghdad. Amir pertama adalah Abdurrahman I, yang memasuki Spanyol (138 H/755 M) dan diberi gelar Al-Dakhil. Dia adalah keturunan Bani Umayyah yang berhasil lolos dari kejaran Bani Abbas ketika yang terakhir ini berhasil menaklukkan Bani Umayyah di Damaskus. Selanjutnya, ia berhasil mendirikan dinasti Bani Umayyah di Spanyol. Penguasa-penguasa Spanyol pada periode ini adalah Abd. Al-Rahman Al-Dakhil, Hisyam I, Hakam I, Abd. Al-Rahman Al-Ausath, Muhammad ibn Abd. Al-Rahman, Munzif ibn Muhammad dan Abdullah ibn Muhammad.

c.    Periode Ketiga (912-1013 M); pada periode ini, umat Islam Spanyol mencapai puncak kemajuan dan kejayaan, menyaingi kejayaan daulah Abbasiyah di Baghdad. Abd. Al-Rahman Al-Nashir mendirikan Universitas Cordoba. Perpustakaannya memiliki koleksi ratusan ribu buku. Hakam II juga seorang kolektor buku dan pendiri perpustakaan pada masa itu, masyarakat dapat menikmati kesejahteraan dan kemakmuran. Pembangunan kota berlangsung cepat.

d.    Periode Keempat (1013-1086 M); Spanyol terpecah menjadi lebih dari tiga puluh Negara kecil di bawah pemerintahan raja-raja golongan atau al-Mulukuth Thawaif, yang berpusat di suatu kota seperti Seville, Cordoba, Toledo dan sebagainya.

e.    Periode Kelima (1086-1248 M); Spanyol Islam meskipun masih terpecah dalam beberapa Negara, tapi terdapat satu kekuatan yang dominan, yaitu kekuasaan Dinasti Murabithun (1086-1143) dan Dinasti Muwahhidun (1146-1235 M).

f.    Periode Keenam (1248-1492); pada periode ini, Islam hanya berkuasa di daerah Granada, di bawah dinasti Bani Ahmar (1232-1492 M). peradaban kembali mengalami kemajuan seperti zaman Abdurrahman An-Nashir, akan tetapi secara politik, dinasti ini hanya berkuasa di wilayah yang kecil. Kekuasaan Islam yang merupakan pertahanan terakhir di Spanyol ini berakhir.


3.  Kemajuan Peradaban
Dalam masa lebih dari tujuh abad, kekuasaan Islam di Spanyol, umat Islam telah mencapai kejayaan, banyak prestasi yang mereka peroleh, bahkan pengaruhnya membawa Eropa dan kemudian dunia pada kemajuan kompleks. Antara lain:
a.    Kemajuan Intelektual
b.    Kemegahan Pembangunan Fisik
1)    Filsafat
2)   Sains
3)   Fiqih
4)   Musik dan Kesenian
5)   Bahasa dan Sastra
1)    Cordova
2)   Granda

4.  Penyebab Kemunduran dan Kehancuran
a.       Konflik Islam dengan Kristen
b.      Tidak adanya ideology pemersatu
c.       Kesulitan Ekonomi
d.      Tidak jelasnya Sistem Peralihan Kekuasaan, dan
e.       Keterpencilan

5.  Pengaruh Peradaban Spanyol Islam di Eropa
Kemajuan Eropa yang terus berkembang hingga saat ini banyak berhutang budi pada hazanah ilmu pengetahuan Islam yang berkembang di preode klasik. Memang banyak saluran bagaimana peradaban Islam mempengaruhi Eropa, seperti Sicilia dan Perang Salib, tetapi saluran yang terpenting adalah Spanyol Islam.
Spanyol merupakan tempat yang paling utama bagi Eropa menyerap peradaban Islam, baik dalam bentuk hubungan politik, sosial, maupun perekonomian dan peradaban antar Negara. Orang-orang Eropa menyatakan bahwa Spanyol berada dibawah kekuasaan Islam jauh meninggalkan Negara-negara tetangga Eropa, terutama dalam bidang pemikiran dan sains disamping bangunan fisik. Yang terpenting diantaranya adalah pemikiran Ibn Rusyd (1120-1198 M). ia melepaskan belenggu taklid dan menganjurkan kebebasan berpikir. Ia mengulas pemikiran Aristoteles dengan cara yang memikat minat semua orang yang berpikiran bebas. Ia mengedepankan sunnatullah menurut pengertian Islam terhadap pantheisme dan anthropomorphisme Kristen. Demikian besar pengaruhnya di Eropa, hingga di Eropa timbul gerakan Averroesme yang menuntut kebebasan berpikir. Pihak gereja menolak pemikiran rasional yang dibawah gerakan Averroesme.

F.  MASA KEMUNDURAN (1250-1500 M)

1.  Bangsa Mongol dan Dinasti Ilkhan
Jatuhnya kota Baghdad pada tahun 1258 M ke tangan bangsa Mongol bukan saja mengakhiri Khalifah Abbasiyah, tapi juga merupakan awal dari masa kemunduran politik peradaban Islam, karena Baghdad sebagai pusat peradaban dan kebudayaan Islam sangat kaya dengan khazanah ilmu pengetahuan juga ikut lenyap dibumihanguskan oleh pasukan Mongol dipimpin Hulagu Khan.
Dalam rentang waktu yang sangat panjang, kehidupan bangsa Mongol tetap sederhana. Mereka mendirikan kemah-kemah dan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain, mengembala kambing dan hidup dari hasil buruan. Mereka juga hidup dari hasil perdagangan tradisional, yaitu mempertukarkan kulit binatang dengan binatang yang lain. Pada masa pemerintahan Abu Sa’id (1317-1335 M), terjadi bencana kelaparan yang sangat menyedihkan dan angin topan dengan es yang mendatangkan malapetaka. Kerajaan ilkhan yang didirikan oleh Hulaghu Khan ini terpecah belah sepeninggal Abu Sa’id. Masing-masing pecahan saling memerangi. Akhirnya, mereka semua ditaklukkan oleh Timur Lenk.[13]

2.  Serangan-Serangan Timur Lenk
Setelah lebih dari satu abad umat Islam menderita dan berusaha bangkit akibat serangan bangsa Mongol, malapetaka yang tidak kurang dahsyatnya dating kembali, yaitu serangan yang juga keturunan dari bangsa Mongol. Berbeda dari Hulaghu Khan dan keturunannya pada dinasti Ilkhan, penyerang kali ini sudah masuk Islam, tetapi sisa-sisa kebiadaban dan kekejamannya masih melekat kuat. Serangan itu dipimpin oleh Timur Lenk (Timur Si Pincang).
Setelah Timur Lenk meninggal, dua orang anaknya, Muhammad Jehanekir dan Khalil, berperang memperebutkan kekuasaan, Khalil (1404-1405 M) keluar sebagai pemenang. Akan tetapi, ia hidup berfoya-foya menghabiskan kekayaan yang ditinggalkan ayahnya. Karena itu, saudaranya yang lain, Syah Rukh (1405-1447 M), merebut kekuasaan dari tangannya. Syah Rukh berusaha mengembalikan wibawa kerajaan. Ia seorang raja yang adil dan lemah lembut. Setelah wafat, ia diganti oleh anaknya Ulugh Bey (1447-1449 M), seorang raja yang alim dan sarjana ilmu pasti. Namun, masa kekuasaanya tidak lama. Dua tahun setelah berkuasa ia dibunuh oleh anaknya yang haus kekuasaan, Abd. Latief (1449-1450 M). pada masa inilah kerajaan terpecah belah. Wilayah kerajaan yang luas dan diperebutkan oleh dua suku Turki yang baru muncul ke permukaan, Kara Koyunlu (domba hitam) dan Ak Koyunlu). Abu Sa’id sendiri terbunuh ketika bertempur melawan Uzun Hasan, penguasa Ak Koyunlu.[14]

3.  Dinasti Mamalik di Mesir
Kalau ada negeri Islam yang selamat dari kehancuran akibat serangan-serangan bangsa Mongol, baik serangan Hulagu Khan maupun Timur Lenk, maka negeri itu adalah Mesir yang ketika itu berada dibawah kekuasaan dinasti Mamalik. Karena, negeri ini terhindar dari kehancuran, maka persambungan perkembangan peradaban dengan masa klasik relative terlihat dan diantara prestasi yang pernah dicapai pada masa klasik bertahan di Mesir. Walaupun demikian, kemajuan yang dicapai oleh dinasti ini, masih dibawah prestasi yang pernah dicapai oleh umat Islam pada masa klasik. Hal ini mungkin karena metode berpikir tradisional sudah tertanam sangat kuat sejak berkembangnya aliran teologi ‘Asy’ariyah, filsafat mendapat kecaman sejak pemikiran al-Ghazali mewarnai pemikiran mayoritas umat Islam dan yang lebih penting lagi adalah karena Baghdad dengan fasilitas-fasilitas ilmiahnya yang banyak member inspirasi ke pusat-pusat peradaban Islam, hancur.
G.  MASA TIGA KERAJAAN BESAR (1500-1800 M)

1.  Kerajaan Usmani
Pendiri kerajaan ini adalah bangsa Turki dari kabilah Oghuz yang mendiami daerah Mongol dan daerah utara negeri Cina. Dalam jangka waktu kira-kira tiga abad, mereka pindah ke Turkistan kemudian Persia dan Irak. Mereka masuk Islam sekitar abad kesembilan atau kesepuluh, ketika mereka menetap di Asia Tengah. Di bawah tekanan serangan-serangan Mongol pada abad ke-13 M, mereka melarikan diri ke daerah barat dan mencari tempat pengungsian ditengah-tengah saudara mereka, orang-orang Turki Seljuk, di dataran tinggi Asia Kecil.[15]
Kemajuan dan perkembangan ekspansi kerajaan Usmani yang demikian luas dan berlangsung dengan cepat itu diikuti pula oleh kemajuan di bidang-bidang kehidupan yang lain, diantaranya: a) Bidang kemeliteran dan kepemerintahan, b) Bidang ilmu pengetahuan dan budaya, dan c) Bidang keagamaan.
2.  Kerajaan Safawi di Persia
Ketika kerajaan Usmani sudah mencapai puncak kemajuannya. Kerajaan Safawi di Persia baru berdiri. Kerajaan ini berkembang dengan cepat. Dalam perkembangannya, kerajaan Safawi sering bentrok dengan Turki Usmani. Berbeda dari dua kerajaan Islam lainnya (Usmani dan Mughal), kerajaan Safawi menyatakan; Syi’ah sebagai madzhab Negara. Karena itu, kerajaan ini dapat dianggap sebagai peletak pertama dasar terbentuknya Negara Iran dewasa ini.
Kemajuan yang dicapai kerajaan Safawi tidak hanya terbatas di bidang politik. Di bidang lain, kerajaan ini juga mengalami banyak kemajuan. Kemajuan-kemajuan itu antara lain: a) Bidang ekonomi, b) Bidang ilmu pengetahuan, dan c) Bidang pembangunan fisik dan seni.
3.  Kerajaan Mughal di India
Kerajaan Mughal berdiri seperempat abad sesudah berdirinya kerajaan Safawi. Jadi, diantara tiga kerajaan Islam tersebut, kerajaan inilah yang termuda. Kerajaan Mughal bukanlah kerajaan Islam pertama di anak buah India. Awal kekuasaan Islam di wilayah India terjadi pada masa khalifah Al-Walid, dari Dinasti Bani Umayyah. Penaklukan wilayah ini dilakukan oleh tentara Bani Umayyah di bawah pimpinan Muhammad ibn Qasim.[16]
Kemajuan yang dicapai oleh tiga sultan pasca Akbar antara lain:
a.    Kemantapan stabilitas politik
b.    Bidang ekonomi
c.    Bidang seni dan budaya.
Karya seni yang masih bias dinikmati sekarang dan merupakan karya seni terbesar yang dicapai kerajaan Mughal adalah karya-karya arsitektur yang indah dan mengagumkan. Pada masa Akbar dibangun istana Fatpur Sikri di Sikri, vila, dan masjid-masjid yang indah. Pada masa Syah Jehan, dibangun masjid berlapiskan mutiara dan Taj Mahal di Agra, Masjid Raya Delhi dan istana indah di Lahore.[17]
H.  KEMUNDURAN TIGA KERAJAAN BESAR (1700-1800 M)

1.  Kemunduran Kerajaan Usmani
Setelah Sultan Sulaiman Al-Qanuni wafat (1566 M), kerajaan Turki Usmani memasuki fase kemundurannya. Akan tetapi, sebagai sebuah kerajaan yang sangat besar dan kuat, kemunduran itu tidak langsung terlihat. Sultan Sulaiman Al-Qanuni diganti oleh Salim  II (1566-1573 M). di masa pemerintahannya, terjadi pertempuran antara armada laut kerajaan Usmani dengan armada laut Kristen yang terdiri dari angkatan laut Spanyol, angkatan laut Bundukia, angkatan laut Sri Paus, dan sebagian kapal para pendeta Malta yang dipimpin oleh Don Juan dari Spanyol. Pertempuran itu terjadi di selat Liponto (Yunani). Dalam pertempuran ini, Turki Usmani mengalami kekalahan yang mengakibatkan Tunisia dapat direbut oleh musuh. Baru pada masa sultan berikutnya, Sultan Murad III (1575 M) Tunisia dapat direbut kembali.
Banyak faktor yang menyebabkan kerajaan Usmani itu mengalami kemunduran, diantaranya adalah:
a.    Wilayah kekuasaan yang sangat luas
b.    Heterogenitas penduduk
c.    Kelemahan para penguasa
d.    Budaya pungli
e.    Pemberontakan tentara Jenissari
f.    Merosotnya ekonomi
g.    Terjadinya stagnasi dalam lapangan ilmu dan teknologi.

2.  Kemunduran dan Kehancuran Kerajaan Safawi
Sepeninggal Abbas I kerajaan Safawi berturut-turut diperintah oleh enam raja, yaitu Safi Mirza (1628-1694 M), Abbas II (1642-1667 M), Sulaiman (1667-1694 M), Husain (1694-1722 M), Tahmasp II (1722-1732 M), dan Abbas III (1733-1736 M). pada masa raja-raja tersebut, kondisi kerajaan Safawi tidak menunjukkan grafik naik dan berkembang, tapi justru memperlihatkan kemunduran yang akhirnya membawa pada kehancuran.
Di antara sebab-sebab kemunduran dan kehancuran kerajaan Safawi ialah konflik berkepanjangan dengan kerajaan Usmani. Bagi kerajaan Usmani, berdirinya kerajaan Safawi yang beraliran Syi’ah merupakan ancaman langsung terhadap wilayah kekuasaannya. Konflik antara kerajaan tersebut berlangsung lama, meskipun pernah berhenti sejenak ketika tercapai perdamaian pada masa Shah Abbas I. namun, tak lama kemudian, Abbas meneruskan konflik tersebut, dan setelah itu dapat dikatakan tidak ada lagi perdamaian antara dua kerajaan Islam tersebut.[18] Tidak kalah penting dari sebab-sebat tersebut adalah terjadinya konflik intern dalam bentuk perebutan kekuasaan di kalangan keluarga istana.


3.  Kemunduran dan Runtuhnya Kerajaan Mughal
Setelah satu setengah abad dinasti Mughal berada di puncak kejayaannya, para pelaut Aurangzeb tidak sanggup mempertahankan kebesaran yang dibina oleh sultan-sultan sebelumnya. Pada abad ke-18 M kerajaan ini memasuki masa-masa kemunduran. Kekuasaan politiknya mulai merosot, suksesi kepemimpinan ditingkat pusat menjadi ajang perebutan, gerakan separatis Hindu di India Tengah, Sikh di belahan utara dan Islam di bagian Timur semakin lama semakin mengancam. Sementara itu, para pedagang Inggris untuk pertama kalinya diizinkan oleh Jehangir menanamkan modal di India, dengan didukung oleh kekuatan bersenjata semakin kuat menguasai wilayah pantai.
Pada masa Aurangzeb, pemberontakan terhadap pemerintah pusat memang sudah muncul, tetapi dapat diatasi. Pemberontakan itu bermula dari tindakan-tindakan Aurangzeb yang dengan keras menerapkan pemikiran puritanismennya. Setelah ia wafat, penerusnya rata-rata lemah dan tidak mampu menghadapi problema yang ditinggalkannya.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan kekuasaan dinasti Mughal itu mundur pada satu setengah abad terakhir dan membawa pada kehancurannya pada tahun 1858 M, yaitu:
a.    Terjadi stagnasi dalam pembinaan kekuatan meliter
b.    Kemerosotan moral dan hidup mewah di kalangan elit politik.
c.    Pendekatan Aurangzeb yang terlampau “kasar” dalam melaksanakan ide-ide puritan dan cenderung asketis.
d.    Semua pewaris tahta kerajaan pada paru terakhir adalah orang-orang lemah dalam bidang kepemimpinan.

4.  Kemajuan Eropa (Barat)
Bersamaan waktunya dengan kemunduran tiga kerajaan Islam di periode pertengahan sejarah Islam, Eropa Barat (biasa disebut dengan “Barat” saja), sedang mengalami kemajuan dengan pesat. Hal ini berbanding terbalik dengan masa klasik sejarah Islam. Ketika itu, peradaban Islam dapat dikatakan paling maju, memancarkan sinarnya ke seluruh dunia, sementara Eropa sedang berada dalam kebodohan dan keterbelakangan.
Kemajuan Eropa (Barat) memang bersumber dari khazanah ilmu pengetahuan dan metode berpikir Islam yang rasional. Di antara saluran masuknya peradaban Islam ke Eropa itu adalah Perang Salib. Sicilia, dan yang terpenting adalah Spanyol Islam.[19] Gerakan-gerakan renaisans melahirkan perubahan-perubahan besar dalam sejarah dunia. Abad ke 16 dan 17 M merupakan abad yang paling penting bagi Eropa, sementara pada akhir abad ke-17 pula, dunia Islam mengalami kemunduran. Dengan lahirnya renaisans, Eropa bangkit kembali untuk mengejar ketertinggalan mereka pada masa kebodohan dan kegelapan.[20]
I.   PENJAJAHAN BARAT TERHADAP DUNIA ISLAM

1.     Renaisans di Eropa
Pada awal bangkitnya, Eropa menghadapi tantangan yang sangat berat. Di hadapannya masih terdapat kekuatan-kekuatan perang Islam yang sulit dikalahkan, terutama kerajaan Usmani yang berpusat di Turki. Tidak ada jalan lain, mereka harus menembus lautan yang sebelumnya hanya dipandang sebagai dinding yang membatasi gerak mereka.[21] Mereka melakukan berbagai penelitian tentang rahasia alam, berusaha menaklukkan lautan dan menjelajahi benua yang sebelumnya masih diliputi kegelapan. Setelah Christoper Colombus menemukan Benua Amerika (1492 M) dan Vasco da Gama menemukan jalan ke timur melalui Tanjung Harapan (1498 M), Benua Amerika dan kepulauan Hindia segera jatuh ke bawah kekuasaan Eropa. Dua penemuan itu sungguh tak terkira nilainya, Eropa menjadi maju dalam dunia perdagangan, karena tidak tergantung lagi pada jalur lama yang dikuasai umat Islam.
Negeri-negeri Islam yang pertama kali jatuh ke bawah kekuasaan Eropa adalah negeri-negeri yang jauh dari pusat kekuasaan kerajaan Usmani, karena kerajaan ini meskipun terus mengalami kemunduran, ia masih disegani dan dipandang masih cukup kuat untuk berhadapan dengan kekuatan meliter Eropa waktu itu. Negeri Islam yang pertama kali dapat dikuasi Barat adalah negeri-negeri Islam di Asia Tenggara dan di Anak Benua India. Sementara, negeri-negeri Islam di Timur Tengah yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Usmani, baru diduduki Eropa pada masa berikutnya.
2.  Penjajahan Barat terhadap Dunia Islam
India ketika berada pada masa kemajuan pemerintahan kerajaan Mughal adalah negeri yang kaya dengan hasil pertanian. Hal itu mengundang Eropa yang sedang mengalami kemajuan untuk berdagang kesana. Di awal abad ke-17 M, Inggris dan Belanda mulai menginjakkan kaki di India. Pada tahun 1611 M, Inggris mendapat izin menanamkan modal, dan pada tahun 1617 M Belanda mendapatkan izin yang sama.
Asia Tenggara, negeri tempat Islam baru mulai berkembang yang merupakan daerah rempah-rempah terkenal pada masa itu, justru menjadi ajang perebutan Negara-negara Eropa. Kekuatan Eropa malah lebih awal menancapkan kekuasaannya. Hal ini mungkin dikarenakan, disbanding dengan Mughal, kerajaan-kerajaan Islam di Asia Tenggara lebih lemah sehingga dengan mudah dapat ditaklukkan. Sebagaimana di India, di Asia Tenggara kekuasaan politik Negara-negara Eropa itu berlanjut terus sampai pertengahan abad ke-20 M, ketika negeri-negeri jajahan tersebut memerdekakan diri dari kekuasaan asing.
3.  Kemunduran Kerajaan Usmani dan Ekspansi Barat ke Timur Tengah
Kemajuan Eropa dalam teknologi meliter dan industry perang membuat kerajaan Usmani menjadi kecil dihadapan Eropa. Akan tetapi, nama besar Turki Usmani masih membuat Eropa segan untuk menyerang atau mengalahkan wilayah yang berada di bawah kekuasaan kerajaan Islam, termasuk daerah-daerah yang berada di Eropa Timur. Namun, kekalahan besar kerajaan Usmani dalam menghadapi serangan Eropa di Wina (1683 M) membuka mata Barat, bahwa kerajaan Usmani telah mundur jauh sekali. Sejak itulah kerajaan Usmani berulangkali mendapat serangan-serangan besar dari Barat.[22]
Faktor utama yang menarik kehadiran kekuatan-kekuatan Eropa ke negeri-negeri muslim adalah ekonomi dan politik. Kemajuan Eropa dalam bidang industri menyebabkan membutuhkan barang-barang baku, disamping rempah-rempah. Mereka juga membutuhkan negeri-negeri tempat mereka dapat memasarkan hasil industri mereka. Untuk menunjang perekonomian tersebut, kekuatan politik diperlukan sekali. Akan tetapi, persoalan agama seringkali terlibat dalam persoalan politik penjajahan Barat atas negeri-negeri Islam. Terutama perang Salib agaknya membekas pada sebagian orang Barat, terutama Portugis dan Spanyol, karena dua Negara ini untuk jangka waktu berabad-abad berada di bawah kekuasaan Islam.
4.  Bangkitnya Nasionalisme di Dunia Islam
Benturan-benturan antara Islam dan kekuatan Eropa telah menyadarkan umat Islam, bahwa mereka memang jauh tertinggal dari Eropa. Yang pertama merasakan hal itu diantaranya; Turki Usmani, karena kerajaan ini yang pertama dan utama menghadapi kekuatan Eropa. Kesadaran itu memaksa penguasa dan pejuang-pejuang Turki untuk banyak belajar dari Eropa.
Usaha untuk memulihkan kembali kekuatan Islam pada umumnya dikenal dengan istilah “Gerakan Pembaharuan” didorong oleh dua faktor yang saling mendukung, pemurnian ajaran Islam dari unsur-unsur asing yang dipandang sebagai penyebab kemunduran Islam dan membina gagasan-gagasan pembaharuan dan ilmu pengetahuan dari Barat. Yang pertama Gerakan Wahabiyah yang dipelopori oleh Muhammad ibn Abd. Al-Wahhab (1703-1787 M) di Arabia, Syah Waliyullah (1703-1762 M) di India, dan Gerakan Sanusiyah di Afrika Utara yang dipimpin oleh Said Muhammad Sanusi dari Aljazair. Yang kedua, tercermin dalam pengiriman para pelajar muslim oleh penguasa Turki Usmani dan Mesir ke Negara-negara Eropa untuk menimbah ilmu pengetahuan dan dilanjutkan dengan gerakan penerjemahan karya-karya Barat kedalam bahasa Islam. Pelajar-pelajar muslim asal India juga banyak yang menuntut ilmu ke Inggris.
Gagasan nasionalisme yang berasal dari Barat itu masuk ke negeri-negeri melalui persentuhan umat Islam dengan Barat yang menjajah mereka  dan dipercepat oleh banyaknya pelajar muslim yang menuntut ilmu ke Eropa atau lembaga-lembaga pendidikan “Barat” yang didirikan di negeri mereka. Gagasan ini pada mulanya banyak mendapatkan tantangan dari pemuka-pemuka Islam karena dipandang tidak sejalan dengan semangat ukhuwah Islamiyah. Akan tetapi, ia berkembang cepat setelah gagasan Pan-Islamisme redup. Gagasan-gagasan nasionalisme dan gerakan-gerakan untuk membebaskan dari dari kekuasaan penjajah Barat yang kafir juga bangkit di negeri-negeri Islam lainnya.
5.  Kemerdekaan Negara-negara Islam dari Penjajahan
Munculnya gagasan nasionalisme yang diikuti dengan berdirinya partai-partai politik merupakan modal utama umat Islam dalam perjuangannya untuk mewujudkan Negara merdeka yang bebas dari pengaruh politik Barat. Dalam kenyataan, memang partai-partai itulah yang berjuang melepaskan diri dari dari kekuasaan penjajah. Perjuangan mereka biasanya terwujud dalam beberapa bentuk kegiatan, seperti; a) gerakan politik, baik dalam bentuk diplomasi maupun perjuangan bersenjata, dan b) pendidikan serta propaganda dalam rangka mempersiapkan masyarakat menyambut dan mengisi kemerdekaan itu.
Namun, sampai saat ini masih ada umat Islam yang berharap mendapatkan otonomi sendiri, atau paling tidak menjadi penguasa atas masyarakat mereka sendiri. Mereka itu adalah penduduk mayoritas muslim dalam Negara-negara nasional, Kasymir di India, Moro di Filipina, dan sebagainya. Meski mereka hidup dalam Negara mereka, namun status sebagai minoritas seringkali menyulitkan mereka dalam meningkatkan kesejahteraan hidup.
J.  KEDATANGAN ISLAM DI INDONESIA
Sejak zaman prasejarah, penduduk kepulauan Indonesia dikenal sebagai pelayar-pelayar yang sanggup mengarungi lautan lepas. Sejak awal abad Masehi sudah ada rute-rute pelayaran dan perdagangan antar kepulauan Indonesia dengan berbagai daerah di daratan Asia Tenggara.[23] Wilayah Barat Nusantara dan sekitar Malaka sejak masa kuno merupakan wilayah yang menjadi titik perhatian, terutama karena hasil bumi yang dijual disana menarik bagi para pedagang dan menjadi daerah lintasan penting antara Cina dan India.
Pedagang-pedagang Muslim asal Arab, Persia, dan India juga ada yang sampai ke kepulauan Indonesia untuk berdagang sejak abad ke-7 M (abad 1 H), ketika Islam pertama kali berkembang di Timur Tengah. Malaka, jauh sebelum ditaklukkan Portugis (1511 M), merupakan pusat utama lalu lintas perdagangan dan pelayaran. Melaui Malaka, hasil hutan dan rempah-rempah dari seluruh pelosok Nusantara dibawah ke Cina dan India, terutama Gujarat yang melakukan hubungan dagang langsung dengan Malaka pada waktu itu. Dengan demikian, Malaka menjadi mata rantai pelayaran yang penting.
Pada zaman-zaman berikutnya, penduduk kepulauan ini masuk Islam, bermula dari penduduk pribumi di koloni-koloni pedagang muslim. Menjelang abad ke-13 M, masyarakat muslim sudah ada di Samudera Pasai, Perlak, dan Palembang di Sumatera. Di Jawa, makam Fatimah binti Maimun di Leran (Gresik) yang berangka tahun 475 H (1082 M), dan makam-makam Islam di Tralaya yang berasal dari abad ke-13 M merupakan berkembangnya komunitas Islam.
Sampai berdirinya kerajaan-kerajaan Islam. Perkembangan agama Islam di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu:
1)    Singgahnya pedagang-pedagang Islam di pelabuhan-pelabuhan Nusantara.
2)   Adanya komunitas-komunitas Islam di berbagai daerah kepulauan Indonesia.
3)   Berdirinya kerajaan-kerajaan Islam.[24]

K.  KERAJAAN ISLAM SEBELUM PENJAJAHAN BELANDA

1)   Kerajaan-Kerajaan Islam Pertama di Sumatera
a.   Samudera Pasai
Kerajaan Islam pertama di Indonesia adalah kerajaan Samudera Pasai yang merupakan kerajaan kembar. Kerajaan ini terletak di pesisir Timur laut Aceh. Kemunculannya sebagai kerajaan Islam diperkirakan mulai awal atau pertengahan abad ke-13 M, sebagai hasil dari proses islamisasi daerah-daerah pantai yang pernah disinggahi pedagang-pedagang Muslim sejak abad ke-7, ke-8 M, dan seterusnya.[25] Bukti berdirinya kerajaan Samudera Pasai pada abad ke-13 M didukung oleh adanya nisan kubur terbuat dari granit asala Samudera Pasai. Dari nisan itu, dapat diketahui bahwa raja pertama kerajaan itu meninggal pada bulan Ramadhan 696 H, yang diperkirakan bertepatan dengan tahun 1294 M.
Kerajaan Samudera Pasai berlangsung sampai tahun 1524 M. pada tahun 1521 M, kerajaan ini ditaklukkan oleh portugis yang mendudukinya selama tiga tahun, kemudian tahun 1524 M, dianeksasi oleh Raja Aceh, Ali Mughayatsyah. Selanjutnya, kerajaan Samudera Pasai di bawah pengaruh kesultanan Aceh yang berpusat di Bandar Aceh Darussalam.[26]

b.  Aceh Darussalam
Kerajaan Aceh terletak di daerah yang sekarang dikenal dengan nama Kabupaten Aceh Besar. Disini pula terletak ibu kotanya. Kurang begitu diketahui kapan kerajaan ini sebenarnya berdiri. Anas Machmud berpendapat, kerajaan Aceh berdiri pada abad ke-15 M, di atas puing-puing kerajaan Lamuri, oleh Muzaffar Syah (1465-1497 M). dialah yang membangun kota Aceh Darussalam.[27] Pada masa pemerintahannya Aceh Darussalam mengalami kemajuan dalam bidang perdagangan, karena saudagar-saudagar muslim sebelumnya berdagang dengan Malaka memindahkan kegiatan mereka ke Aceh. Setelah Malaka dikuasai Portugis (1511 M). sebagai akibat penaklukan Malaka oleh Portugis itu, jalan dagang yang sebelumnya jauh dari laut Jawa ke utara melalui Selat Karimata terus ke Malaka, pindah melalui selat Sunda dan menyusur pantai Barat Sumatera, terus ke Aceh. Dengan demikian, Aceh menjadi ramai oleh saudagar dari berbagai negeri.
Puncak kekuasaan kerajaan Aceh terletak pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1608-1637 M). pada masanya Aceh menguasai seluruh pelabuhan pesisir Timur dan Barat Sumatera. Dari Aceh, Tanah Gayo yang berbatasan diislamkan, juga Minangkabau. Hanya orang-orang kafir Batak yang menangkis kekuatan-kekuatan Islam yang datang.

2)   Tumbuh dan Berkembangnya Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa
a.   Demak
Perkembangan Islam di Jawa bersamaan waktunya dengan melemahnya Raja Majapahit. Hal itu member peluang bagi penguasa Islam di pesisir untuk membangun pusat-pusat kekuasaan yang independen. Di bawah pimpinan Sunan Ampel, Wali Songo sepakat mengangkat Raden Fatah menjadi raja kerajaan Demak, kerajaan Islam pertama di Jawa, dengan gelar Senopati Jimbun Ngabdurrahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama.[28] Raden Fatah dalam menjalankan perintahnya, terutama dalam persoalan-persoalan agama, dibantu oleh para ulama, Wali Songo. Sebelumnya Demak yang masih bernama Bintoro merupakan daerah vassal Majapahit yang diberikan raja Majapahit kepada Raden Fatah. Daerah ini lambat laun menjadi pusat perkembangan agama Islam yang diselenggarakan oleh para wali.
Pemerintahan Raden Fatah berlangsung kira-kira di akhir abad ke-15 hingga awal abad ke-16 M. dikatakan, ia adalah seorang anak Raja Majapahit dari ibu seorang muslim keturunan Campa. Ia digantikan oleh anaknya, Sambrang Lor, dikenal juga dengan nama Pati Unus. Menurut Tome Pires, Pati Unus baru berumur 17 tahun ketika menggantikan ayahnya (1507 M). menurutnya, tak lama setelah naik tahta, ia merencanakan serangan terhadap Malaka. Semangat perangnya semakin memuncak ketika Malaka ditaklukkan oleh Portugis (1511 M). Akan tetapi, sekitar pergantian tahun 1512-1513 M, tentaranya mengalami kekalahan besar.[29]
Pati Unus digantikan oleh Trenggono yang dilantik sebagai sultan oleh Sunan Gunung Jati dengan gelar Sultan Ahmad Abdul ‘Arifin. Ia memerintah pada tahun 1524-1546 M. pada masa sultan Demak yang ketiga inilah Islam dikembangkan ke seluruh tanah Jawa, bahkan sampai ke Kalimantan Selatan. Penaklukan Sunda Kelapa (1527 M) yang dilakukan oleh pasukan gabungan Demak dan Cirebon di bawah pimpinan Fadhilah Khan. Majapahit dan Tuban jatuh ke bawah kekuasaan raja Demak (1527 M).[30] selanjutnya, pada tahun 1529 M, Demak berhasil menaklukkan Madiun, Blora (1530), Surabaya (1531), Pasuruan (1535). Dan antara tahun 1541-1542, Lamongan, Blitar, Wirasaba, dan Kediri (1544). Palembang dan Banjarmasin mengakui kekuasaan Demak. Sementara daerah Jawa Tengah bagian selatan sekitar Gunung Merapi, Pengging, dan Pajang berhasil dikuasi berkat pemuka Islam, Syeh Siti Jenar dan Sunan Tembayat.[31] Pada tahun 1546, dalam penyerbuan ke Blambangan, Sultan Trenggono terbunuh. Ia digantikan adiknya, Prawoto. Masa pemerintahannya tidak berlangsung lama karena terjadi pemberontakan oleh adipati-adipati sekitar kerajaan Demak. Sunan Prawoto sendiri kemudian dibunuh oleh Aria Penangsang dari Jipang (1549). Dengan demikian, kerajaan Demak berakhir dan dilanjutkan oleh kerajaan Pajang di bawah Jaka Tingkir yang berhasil membunuh Aria Penangsang.

b.  Pajang
Kesultanan Pajang adalah pelanjut dan dipandang sebagai pewaris kerajaan Demak. Kesultanan yang terletak di daerah kartasura sekarang itu merupakan kerajaan Islam pertama yang terletak di daerah pedalaman pulau Jawa. Usia kesultanan ini tidak panjang. Kekuasaan dan kebesarannya kemudian diambil alih oleh kerajaan Mataram.
Sultan pertama kesultanan ini adalah Jaka Tingkir yang berasal dari Pengging, di lereng Gunung Merapi. Oleh raja Demak ketiga, Sultan Trenggono. Jaka Tingkir diangkat menjadi penguasa di Pajang, setelah sebelumnya dikawinkan dengan anak perempuannya. Kemudian penguasa Pajang itu, menurut Babad, dibangun dengan mencontoh Keraton Demak.
Riwayat panjang berakhir tahun 1618. Kerajaan Pajang waktu itu memberontak terhadap Mataram yang ketika itu di bawah Sultan Agung. Pajang dihancurkan, rajanya melarikan diri ke Giri dan Surabaya.
c.   Mataram
Awal dari kerajaan Mataram adalah ketika Sultan Adiwijaya dari Pajang meminta bantuan kepada Ki Pamanahan yang berasal dari daerah pedalaman untuk menghadapi dan menumpas pemberontakan Aria Penangsang. Sebagai hadiah atasnya, Sultan kemudian menghadiahkan daerah Mataram kepada Ki Pamanahan yang menurunkan raja-raja Mataram Islam kemudian.
Ki Gede Pamanahan menempati istana barunya di Mataram (1577 M). dia digantikan oleh puteranya, Senopati (1584) dan dikukuhkan oleh Sultan Pahang. Senopatilah yang dipandang sebagai Sultan Mataram pertama, setelah Pengeran Benawa, anak Sultan Adiwijaya, menawarkan kekuasaan atas Pajang kepada Senopati. Meskipun senopati menolak dan hanya meminta pusaka kerajaan, diantaranya Gong Kiai Skar Delima, Kendali Kiai Macan Guguh dan Pelana Kiai Jatayu.[32] Namun, dalam tradisi Jawa, penyerahan benda-benda pusaka itu sama artinya dengan penyerahan kekuasaan.

d.  Cirebon
e.    Kesultanan Cirebon adalah kerajaan Islam pertama di Jawa Barat. Kerajaan ini didirikan oleh Sunan Gunung Jati. Di awal abad le-16, Cirebon masih merupakan sebuah daerah kecil di bawah kekuasaan Pakuan Pajajaran. Raja Pajajaran hanya menempatkan seorang juru labuhan disana, bernama Pangeran Walangsungsang. Seorang tokoh yang mempunyai hubungan darah dengan raja Pajajaran. Ketika berhasil memajukan Cirebon, ia sudah menganut agama Islam.
Dari Cirebon, Sunan Gunung Jati mengembangkan Islam ke daerah-daerah lain di Jawa Barat seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa dan Banten. Dasar pengembangan Islam dan perdagangan kaum muslimin di Banten diletakkan oleh Sunan Gunung Jati. Ketika ia kembali ke Cirebon, Banten diserahkan kepada anaknya, Sultan Hasanuddin. Sultan inilah yang menurunkan raja-raja Banten.

f.   Banten
Sejak sebelum zaman Islam, ketika masih berada dibawah kekuasaan raja-raja Sunda (dari Pajajaran, atau mungkin sebelumnya), Banten sudah menjadi kota yang berarti. Dalam tulisan Sunda Kuno, cerita Parahyangan, disebut-sebut nama Wahenten Girang. Nama ini dapat dihubungkan dengan Banten, sebuah kota pelabuhan di ujung pantai utara Jawa. Pada tahun 1524 atau 1525, Sunan Gunung Jati, meletakkan dasar bagi pengembangan agama dan kerajaan Islam serta bagi perdagangan orang-orang Islam disana.[33]
Menurut sumber tradisional, penguasa Pajajaran di Banten menerima Sunan Gunung Jati dengan ramah tamah dan tertarik masuk Islam. Ia meratakan jalan bagi kegiatan pengislaman disana. Dengan segera ia menjadi orang yang berkuasa atas kota itu dengan bantuan tentara Jawa yang memang dimintanya. Namun, menurut cerita Barros. Penyebaran Islam di Jawa Barat tidak melalui jalan damai. Sebagaimana disebut oleh sumber-sumber tradisional. Beberapa pengislaman mungkin terjadi secara sukarela, tetapi kekuasaan tidak diperoleh kecuali dengan menggunakan kekerasan. Banten, dikatakan justru diserang tiba-tiba.

3)   Tumbuh dan Berkembangnya Kerajaan-Kerajaan Islam di Kalimantan, Maluku dan Sulawesi
a.   Kalimantan
Kalimantan terlalu luas untuk berada dibawah satu kekuasaan pada waktu datangnya Islam. Daerah barat laut menerima Islam dari Malaya, daerah timur dari Makasar dan wilayah selatan dari Jawa. Masuknya Islam di Kalimantan Selatan selalu mengidentikkan dengan berdirinya kerajaan Banjarmasin, yang merupakan kelanjutan dari kerajaan Daha yang beragama Hindu. Peristiwanya dimulai ketika terjadi pertentangan dalam keluarga istana, antara Pangeran Samudera sebagai pewaris sah kerajaan Daha dengan pamannya Pangeran Tumenggung.
Menurut risalah Kutai (Kalimantan Timur), dua orang penyebar Islam tiba di Kutai pada masa pemerintahan Raja Mahkota. Salah seorang di antaranya adalah Tuan di Bandang, yang dikenal dengan Dato’ Ri Bandang dari Makasar, yang lain adalahnya adalah Tuan Tunggang Paparangan. Setelah pengislaman itu, Dato’ Ri Bandang kembali ke Makasar, sementara Tuan Tunggang Parangan tetap di Kutai. Melalui yang terakhir inilah Raja Mahkota tunduk kepada keimanan Islam. Setelah itu, segera dibangun sebuah masjid dan pengajaran agama dapat dimulai. Yang pertama sekali mengikuti pengajaran itu adalah Raja Mahkota sendiri, kemudian Pangeran, para menteri, panglima dan hulubalang dan akhirnya rakyat biasa.

b.  Maluku
Islam mencapai kepulauan rempah-rempah yang sekarang dikenal dengan Maluku ini pada pertengahan terakhir abad ke-15, sekitar tahun 1460. Raja Ternate Vongi Tidore, memeluk agama Islam. Ia mengambil istri keturunan ningrat dari Jawa. Di masa itu, gelombang perdagangan muslim terus meningkat, sehingga raja menyerah pada tekanan para pedagang muslim dan memutuskan belajar tentang Islam pada Madrasah Giri. Di Giri, ia dikenal dengan nama Raja Bulawa atas raja Cengkeh, mungkin karena ia membawa cengkeh dan yang terakhir kemudian dikenal sebagai penyebar utama Islam di kepulauan Maluku.

c.   Sulawesi
Kerajaan Gowa-Tallo, kerajaan kembar yang saling berbatasan, biasanya disebut kerajaan Makassar. Kerajaan ini terletak di semenanjung Barat Daya pulau Sulawesi, yang merupakan daerah transito sangat strategis. Sejak Gowa-Tallo tampil sebagai pusat perdagangan laut, kerajaan ini menjalin hubungan baik dengan Ternate yang telah menerima Islam dari Gresik/Giri. Di bawah pemerintahan Sultan Babullah, Ternate mengadakan perjanjian persahabatan dengan Gowa-Tallo. Ketika itulah, raja Ternate berusaha mengajak penguasa Gowa-Tallo untuk menganut Islam. Tetapi gagal. Baru pada waktu Datu’ Ri Bandang datang ke kerajaan Gowa-Tallo, agama Islam mulai masuk ke kerajaan ini.

L.   KERAJAAN ISLAM ZAMAN PENJAJAHAN BELANDA
Keadaan kerajaan-kerajaan Islam menjelang datangnya Belanda di akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17 ke Indonesia berbeda-beda, bukan hanya berkenaan dengan kemajuan politik, tapi juga proses islamisasinya. Di Sumatera, penduduk sudah Islam sekitar tiga abad, sementara di Maluku dan Sulawesi proses islamisasi masih berlangsung.
Di Sumatera, setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis, percaturan politik di selat Malaka merupakan perjuangan segi tiga: Aceh, Portugis dan Johor yang merupakan kelanjutan kerajaan Malaka Islam.[34] Pada abad ke-16, tampaknya Aceh menjadi lebih dominan, terutama karena pedagang muslim menghindar dari Malaka dan memilih Aceh sebagai pelabuhan transit dan Aceh berusaha menarik perdagangan internasional dan antar kepulauan Nusantara.
Di Jawa, pusat kerajaan Islam sudah pindah dari pesisir ke pedalaman, yaitu dari Demak ke Pajang kemudian ke Mataram. Berpindahnya pusat pemerintahan itu membawa pengaruh besar yang sangat menentukan perkembangan sejarah Islam di Jawa, diantaranya adalah:
1)    Kekuasaan dan sistem politik didasarkan atas basis agraris.
2)   Peranan daerah pesisir dalam pelayaran dan perdagangan mundur, demikian juga peranan pedagang  dan pelayar jawa, dan
3)   Terjadinya pergeseran pusat-pusat perdagangan dalam abad ke-17 dengan segala akibatnya.[35]

Pada tahun 1619, seluruh Jawa Timur praktis sudah berada di bawah kekuasaan Mataram, yang ketika itu di bawah sultan Agung. Pada masa pemerintahan Sultan Agung inilah, kontak-kontak bersenjata antara kerajaan Mataram dengan VOC mulai terjadi. Sementara itu, Banten di pantai Jawa Barat muncul sebagai simpul penting antara lain karena perdagangan ladanya dan tempat penampungan pelarian dari pesisir Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di samping itu, Banten juga menarik perdagangan lada dari Indrapura, Lampung dan Palembang.
Sementara itu, Maluku, Banda, Seram dan Ambon sebagai pangkal atau ujung perdagangan rempah-rempah menjadi sasaran pedagang Barat yang ingin menguasainya dengan politik monopolinya. Ternate dan Tidore dapat terus dan berhasil menggalakkan dominasi total dari Portugis dan Spanyol.[36] Namun, ia mendapatkan ancaman dari Belanda yang datang ke Indonesia.
Tujuan Belanda datang ke Indonesia, untuk mengembangkan usaha perdagangan, yaitu mendapatkan rempah-rempah yang mahal harganya di Eropa. Perseroan Amesterdam mengirim armada kapal dagangnya yang pertama ke Indonesia pada tahun 1595, terdiri dari empat kapal. Melihat hasil yang diperoleh Perseroan Amesterdam itu, banyak perseroan lain yang berdiri yang juga ingin berdagang dan berlayar ke Indonesia.
Dalam usaha mengembangkan perdagangannya, VOC Nampak ingin melakukan monopoli. Karena itu, aktivitasnya yang ingin mneguasai perdagangan Indonesia menimbulkan perlawanan pedagang-pedagang pribumi yang merasa kepentingannya terancam. Sistem monopoli ini bertentangan dengan sistem tradisional yang dianut oleh masyarakat. Sikap Belanda yang memaksakan kehendak dengan kekerasan makin memperkuat sikap permusuhan pribumi. Namun, secara politis VOC dapat menguasai sebagian besar wilayah Indonesia dalam waktu yang cepat.
Dari sebab itulah muncul perlawanan-perlawanan dari orang pribumi untuk mengusir Belanda dari Nusantara. Dan beberapa peristiwa perlawanan besar terjadi tanpa mengucilkan peristiwa yang lain, yaitu: Perang Paderi di Minangkabau, Perang diponegoro, Perang Banjarmasin, dan Perang Aceh.

M. ISLAM INDONESIA: ZAMAN MODERN DAN KONTEMPORER
1.  Gerakan Modern Islam
Pembaharuan dalam Islam atau gerakan modern Islam merupakan jawaban yang ditujukan terhadap krisis yang dihadapi umat Islam pada masanya. Kemunduran progresif kerajaan Usmani yang merupakan pemangku khalifah Islam. Setelah abad ke-17, telah melahirkan kebangkitan Islam dikalangan warga Arab. Yang terpenting diantaranya gerakan wahabi, sebuah gerakan reformis puritanis (salafiyah). Gerakan merupakan sarana yang menyiapkan jembatan kea rah pembaharuan Islam abad 20 yang lebih bersifat intelektual.[37] Katalisator terkenal gerakan pembaharuan ini adalah Al-Afghani (1897). Ia mengajarkan solidaritas Pan-Islam dan pertahanan terhadap imperialism Eropa, dengan kembali kepada Islam dalam suasana yang secara ilmiah dimodernisasi.[38]
Sementara itu, hampir pada waktu bersamaan, pemerintahan penjajah menjalankan politik etis, politik balas budi. Belanda mendirikan sekolah-sekolah formal bagi bumi putra, terutama dari kalangan priyayi dan kaum bangsawan. Pendidikan Belanda tersebut membuta mata kaum terpelajar akan kondisi masyarakat Indonesia. Pengetahuan mereka akan kemiskinan, kebodohan dan ketertindasan mendorong lahirnya organisasi-organisasi sosial, seperti Budi Utomo, Taman Siswa, Jong Java, jong Sumatrenen Bond, Jong Ambon, Jong Selebes dan lain sebagainya.

2.  Perjuangan Kemerdekaan Umat Islam
Nasionalisme dalam pengertian politik, baru muncul setalah Samanhudi menyerahkan tumpuk pimpinan SDI kepada HOS Tjokroaminoto yang mengubah nama dan sifat organisasi serta memperluas ruang geraknya.[39] Sebagai organisasi pelopor nasionalisme Indonesia, SI pada decade pertama adalah organisasi politik besar yang merekrut anggotanya dari berbagai kelas dan aliran yang ada di Indonesia. Waktu itu, ideology bangsa memang masih beragam dan semua bertekad untuk mencapai kemerdekaan.
Demikianlah SI memperjuangkan pemerintahan sendiri bagi pendudukan Indonesia, bebas dari pemerintahan Belanda. Namun demikian, dalam perjalan sejarahnya, dikalangan tokoh-tokoh dan organisasi-organisasi pergerakan, mulai terjadi perbedaan taktik dan program; golongan revolusioner berhadapan dengan golongan moderat; dan politik koperasi tidak berjalan dengan politik non-koperasi yang dilakukan oleh golongan tertentu. Puncak perbedaan ini terjadi dalam tubuh SI sendiri, yang memunculkan kekuatan baru dengan ideologinya sendiri, komunisme. Pemisahan apa yang kemudian dikenal dengan PKI dari SI.
Di awal 1940-an, Soekarno yang pernah mendalami ajaran Islam, mencoba mendamaikan konflik-konflik itu dengan berusaha mengutip pendapat pemikir-pemikir pembaharu di Negara Islam Timur Tengah, termasuk Turki. Namun, konsep politik Islamnya lebih banyak merupakan penerapan sekulerisme, sebagaimana yang dilakukan oleh Kemal Attaturk di Turki.

3.  Organisasi Politik dan Organisasi Sosial Islam
Pada masa proklamasi 17 Agustus 1945, Piagam Jakarta sama sekali tidak digunakan. Soekarno-Hatta justru membuat teks proklamasi yang lebih singkat, karena ditulis secara tergesa-gesa. Perlu diketahui, menjelang kemerdekaan, setelah Jepang tidak bisa menghindari kekalahan dari Negara sekutu, BPUPKI ditingkatkan menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Berbeda dengan BPUPKI yang khusus untuk pulau jawa, PPKI merupakan perwakilan daerah seluruh kepulauan di Indonesia. Pada masa ini disebut juga masa Revolusi dan Demokrasi liberal, yang mana organisasi politik pada saat ini antara lain; Masyumi, PSII, Perti, dan NU.
Pada masa demokrasi terpimpin, hanya partai Masyumi yang keluar dari barisan dan yang lainnya masih tetap. Sedangkan pada masa Orde Baru; Golkar, PDI dan PPP.

N.  PUSAT-PUSAT PERADABAN ISLAM
1.  Baghdad
Kota Baghdad didirikan oleh khalifah Abbasiyah II, Al-Manshur (754-755 M). setelah mencari daerah-daerah yang strategis untuk ibu kotanya, pilihan jatuh pada daerah yang sekarang dinamakan Baghdad, terletak dipinggir sungai Tigris. Al-Manshur sangat cermat dan teliti dalam memilih lokasi yang akan dijadikan ibu kota. Ia menugaskan beberapa orang ahli untuk meneliti dan mempelajari lokasi. Bahkan ada beberapa orang yang diperintahkan untuk tinggal beberapa hari ditempat itu pada musim yang berbeda, kemudian para ahli melaporkan tentang keadaan udara, tanah, dan lingkungan. Setelah dengan seksama daerah itu ditetapkan sebagai ibu kota dan pembangunanpun dimulai.
Dalam membangun kota, khalifah mempekerjakan ahli bangunan yang terdiri dari arsitektur, tukang batu, tukang kayu, ahli pahat, dan lain-lain. Mereka didatangkan dari Syiria, Mosul, Basrah, dan Kufah yang berjumlah sekitar 100.000 orang. Kota ini berbentuk bundar. Di sekelilingnya dibangun tembok yang tinggi dan besar.
Dari kota inilah memancar sianr kebudayaan dan peradaban Islam ke seluruh dunia. Prestise politik, supremasi ekonomi, dan aktivitas intelektual merupakan tiga keistimewaan kota ini.[40] Kebesarannya tidak terbatas pada negeri Arab, tetapi meliputi seluruh negeri Islam. Baghdad ketika itu menjadi pusat peradaban dan kebudayaan yang tertinggi di dunia. Ilmu pengetahuan dan sastra berkembang sangat pesat. Banyak buku filsafat yang sebelumnya dipandang sudah “mati” dihidupkan kembali dengan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Khalifah Al-Ma’mun memiliki perpustakaan yang dipenuhi ribuan buku ilmu pengetahuan. Perpustakaan itu bernama Bait al-Hikmah.
Di samping itu, banyak berdiri akademi, sekolah tinggi, dan sekolah biasa yang memenuhi seluruh kota. Dua di antaranya yang terpenting adalah perguruan Nizhamiyyah, didirikan oleh Nizam al-Mulk, wazir sultan Saljuk dan perguruan Mustanshiriyah, didirikan dua abad kemudian oleh Khalifah al-Mustanshir Billah.

2.  Kairo (Mesir)
Kota Kairo dibangun pada 17 Sya’ban 358 H/969 M oleh Panglima perang Dinasti Fathimiah yang beraliran Syi’ah. Jawhar Al-Siqili, atas perintah Fathimiah, Al-Mu’izz Lidinillah (953-975 M), sebagai ibu kota kerajaan dinasti tersebut. Bentuk kota ini merupakan segi empat. Disekelilingnya dibangun pagar tembok besar dan tinggi, yang sampai sekarang masih ditemui peninggalannya. Pagar tembok ini memanjang dari Masjid ibn Thulun sampai ke Qal’at Al-Jabal. Daerah yang dilalui oleh dinding ini sekarang disebut al-Husniyah, Bab al-Luk, Syibra, dan Ahya Bulaq.[41]
Kota yang terletak di tepi Sungai Nil ini mengalami tiga kali masa kejayaan, yaitu pada masa dinasti Fathimiah, Shalah al-Din al-Ayyubi dan di bawah Baybars dan an-Nashir pada masa dinasti Mamalik. Dinasti Fahtimiah ditumbangkan oleh dinasti ayyubiyah yang didirikan oleh Shalah al-Din al-Ayyubi, seorang pahlawan Islam yang terkenal dalam perang Salib. Ia tetap mempertahankan lembaga-lembaga yang didirikan oleh dinasti Fathimiah tetapi mengubah orientasi keagamaannya dari Syi’ah kepada Sunni. Ia juga mendirikan lembaga-lembaga baru, terutama masjid yang dilengkapi dengan tempat belajar teologi dan hukum. Karya-karya ilmiah yang muncul pada masanya dan sesudahnya adalah kamus-kamus biografi, compendium sejarah, manual hukum, dan komentar-komentar teologi. Ilmu kedokteran diajarkan di rumah-rumah sakit. Prestasinya yang lain adalah didirikannya sebuah rumah sakit bagi orang yang cacat pikiran.[42]

3.  Isfahan (Persia)
Isfihan adalah kota terkenal di Persia, pernah menjadi ibu kota kerajaan Safawi. Kota ini merupakan gabungan dari dua kota sebelumnya, yaitu Jayy, tempat berdirinya Syahrastan dan Yahudiyah yang didirikan oleh Buchtanashshar atas anjuran istrinya yang beragama Yahudi.[43]
Ketika raja Safawi, Abbas I, menjadikan isfihan sebagai ibu kota kerajaannya, kota ini terletak di atas sungai Zandah. Di atas sungai ini terbentang tiga buah jembatan yang megah dan indah, satu diantaranya terletak ditengah kota. Sementara dua lainnya dipinggiran kota. Kota ini ketika berada di kekuasaan Safawi, dikelilingi oleh tembok yang terbuat dari tanah dengan delapan buah pintu. Di dalam kotak berdiri banyak bangunan, seperti istana-istana, sekolah-sekolah, masjid, menara, pasar dan ruamh-rumah yang indah, terukir rapi dengan warna yang menarik. Masjid Syah yang didirikan oleh Abbas , merupakan salah satu masjid terindah di dunia. Pintunya dilapisi dengan perak. Disamping itu, juga ada lapangan dan tanaman  yang terawatt baik dan menawan.

4.  Istanbul (Turki)
Istanbul adalah ibu kota kerajaan Turki Usmani. Kota ini sebelumnya merukan ibu kota kerajaan Romawi Timur, yang bernama Konstantinopel. Sebagai ibu kota, di sinilah tempat berkembangnya kebudayaan Turki yang merupakan perpaduan bermacam-macam kebudayaan. Bangsa Turki Usmani banyak mengambil pelajaran etika dan politik dari bangsa Persia. Sebagai bangsa yang berasal dari Asia Tengah, Turki memang suka berasimilasi dan senang bergaul dengan bangsa lain. Dalam bidang kemeliteran dan kepemerintahan, kebudayaan Bizantium banyak mempengaruhi kerajaan Turki Usmani. Namun, jauh sebelum mereka berasimilasi dengan bangsa lain, sejak pertama mereka masuk Islam, bangsa Arab sudah menjadi guru mereka dalam bidang agama, ilmu, prinsip-prinsip kemasyarakatan, hokum, huruf Arab dijadikan huruf resmi kerajaan.



O.  PERADABAN ISLAM DI INDONESIA
1.  Sebelum Kemerdekaan
Oleh karena penyebaran Islam di Indonesia pertama-tama dilakukan oleh para pedagang. Pertumbuhan komunitas Islam bermula di berbagai pelabuhan-pelabuhan penting Sumatera, Jawa dan pulau lainnya. Kerajaan-kerajaan Islam yang bertama berdiri juga berasal dari pesisir. Demikian halnya dengan kerajaan Samudera Pasai, Aceh, Demak, Banten dan Cirebon, Ternate dan Tidore. Dari sana kemudian Islam menyebar dan hampir merata di berbagai wilayah Nusantara.
Di samping merupakan pusat-pusat politik dan perdagangan, ibu kota kerajaan juga merupakan tempat berkumpul para ulama. Ibn Bathuthah menceritakan, sultan kerajaan Samudera Pasai, Sultan al-Malik al-Zahir, dikelilingi oleh ulama dan mubalig Islam, dan raja-raja sendiri sangat menggemari diskusi mengenai masalah-masalah keagamaan. Raja Aceh mengngkat para ulama untuk dijadikan sebagai penasihat dan pejabat di bidang keagamaan. Sultan Iskandar Muda mengangkat Syaikh Syamsuddin al-Sumatrani mejadi mufti kerajaan Aceh, Sultan Iskandar Tsani mengangkat Syikh Nuruddin al-Raniri menjadi mufti kerajaan.
Kedudukan ulama sebagai penasihat raja, terutama dalam bidang keagamaan juga terdapat di kerajaan-kerajaan Islam lainnya. Di Demak, penasihat Raden Fatah adalah para Wali, terutama Sunan Ampel dan Sunan Kalijaga. Sunan Gunung Jati bahkan disamping berperan sebagai guru agama dan mubalig, juga langsung berperan sebagai kepala pemerintahan. Di Ternate, sultan dibantu oleh sebuah badan penasihat atau lembaga adat. Pada umumnya badan ini beranggotakan para ulama.

2.  Setelah Kemerdekaan
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, sejak awal kebangkitan nasional, posisi agama sudah mulai dibicarakan dalam kaitannya dengan poltik atau Negara. Ada dua pendapat yang didukung oleh dua golongan yang bertentangan tentang hal itu. Satu golongan berpendapat; Negara Indonesia merdeka hendaknya merupakan Negara “sekuler”, Negara yang dengan jelas memisahkan persoalan agama dan politik, sebagaimana diterapkan di Negara Turki oleh Mustafa Kemal. Golongan lainnya berpendapat; Negara Indonesia merdeka adalah “Negara Islam”. Kedua pendapat ini terlihat sebelum kemerdekaan dalam polemik antara Soekarno dengan Agus Salim.
Meskipun persoalan itu belum selesai dipecahkan, tampaknya para pemimpin bangsa Indonesia sudah bergerak memikirkan alternative “jalan tengah” dari dua pendapat tersebut. Mereka menganjurkan suatu Negara yang mempunyai dasar keagamaan secara umum dan pemerintah mengakui nilai keagamaan yang positif, karena itu akan memajukan kegiatan keagamaan. Dalam kerangka itulah, Departemen Agama didirikan, yang menangani berbagai macam persoalan tentang keagamaan, antara lain: pendidikan, haji, hokum Islam,dan MUI.


Daftar Pustaka

1.     Hassan Ibrahim Hassan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Yogyakarta: Penerbit Kota Kembang, 1989), 34.
2.    Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid 1, (Jakarta: UI Press, 1985), 58.
3.    Syibli Nu’man, Umar yang Agung, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1981), 264-276.
4.    Ahmad Amin, Islam dari Masa ke Masa, cet. 1 (Bandung: CV. Rusyda, 1987) 87.
5.    Hassan Ibrahim Hassan, Sejarah dan Kebudayaan Islam……. 62.
6.    Abu A’la Al-Maududi, Khalifah dan Kerajaan, (Bandung: Mizan, 1984),
7.    Sir William Muir, The Caliphat, (New York: AMS Inc., 1975), 432.
8.    W. Montgomery Watt, Politik Islam dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta: P3M, 1988), 152.
9.    Hassan Ibrahim Hassan, Tarikh al-Islam, Jilid IV, (Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyah, 1967), 243-244.
10.  Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya……… 78.
11.  M. Yahya Harun, Perang Salib dan Pengaruh Islam di Eropa, (Yogyakarta: Bina Usaha, 1987), 12-14.
12.  Syibli Nu’man, Umar yang Agung……… 161.
13.  Hassan Ibrahim Hassan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Yogyakarta: Kota Kembang, 1989), 312.
14.  Hamka, Sejarah Umat Islam III, (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), 57.
15.  Hassan Ibrahim Hassan, Sejarah dan Kebudayaan Islam……… 324-325.
16.  Syed Mahmudunnasir, Islam Its Consepts and History, (New Delhi: Kitab Bahavan, 1981), 163.
17.  S.M. Ikram, Muslim Civilization in India, (New York: Columbia University Press, tt), 247.
18.  P.M. Holt, dkk, (ed), The Cambridge History of Islam, vol. IA, (London: Cambridge University Press, 1970), 417.
19.  S.I. Poeradisastra, Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Peradaban Dunia, (Jakarta: P3M, 1986), 70.
20. Abu’l-Hasan Ali Al-Nadwi, Islam Membangun Peradaban Dunia, (Jakarta: Pustaka Jaya-Djambatan, 1988), 220.
21.  L. Stoddard, Dunia Baru Islam, (Jakarta: 1966), 25.
22. L. Stoddard, Dunia Baru Islam……… 48.
23. Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (Ed), Sejarah Nasional Indonesia II, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), 2.
24. Taufik Abdullah (Ed), Sejarah Umat Islam Indonesia, (Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 1991), 39.
25. Uka Tjandrasasmita (Ed), Sejarah Nasional Islam III, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1984), 3.
26. Taufik Abdullah (Ed), Sejarah Umat Islam Indonesia……… 55.
27. Anas Machmud, “Turun Naiknya Peranan Kerajaan Aceh Darussalam di Pesisir Timur Pulau Sumatera”, dalam A. Hasymy, (Ed), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, (PT. Al-Maarif, 1989), 286.
28. Taufik Abdullah (Ed), Sejarah Umat Islam Indonesia……… 69.
29. J. Graaf dan Th. Pigeud, Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa, (Jakarta: Grafiti Pers, 1985), 49.
30. J. Graaf dan Th. Pigeud, Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa……… 49.
31.  Taufik Abdullah (Ed), Sejarah Umat Islam Indonesia……… 70.
32. J. de Graaf, Awal Kebangkitan Mataram, Masa Pemerintahan Senapati, (Jakarta: Grafitipers, 1987), 95.
33. J. Graaf dan Th. Pigeud, Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa……. 147.
34. Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900, Jilid I, (Jakarta: Gremedia, 1987), 61.
35. Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru……… 65.
36. Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru……… 68-69.
37. Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), 1-25.
38. Hrair Dekmejian, Islam in Revolution, (New York: Syracuse University Press, 1985), 18.
39. Amelz, HOS Tjokroaminoto, Hidup dan Perjuangan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1952), 94.
40. Philip K. Hitti, Capital Cities of Arab Islam, (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1973), 85.
41.  A. Mukti Ali, dkk, Ensiklopedi Islam di Indonesia, Jilid 2, (Jakarta: Departemen Agama RI, 1988), 464.
42. A. Mukti Ali, dkk, Ensiklopedi Islam di Indonesia……… 130.
43. Ahmad al-Santanawi, dkk, Dirat al-Ma’arif al-Islamiyah, Jilid 2, 258-59.

1 komentar: