Thursday 13 February 2014

MASA DISINTEGRASI (1000-1250)



MASA DISINTEGRASI
(1000-1250)

Perkembangan peradaban dan kebudayaan serta kemajuan besar yang dicapai dinasti Abbasiyah pada periode pertama telah mendorong para penguasa untuk hidup mewah , bahkan cenderung mencolok. Setiap khalifah cenderung ingin lebih mewah dari pendahulunya . kehidupan mewah khalifah-khalifah ini ditiruoleh para hartawan dan anak-anak pejabat. Kecenderungan bermewah-mewah,ditambah dengan kelemahan khlaifah dan khalifah dan faktor lainnya menyebabkan roda pemerintahan terganggu dan rakyat miskin. Kondisi ini member peluang kepada tentara  professional asal turki yang semula diangkat oleh khalifah al-mu’tashim untuk mengambil alih pemerintah. Usaha mereka berhasil, sehingga kekuasaaan sesungguhnya berada ditangan mereka, sementara  kekuasaaan bani abbaas didalam khilafah Abbbasiyah yang didiraikannya mulai pudar dan ini merupakan awal dari keruntuhan dinasti ini meskipun setelah itu usianya masih dapat bertahan lebih dari empat ratus tahun.


A.      DINASTI-DINASTI YANG MEMERDEKAKAN DIRI DARI BAGHDAD
Disintegrasi dalam bidang politik sebenarnya sudah di mulai di akhir zaman bani Umayah. Akan tetapi berbicara tentang politik islam dalam lintasan sejarah, akan terlihahat perbedaan anatara Pemerintahan BaniUmayah dengan Pemerintahan Bani Abas. Wilayahkekuasaan Bani Umayah, mulai dari awal berdirinya samoai masa keruntuhannya, sejajar dengan batas-batas kekuasaan islam. Kekuasaan dinasti ini tidak pernah di akui di Spanyol dan afrika utara kecuali mesir yang bersifat sebentar-bentar dan kebanyakan bersifat nominal, yang hubungannya dengan khalifah ditandai dengan pembayaran upeti..
Akibat dari kebijaksanaan yang lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada persoalan politik itu, propinsi-propinsi tertentu di pinggiran mulai lepas dari genggaman penguasa Bani Abbas. Ini bisa terjadi dalam salah satu dari dua cara: Pertama, seorang pemimpin lokal memimpin suatu pemberontakan dan berhasil memperoleh kemerdekaan penuh, seperti daulat Umayyah di Spanyol dan Idrisiyyah di Marokko. Kedua, seseorang yang ditunjuk menjadi gubernur oleh khalifah, kedudukannya semakin bertambah kuat, seperti daulat Aghlabiyah di Tunisia dan Thahiriyyah di Khurasan.
Kecuali Bani Umayyah di Spanyol dan Idrisiyyah di Marokko, propinsi-propinsi itu pada mulanya tetap patuh membayar upeti selama mereka menyaksikan Baghdad stabil dan khalifah mampu mengatasi pergolakan-pergolakan yang muncul. Namun pada saat wibawa khalifah sudah memudar mereka melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad. Mereka bukan saja menggerogoti kekuasaan khalifah, tetapi beberapa diantaranya bahkan berusaha menguasai khaljfah itu sendiri.
Menurut Watt, sebenarnya keruntuhan kekuasaan Bani Abbas mulai terlihat sejak awal abad kesembilan. Fenomena ini mungkin bersamaan dengan datangnya pemimpin-pemimpin yang memiliki kekuatan militer di propinsi-propinsi tertentu yang membuat mereka benar-benar independen. Kekuatan militer Abbasiyah waktu itu mulai mengalami kemunduran. Sebagai gantinya, para penguasa Abbasiyah mempekerjakan orang-orang profesional di bidang kemiliteran, khususnya tentara Turki dengan sistem perbudakan baru seperti diuraikan di atas. Pengangkatan anggota militer Turki ini, dalam perkembangan selanjutnya teryata menjadi ancaman besar terhadap kekuasaan khalifah. Apalagi pada periode pertama pemerintahan dinasti Abbasiyah, sudah muncul fanatisme kebangsaan berupa gerakan syu'u arabiyah (kebangsaan/anti Arab). Gerakan inilah yang banyak memberikan inspirasi terhadap gerakan politik, disamping persoalan-persoalan keagamaan. Nampaknya, para khalifah tidak sadar akan bahaya politik dari fanatisme kebangsaan dan aliran keagamaan itu, sehingga meskipun dirasakan dalam hampir semua segi kehidupan, seperti dalam kesusasteraan dan karya-karya ilmiah, mereka tidak bersungguh-sungguh menghapuskan fanatisme tersebut, bahkan ada diantara mereka yang justru melibatkan diri dalam konflik kebangsaan dan keagamaan itu.

Dinasti-dinasti yang lahir dan melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad pada masa khilafah Abbasiyah, diantaranya adalah:
1.
Yang berbangsa Persia:
a.
Thahiriyyah di Khurasan, (205-259 H/820-872 M).

b.
Shafariyah di Fars, (254-290 H/868-901 M).

c.
Samaniyah di Transoxania, (261-389 H/873-998 M).

d.
Sajiyyah di Azerbaijan, (266-318 H/878-930 M).

e.
Buwaihiyyah, bahkan menguasai Baghdad, (320-447 H/ 932-1055 M).

2.
Yang berbangsa Turki:
a.
Thuluniyah di Mesir, (254-292 H/837-903 M).

b.
Ikhsyidiyah di Turkistan, (320-560 H/932-1163 M).

c.
Ghaznawiyah di Afghanistan, (351-585 H/962-1189 M).

d.
Dinasti Seljuk dan cabang-cabangnya:

1.
Seljuk besar, atau seljuk Agung, didirikan oleh Rukn al-Din Abu Thalib Tuqhrul Bek ibn Mikail ibn Seljuk ibn Tuqaq. Seljuk ini menguasai Baghdad dan memerintah selama sekitar 93 tahun (429-522H/1037-1127 M).


2.
Seljuk Kinnan di Kirman, (433-583 H/1040-1187 M).


3.
Seljuk Syriaatau Syam di Syria,(487-511 H/1094-1117 M).


4.
Seljuk Irak di Irak dan Kurdistan, (511-590 H/1117-1194 M).


5.
Seljuk Rum atau Asia kecil di Asia Kecil, (470-700 H/1077-1299 M).


3.
Yang berbangsa Kurdi:
a.
al-Barzuqani, (348-406 H/959-1015 M).

b.
Abu Ali, (380-489 H/990-1095 M).

c.
Ayubiyah, (564-648 H/1167-1250 M).

4.
Yang berbangsa Arab:
a.
Idrisiyyah di Marokko, (172-375 H/788-985 M).

b.
Aghlabiyyah di Tunisia (184-289 H/800-900 M).

c.
Dulafiyah di Kurdistan, (210-285 H/825-898 M).

d.
Alawiyah di Tabaristan, (250-316 H/864-928 M).

e.
Hamdaniyah di Aleppo dan Maushil, (317-394 H/929- 1002 M).

f.
Mazyadiyyah di Hillah, (403-545 H/1011-1150 M).

g.
Ukailiyyah di Maushil, (386-489 H/996-1 095 M).

h.
Mirdasiyyah di Aleppo, (414-472 H/1023-1079 M).

5.
Yang mengaku dirinya sebagai khilafah:
a.
Umawiyah di Spanyol

b.
Fathimiyah di Mesir.


Dari latar belakang dinasti-dinasti itu, nampak jelas adanya persaingan antarbangsa, terutama antara Arab, Persia dan Turki. Disamping latar belakang kebangsaan, dinasti-dinasti itu juga dilatarbelakangi paham keagamaan, ada yang berlatar belakang Syi'ah, ada yang Sunni.
1.          Luas wilayah kekuasaan daulat Abbasiyah sementara komunikasi pusat dengan daerah sulit di lakukan bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya di kalangan para penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah.
2.          Dengan profesionalisasi angkatan bersenjata, ketergantungan khalifah kepada mereka sangat tinggi.
3.          Keuntungan negara sangat sulit karena biaya yang dikeluarkan untuk tentara bayaran sangat besar. Pada saat kekuatan militer menurun, Khalifah tidak sanggup memaksa pengiriman pajak ke Baghdad.       

B.      PEREBUTAN KEKUASAAAN DI PUSAT PEMERINTAHAN

Faktor lain yang menyebabkan peran politik Bani Abbas menurun adalah perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan, dengan membiarkan jabatan tetap dipegang bani Abbas, karena khalifah sudah dianggap sebagai jabatan keagamaan yang sakral dan tidak bisa diganggu gugat lagi, sedangkan kekusaan dapat didirikan di pusat maupun daerah yang jauh dari pusat pemerintahan dalam bentuk dinasti-dinasti kecil yang merdeka.

Faktor lain yang menyebabkan peran politik Bani Abbas menurun adalah perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan. Hal ini sebenarnya juga terjadi pada pemerintahan-pemerintahan Islam sebelumnya. Tetapi, apa yang terjadi pada pemerintahan Abbasiyah berbeda dengan yang terjadi sebelumnya.

            Dalam perkembangan selanjutnya, proses suksesi kepemimpinan politik dalam sejarah Islam berbeda-beda dari satu masa ke masa yang lain. Ada yang berlangsung aman dan damai, tetapi sering juga melalui konflik dan pertumpahan darah akibat ambisi tak terkendali dari pihak-pihak tertentu. Setelah Nabi wafat, terjadi pertentangan pendapat antara kaum Muhajirin dan Anshar di balai kota Bani Sa'idah di Madinah. Masing-masing golongan berpendapat bahwa kepemimpinan harus berada di pihak mereka, atau setidak-tidaknya masing-masing golongan mempunyai pemimpin sendiri. Akan tetapi, karena pemahaman keagamaan mereka yang baik dan semangat musyawarah dan ukhuwah yang tinggi perbedaan itu dapat diselesaikan, Abu Bakar terpilih menjadi Khalifah.

Pertumpahan darah pertama dalam Islam karena perebutan kekuasaan terjadi pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Pertama-tama Ali menghadapi pemberontakan Thalhah, Zubair, dan Aisyah. Alasan pemberontakan itu adalah Ali tidak mau menghukum para pembunuh Usman, dan mereka menuntut bela terhadap darah Usman yang ditumpahkan secara zalim. Namun di balik alasan itu, menurut Ahmad Syalabi, Abdullah ibn Zubairlah yang menyebabkan terjadinya pemberontakan yang banyak membawa korban tersebut. Dia berambisi besar untuk menduduki kursi khilafah. Untuk itu, ia menghasut bibi dan ibu asuhnya, Aisyah, agar memberontak terhadap Ali, dengan harapan Ali gugur dan ia dapat menggantikan posisi Ali. Dengan tujuan mendapatkan kedudukan khilafah itu pula Muawiyah, gubemur Damaskus, memberontak. Selain banyak menimbulkan korban, Muawiyah berhasil mencapai maksudnya, sementara Ali terbunuh oleh bekas pengikutnya sendiri.

Pemberontakan-pemberontakan yang muncul pada masa Ali ini bertujuan untuk menjatuhkannya dari kursi khilafah dan diganti oleh pemimpin pemberontak itu. Hal yang sama juga terjadi pada masa pemerintahan Bani Umayyah di Damaskus. Pemberontakan-pemberontakan sering terjadi, diantaranya pemberontakan Husein ibn Ali, Syi'ah yang dipimpin oleh al-Mukhtar, Abdullah ibn Zubair, dan terakhir pemberontakan Bani Abbas yang untuk pertama kalinya menggunakan nama gerakan Bani Hasyim. Pemberontakan terakhir ini berhasil dan kemudian mendirikan pemerintahan baru yang diberi nama khilafah Abbasiyah atau bani Abbas.

Pada masa pemerintahan Bani Abbas, perebutan kekuasaan seperti itu juga terjadi, terutama di awal berdirinya. Akan tetapi, pada masa-masa berikutnya, seperti terlihat pada periode kedua dan seterusnya, meskipun khalifah tidak berdaya, tidak ada usaha untuk merebut jabatan khilafah dari tangan Bani Abbas. Yang ada hanyalah usaha merebut kekuasaannya dengan membiarkan jabatan khalifah tetap dipegang Bani Abbas. Hal ini terjadi karena khalifah sudah dianggap sebagai jabatan keagamaan yang sakral dan tidak bisa diganggu gugat lagi. Sedangkan kekuasaan dapat didirikan di pusat maupun di daerah yang jauh dari pusat pemerintahan dalam bentuk dinasti-dinasti kecil yang merdeka. Tentara Turki berhasil merebut kekuasaan tersebut. Di tangan mereka khalifah bagaikan boneka yang tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan merekalah yang memilih dan menjatuhkan khalifah sesuai dengan keinginan politik mereka.

Setelah kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki pada periode kedua, pada periode ketiga (334-447 H/l055 M), daulat Abbasiyah berada di bawah kekuasaan Bani Buwaih.
Kehadiran Bani Buwaih berawal dari tiga orang putera Abu Syuja' Buwaih, pencari ikan yang tinggal di daerah Dailam, yaitu Ali, Hasan dan Ahmad. Untuk keluar dari tekanan kemiskinan, tiga bersaudara ini memasuki dinas militer yang ketika itu dipandang banyak mendatangkan rezeki. Pada mulanya mereka bergabung dengan pasukan Makan ibn Kali, salah seorang panglima perang daerah Dailam. Setelah pamor Makan ibn Kali memudar, mereka kemudian bergabung dengan panglima Mardawij ibn Zayyar al-Dailamy .Karena prestasi mereka, Mardawij mengangkat Ali menjadi gubernur al-Karaj, dan dua saudaranya diberi kedudukan penting lainnya. Dari al- Karaj itulah ekspansi kekuasaan Bani Buwaih bermula. Pertama-tama Ali berhasil menaklukkan daerah-daerah di Persia dan menjadikan Syiraz sebagai pusat pemerintahan. Ketika Mardawij meninggal, Bani Buwaih yang bermarkas di Syiraz itu berhasil menaklukkan beberapa daerah di Persia seperti Ray, Isfahan, dan daerah-daerah Jabal. Ali berusaha mendapat legalisasi dari khalifah Abbasiyah, al-Radhi Billah dan mengirimkan sejumlah uang untuk perbendaharaan negara. Ia berhasil mendapatkan legalitas itu. Kemudian ia melakukan ekspansi ke Irak, Ahwaz, dan Wasith.

Dari sini tentara Buwaih menuju Baghdad untuk merebut kekuasaan di pusat pemerintahan. Ketika itu, Baghdad sedang dilanda kekisruhan politik, akibat perebutan jabatan Amir al-Umara antara wazir dan pemimpin militer. Para pemimpin militer meminta bantuan kepada Ahmad ibn Buwaih yang berkedudukan di Ahwaz. Permintaan itu dikabulkan. Ahmad dan pasukannya tiba di Baghdad pada tanggal Jumadil-ula 334 H/945 M. Ia disambut baik oleh khalifah dan langsung diangkat menjadi Amirul-Umara, penguasa politik negara, dengan gelar Mu'izz al-Daulah. Saudaranya, Ali, yang memerintah di bagian selatan Persia dengan pusatnya di Syiraz diberikan gelar Imad al-Daulah, dan Hasan yang memerintah di bagian utara, Isfahan dan Ray, dianugerahi gelar Rukn al-Daulah. Sejak itu, sebagaimana terhadap para pemimpin militer Turki sebelumnya, para khalifah tunduk kepada Bani Buwaih. Pada masa pemerintahan Bani Buwaih ini, para khalifah Abbasiyah benar-benar tinggal namanya saja. Pelaksanaan pemerintahan sepenuhnya berada di tangan amir-amir Bani Buwaih. Keadaan khalifah lebih buruk daripada masa sebelumnya, terutama karena Bani Buwaih adalah penganut aliran Syi'ah, sementara Bani Abbas adalah Sunni. Selama masa kekuasaan bani Buwaih sering terjadi kerusuhan antara kelompok Ahlussunnah dan Syi'ah, pemberontakan tentara dan sebagainya.

Setelah Baghdad dikuasai, Bani Buwaih memindahkan markas kekuasaan dari Syiraz ke Baghdad. Mereka membangun gedung tersendiri di tengah kota dengan nama Daral-Mamlakah. Meskipun demikian, kendali politik yang sebenarnya masih berada di Syiraz, tempat Ali ibn Buwaih (saudara tertua) bertahta. Dengan kekuatan militer Bani Buwaih, beberapa dinasti kecil yang sebelumnya memerdekakan diri dari Baghdad, seperti Bani Hamdan di wilayah Syria dan Irak, Dinasti Samaniyah, dan Ikhsyidiyah, dapat dikendalikan kembali dari Baghdad. Sebagaimana para khalifah Abbasiyah periode pertama, para penguasa Bani Buwaih mencurahkan perhatian secara langsung dan sungguh-sungguh terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan kesusasteraan. Pada masa Bani Buwaih ini banyak bermunculan ilmuwan besar, di antaranya al-Farabi (w. 950 M), Ibn Sina (980-1037 M), al-Farghani, Abdurrahman al-Shufi (w. 986 M), Ibn Maskawaih (w. 1030 M), Abu al-'Ala al-Ma'arri (973-1057 M), dan kelompok Ikhwan al-Shafa. Jasa Bani Buwaih juga terlihat dalam pembangunan kanal-kanal, masjid-masjid, beberapa rumah sakit, dan sejumlah bangunan umum lainnya. Kemajuan tersebut diimbangi dengan laju perkembangan ekonomi, pertanian, perdagangan, dan industri, terutama permadani.

Kekuatan politik Bani Buwaih tidak lama bertahan. Setelah generasi pertama, tiga bersaudara tersebut, kekuasaan menjadi ajang pertikaian diantara anak-anak mereka. Masing-masing merasa paling berhak atas kekuasaan pusat. Misalnya, pertikaian antara 'Izz al-Daulah Bakhtiar, putera Mu'izz al-Daulah dan 'Adhad al-Daulah, putera Imad al-Daulah, dalam perebutan jabatan amIr al-umara. Perebutan kekuasaan di kalangan keturunan Bani Buwaih ini merupakan salah satu faktor internal yang membawa kemunduran dan kehancuran pemerintahan mereka. Faktor internal lainnya adalah pertentangan dalam tubuh militer, antara golongan yang berasal dari Dailam dengan keturunan Turki. Ketika Amir al-Umara dijabat oleh Mu'izz al-Daulah persoalan itu dapat diatasi, tetapi manakala jabatan itu diduduki oleh orang-orang yang lemah, masalah tersebut muncul ke permukaan, mengganggu stabilitas dan menjatuhkan wibawa pemerintah.

Sejalan dengan makin melemahnya kekuatan politik Bani Buwaih, makin banyak pula gangguan dari luar yang membawa kepada kemunduran dan kehancuran dinasti ini. Faktor-faktor eksternal tersebut diantaranya adalah semakin gencarnya serangan-serangan Bizantium ke dunia Islam, dan semakin banyaknya dinasti-dinasti kecil yang membebaskan diri dari kekuasaan pusat di Baghdad. Dinasti-dinasti itu, antara lain dinasti Fathimiyah yang memproklamasikan dirinya sebagai pemegang jabatan khalifah di Mesir, Ikhsyidiyah di Mesir dan Syria, Hamdan di Aleppo dan lembah Furat, Ghaznawi di Ghazna dekat kabul, dan dinasti Seljuk yang berhasil merebut kekuasaan dari tangan Bani Buwaih.

Jatuhnya kekuasaan Bani Buwaih ke tangan Seljuk bermula dari perebutan kekuasaan di dalam negeri. Ketika al-Malik al- Rahim memegang jabatan Amir al-Umara, kekuasaan itu dirampas oleh panglimanya sendiri, Arselan al-Basasiri. Dengan kekuasaan yang ada di tangannya, al-Basasiri berbuat sewenang-wenang terhadapal Al-Malikal-Rahim dan Khalifah al-Qaimdari Bani Abbas; bahkan dia mengundang khalifah Fathimiyah, (al-Mustanshir, untuk menguasai Baghdad. Hal ini mendorong khalifah meminta bantuan kepada Tughril Bek dari dinasti Seljuk yang berpangkalan di negeri Jabal. Pada tanggal 18 Desember 1055 M/447 H pimpinan Seljuk itu memasuki Baghdad. Al-Malik al-Rahim, Amir al-Umara Bani Buwaih yang terakhir, dipenjarakan. Dengan demikian berakhirlah kekuasaan Bani Buwaih dan bermulalah kekuasaan Dinasti Seljuk. Pergantian kekuasaan ini juga menandakan awal periode keempat khilafah Abbasiyah. Dinasti Seljuk berasal dari beberapa kabilah kecil rumpun suku Ghuz di wilayah Turkistan. Pada abad kedua, ketiga, dan keempat Hijrah mereka pergi ke arah barat menuju Transoxiana dan Khurasan. Ketika itu mereka belum bersatu. Mereka dipersatukan oleh Seljuk ibn Tuqaq. Karena itu, mereka disebut orang-orang Seljuk. Pada mulanya Seljuk ibn Tuqaq mengabdi kepada Bequ, raja daerah Turkoman yang meliputi wilayah sekitar laut Arab dan laut Kaspia. Seljuk diangkat sebagai pemimpin tentara. Pengaruh Seljuk sangat besar sehingga Raja Bequ khawatir kedudukannya terancam. Raja bermaksud menyingkirkan Seljuk.

Namun sebelum rencana itu terlaksana, Seljuk mengetahuinya. Ia tidak mengambil sikap melawan atau memberontak, tetapi bersama pengikutnya ia bermigrasi ke daerah land, atau disebut juga Wama Wara'a al-Nahar, sebuah daerah muslim di wilayah Transoxiana (antara sungai Ummu Driya dan Syrdarya atau Sihun). Mereka mendiami daerah ini atas izin penguasa dinasti Samaniyah yang menguasai daerah tersebut. Mereka masuk Islam dengan mazhab Sunni. Ketika dinasti Samaniyah dikalahkan oleh dinasti Ghaznawiyah, Seljuk menyatakan memerdekakan diri. Ia berhasil menguasai wilayah yang sebelumnya dikuasai oleh dinasti Samaniyah. Setelah Seljuk meninggal, kepemimpinan dilanjutkan oleh anaknya, Israil. Namun, Israil dan kemudian penggantinya Mikail, saudaranya dapat ditangkap oleh penguasa Ghaznawiyah. Kepemimpinan selanjutnya dipegang oleh Thugrul Bek. Pemimpin Seljuk terakhir ini berhasil mengalahkan Mas'ud al-Ghaznawi, penguasa dinasti Ghaznawiyah, pada tahun 429 H/1036 M, dan memaksanya meninggalkan daerah Khurasan. Setelah keberhasilan tersebut, Thugrul memproklamasikan berdirinya dinasti Seljuk. Pada tahun 432 H/1040 M dinasti ini mendapat pengakuan dari khalifah Abbasiyah di Baghdad. Di saat kepemimpinan Thugrul Bek inilah, dinasti Seljuk memasuki Baghdad menggantikan posisi Bani Buwaih. Sebelumnya, Thugrul berhasil merebut daerah-daerah Marwadan Naisabur dari kekuasaan Ghaznawiyah, Balkh, urjan, Tabaristan, Khawarizm, Ray, dan Isfahan.

Posisi dan kedudukan khalifah lebih baik setelah dinasti Seljuk berkuasa; paling tidak kewibawaannya dalam bidang agama dikembalikan setelah beberapa lama "dirampas" orang-orang Syi'ah. Meskipun Baghdad dapat dikuasai, namun ia tidak dijadikan sebagai pusat pemerintahan. Thugrul Bek memilih Naisabur dan kemudian Ray sebagai pusat pemerintahannya. Dinasti-dinasti kecil yang sebelumnya memisahkan diri, setelah ditaklukkan dinasti Seljuk ini, kembali mengakui kedudukan Baghdad, bahkan mereka terus menjaga keutuhan dan keamanan Abbasiyah untuk membendung faham Syi'ah dan mengembangkan mazhab Sunni yang dianut mereka.

Sepeninggal Thugrul Bek (455 H/1063 M), dinasti Seljuk berturut-turut diperintah oleh Alp Arselan (455-465 H/1063-1072), Maliksyah (465-485 H/1072-1092), Mahmud (485-487 H/1092-1094 M), Barkiyaruq (487 -498 H/1 094-1103), Maliksyah II (498 H/ 1103 M), Abu Syuja' Muhammad (498-511 H/11 03-1117 M),dan Abu Haris Sanjar(511-522H/1117-1128 M). Pemerintahan Seljuk ini dikena1 dengan nama al-Salajikah al-Kubra (Seljuk Besar atau Seljuk Agung). Disamping itu, ada beberapa pemerintahan Seljuk lainnya di beberapa daerah sebagaimana disebutkan terdahulu. Pada masa Alp Arselan perluasan daerah yang sudah dimulai oleh Thugrul Bek dilanjutkan ke arah barat sampai pusat kebudayaan Romawi di Asia Kecil, yaitu Bizantium. Peristiwa penting dalam gerakan ekspansi ini adalah apa yang dikenal dengan peristiwa Manzikart. Tentara Alp Arselan berhasil mengalahkan tentara Romawi yang besar yang terdiri dari tentara Romawi, Ghuz, al-Akraj, al-Hajr, Perancis, dan Armenia. Dengan dikuasainya Manzikart tahun 1071 M itu, terbukalah peluang baginya untuk melakukan gerakan penturkian (turkification) di Asia Kecil. Gerakan ini dimulai dengan mengangkat Sulaiman ibn Qutlumish, keponakan Alp Arselan, sebagai gubernur di daerah ini. Pada tahun 1077 M (470 H), didirikanlah kesultanan Seljuk Rum dengan ibu kotanya Iconim. Sementara itu putera Arselan, Tutush, berhasil mendirikan dinasti Seljuk di Syria pada tahun 1094 M/487 H.

Pada masa Maliksyah wilayah kekuasaan Dinasti Seljuk ini sangat luas, membentang dari Kashgor, sebuah daerah di ujung daerah Turki, sampai ke Yerussalem. Wilayah yang luas itu dibagi menjadi lima bagian:
Seljuk Besar yang menguasai Khurasan, Ray, Jabal, Irak, Persia, dan Ahwaz. Ia merupakan induk dari yang lain. Jumlah Syekh yang memerintah seluruhnya delapan orang.
Seljuk Kirman berada di bawah kekuasaan keluarga Qawurt Bek ibn Dawud ibn Mikail ibn Seljuk. Jumlah syekh yang memerintah dua belas orang.
Seljuk Irak dan Kurdistan, pemimpin pertamanya adalah Mughirs al-Din Mahmud. Seljuk ini secara berturut-turut diperintah oleh sembilan syekh.
Seljuk Syria, diperintah oleh keluarga Tutush ibn Alp Arselan ibn Daud ibn Mikail ibn Seljuk, jumlah syekh yang memerintah lima orang.
Seljuk Rum, diperintah oleh keluarga Qutlumish ibn Israil ibn Seljuk dengan jumlah syekh yang memerintah seluruhnya 17 orang.

Disamping membagi wilayah menjadi lima, dipimpin oleh gubernur yang bergelar Syekh atau Malik itu, penguasa Seljuk juga mengembalikan jabatan perdana menteri yang sebelumnya dihapus oleh penguasa Bani Buwaih. Jabatan ini membawahi beberapa departemen.

Pada masa Alp Arselan, ilmu pengetahuan dan agama mulai berkembang dan mengalami kemajuan pada zaman Sultan Malik Syah yang dibantu oleh perdana menterinya Nizham al-Mulk. Perdana menteri ini memprakarsai berdirinya Universitas Nizhamiyah (1065 M) dan Madrasah Hanafiyah di Baghdad. Hampir di setiap kota di Irak dan Khurasan didirikan cabang Nizhamiyah. Menurut Philip K. Hitti, Universitas Nizhamiyah inilah yang menjadi model bagi segala perguruan tinggi di kemudian hari.

Perhatian pemerintah terhadap perkembangan ilmu pengetahuan melahirkan banyak ilmuwan muslim pada masanya. Diantara mereka adalah al-Zamakhsyari dalam bidang tafsir, bahasa, dan teologi; al-Qusyairy dalam bidang tafsir; Abu Hamid al-Ghazali dalam bidang teologi; dan Farid al-Din al-'Aththar dan Umar Khayam dalam bidang sastra.

Setelah Sultan Maliksyah dan perdana menteri Nizham al-Mulk wafat Seljuk Besar mulai mengalami masa kemunduran di bidang politik. Perebutan kekuasaan diantara anggota keluarga timbul. Setiap propinsi berusaha melepaskan diri dari pusat. Konflik-konflik dan peperangan antaranggota keluarga melemahkan mereka sendiri. Sementara itu, beberapa dinasti kecil memerdekakan diri, seperti Syahat Khawarizm, Ghuz, dan al-Ghuriyah. Pada sisi yang lain, sedikit demi sedikit kekuasaan politik khalifah juga kembali, terutama untuk negeri Irak. Kekuasaan dinasti Seljuk di Irak berakhir di tangan Khawarizm Syah pada tahun 590 H/l199 M.


C.      PERANG SALIB
Peristiwa penting dalam generasi ekspansi yang dilakukan oleh Alp Arselan adalah peristiwa Manzikart, tahun 464 H ( 1071 M). Tentara Alp Arselan yang hanya berkekuatan 15.000 orang prajurit, berhasil mengalahkan Romawi yang berjumlah 200.000 orang. Peristiwa besar ini menanamkan benih permusuhan dan kebencian terhadap umat Islam, yang kemudian mencetuskan perang salib. Pada tahun 1095 M, Paus Urbanus II berseru kepada umat Kristen di Eropa supaya melakukan perang suci. Perng ini kemudian dikenal dengan nama perang salib. Yang terjadi dalam 3 periode.

1.       PERIODE PERTAMA (1095-1477 M)
           Perang salib ini semula digerakkan oleh seorang pedeta Peter dari Perancis. Kemudian didukung oleh Paus di Vatikan, oleh raja vatikan di Eropa dan oleh kepala orthodox yang berkedudukan di Konstantinopel. Pada tanggal 26 nopember 1095 Paus Urbanus II mengadakan pidato menggema di seluiruh Eropa, di segala Negara Kristen, mempersiapkan tentara yang lengkap bersenjata untuk pergi berperang merebut Palestina.
           Ketika tentara salib menduduki palestina terjadilah pembunuhan massal dan penyembelihan secara besar-besaran. Kepala, tangan dan kaki manusia yang mati terbunuh berserakan di sepanjang jalan di kota suci itu. Pada tahun 521 H/1127 M muncul seorang pahlawan Islam termasyhur Imaduddin Zanki, gubernur dari Mousul dapat mengalahakan tentara salib di kota Aleppo dan Humah. Kemenangan itu merupakan yang pertama kali yang disusul dengan kemenangan selanjutnya sehingga tentara salib merasakan pahitnya kekalahan

2.       PERIODE KEDUA
Imaduddin, penguasa Moshul dan Irak, berhasil menaklukkan Aleppo, Hamimah, dan Endessa pada tahun 1144M. Kejatuhan Endesso ini menyebapkan orang-orang Kristen mengobarkan Perang Salib Kedua. Paus Eugenius III menyerukan perang suci yang disambut positif oleh Raja Perancis Louis VII dan Raja Jerman Condrad II. Keduanya memimpin Pasukan Salib untuk merebut wilayah  Kristen di Syiria. Akan tetapi, gerak maju mereka dihambat oleh Nuruddin Zanki.Mereka tidsk berhasil memasuki damaskus. LouisVI dan Condrad II sendiri melarikan diri pulang kenegrinya

3.       PERIODE KETIGA
Tentara salib pada periode ini dipimpin oleh raja Jerman, Frederick II. Yang berusaha merebut mesir lebi dahulu dari pada palestina, dengan harapan dapat bantuan dari orang-orang Kristen qibthi. Pada tahun 1210 M, mereka berhasil mendudukki dimyat. Raja mesir dari Ayyubiyah waktu itu, al-Malik al-Kamil melepaskan palestina, Frederick menjamin keamanan kaum muslim disana dan Frederick tidak mengirim bantuan kepada Kristen di sriya, dalm perkembangan berikutnya palestinah dapat direbut kembali oleh kaum muslima tahun 1247, di masa pemerintahan al-malik al-Shalih, penguasa mesir selanjutnya. 

D.     SEBAB-SEBAB KEMUNDURAN PEMERINTAHAN BANI ABBAS     
Faktor yang menyebabkan khlifah Abbasiyah manjadi mundur  yaitu sebagai berikut :
1.       Persaingan antar bangsa
            Khalifa  Abbasiyah didirikan ole bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang Persia. Persekutuan di latar belakangi persamaan nasib kedua golongan itu pada masa Bani Ummayyah berkuasa. Setelah khalifa abbasiyah berdiri, dinasti bani Abbas tetap mempertahankan persekutuan itu. Menurut Stryzewaska, ada 2 sebab dinasti bani Abbas memilih orang-orang Persia dari orang-orang Arab. Yang pertama, sulit bagi orang-orang arab untuk melupakan Bani Ummayah. Dan yang kedua orang-orang Arab sendiri terpecah bela dengan adanya Aya’ashabiyyah kesukuan. Dengan demikian, khalifa Abbasiyah tidak ditegakkan diatas ashabiyah tradisional.
            Selain itu, wilayah kekuasaan Abbasiyah pada periode pertama sanagt luas, meliputi berbagai bangsa yang berbeda, seperti Maroko, Mesir, Sriya, Irak, Turki, dan India. Kecenderungan masing-masing bangsa untuk mendominasi kekuasaan sudah dirasakan sejak awal khalifah Abbasiyah berdiri. Akan tetapi karena para khalifah adalah orang-orang yang kuat yang mampu menjaga keseimbangan kekuatan, stabilitas politik dapat terjaga.

2.       Kemerosotan Ekonomi
            Khalifah Abbasiyah juga mengalami kemunduran di bidang ekonomi bersamaan dengan kemunduran di bidan politik. Pada preiode pertama, pemerintah bani Abbas merupakan pemerintah yang kaya. Setelah Khalifah mengalami kemunduran, pendapatan Negara menurun sementara pengeluaran meningkat lebih besar.  Hal ini disebkan karena makin menyempitnya  wilayah kekuasaan, bnayak terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat, diperinganya pajak, dan banyak dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dan tidak lagi membayar upeti. Sedangkan pengeluaran membengkak disebabkan kehidupan para khalifah dan pejabat semakin mewah , jenis pengeluaran makin mewah dan pejabat melakukan korupsi.

3.       Konflik keagamaan
            Berkenaaan dengan konflik keagamaan itu, syed Amerr Ali menyatakan :
“Agama Muhammad SAW seperti jga agama Isa as, terkepin-keping oleh perpecahan dan perselisihan dari dalam. Perbedaan pendapat mengenai soa-soal abstarak yang tidak mungkin ada kepastiannya dalam suatu kehidupan yang mempunyai akhir, selalu menimbulkan kepahitan yang lebih besar dan permusuhan yang lebih sengit dari perbedaan-perbedaan mengenai hal-hal yang masih dalam lingkungan pengetahuan manusia...Soal kehendak bebas manusia… pendapat bahwa rakyat dan kepala Agama mustahil berbuat salah… menjadi sebab binasanya jiwa-jiwa berharga.”

4.       Ancaman dari luar
            Apa yang disebutkan diatas adalah factor-faktor internal. Disamping itu ada factor ekstenal yang menyebabkan khalifah Abbasiyah lemah dan akhirnya hancur:
1.       Perang salib yang berlangsung beberapa golongan atau periode dan menelan banyak korban.
2.       Serangan tentara mongol kewilayah kekuasaan islam.

0 komentar:

Post a Comment