SURAT DI UJUNG MAUT
Karya Green_Star
Emmmmmm…
di pagi buta ini udara dingin menusuk tulang bak masuk ke dalam jemari-jemari
jiwa, cengkram erat pelupuk mataku, tubuhku serasa enggan terlepas dari balutan
hangatnya selimut biru kesayanganku.
Haaaa…… masa iya aku biarkan tubuhku
terus terbaring di tempat, sementara panggilan adzan di masjid dekat rumahku
hampir berhenti, aku tak mau terlarut. Dengan segera aku ambil air wudu, aku
basuh semua bagian wajahku, tanganku, dan semuanya. Memang benar,masjid kecil
nan asri di kampungku itu sudah dipenuhi ornag. Lagi-lagi aku terlambat,
mungkin sekarang aku lagi yang akan berdiri di shaf paling belakan, tapi
ternyata tidak, Ustad Hanafi imam rutin itu memanggilku,
“Hai Nah Ahmad, kemarilah berdirilah
di shaf paling depan ini….!” Serunya, seraya melambaikan tangan ke arahku. Aku
pun segera mengiyakan panggilannya.
Lantunan ayat-ayat bacaan solat kala
itu membuatku terhanyut, membangkitkan kerinduan mendalam akan Sang Pencipta,
penjaga abadi hamparan luas dunia, Subhanallah…..!
Begitu nikmatnya sampai tak terasa
salat kami semua berakhir, aku pun segera bergegas untuk pulang, udara semakin
terasa segar….mengalir, mengalir aliran darah di tubuhku. Sambil sesekali aku
berucap dikir memuji keagungan Tuhan, mataku pun tak henti-hentinya memandangi
hampir setiap sudut jalanan menuju rumahku, tak terasa mataku tertuju pada
rumah mungil nan asri itu. Hai….apa itu tetanggaku? Atau memang pendatang baru
sama sepertiku, kenapa baru kali ini aku melihatnya?
Pertanyaan itu terus menyita pikiran dan hatiku. Sesampainya di rumah, aku pun sesekali terus memperhatikannya, kuperhatikan apa saja yang dia lakukan sendirian di taman dekat rumahnya itu sendiri, tanpa kawan, hampir setiap waktu kuperhatikan.
Aku pun mulai dihinggapi rasa
penasaran yang mendalam setiap kuperhatikan kelakuan wanita tua itu, memang
benar-benar aneh dan mengherankan….
Keesokan harinya aku pergi ke masjid
itu, melakukan salat berjamaah seperti yang selalu aku lakukan. Sepulang dari
sana, wanita itu kembali kulihat duduk di kursi taman pinggir rumahnya, bagitu
pula pada hari-hari berikutnya terus kuperhatikan, aku pun menjadi penasaran
akan keberadaannya, kuhampiri dia pelan-pelan, kuusap bahu belakangnya sambil
kulontarkan satu sapaan untuknya.
“Assalamualaikum Bu, apa yang ibu
lakukan disini sendirian ? saya lihat beberapa hari ini ibu selalu duduk disini
sendri?” tanyaku sambil sesekali aku lihat sudut matanya yang kian sayu dan
terlihat letih. Emmm….. Beberapa kali pertanyaan itu kulontarkan, tapi tak sepatah
kata pun terlontar dari mulut mungilnya itu, deraian air mata seakan
menjadi saksi betapa enggannya dia
menjawab pertanyaanku.
Tak mau berlama-lama aku mengusik
ketenangan jiwanya, aku pun bergegas pulang, tapi keesokan harinya aku terus
mendekatinya dengan pertanyaan yang sama seperti pertama kali aku bertanya
kepadanya. Lagi-lagi pertanyaanku tak berbalas jawaban pasti, aku pun tak
lantas berputus asa, setiap hati aku terus memperhatikannya.
Hinga pada suatu pagi, peristiwa
mengharukan itu terjadi menggores jalan hidupku, mengusik ketenangan sukma yang
selama ini teduh dalam kedamaian. Wanita tua itu ternyata tak lagi kulihat
duduk termenung di kursi tua yang setiap hari ia duduki, pertanyaan itu kembali
muncul. “kemana wanita tua itu, kenapa dia tak duduk di temapt itu lagi…?” Aku
pun bergegas menghampiri kursi tua itu/ kulihat secarik kertas yang sudah using
dan pucat, emmmm….ternyata itu sepucuk surat.
Perlahan ku baca dengan teliti huruf
demi huruf dalam surat itu.
Untuk
ibunda terkasih.
Assalamualaikum
Bu…. Apa kabar? Ananda harap ibu selalu dalam lindungan Allah, hingga ibu
selalu diliputi kebahagian, dan keberkahan darinya.
Surat ini mungkin akan menjadi surat
terakhir yang ibu terima dariku, inilah kaliterakhir ku berucap maaf padamu setelah
sekian lama aku meninggalkan ibu dalam kesendirian, dan kesedihan. Ibu,
pengadilan sudah menjatuhkan hukuman kepadaku, tak lama lagi akau akan segera
bertemu ayah, berada di sisi Allah untuk selamanya. Kuharap dengan datangnya surat ini, takkan ada lagi air mata yang
menghiasi sudut bola mata indahmu, seperti layaknya siang yang akan berganti
malam, muda yang akan berganti tua, seprti itulah hidup kita saat ini, tuhan
menakdirkan kehidupanku sampai disini, semua impianku tuk dapat melihatmu
bahagia, dan dapat membawamu ke rumah Allah kan kubawa hingga nyawaini terlepas
dari raganya.
Tepi demi Allah bu…. Di mana pun aku
berada, kerinduan untuk dapat berjumpa lagi selalu ada,… sehelai kain penutup
aurat rambutku sengaja kukirimkan padamu sebagai penganti jiwaku kelak… saat
sang pemilik hidup benar-benar memanggilku, bakti yang tak terselesaikan, jalan
hiduo yang tak bias lagi kuretas adalah dosa yang teramat besar untukku.
Ibu, di akhir titian hidupku,
izinkan aku berucap maaf untuk kesekiankalinya sejak dalam kandunganmu, hingga
lepas dari buaian, anakmu tak mampu membuatmu tersenyum bahagia, terlebih
bangga, maafkan jika impianku untuk membisikan syahadat terakhir di telingamu
saat ajal menjemputmnu tak dapat lagi aku penuhi, jangan pernah menungguku di
taman dengan deraian air matamu, air matamu terlalu berharga untukku, jangan
pernah liahat wajah pendosa ini di depan cermin kamar usangku, karena wajahku
tak begitu pantas untuk kau pandangi.
Tapi……yakinlah, Allah akan
menjatuhkan pandanganmu suatu saat nanti, Allah akan hantarkan senyumanku
untukmu di taman yang pernah kita tinggali, ini kali terakhir aku berucap pamit
kepadamu, pamit yang tak disertai belaian tangan, pamit yang tak lagi dihantar
pelukan kehangatan…….., maaf setiap kealfaanku Bu……maaf karena utang baktinya
tak tertunaikan, hutnag janjinya tak tersampaikan.
Lewat secarik kertas terakhir nan
using ini aku bersaksi….! Demi keagungan dan kebesaran Allah, aku bersaksi demi
Allah, maafkan setiap titik kesalahanku. Aku berharap do’a-do’amu akan selimuti
tidur lelapku, doa dalam sujud-sujud terakhirmu hangatkan pakaian terakhirk,
hantarkan perjalananku menuju rumah sang penjaga setiap jiwa, dalam kedamaian,
semoga tuhan membangkitkan kita dalam Firdaus singgasana Sulaiman keagungannya,
berbalut selendang milik Bilkis kebesarannya.
Di hadapan allah aku bersaksi di
setiap desah sisa-sisa nafas hidupku, demi Allah….! Aku menyayangimu…., aku
merindukan setiap kehangatan yang pernah kau berikan untukku, dalam setiap
desah nafasku, yang tak mungkin lagi dapat aku raih, dan kurasakan hingga akhir
sisa hidupku.
Selamat tinggal ibu terkasih,…….
Peluk, kerinduan dari ananda putrid tercinta,
Melati kasihku hanya untukmu….aku
menantimu di sisi Allah….tuk rasakan hari-hari indah yang pernah kita lalui.
Aku menanti doamu dalam sujud-sujud terakhirku.
Salam rindu dan cinta
Nazwa Amaliya Al-Azami
Tak terasa air mataku membasahi
keras usang itu hingga tak sanggup lagi aku kendalikan. Ternyata wanita yang
selama ini aku perhatikan, adalah seorang ibu yang amat sangat mulia, yang
selama bertahun-tahun hidup dalam penantian, menanti keajaiban tuhan untuk
bertemnu dengan putri yang dikasihinya. Kursi yang selama ini ia duduki untuk
menunggu putrinya NAzwa, adalah kursi terakhir kalia dia dan Nazwa dduduki,
taman di depan rumahnya adalah taman yang dijanjikan Nazwa untuk bertemu
kembali dengan ibunya.
Setelah selesai kau membaca surat
itu, aku pun memberanikan diri masuk kedalam rumahnya, dengan harapan aku dapat
sedikit meredam kesedihannya, sambil sesekali aku memanggilmnya dengan suara
yang lembut. “Ibu, Assalamualaikum….Bu ini saya…. Ibu ada….?”
Tiba-tiba pandanganku tertuju pada
sebuah kamar kecil yang kebetulan pintunya sedikit terbuka, sambil kuucap
kembali salam, aku perlahan membuka lebar-lebar pintu itu….
“Assalamualaikum Bu, boleh saya
masuk?”
Karena tak mendapat jawaban, aku pun
memberanikan diri masuk ke dalam kamar, dengan perasaan yang kaget bercampur
haru, aku melihat sosok ibu itu sedang tersujud kaku, kkupeluk badannya
pelan-pelan, lalu ku baringkan.
“Subhanallah, ibu itu meninggal, ibu
nan mulia itu meninggal dalam sujud terakhirnya. Dia benar-benar menepati janjinya
membawa duka anaknya dalam sujud-sujud terakhirnya, Subhanallah”
Tak lama setelah ku ketahui beliau
sudah meninggal, aku bergegas memberitahu Pak RT dan tetangga agar jenajah ibu itu dapat
segera diurus dan dikebumikan,
“Pak RT, siapa wanita mulia itu
sebenarnya?”
“ibu itu bernama Farida Nazwa
Al-Azami, dan Nazwa Amalia Al-Azami adalah putri semata wayangnya yang pergi ke
Arab Saudi demi merubah taraf kehidupannya dan mewujudkan impiannya.dia
dipenjara oleh polisi keamanan Saudi Arabia karena dituduh membunuh anak
majikannya, padahal sampai azal mereka menjemputnya baik Nazwa ataupun ibunya
tak percaya dan tak mengakui kalau Nazwa adalah pembunuhnya. Itulah
sesungguhnya nah.”
Subhanallah ya Allah, pertemukanlah
mereka berdua di surgamu. Betapa mulia hamba-mu ya Allah…..!****
0 komentar:
Post a Comment