Wednesday, 1 January 2014

CERPEN SEDIH : SURAT DI UJUNG MAUT


SURAT DI UJUNG MAUT
Karya Green_Star

Emmmmmm… di pagi buta ini udara dingin menusuk tulang bak masuk ke dalam jemari-jemari jiwa, cengkram erat pelupuk mataku, tubuhku serasa enggan terlepas dari balutan hangatnya selimut biru kesayanganku.
            Haaaa…… masa iya aku biarkan tubuhku terus terbaring di tempat, sementara panggilan adzan di masjid dekat rumahku hampir berhenti, aku tak mau terlarut. Dengan segera aku ambil air wudu, aku basuh semua bagian wajahku, tanganku, dan semuanya. Memang benar,masjid kecil nan asri di kampungku itu sudah dipenuhi ornag. Lagi-lagi aku terlambat, mungkin sekarang aku lagi yang akan berdiri di shaf paling belakan, tapi ternyata tidak, Ustad Hanafi imam rutin itu memanggilku,
            “Hai Nah Ahmad, kemarilah berdirilah di shaf paling depan ini….!” Serunya, seraya melambaikan tangan ke arahku. Aku pun segera mengiyakan panggilannya.
            Lantunan ayat-ayat bacaan solat kala itu membuatku terhanyut, membangkitkan kerinduan mendalam akan Sang Pencipta, penjaga abadi hamparan luas dunia, Subhanallah…..!

            Begitu nikmatnya sampai tak terasa salat kami semua berakhir, aku pun segera bergegas untuk pulang, udara semakin terasa segar….mengalir, mengalir aliran darah di tubuhku. Sambil sesekali aku berucap dikir memuji keagungan Tuhan, mataku pun tak henti-hentinya memandangi hampir setiap sudut jalanan menuju rumahku, tak terasa mataku tertuju pada rumah mungil nan asri itu. Hai….apa itu tetanggaku? Atau memang pendatang baru sama sepertiku, kenapa baru kali ini aku melihatnya?
         
   Pertanyaan itu terus menyita pikiran dan hatiku. Sesampainya di rumah, aku pun sesekali terus memperhatikannya, kuperhatikan apa saja yang dia lakukan sendirian di taman dekat rumahnya itu sendiri, tanpa kawan, hampir setiap waktu kuperhatikan.
            Aku pun mulai dihinggapi rasa penasaran yang mendalam setiap kuperhatikan kelakuan wanita tua itu, memang benar-benar aneh dan mengherankan….
            Keesokan harinya aku pergi ke masjid itu, melakukan salat berjamaah seperti yang selalu aku lakukan. Sepulang dari sana, wanita itu kembali kulihat duduk di kursi taman pinggir rumahnya, bagitu pula pada hari-hari berikutnya terus kuperhatikan, aku pun menjadi penasaran akan keberadaannya, kuhampiri dia pelan-pelan, kuusap bahu belakangnya sambil kulontarkan satu sapaan untuknya.
            “Assalamualaikum Bu, apa yang ibu lakukan disini sendirian ? saya lihat beberapa hari ini ibu selalu duduk disini sendri?” tanyaku sambil sesekali aku lihat sudut matanya yang kian sayu dan terlihat letih. Emmm….. Beberapa kali pertanyaan itu kulontarkan, tapi tak sepatah kata pun terlontar dari mulut mungilnya itu, deraian air mata seakan menjadi  saksi betapa enggannya dia menjawab pertanyaanku.
            Tak mau berlama-lama aku mengusik ketenangan jiwanya, aku pun bergegas pulang, tapi keesokan harinya aku terus mendekatinya dengan pertanyaan yang sama seperti pertama kali aku bertanya kepadanya. Lagi-lagi pertanyaanku tak berbalas jawaban pasti, aku pun tak lantas berputus asa, setiap hati aku terus memperhatikannya.
            Hinga pada suatu pagi, peristiwa mengharukan itu terjadi menggores jalan hidupku, mengusik ketenangan sukma yang selama ini teduh dalam kedamaian. Wanita tua itu ternyata tak lagi kulihat duduk termenung di kursi tua yang setiap hari ia duduki, pertanyaan itu kembali muncul. “kemana wanita tua itu, kenapa dia tak duduk di temapt itu lagi…?” Aku pun bergegas menghampiri kursi tua itu/ kulihat secarik kertas yang sudah using dan pucat, emmmm….ternyata itu sepucuk surat.
            Perlahan ku baca dengan teliti huruf demi huruf dalam surat itu.
            Untuk ibunda terkasih.

Assalamualaikum Bu…. Apa kabar? Ananda harap ibu selalu dalam lindungan Allah, hingga ibu selalu diliputi kebahagian, dan keberkahan darinya.
            Surat ini mungkin akan menjadi surat terakhir yang ibu terima dariku, inilah kaliterakhir ku berucap maaf padamu setelah sekian lama aku meninggalkan ibu dalam kesendirian, dan kesedihan. Ibu, pengadilan sudah menjatuhkan hukuman kepadaku, tak lama lagi akau akan segera bertemu ayah, berada di sisi Allah untuk selamanya. Kuharap dengan datangnya  surat ini, takkan ada lagi air mata yang menghiasi sudut bola mata indahmu, seperti layaknya siang yang akan berganti malam, muda yang akan berganti tua, seprti itulah hidup kita saat ini, tuhan menakdirkan kehidupanku sampai disini, semua impianku tuk dapat melihatmu bahagia, dan dapat membawamu ke rumah Allah kan kubawa hingga nyawaini terlepas dari raganya.
            Tepi demi Allah bu…. Di mana pun aku berada, kerinduan untuk dapat berjumpa lagi selalu ada,… sehelai kain penutup aurat rambutku sengaja kukirimkan padamu sebagai penganti jiwaku kelak… saat sang pemilik hidup benar-benar memanggilku, bakti yang tak terselesaikan, jalan hiduo yang tak bias lagi kuretas adalah dosa yang teramat besar untukku.
            Ibu, di akhir titian hidupku, izinkan aku berucap maaf untuk kesekiankalinya sejak dalam kandunganmu, hingga lepas dari buaian, anakmu tak mampu membuatmu tersenyum bahagia, terlebih bangga, maafkan jika impianku untuk membisikan syahadat terakhir di telingamu saat ajal menjemputmnu tak dapat lagi aku penuhi, jangan pernah menungguku di taman dengan deraian air matamu, air matamu terlalu berharga untukku, jangan pernah liahat wajah pendosa ini di depan cermin kamar usangku, karena wajahku tak begitu pantas untuk kau pandangi.
            Tapi……yakinlah, Allah akan menjatuhkan pandanganmu suatu saat nanti, Allah akan hantarkan senyumanku untukmu di taman yang pernah kita tinggali, ini kali terakhir aku berucap pamit kepadamu, pamit yang tak disertai belaian tangan, pamit yang tak lagi dihantar pelukan kehangatan…….., maaf setiap kealfaanku Bu……maaf karena utang baktinya tak tertunaikan, hutnag janjinya tak tersampaikan.
            Lewat secarik kertas terakhir nan using ini aku bersaksi….! Demi keagungan dan kebesaran Allah, aku bersaksi demi Allah, maafkan setiap titik kesalahanku. Aku berharap do’a-do’amu akan selimuti tidur lelapku, doa dalam sujud-sujud terakhirmu hangatkan pakaian terakhirk, hantarkan perjalananku menuju rumah sang penjaga setiap jiwa, dalam kedamaian, semoga tuhan membangkitkan kita dalam Firdaus singgasana Sulaiman keagungannya, berbalut selendang milik Bilkis kebesarannya.
            Di hadapan allah aku bersaksi di setiap desah sisa-sisa nafas hidupku, demi Allah….! Aku menyayangimu…., aku merindukan setiap kehangatan yang pernah kau berikan untukku, dalam setiap desah nafasku, yang tak mungkin lagi dapat aku raih, dan kurasakan hingga akhir sisa hidupku.
            Selamat tinggal ibu terkasih,……. Peluk, kerinduan dari ananda putrid tercinta,
            Melati kasihku hanya untukmu….aku menantimu di sisi Allah….tuk rasakan hari-hari indah yang pernah kita lalui. Aku menanti doamu dalam sujud-sujud terakhirku.
            Salam rindu dan cinta
            Nazwa Amaliya Al-Azami

           
            Tak terasa air mataku membasahi keras usang itu hingga tak sanggup lagi aku kendalikan. Ternyata wanita yang selama ini aku perhatikan, adalah seorang ibu yang amat sangat mulia, yang selama bertahun-tahun hidup dalam penantian, menanti keajaiban tuhan untuk bertemnu dengan putri yang dikasihinya. Kursi yang selama ini ia duduki untuk menunggu putrinya NAzwa, adalah kursi terakhir kalia dia dan Nazwa dduduki, taman di depan rumahnya adalah taman yang dijanjikan Nazwa untuk bertemu kembali dengan ibunya.
            Setelah selesai kau membaca surat itu, aku pun memberanikan diri masuk kedalam rumahnya, dengan harapan aku dapat sedikit meredam kesedihannya, sambil sesekali aku memanggilmnya dengan suara yang lembut. “Ibu, Assalamualaikum….Bu ini saya…. Ibu ada….?”
            Tiba-tiba pandanganku tertuju pada sebuah kamar kecil yang kebetulan pintunya sedikit terbuka, sambil kuucap kembali salam, aku perlahan membuka lebar-lebar pintu itu….
            “Assalamualaikum Bu, boleh saya masuk?”
            Karena tak mendapat jawaban, aku pun memberanikan diri masuk ke dalam kamar, dengan perasaan yang kaget bercampur haru, aku melihat sosok ibu itu sedang tersujud kaku, kkupeluk badannya pelan-pelan, lalu ku baringkan.
            “Subhanallah, ibu itu meninggal, ibu nan mulia itu meninggal dalam sujud terakhirnya. Dia benar-benar menepati janjinya membawa duka anaknya dalam sujud-sujud terakhirnya, Subhanallah”
            Tak lama setelah ku ketahui beliau sudah meninggal, aku bergegas memberitahu Pak RT  dan tetangga agar jenajah ibu itu dapat segera diurus dan dikebumikan,
            “Pak RT, siapa wanita mulia itu sebenarnya?”
            “ibu itu bernama Farida Nazwa Al-Azami, dan Nazwa Amalia Al-Azami adalah putri semata wayangnya yang pergi ke Arab Saudi demi merubah taraf kehidupannya dan mewujudkan impiannya.dia dipenjara oleh polisi keamanan Saudi Arabia karena dituduh membunuh anak majikannya, padahal sampai azal mereka menjemputnya baik Nazwa ataupun ibunya tak percaya dan tak mengakui kalau Nazwa adalah pembunuhnya. Itulah sesungguhnya nah.”
            Subhanallah ya Allah, pertemukanlah mereka berdua di surgamu. Betapa mulia hamba-mu ya Allah…..!****
           

0 komentar:

Post a Comment