Karya Martha
Friska Sirait
Ketika aku mendengar lagu Audi
“ Sahabat”, aku langsung teringat kepada kedua manusia yang berada di martubung
tepatnya di medan. Entah apa yang membuatku begitu tertawa lepas saat mengingat
mereka, tapi yang pasti aku bahagia saat itu.
“ Nak weh, kita ngumpul di tempat biasa jam 2, kalau
telat mati !”
“ Eh, jangan gitu lah. Aku lagi sibuk nih. Kau tahu, aku
saat ini dalam posisi yang genting, aku lagi... halo.. halo Nan ? halo ? iss..
dasar anak
yang satu ini. Belum ngomong dah asal mati aja.” Sesaat setelah
mematikan handphonnya, Chaca diam sejenak. Apa yang harus aku perbuat, aku tak
mungkin meninggalkan ini. Aku sudah lama menunggu, apalagi sudah waktunya.
Bagaimana ini, aku keluarkan gak ya?. Tiba-tiba seseorang dari belakang memukul
pundaknya.
“ Nak, jadi masuk nggak, Ibu sudah tidak tahan nih ?”
“ Ehm.. gimana ya Buk, Saya bingung harus mengeluarkannya
atau tidak”
“ Bagaimana kalau kamu duduk dulu baru kamu ambil
keputusan setelah itu?”
“ Akh, ya benar. Thanks Buk !.” sambil meninggalkan
tempat tersebut.
“ Dasar anak sekarang, mau boker saja harus berfikir.
Edan !”
Setelah kami bertemu di tempat yang telah ditentukan kami
memulai rapat yang akan dibahas.
“Cha, aku suka pada E..” sebelum menyelesaikan kalimatnya
aku langsung menutup mulut Unek. Dan membisikkan sesuatu di telinganya.
“ Ssstt.. jangan menyebut merek, nanti kalau ada yang
tahu bagaimana ?”
“ Jadi aku harus menggunakan nama apa?” sambil berbisik.
“ Sebut saja Mas Bro !”
“ Cha, aku suka pada Mas Bro”
“ Oh, ya nggak apa-apa.”
“ Makasih ya, kau memang teman yang baik. Oh ya, maukah
kau mengajariku bagaimana cara untuk mendapatkan hatinya?”
“ Tenang saja, itu mudah kok. Tapi ada yang ingin aku
tanyakan padamu?”
“ Apa itu ?”
“ Mas bro itu siapa ya, apa dia satpam di sekolah kita
dulu ?” sambil menunjukkan wajah tidah berdosa.
“ Apa, kau mau mati ya. Aku serius gerot....”
“ Hahahahha..., aku cuma bercanda. Dengar dia menyukai
wanita yang tomboy, humoris dan kuat. Lumayan sulit, tapi aku yakin kau pasti bisa
meluluhkan hatinya.”
“ Hufh... baiklah, Conan kau harus merubahku.”
“ Ya, baiklah kalau itu mau mu.” Singkatku.
Keesokan harinya kami langsung melakukan pembedahan
karakter Unek. Dan setelah selesai, kami mengantarkannya ke tempat pertemuan
yang akan dilakukan bersama Mas Bro.
“ Kenapa E...” belum menyelesaikan kalimatnya Aku menutup
mulut Chaca.
“Sssttt... jangan berisik. Ntar di dengar orang.”
“ Jadi, Mas Bro itu Dia. Aduh bagaimana ini... mampus aku
!”
“ Kenapa, kau sakit hati atau kecewa?”
“ Bukan itu. Sebenarnya aku asal menyebut kemaren
mengenai cara mendapatkan Mas Bro. Aku kira Mas Bro itu satpam kita benaran,
tapi ternyata...”
“ Memangnya kriteria satpam kita seperti itu, dari mana
kau tahu?”
“ Ehm... sebenarnya kami sudah beberapa kali telefonan.
Hehehe” sambil tersipu malu.
“ Sarap! Ya sudah, tidak ada gunanya menyesali semuanya.
Kita tunggu saja dia keluar.”
Setelah menunggu beberapa jam, akhirnya Unek keluar.
Dengan cepat Aku dan Chaca menghampiri Unek dan menyerbunya dengan beribu-ribu
pertanyaan. Tapi Unek langsung membentak kami.
“ Diam !, mulai sekarang aku tidak ingin melihat kalian
lagi. Sungguh terlalu.” sambil meniru logat bang haji roma irama.
Setelah beberapa hari berlalu, aku dan Chaca pergi
kerumah Unek untuk menemuinya dan meminta maaf padanya.
“ Nek, aku benar-benar minta maaf. Aku memang tidak tahu
kalau Mas Bro yang kau maksud itu Dia.”
“Sudahlah Nek, jangan marah lagi. Aku juga minta maaf
mengenai masalah ini. Aku tahu memakaikanmu baju perompak itu sungguh ide yang
gila. Padahal tidak ada cewek tomboy yang mengenakannya.”
Tiba-tiba Unek membentak kami dengan suara yang keras.
“ Ahh, ya..ya.. aku ingat sekarang. Pakaian perompak itu.
Kalian ingat saat kalian mendandaniku dengan riasan perompak?”
“ Ya !” sahut ku dan Chaca.
“ Dan apa kalian ingat saat aku mengenakan pakaian
perompak itu setelah Aku selesai mandi ?”
“ Ya !” sahut kami lagi serempak dengan rasa bersalah.
“ Kenapa ?” tanya ku penasaran.
“ Aku lupa memakai celana dalam pada saat itu !”
“ Apa !!!! ” serempak aku dan Chaca mendengar hal itu.
“ Bagaimana bisa ?” tanya Chaca heran.
“ Aku juga tidak tahu kenapa aku lupa, tapi itu tidak
masalah buatku. Aku sudah mendapatkan jawabannya. Meskipun sedikit tertusuk.”
“ Maksudnya?” tanya ku heran.
“ Saat tidak memakainya, sepertinya ada yang menusuk
kesitu.” Sambil memasang wajah malu-malu.
“ Tertusuk bagaimana maksudmu, celananya kan tidak ada
resleting. Bagaimana bisa?”Jawabku sambil mengerutkan alis.
“ Memang tidak ada resleting, tapi kan pada saat itu aku
pakai kancing peniti.”
“ Oh iya ? astaga...”
Karena merasa pembicaraan itu agak mengerikan buat Chaca,
maka Ia mengalihkan pembicaraannya.
“ Lalu, apa yang Dia katakan?”
“ Aku tidak jadi mengutarakan perasaan ku padanya. Tapi
saat bersamanya aku sadar satu hal”
“ Apa itu ?”
“ Dia, sama sekali tidak melihatnya. Dia sedikitpun tidak
merasakan apa yang sedang aku perlihatkan. Disaat aku memberikan perhatian dan
cara agar Ia sadar akan perasaanku, dia tetap saja tidak dapat melihatnya. Dan
saat itu juga aku tahu, bahwa Dia ....” sebelum melanjutkan kalimatnya, Aku
menutup mulut Unek.
“ Sssttt... sudah tidak perlu di ucapkan lagi. Kami
memahami perasaan mu, kami dapat melihatnya. Semua yang kau rasakan, semua yang
kau tunjukkan, kami dapat melihatnya. Bahkan tanpa kau bilang kami tahu kau
sayang padanya. Jadi sudahlah. Oh iya, jadi bagaimana dengan itu mu, apa tidak
terluka?” sambungku dengan perasaan ingin tahu.
“ Kau ini, kenapa kau suka sekali menghentikan
pembicaraan orang .Tanganmu itu bauk tahu nggak. Itu ku sudah tidak apa-apa,
aku sudah memberikan obat merah jadi kau tenang saja.”
“ Apa tidak iritasi, nanti kalau terjadi apa-apa
bagaimana?”
Tiba-tiba Chaca menjambak rambutku.
“ Kenapa kau malah bertanya mengenai itu, menjijikkan tau
tidak!”
“Kau yang menjijikkan, lihat..bulu hidungmu keluar. Cepat
masukkan!”
“ Dasar!.” Keluh Chaca. Tapi saat itu juga Ia mendorong
bulu hidungnya agar masuk ketempatnya.
“ Lalu bagaimana selanjutnya?” tanyaku pada Unek
“Tidak ada, kata Dokter bokongku tidak apa-apa.” balas
Unek.
“ Oh.. syukurlah, aku kira... hahhahaha” aku tertawa
karena terlalu berlebihan memikirkan hal yang lain.
“ Tidak ada kata selanjutnya. Kau sendiri bagaimana Nan
?” tanya Chaca balik.
“ Sama saja, tidak ada kata selanjutnya”
“ Kau terlalu pemilih !”
“ Tidak, aku hanya sedang menunggu. Ibarat sebuah rumah
yang kosong, hati ini masih menunggu pemiliknya kembali. Aku tak ingin waktu
yang ku gunakan untuk menunggu membuat hatiku tertutup untuk orang lain,
makanya aku berpacaran hanya untuk sekedar saja. Tapi ternyata, waktu
menunggunya sangat lama.”
“Kau bodoh!, kau mampu melakukan hal gila yang kau
lakukan terhadapku. Tapi kau tidak mampu untuk mengungkapkan perasaanmu.”
“ Ini berbeda Nek, begitu juga dengan kita. Sesungguhnya
aku sangat iri kepada kalian yang bisa mendapatkan cinta dari orang yang juga
menyayangi kalian.”
“ Tidak selalu, buktinya sekarang aku. Kau lihatkan.”
Tegas Unek.
“ Kau belum seutuhnya mencintainya, makanya kau berucap
seperti itu.”
“ Ya. Mungkin saat ini cinta belum berpihak kepada
kalian, tapi ingatlah kita saling memiliki dan akan selalu melindungi. Meskipun
cinta tidak melihatnya, namun sahabat mampu untuk merasakan dan melihatnya.
Benarkan Nan ?”
“ Ya Cha, meskipun cinta mampu mengubah seseorang, tapi
sahabat tetap untuk selamanya.”
“ Kalian inilah, baiklah kalau begitu. Kita harus tetap
menjaga satu sama lain.” Setelah kalimat itu diucapkan Unek, akhirnya kami
pulang kerumah masing-masing.
Mungkin terlihat bodoh saat aku mengenang semua itu, tapi
hal bodoh itulah yang mampu membuat kami tetap bertahan dan menghargai segala
yang kami punya.
0 komentar:
Post a Comment