Kengototan Israel
untuk menyerang fasilitas nuklir Iran sangat mungkin didasari prinsip 'Jika
seseorang akan membunuhmu, bunuhlah orang tersebut terlebih dulu'.
BERANEKA kamera pengawas dan senjata otomatis tersebar di sejumlah sudut kompleks bangunan kelabu di belahan utara Kota Tel Aviv. 'Institut', demikian warga setempat menyebut kompleks tersebut, yang tak lain adalah kantor badan intelijen Israel, Mossad.
Di tempat itulah perencanaan serangkaian serangan terhadap sejumlah ilmuwan nuklir Iran diduga berlangsung. Korban terkini ialah Mostafa Ahmadi-Roshan, 31, salah seorang petinggi fasilitas pengayaan uranium Natanz yang tewas akibat bom mobil di Teheran, 12 Januari lalu.
Kematian Ahmadi-Roshan ditengarai hanyalah awal dari serangan terbuka 'Negeri Yahudi' ke sejumlah fasilitas nuklir Iran. Target mereka beragam, mulai lokasi pengayaan uranium dekat Kota Natanz dan Qom, reaktor nuklir yang sedang dibangun di Arak, hingga pembangkit listrik tenaga nuklir Bushehr.
Soal waktu, majalah Jerman Der Spiegel punya estimasi. Berdasarkan rekaman pembicaraan antara politisi Israel, pejabat militer, dan pejabat Mossad, serangan ke Iran bakal direalisasikan dalam kurun Juni hingga November nanti. Di sisi lain, sejumlah pejabat Amerika Serikat menduga serangan Israel mungkin diwujudkan pada Mei mendatang.
Kecepatan serangan ke fasilitas nuklir Iran sangat mungkin didasari prinsip 'serangan pendahuluan' (preemptive strike) yang terangkum dalam literatur Yudaisme, Talmud. Salah satunya berbunyi, 'Jika seseorang akan membunuhmu, bunuhlah orang tersebut terlebih dulu'.
Adolf Hitler
Prinsip tersebut diresapi Perdana Menteri Benjamin Netanyahu. Pria yang akrab disapa 'Bibi' itu menuding klaim Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad tentang penggunaan nuklir bagi kepentingan energi sipil hanyalah isapan jempol belaka.
Apalagi, laporan terkini Badan Energi Atom Internasional (IAEA) menyebutkan betapa kemampuan pengayaan uranium Iran telah berkembang pesat. Hal itu sejalan dengan laporan National Intelligence Estimate bertajuk Iran: Nuclear Intentions and Capabilities.
Dokumen kumpulan badan intelijen Amerika Serikat pada November 2007 silam itu mengklaim Iran dapat memproduksi senjata nuklir pada periode 2010 hingga 2015. Iran, tulis laporan tersebut, telah memiliki ribuan mesin pemutar (centrifuge) yang sanggup memperkaya uranium sehingga dapat dijadikan senjata nuklir.
Selain menyitir soal teknis, Netanyahu menyeriusi ucapan Ahmadinejad mengenai penghapusan Israel dari peta dunia. Baginya, situasi saat ini mirip ketika rakyat Eropa meremehkan
propaganda Adolf Hitler pada era 1930-an. "Sekarang 1938 dan Iran adalah Jerman," cetusnya.
Lain dengan Netanyahu, alasan Menteri Pertahanan Ehud Barak lebih taktis. Menurut dia, Israel harus cepat mengambil tindakan lantaran program nuklir Iran akan memicu persaingan senjata di kawasan Timur Tengah. Apa yang terjadi, tanya Barak, jika Iran menempatkan senjata nuklir mereka di Libanon untuk melindungi Hezbollah?
Dengan menggunakan argumentasi tersebut, militer Israel mulai mengambil ancang-ancang. Pada November lalu, pilot-pilot terbaik dari skuadron 117 angkatan udara Israel membawa 16 pesawat pengebom untuk berlatih di pesisir Laut Mediterania.
Program latihan meliputi pengisian bahan bakar di udara, terbang rendah dalam berbagai formasi, dan simulasi menjatuhkan bom penghancur bungker. Ikut diuji pula rudal balistik Jericho III yang berdaya jelajah 6.500 kilometer dan mampu membawa hulu ledak nuklir.
Dari sisi diplomasi, Israel diduga telah melobi Arab Saudi dan Uni Emirat Arab untuk memberikan izin pemakaian ruang udara bagi pesawat-pesawat tempur 'Negeri Bintang Daud' yang menuju Iran. Sebagaimana dipaparkan laman Wikileaks yang membocorkan pesan rahasia Kedutaan Besar AS di Arab Saudi, Raja Abdullah mengatakan kepada Dubes AS di Riyadh, "Sudah saatnya memotong kepala sang ular (Iran)."
Kekuatan Iran
Sejak menumbangkan Shah melalui revolusi Islam pada 1979, kekuatan para mullah di Iran jelas tidak bisa dipandang sebelah mata. Untuk menggempur 'Negeri Persia', militer Israel harus berhadapan dengan dua organisasi berani mati, yakni milisi Basij dan Pasdaran atau 'laskar pelindung revolusi Islam'.
Yang terakhir disebut merupakan organisasi penting pemegang kekuatan ekonomi dan politik Iran. Anggota-anggota Pasdaran pun menduduki sejumlah jabatan penting di berbagai bidang, termasuk pemerintahan. Fokus mereka saat ini berpusat kepada program nuklir.
Perusahaan-perusahaan yang dimiliki Pasdaran membangun terowongan rahasia, semisal lorong fasilitas nuklir Fordo dekat Kota Qom yang tersembunyi di perut pegunungan. Ilmuwan-ilmuwan anggota Pasdaran terlibat dalam proses pengayaan uranium. Bahkan, pasukan elite Pasdaran bertugas melindungi fasilitas nuklir Iran.
"Jika pesawat-pesawat jet mereka (Israel) bisa menghindari sistem pertahanan udara Iran, rudal darat kami akan menghancurkan markas mereka sebelum rudal mereka mendarat," tegas Amir Ali Hajizadeh, komandan angkatan udara Pasdaran.
Berbicara soal rudal, koleksi Iran cukup bervariasi. Sebut saja rudal Shahab 3 dengan jangkauan hingga 2.000 km, rudal Ghadr 1 yang berdaya jelajah mencapai 1.800 km, dan rudal Sejjil dengan cakupan sejauh 2.000 km. Itu belum termasuk sistem pertahanan udara mumpuni yang diduga dipasok Rusia.
Menurut Abdullah Toukan dari Center for Strategic and International Studies, Iran sanggup menangkal serangan udara berkat peranti Antey-2500 Mobile System buatan Rusia. Dalam makalah berjudul Study on a Possible Israeli Strike on Iran’s Nuclear Development Facilities, Toukan berargumen perkakas itu sanggup menembak jatuh rudal Israel yang berdaya jelajah 2.000 km-2.500 km.
Berisiko besar
Selain kemampuan Iran untuk membalas serangan Israel, terdapat sedikitnya tiga faktor lain yang membuat Netanyahu harus berpikir ulang untuk melaksanakan aksinya.
"Seluruh Iran begitu rentan," kata Deputi Perdana Menteri Israel Dan Meridor. "Mereka tidak akan hanya menyasar serdadu Israel. Tujuan utama mereka adalah warga sipil."
Analisis tersebut diamini mantan pejabat Gedung Putih untuk urusan pemberantasan terorisme, Richard Clarke. Menurut dia, Israel akan jadi sasaran empuk kelompok Hezbollah di Libanon yang terbukti perkasa pada perang 2006 lalu. "Jika Hezbollah meluncurkan ribuan roket ke Israel, ratusan warga akan tewas. Untuk negara kecil, itu sangat menghancurkan."
Risiko berikut ialah kenaikan harga minyak. Serangan Israel bakal mendorong Iran menutup Selat Hormuz yang dilalui 20% dari seluruh kapal tanker minyak dunia. Tak hanya itu, serangan akan membuat produksi minyak di Iran terhenti. Imbasnya, harga minyak dunia akan melonjak naik.
Faktor selanjutnya ialah determinasi Iran. Yossi Melman, pengamat keamanan dan strategi Israel, menilai serangan Israel hanya akan melecut Teheran untuk memproduksi senjata nuklir besar-besaran.
"Katakanlah beberapa fasilitas nuklir berhasil dihancurkan. Iran hanya perlu beberapa tahun untuk membangunnya kembali dan mereka punya legitimasi untuk mengatakan, 'Kami diserang oleh negara yang punya senjata nuklir dan kami harus mempertahankan diri kami'," papar Melman.
Bila itu terjadi, perimbangan kekuatan Timur Tengah praktis terancam lantaran AS, Rusia, dan Eropa akan terseret ke kancah peperangan.
"Kejelekan terbesar adalah perang. Begitu Anda memulai perang, Anda tidak akan tahu bagaimana akhirnya," pungkas Melman.
BERANEKA kamera pengawas dan senjata otomatis tersebar di sejumlah sudut kompleks bangunan kelabu di belahan utara Kota Tel Aviv. 'Institut', demikian warga setempat menyebut kompleks tersebut, yang tak lain adalah kantor badan intelijen Israel, Mossad.
Di tempat itulah perencanaan serangkaian serangan terhadap sejumlah ilmuwan nuklir Iran diduga berlangsung. Korban terkini ialah Mostafa Ahmadi-Roshan, 31, salah seorang petinggi fasilitas pengayaan uranium Natanz yang tewas akibat bom mobil di Teheran, 12 Januari lalu.
Kematian Ahmadi-Roshan ditengarai hanyalah awal dari serangan terbuka 'Negeri Yahudi' ke sejumlah fasilitas nuklir Iran. Target mereka beragam, mulai lokasi pengayaan uranium dekat Kota Natanz dan Qom, reaktor nuklir yang sedang dibangun di Arak, hingga pembangkit listrik tenaga nuklir Bushehr.
Soal waktu, majalah Jerman Der Spiegel punya estimasi. Berdasarkan rekaman pembicaraan antara politisi Israel, pejabat militer, dan pejabat Mossad, serangan ke Iran bakal direalisasikan dalam kurun Juni hingga November nanti. Di sisi lain, sejumlah pejabat Amerika Serikat menduga serangan Israel mungkin diwujudkan pada Mei mendatang.
Kecepatan serangan ke fasilitas nuklir Iran sangat mungkin didasari prinsip 'serangan pendahuluan' (preemptive strike) yang terangkum dalam literatur Yudaisme, Talmud. Salah satunya berbunyi, 'Jika seseorang akan membunuhmu, bunuhlah orang tersebut terlebih dulu'.
Adolf Hitler
Prinsip tersebut diresapi Perdana Menteri Benjamin Netanyahu. Pria yang akrab disapa 'Bibi' itu menuding klaim Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad tentang penggunaan nuklir bagi kepentingan energi sipil hanyalah isapan jempol belaka.
Apalagi, laporan terkini Badan Energi Atom Internasional (IAEA) menyebutkan betapa kemampuan pengayaan uranium Iran telah berkembang pesat. Hal itu sejalan dengan laporan National Intelligence Estimate bertajuk Iran: Nuclear Intentions and Capabilities.
Dokumen kumpulan badan intelijen Amerika Serikat pada November 2007 silam itu mengklaim Iran dapat memproduksi senjata nuklir pada periode 2010 hingga 2015. Iran, tulis laporan tersebut, telah memiliki ribuan mesin pemutar (centrifuge) yang sanggup memperkaya uranium sehingga dapat dijadikan senjata nuklir.
Selain menyitir soal teknis, Netanyahu menyeriusi ucapan Ahmadinejad mengenai penghapusan Israel dari peta dunia. Baginya, situasi saat ini mirip ketika rakyat Eropa meremehkan
propaganda Adolf Hitler pada era 1930-an. "Sekarang 1938 dan Iran adalah Jerman," cetusnya.
Lain dengan Netanyahu, alasan Menteri Pertahanan Ehud Barak lebih taktis. Menurut dia, Israel harus cepat mengambil tindakan lantaran program nuklir Iran akan memicu persaingan senjata di kawasan Timur Tengah. Apa yang terjadi, tanya Barak, jika Iran menempatkan senjata nuklir mereka di Libanon untuk melindungi Hezbollah?
Dengan menggunakan argumentasi tersebut, militer Israel mulai mengambil ancang-ancang. Pada November lalu, pilot-pilot terbaik dari skuadron 117 angkatan udara Israel membawa 16 pesawat pengebom untuk berlatih di pesisir Laut Mediterania.
Program latihan meliputi pengisian bahan bakar di udara, terbang rendah dalam berbagai formasi, dan simulasi menjatuhkan bom penghancur bungker. Ikut diuji pula rudal balistik Jericho III yang berdaya jelajah 6.500 kilometer dan mampu membawa hulu ledak nuklir.
Dari sisi diplomasi, Israel diduga telah melobi Arab Saudi dan Uni Emirat Arab untuk memberikan izin pemakaian ruang udara bagi pesawat-pesawat tempur 'Negeri Bintang Daud' yang menuju Iran. Sebagaimana dipaparkan laman Wikileaks yang membocorkan pesan rahasia Kedutaan Besar AS di Arab Saudi, Raja Abdullah mengatakan kepada Dubes AS di Riyadh, "Sudah saatnya memotong kepala sang ular (Iran)."
Kekuatan Iran
Sejak menumbangkan Shah melalui revolusi Islam pada 1979, kekuatan para mullah di Iran jelas tidak bisa dipandang sebelah mata. Untuk menggempur 'Negeri Persia', militer Israel harus berhadapan dengan dua organisasi berani mati, yakni milisi Basij dan Pasdaran atau 'laskar pelindung revolusi Islam'.
Yang terakhir disebut merupakan organisasi penting pemegang kekuatan ekonomi dan politik Iran. Anggota-anggota Pasdaran pun menduduki sejumlah jabatan penting di berbagai bidang, termasuk pemerintahan. Fokus mereka saat ini berpusat kepada program nuklir.
Perusahaan-perusahaan yang dimiliki Pasdaran membangun terowongan rahasia, semisal lorong fasilitas nuklir Fordo dekat Kota Qom yang tersembunyi di perut pegunungan. Ilmuwan-ilmuwan anggota Pasdaran terlibat dalam proses pengayaan uranium. Bahkan, pasukan elite Pasdaran bertugas melindungi fasilitas nuklir Iran.
"Jika pesawat-pesawat jet mereka (Israel) bisa menghindari sistem pertahanan udara Iran, rudal darat kami akan menghancurkan markas mereka sebelum rudal mereka mendarat," tegas Amir Ali Hajizadeh, komandan angkatan udara Pasdaran.
Berbicara soal rudal, koleksi Iran cukup bervariasi. Sebut saja rudal Shahab 3 dengan jangkauan hingga 2.000 km, rudal Ghadr 1 yang berdaya jelajah mencapai 1.800 km, dan rudal Sejjil dengan cakupan sejauh 2.000 km. Itu belum termasuk sistem pertahanan udara mumpuni yang diduga dipasok Rusia.
Menurut Abdullah Toukan dari Center for Strategic and International Studies, Iran sanggup menangkal serangan udara berkat peranti Antey-2500 Mobile System buatan Rusia. Dalam makalah berjudul Study on a Possible Israeli Strike on Iran’s Nuclear Development Facilities, Toukan berargumen perkakas itu sanggup menembak jatuh rudal Israel yang berdaya jelajah 2.000 km-2.500 km.
Berisiko besar
Selain kemampuan Iran untuk membalas serangan Israel, terdapat sedikitnya tiga faktor lain yang membuat Netanyahu harus berpikir ulang untuk melaksanakan aksinya.
"Seluruh Iran begitu rentan," kata Deputi Perdana Menteri Israel Dan Meridor. "Mereka tidak akan hanya menyasar serdadu Israel. Tujuan utama mereka adalah warga sipil."
Analisis tersebut diamini mantan pejabat Gedung Putih untuk urusan pemberantasan terorisme, Richard Clarke. Menurut dia, Israel akan jadi sasaran empuk kelompok Hezbollah di Libanon yang terbukti perkasa pada perang 2006 lalu. "Jika Hezbollah meluncurkan ribuan roket ke Israel, ratusan warga akan tewas. Untuk negara kecil, itu sangat menghancurkan."
Risiko berikut ialah kenaikan harga minyak. Serangan Israel bakal mendorong Iran menutup Selat Hormuz yang dilalui 20% dari seluruh kapal tanker minyak dunia. Tak hanya itu, serangan akan membuat produksi minyak di Iran terhenti. Imbasnya, harga minyak dunia akan melonjak naik.
Faktor selanjutnya ialah determinasi Iran. Yossi Melman, pengamat keamanan dan strategi Israel, menilai serangan Israel hanya akan melecut Teheran untuk memproduksi senjata nuklir besar-besaran.
"Katakanlah beberapa fasilitas nuklir berhasil dihancurkan. Iran hanya perlu beberapa tahun untuk membangunnya kembali dan mereka punya legitimasi untuk mengatakan, 'Kami diserang oleh negara yang punya senjata nuklir dan kami harus mempertahankan diri kami'," papar Melman.
Bila itu terjadi, perimbangan kekuatan Timur Tengah praktis terancam lantaran AS, Rusia, dan Eropa akan terseret ke kancah peperangan.
"Kejelekan terbesar adalah perang. Begitu Anda memulai perang, Anda tidak akan tahu bagaimana akhirnya," pungkas Melman.
0 komentar:
Post a Comment