GAZA (Berita SuaraMedia) - Israel telah menggempur Gaza sejak hari
Rabu (14/11/2011) melalui operasi militer Pillar of Defence. Aksi
militer ini dilakukan lewat serangan udara dan laut yang hingga Jumat
(23/11/2011) telah menewaskan setidaknya 162 orang, 43 di antaranya anak-anak,
dan korban luka-luka mencapai lebih dari 1000 orang. Sementara dari pihak
Israel, lima orang tewas dan belasan lainnya luka-luka.[1]
Aksi militer Israel
ini mendapat dukungan dari negara-negara Barat seperti Amerika Serikat, Inggris,
dan Uni Eropa karena dianggap sebagai hak Israel untuk membela diri.[2] Hal ini
berdasarkan klaim dari Israel bahwa mereka
harus menyerang untuk mempertahankan
diri dari serangan roket Hamas seminggu sebelum operasi militer.
Hal ini bertentangan dengan fakta bahwa Israel menyerang terlebih dahulu
sejak Rabu (14/11/2011) dengan tewasnya komandan Hamas Ahmed Jabari setelah
dibom oleh serangan udara tentara Israel hanya beberapa jam setelah ia menerima
rancangan perjanjian gencatan senjata jangka panjang dengan Israel.[3] Israel
justru lebih memilih aksi militer daripada perjanjian damai.
Klaim bahwa Israel
membela diri juga sulit untuk diterima karena faktanya mereka menjajah
Palestina dan kini berusaha mempertahankan wilayah jajahannya melawan penduduk yang
telah mereka jajah. Ini adalah kejahatan perang.
Kejahatan perang
adalah tindakan yang melanggar hukum internasional, perjanjian, kebiasaan, dan
praktek-praktek yang mengatur konflik militer antara negara-negara atau
pihak-pihak yang berperang. Kejahatan perang dapat dilakukan oleh angkatan
bersenjata suatu negara atau angkatan bersenjata yang tidak teratur.
Kejahatan perang dapat jatuh dalam tiga kategori: kejahatan terhadap
perdamaian, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang tradisional.
Sulit dibantah Israel terlibat dalam tiga jenis kejahatan perang tersebut.
Selama 66 tahun, rakyat Palestina terus menerus terbunuh karena dunia
internasional gagal menetapkan resolusi untuk menghentikan masalah di Palestina
atau mengkriminalisasikan pelaku pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat yang
dilakukan militer Israel terhadap rakyat Palestina.
Jika kita melihat
dengan cermat ke belakang, tidak ada kejahatan perang atau gerakan sistematik
terorisme di luar Eropa sebelum bangsa Eropa dan bangsa Yahudi mendirikan
negara Zionis Yahudi di tanah Palestina. Aksi kejahatan perang dalam bentuk
terorisme justru pertama kali dilakukan oleh Haganah dan Irgun Zeva'i Le'umi
untuk membujuk Inggris agar mendirikan Israel.
Rakyat Palestina kemudian diusir dari tanah airnya dan dipaksa untuk
menjalani hidup sengsara sebagai pengungsi selama lebih dari 50 tahun.
Karena perjuangan rakyat Palestina untuk mendapatkan kembali tanah mereka
inilah terjadi perang konvensional, kemudian protes sipil, dan pada akhirnya
demonstrasi dengan kekerasan.
Israel menuntut
Eropa dan dunia internasional untuk menebus kejahatan terhadap mereka di masa
lalu tetapi mereka terus menerus melakukan kejahatan perang di Palestina. Dalam
keadaan putus asa, rakyat Palestina terpaksa menggunakan apa yang disebut
sebagai aksi teror.
Dunia pun mengutuknya. Tetapi dunia tidak mengutuk aksi teror yang lebih
mengerikan yang dilakukan oleh Israel seperti pembantaian di Sabra dan Shatila,
penembakan dan pembunuhan anak-anak, penggunaan peluru yang dilapisi uranium
terdeplesi yang apabila terkena satu objek akan meledak dan mengeluarkan 40
persen uranium radioaktif yang menyebabkan partikelnya menyebar di atmosfer
bertahun-tahun setelah perang usai, merusak DNA sperma dan sel telur sehingga
menyebabkan cacat pada bayi yang baru lahir hingga kematian fatal, bom fosfor
putih yang ketika meledak maka fosfor putih yang mematikan akan tumpah dan
mengenai penduduk sipil yang akhirnya akan memakan korban dalam jumlah besar,
penghancuran rumah warga Palestina sementara penghuninya berada di dalam,
serangan pesawat dan helikopter tempur Israel, dan bahkan kini Israel mengancam
menggunakan senjata nuklir.
Impunitas dan kebiadaban Israel tidak boleh dibiarkan berlanjut terus
menerus. Karena apabila ini terjadi, maka akan menunjukkan kejelasan standard
ganda yang digunakan Barat dengan paradigma HAM-nya dan akibatnya justru akan
menimbulkan reaksi teror yang tiada habisnya.
Penindasan dan ketidakadilan yang dirasakan rakyat Palestina akan terus
berlanjut dan tak terperikan, konflik akan terus memanas, dan ekskalasinya
semakin menajam. Komunitas internasional termasuk juru damai, seperti
Indonesia, dapat mengambil peran penting dalam konflik ini.
Pertama, Indonesia sebagai negara berpenduduk Islam terbesar di dunia dapat
membuat pernyataan jelas dan tegas kepada Israel agar menghentikan serangan
militer ke Gaza. Setelah itu kemudian dapat menindaklanjutinya dengan
mengirimkan bantuan kemanusiaan kepada rakyat Palestina, khususnya Gaza, untuk
menunjukkan bahwa Indonesia mendukung perjuangan kemerdekaan bangsa Palestina.
Kita tidak ingin
menjadi bangsa yang lupa ingatan bahwa di saat perjuangan kemerdekaan tahun
1944, Mufti Palestina Amin Al-Husaini, atas nama bangsa Palestina, mendukung
kemerdekaan Indonesia di saat negara-negara lain belum berani memutuskan
sikap.[4]
Hal ini sesuai
dengan amanat UUD 1945 bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala
bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena
tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Sebagai umat Islam, kita meyakini bahwa "sesungguhnya orang Mukim
itu bersaudara..." (surah al-Hujurat (49): 10) dan sabda Rasulullah
SAW bahwa "perumpamaan orang-orang yang beriman dalam hal kasih sayang,
kecintaan dan kelemah-lembutan diantara mereka adalah bagaikan satu tubuh,
apabila ada satu anggotanya yang sakit maka seluruh tubuh juga merasakan sakit
dan tidak bisa tidur" (HR. Bukhari, Muslim).
Kedua, Indonesia
dapat mendesak Dewan Keamanan PBB untuk mengambil langkah cepat dan nyata untuk
menghentikan aksi militer Israel ini agar tidak berkembang menjadi invasi darat
seperti yang terjadi di tahun 2008-2009. Invasi ini dilakukan dengan dalih yang
sama untuk membela diri guna merespons terorisme yang dilakukan oleh Hamas dari
Gaza.
Tetapi dalih ini
tidak benar karena tidak ada roket Hamas sebelum invasi. Israel telah melanggar
gencatan senjata dan invasi 2008-2009 adalah perang yang jauh lebih buruk dari
aksi militer Israel 2012 ini.[5]
Invasi 2008-2009 yang berlangsung selama tiga minggu sendiri telah
membumihanguskan kota Gaza, memakan korban sebanyak 1417 orang, 926 warga sipil
tewas termasuk 313 anak-anak dan 116 wanita, dan 5303 orang terluka. Sementara
dari pihak Israel 13 orang tewas, tiga di antaranya warga sipil, dan 518 orang
terluka.[6] Kali ini harus ada sanksi yang tegas kepada Israel agar tercipta
efek jera dan kejahatan perang tidak terulang lagi.
Ketiga, komunitas internasional harus memperjelas bahwa aksi militer Israel
dianggap sebagai kejahatan perang karena telah melakukan serangan secara
indiskriminatif. Kelompok atau orang di dalam pemerintahan Zionis Israel harus
diseret ke Mahkamah Pidana Internasional (ICC) untuk mempertanggungjawabkan
penjajahan dan penindasan yang mereka lakukan terhadap bangsa Palestina.
Meski Indonesia
belum menjadi negara pihak dalam ICC, namun Indonesia dapat mendorong komunitas
internasional agar kejahatan Israel diselidiki dan ditindak tegas karena telah
melanggar hukum humaniter internasional dan hukum HAM.
Bentuk dukungan
terhadap Pengadilan Kejahatan Perang di Kuala Lumpur yang telah mengadili
secara simbolis G.W. Bush dan T. Blair sebagai penjahat perang, yang diinisiasi
oleh mantan PM Malaysia Mahathir Mohammad, dapat dijadikan bentuk alternatif
dukungan untuk melawan kejahatan perang.[7] Israel jelas telah melanggar hukum
humaniter internasional.
Instrumen hukum humaniter internasional yang utama adalah Konvensi Jenewa
(I-IV) tahun 1949. Konvensi Jenewa 1949 adalah pranata hukum internasional yang
pada pokoknya mengatur cara memperlakukan tentara yang cedera, sakit atau
mengalami kecelakaan di medan perang. Konvensi ini disepakati pada 12 Agustus
1949 di Jenewa, Swiss. Pada tahun 1977, sejumlah negara sepakat membuat aturan
tambahan terhadap Konvensi itu, kemudian dikenal sebagai Protokol Tambahan I
tentang Perlindungan Terhadap Korban Sengketa Bersenjata Internasional, dan
Protokol Tambahan II tentang Perlindungan Terhadap Korban Sengketa Bersenjata
Non Internasional.[8]
Indonesia sendiri
adalah negara pihak dalam Konvensi Jenewa setelah diratifikasi tahun 1958,
tetapi hingga saat ini masih belum meratifikasi Protokol Tambahan tersebut.
Indonesia dapat
mendorong agar komunitas internasional yang termasuk dalam negara pihak
Konvensi Jenewa memenuhi kewajiban hukum mereka, seperti yang diatur dalam
pasal 146 Konvensi Jenewa Keempat, untuk menghukum setiap orang yang diduga
melakukan pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa. Israel termasuk dalam
negara pihak Konvensi Jenewa dan untuk itu dapat dihukum.
Keempat, Indonesia
dapat menggalang solidaritas internasional untuk membuka perbatasan di jalur
Gaza agar bantuan kemanusiaan dan rekonstruksi internasional bisa masuk. Ini
penting untuk memulihkan kehidupan warga sipil yang hancur akibat aksi militer
Israel. Indonesia dapat mendorong dunia internasional untuk mendesak Israel
mematuhi kewajiban hukum pasal 55 Konvensi Jenewa agar penjajah (Israel)
menyediakan barang yang diperlukan untuk menjamin keselamatan dan kesejahteraan
warga sipil karena sumber daya yang terbatas di Gaza.
Terakhir, agar pemerintah Indonesia juga bersikap konsisten melihat
permasalahan lain terhadap umat Islam, seperti di Rohingya, Myanmar, misalnya.
Perlu diberikan
catatan penting juga agar umat Islam tidak lupa dengan saudara-saudaranya di
tanah air yang sedang membutuhkan uluran tangan kita semua. Kita dapat membantu
saudara-saudara kita, tidak hanya umat Islam, secara bersamaan di tanah air dan
dunia internasional tanpa harus mempermasalahkan kedua-duanya.
Skala prioritas memang ada di tanah air tetapi tidak sewajarnya kita
berdiam diri di saat krisis kemanusiaan saat ini sedang terjadi di Gaza.
Setidaknya kita bisa berdoa, memberikan sumbangan apabila memungkinkan, peduli
dengan mengikuti perkembangannya, dan mendorong agar pemerintah kita aktif
membantu perjuangan bangsa Palestina yang saat ini sedang dijajah dan ditindas
oleh Israel.
Komunitas internasional sessungguhnya mengetahui bahwa bangsa Palestina,
baik yang Muslim dan yang non-Muslim, sedang dijajah oleh Israel dan pemukiman
Yahudi di wilayah yang dijajah Israel jelas ilegal. Sudah banyak hukum
internasional atau norma universal sebagai bangsa beradab yang dilanggar
Israel.
Israel jelas
melanggar Konvensi Jenewa Keempat pasal 49 yang menyebutkan bahwa
"penjajah tidak akan mendeportasi atau mentransfer sebagian penduduknya
sendiri ke wilayah yang dijajah." Kenyataannya, Israel telah menjajah di
Tepi Barat, Jerusalem Timur, Jalur Gaza, dan Dataran Tinggi Golan. Fakta ini
didukung oleh Palang Merah Internasional, PBB, dan Mahkamah Internasional.[9]
Tetapi apa daya mereka tak berkutik di hadapan Israel.
*Frassminggi
Kamasa.
Penulis adalah
mahasiswa S2 jurusan Hubungan Internasional
di Victoria
University of Wellington, New Zealand.
0 komentar:
Post a Comment