Muslihat Hujan Panas
Cerpen Benny Arnas (Kompas, 11 Agustus 2013)
ENTAH bagaimana Maisarah harus
marah pada hujan deras yang turun siang itu. Lebih sepuluh tahun menghindari
Samin, baru kali ini ia dibuat tak kuasa menentang gejolak alam. Rasanya ingin
sekali ia menampar mulut bekas suaminya yang terus menceracau tentang gaji
veterannya itu. Kehadiran Samin, di bawah pohon merbau tempat ia berteduh,
hanya membuat kegeramannya pada hujan panas dan cerita-cerita yang menyertainya
makin menggunung.
Sungguh, ketakutan, kebencian,
dan rasa trauma Maisarah pada hujan panas tak lagi tertakar. Dua anaknya yang
baru menginjak remaja meninggal dunia karenanya. Mursal ditemukan mengapung di
bantaran Sungai Kasie di kaki Bukit Sulap. Sekujur tubuhnya membiru, perutnya
buncit oleh air. Ia memang sangat gemar mandi di dekat lubuk di siang hari.
Sudah sering orang-orang mengingatkan tapi sesering itu pula ia mengabaikannya.
Bahkan, seperti di siang naas itu, ketika hujan panas pun, ia bersikeras
menceburkan diri di lubuk seorang diri. Sepandai apa pun ia berenang, ketika
air pasang tak kepalang, hanya ada dua kemungkinan baginya: pusaran lubuk akan
mengisapnya atau arus pasang akan menyeretnya hingga tubuhnya mengapung.
Dua tahun berikutnya, Badri, adik
Mursal, menyusul. Di usia yang sama dengan meninggalnya si kakak, Badri tewas
jatuh dari pohon kelapa dengan tubuh terbakar. Ia disambar petir ketika sedang
memetik kelapa muda di perkebunan Haji Maulana di siang bedengkang. Memang tak
ada yang menyangka kalau awan berwarna santan dapat menurunkan hujan dan
diterabas petir.
Sejak itu, gairah hidup pasangan
Samin-Maisarah meredup perlahan-lahan. Kehilangan telah menyadarkan mereka
bahwa, seperti kata orang-orang tua dulu, anak adalah bulan purnama di dalam
rumah. Kepergian mereka menyebabkan hidup tak ubahnya seperti meraba dalam
lorong yang gelap. Saban hujan turun di tengah hari yang kerontang, Maisarah
seperti diseret ke labirin kesedihan yang panjang dan penuh liukan. Samin,
mungkin karena sadar posisinya sebagai imam, mencoba menguat-nguatkan diri dan
menyalurkan kekuatannya pada Maisarah. Tapi sia-sia, Maisarah seperti tak
menganggapnya. Bahkan ketika Samin mengutarakan maksudnya untuk memiliki
keturunan lagi, Maisarah muntab.
“Hah, masih sempat pula kau
mengurus kenikmatan dunia, Samin?! Lagi pula usiaku hampir empat puluh. Malu!
Apa kata orang kampung. Cukuplah kematian Mursal dan Badri memberi pelajaran
tentang malu!”
“Mengapa kau bicara seperti itu,
Mai? Seperti tak ada adat kau? Tak pernah kau mengaji tentang menghormati
suami? Sedih itu diperbolehkan Tuhan, tapi jangan berpanjangan. Begini
akibatnya, kau jadi melawan. Lagi pula, aku tak paham ‘malu’ macam apa yang
kaubicarakan?”
“Hah, berlapis nian kalimatmu,
Samin. Yang mana harus kujawab? Aku tak peduli tentang kapan aku harus berhenti
meratap. Kesedihan ini terlanjur hidup dengan malu yang harus ditanggung. Nah,
kau malah minta anak lagi!”
Samin melangkah keluar, menutup
daun pintu hingga mengeluarkan bunyi yang membuat bahu Maisarah sedikit
terangkat. Sejak itu, lorong kehidupan yang mereka lalui bukan hanya gelap,
tapi juga sunyi dan menyeramkan.
Ketakterimaan Maisarah atas
kematian tragis dua anak bujangnya bukan tanpa alasan. Ia menderita demam lebih
dari empat puluh hari usai melahirkan. Dua bulan sebelumnya, Mak Juming, dukun
beranak di Jalan Kacung, harus mengurut perut buncitnya hingga ia harus
merasakan sakit yang sangat demi mengembalikan posisi bayinya yang sungsang
seperti semula.
Oh, bila pun harus sesegera itu,
batin Maisarah, tidak bisakah Tuhan memilih cara yang tak membubungkan rasa
malu. Ya, pada kerabat dan orang-orang yang bertandang ke Ulaksurung saban
Ramadhan, Lebaran, dan Hari Pasar, bagaimana harus kuceritakan ketika tanpa
sengaja mereka menyelipkan pertanyaan di sela-sela perbincangan:
“Bagaimana ceritanya dua anak
bujangmu tak ada lagi?”
“Benarkah kabar yang
beranak-pinak tu? Dua anak bujangmu mati di bawah hujan panas?”
“Apa, Mai? Mursal yang lihai
berenang tu mati hanyut dan Badri yang suka bermain di pohon jambu di belakang
rumah Wak Bidin tu mati disambar petir di atas pohon kelapanya Haji Maulana di
Lubuksenalang?”
Tentu saja, Samin pun beroleh
pertanyaan yang sama pada beberapa kesempatan yang tak mengenakkan, dan ia
menceritakan saja yang sebenarnya. Ia tahan-tahankan saja sebak yang memenuhi
dada dan kelopak mata. Baginya, semuanya sudah digariskan Tuhan. Tak ada
seorang pun yang ingin ditimpa tangga musibah hingga sedemikian sakitnya. Tapi
Tuhan sudah memilih keluarganya sebagai
bahan pelajaran untuk yang lain. Tentu, pemahaman ini tak datang serta-merta
karena mulut kecubung orang-orang kampung mekar dan melebar semaunya. Sejak
hubungannya dengan Maisarah menghambar, ia memilih lebih banyak berada di
masjid. Ia akan pulang bila perasaan ingin melihat Maisarah bangkit tiba-tiba.
Dua tahun yang lalu, entah iblis
dari mana yang menyambangi mereka berdua, di usia yang sudah berkepala lima,
Maisarah pikir, Samin tak mampu lagi menuntunnya berjalan di lorong yang gelap.
“Pikirkanlah lagi, Mai,” ujar
Samin penuh harap, “Berita buruk baunya lebih busuk, lebih cepat menyebar dan
menyeret perhatian. Bukan hanya orang-orang Ulaksurung, tapi juga Pasarsatelit,
Kenanga, Megang Ujung, hingga Batuurip, akan bersorai karena mendapat kue yang
sedap untuk dilahap dalam pergunjingan.”
Kata-kata Samin itu seperti bola
karet membentur tembok. Maisarah tetap berkeras menginginkan perpisahan.
Menurutnya, Samin tak lagi bisa menjadi pemimpinnya. Samin lebih mementingkan
ibadahnya di masjid daripada berada di rumah apalagi bekerja untuk menyambung
hidup.
“Aku saja makan dari menjual
hasil kebun di simpang Belalau,” ujar Maisarah penuh kemarahan. “Sudah lima
tahun ini kau tak lagi menyadap karet. Kau selalu berdalih kalau sebentar lagi
pemerintah akan menggaji bekas pejuang. Kabar itu sudah jadi kotoran kerbau
baunya. Dari tahun 1970 aku dengar kabar itu di radio. Dan sekarang, tahun 1982
beberapa bulan lagi datang, masih pula kau membawa-bawa janji palsu pemerintah
itu! Aku tak butuh lagi. Kalaupun perjuanganmu melawan Belanda akan dibayar
pemerintah, kau tentu makin betah tinggal di masjid karena tak perlu lagi
bekerja. Masuk surga sendirian, itu kan maumu?!”
Samin menghela napas, tak tahu
harus berkata apa.
“Sudahlah!” lanjut Maisarah.
“Nasi yang ditanak sudah mutung. Makin kau kais kemudharatan yang akan
ditimbulkan perceraian ini, hanya keraknya yang akan kaudapati. Makin pahit di
lidah, pedas saja di telinga.”
Maka, sejak itu, lorong gelap
yang mereka lewati sudah bercabang.
Meskipun begitu, sepekan sekali,
sepulang dari sholat Jumat, Samin menyempatkan diri mengunjungi Maisarah
walaupun perempuan itu tak pernah membukakan pintu untuknya, bila pun pintu itu
terbuka, akan sesegera ditutupnya dari dalam. Dalam beberapa kesempatan dan
kebetulan, mereka kerap terperangkap dalam hiruk-pikuk keramaian. Namun
Maisarah selalu lihai menghindar. Dalam hati, ia selalu mengutuk hilangnya rasa
malu Samin. Sudah bercerai, masih pula merasa halal!
Hingga siang Agustus 1993 itu pun
tiba.
Di bawah rindangnya pohon merbau,
kaki Maisarah seperti diikatkan ke batangnya yang besar. Hujan panas turun
bersamaan dengan gemuruh langit yang menakutkan. Sungguh, di saat seperti itu,
sebenarnya Maisarah membutuhkan tempat untuk melabuhkan pelukan, ketakutan,
kesedihan, dan trauma masa lalu. Dan Tuhan seperti mengabulkan suara hatinya,
ketika seorang laki-laki kurus yang memayungkan kepalanya dengan tas tentara
berlari ke arahnya. Mereka sama-sama terperanjat begitu menyadari siapa yang
ada di hadapan.
“Aku dari kantor pos, Mai. Sudah
kutunggu hingga dua hari, petugasnya tak kunjung mengantarkan uang veteranku.
Makanya kujemput ke kota hari ini. Cukuplah untuk membelikanmu kain panjang dan
baju kurung.”
Maisarah bergeming. Wajahnya
kusut. Bibirnya bergetar. Ia menyilangkan kedua tangannya di dada.
“Kau kedinginan, Mai?”
Tak ada jawaban.
“Oh, aku baru ingat, ini hujan
panas. Kau tentu teringat …”
Maisarah melirik Samin dengan
raut muka tak nyaman hingga bekas suaminya itu tak jadi melanjutkan
kata-katanya. Maisarah pun melangkah ke
balik batang hingga tubuhnya tak lagi tampak oleh Samin.
Samin melangkah mendekat ke arah
batang yang kini memisahkan mereka. Tak lama, di bawah guyuran hujan panas dan
gemuruh petir yang tampaknya belum akan segera reda, mereka menyandarkan diri
di batang yang sama dengan posisi saling membelakangi. Maisarah menengadah ke
kanopi merbau yang sesekali meneteskan air. Tak terasa, sudah hampir dua jam ia
melarutkan diri dengan menghitung daun-daun yang jumlahnya ia taksir
mengalahkan jumlah hari semasa hidupnya. Bersamaan dengan hujan yang mulai mereda,
Maisarah mendengar suara ribut di belakang.
Benar-benar laki-laki tak tahu
malu, gerutunya, masih saja sibuk berkicau seakan-akan aku masih tulang
rusuknya!
Maisarah memutar badan, melongok
ke balik batang. Ketika hendak memuntahkan kekesalan kepada Samin, lidahnya
kaku.
“Ada apa, Bi? Seperti melihat
Malaikat Izrail saja kau?” tanya Makmun, penjual cendawan keliling, begitu
mendapati kedua mata Maisarah yang seperti hendak keluar. “Dari tadi Bibi
kuajak bicara, tak juga menyahut. Kukira Bibi sedang sakit gigi atau demam,”
imbuh Makmun dengan sedikit kesal.
“Kenapa kau ikut berteduh di
sini? Kau takut hujan panas pula?” tanya Maisarah, ketus.
“Ah, Bibi mengigau!” Makmun
mengibaskan tangan kanannya. “Aku berteduh karena hari panas nian. Mana mungkin
hujan turun di musim kemarau.…”
Maisarah tak berminat
mendengarkan kelanjutan kalimat Makmun. Ia tergesa-gesa meninggalkan laki-laki
itu dengan bunyi gigi bergemerutupan karena kesal. Sepanjang perjalanan ia
menggerutu. Bagaimana mungkin aku masih memikirkan Samin Keparat itu! Ia bukan
apa-apa lagi bagiku, bukan! Maisarah mengintip matahari dengan sebelah tangan
menudungi mata. Hari memang sangat panas, seperti mengabarkan kalau beberapa
saat yang lalu, tidak ada awan hitam yang pecah di musim kemarau. (*)
0 komentar:
Post a Comment