Menjelang Hari Pahlawan pada
10 November mendatang, pemerintah menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional
kepada tujuh tokoh bangsa. Pemimpin Pemerintah Darurat Republik Indonesia, Sjafruddin
Prawiranegara, dan tokoh Muhammadiyah, Buya Hamka, adalah dua di antara yang
mendapatkan anugerah ini.
Penganugerahan ini
dilaksanakan dalam sebuah upacara yang dipimpin Presiden Yudhoyono, di Istana
Negara, Jakarta, Selasa 8 November 2011. Penyerahan diberikan melalui para ahli
waris tokoh-tokoh tersebut. Ketua Dewan Gelar, Menko Polhukam Djoko Suyanto,
mengungkapkan, pembahasan nama yang mendapat gelar pahlawan itu dilakukan oleh
Kementerian Sosial. Baru, setelah mengerucut, sejumlah nama digodok oleh Dewan
Gelar. Dewan Gelar menetapkan nama-nama yang lulus kriteria yang ditetapkan
undang-undang.
Selain gelar Pahlawan
Nasional, Presiden juga menganugerahkan tanda jasa pada 11 tokoh lain.
Pemberian gelar dan bintang jasa tersebut berdasarkan rekomendasi Sekretariat
Dewan Gelar, Bintang Jasa dan Tanda Jasa. Presiden SBY kemudian mengeluarkan
tiga Keputusan Presiden (Keppres), masing-masing Keppres No.113/TK/2011,
Keppres No.114/TK/2011, dan Keppres No115/TK/2011 untuk masing-masing kategori.
Mereka yang menerima gelar Pahlawan Nasional:
1. Sjafruddin Prawiranegara;
2. Idham Chalid;
3. Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka);
4. Ki Sarmidi Mangunsarkoro;
5. I Gusti Ketut Pudja;
6. Sri Susuhan Pakubuwono X; dan
7. Ignatius Joseph Kasimo Hendrowahyono.
Bintang Mahaputera Adipradana:
- Sultan Sulaiman Syariful Alamshah.
Bintang Budaya Parama Dharma:
1. Benyamin Sueb;
2. Hasbullah Parindurie;
3. Gondo Durasim;
4. Huriah Adam;
5. Idrus Tintin;
6. Kwee Tek Hoay;
7. Sigit Sukasman;
8. Go Tik Swan;
9. Harijadi Soemadidjaja; dan
10. Gedong Bagus Oka (Ni Wayan Gedong).
Sempat mencuat nama Soeharto dan Gus Dur diberi gelar
pahlawan nasional. Namun, dalam penganugerahan kali ini dua nama itu tidak
masuk. Kenapa? "Karena tidak ada yang mengusulkan," kata Djoko, Ketua
Dewan Gelar.
Sjafruddin
Prawiranegara
Akmal Nasery Basral, penulis
buku "Presiden Prawiranegara", menilai pemberian gelar pahlawan ini
sebuah langkah maju menuju ke pengakuan pria kelahiran Serang, Banten, 28
Februari 1911, itu sebagai Presiden kedua Republik Indonesia. Menurut Akmal,
posisi Sjafruddin sebagai Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PRRI)
merupakan pelanjut estafet pemerintahan Indonesia yang lumpuh karena Presiden
dan Wakil Presiden pada kurun 1948-1949 itu, Soekarno dan M Hatta, ditangkap
Belanda.
"Pak Sjaf itu adalah ayah historis bagi
Indonesia," kata Akmal. Tanpa aksinya membentuk PDRI di tahun 1949,
terputus estafet pemerintahan Indonesia karena Presiden dan Wakil Presiden saat
itu, Soekarno dan Hatta, ditangkap Belanda.
Peran sebagai pelanjut estafet
itu, kata Akmal, juga diakui Hatta dalam memoarnya. Sejumlah sejarawan, kata
Akmal, seperti Asvi Warman Adam dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia juga
gencar meminta pengakuan atas posisi vital Sjafruddin dalam sejarah.
Akmal menengarai, pengalaman sejarah Sjafruddin ini
karena perannya dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia di masa Orde
Lama dan Petisi 50 di masa Orde Baru. Namun, Akmal menyatakan, gelar Pahlawan
ini sudah sebuah langkah maju. "Saya memuji Presiden SBY yang berani melakukan
ini karena presiden-presiden sebelumnya tak ada yang berani," kata Akmal.
Putra Sjafruddin, Farid
Prawiranegara, menyatakan sangat senang dengan anugerah gelar Pahlawan Nasional
ini. Namun Farid menyatakan, perjuangan belum selesai sampai di sini.
"Masih banyak hal-hal yang perlu diperjuangkan," kata Farid. Namun
Farid tidak merinci perjuangan apa yang dimaksud.
Farid sendiri menjelaskan,
gelar pahlawan ini merupakan warisan pada anak-cucu nanti. "Selama ini
mereka tidak mengerti apa yang terjadi, apa yang sesungguhnya beliau
perjuangkan, apa yang sesungguhnya beliau laksanakan selama hidupnya,"
kata Farid.
Farid juga menyampaikan,
pengakuan Pahlawan ini merupakan bukti perbuatan Sjafruddin di masa hidupnya
dianggap benar dan berjasa bagi bangsa. "Dianggap sebagai sesuatu hal yang
benarlah oleh pemerintah sekarang," katanya.
Idham Chalid
Pria kelahiran Satui,
Kalimantan Selatan, 27 Agustus 1921, merupakan mantan Ketua Umum Nahdlatul
Ulama (NU), Ketua Partai Masyumi, Pendiri/Ketua Partai NU dan Pendiri/Ketua
Partai Persatuan Pembangunan ( PPP). Di Pemerintahan, Idham pernah menjadi
Wakil Perdana Menteri Indonesia, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat
Kabinet Pembangunan I dan Menteri Sosial.
Meski berlatar keagamaan yang
kuat, Idham Chalid adalah pendukung visi kebangsaan yang plural. Sifatnya yang
terbuka dan lemah lembut justru menjadi kekuatannya sehingga bisa menjadi Ketua
PBNU termuda dan terlama.
HAMKA
Haji Abdul Malik Karim
Amrullah yang disingkat HAMKA selain dikenal sebagai pemimpin Muhammadiyah,
juga seorang penulis dan
aktivis. Karya sastra pria kelahiran Kampung Molek,
Maninjau, Sumatera Barat, 17 Februari 1908 itu telah diangkat ke layar lebar
yakni, novel "Di Bawah Lindungan Kabah" yang ditulisnya pada 1936.
"Kami, keluarga mengucapkan terima kasih kepada
pemerintah dan beliau itu sejak awal sudah jadi pahlawan bagi kami," kata
anak kesepuluh Buya Hamka, Afif Hamka. Menurutnya, pemberian gelar pahlawan itu
membanggakan keluarga.
Kegiatan politik Hamka bermula
pada tahun 1925 ketika beliau menjadi anggota partai politik Sarekat Islam.
Pada tahun 1945, beliau membantu menentang usaha kembalinya penjajah Belanda ke
Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan gerilya di dalam hutan di
Medan. Pada tahun 1947, Hamka diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan
Nasional, Indonesia. Di masa kemerdekaan, Hamka ikut membesarkan Partai
Masyumi, namun belakangan lebih giat di bidang sosial keagamaan.
Ki Sarmidi
Mangunsarkoro
Jika mengenal Taman Siswa,
maka Ki Mangunsarkoro atau Sarmidi Mangunsarkoro merupakan orang kedua yang
terasosiasi dengan perguruan ini setelah Ki Hadjar Dewantara. Lahir 23 Mei
1904, Mangunsarkoro setelah lulus dari sekolah guru di Jakarta, langsung menjadi
guru HIS Taman Siswa Yogyakarta. Tahun 1930, Ki Mangunsarkoro memimpin Taman
Siswa Jakarta. Di masa kemerdekaan,
Ki Mangunsarkoro menjadi
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia pada tahun 1949 hingga tahun 1950.
I Gusti Ketut
Pudja
I Gusti Ketut Pudja yang
dilahirkan 19 Mei 1908 ini ikut serta dalam perumusan negara Indonesia melalui
Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia mewakili Sunda Kecil
(saat ini Bali dan Nusa Tenggara). I Gusti Ketut Pudja juga hadir dalam
perumusan naskah teks proklamasi di rumah Laksamana Maeda. Ia kemudian diangkat
Soekarno sebagai Gubernur Sunda Kecil.
Sri Susuhan Paku
Buwono X
Kakek dari Dr.BRA. Mooryati
Soedibyo ini raja Kasunanan Surakarta yang memerintah tahun 1893 sampai 1939.
Pria bernama asli Raden Mas Malikul Kusno ini dikenal pendukung organisasi
Sarekat Islam cabang Solo, yang saat itu merupakan salah satu organisasi
pergerakan nasional Indonesia.
Ignatius Joseph
Kasimo Hendrowahyono
Lahir pada tahun 1900dan
meninggal 1 Agustus 1986, Kasimo adalah salah seorang pelopor kemerdekaan
Indonesia. Pendiri Partai Katolik Indonesia ini pernah menjabat menteri. Pada
masa Agresi Militer II (Politionele Actie), Kasimo ikut bergerilya di Jawa
Tengah dan Jawa Timur. Kasimo juga ikut berjuang merebut Irian Barat.
0 komentar:
Post a Comment