HANTU KUCING
Cerpen Denis Supiantias
“ Bang Deo pinjam ini ya Jaka “
“ Tapi jangan dibawa pulang ya bang “
“ Emm……..gimana ya? “
“ Itu kan belinya di luar negeri bang “
“ Wah……bagus dong…..bang Deo bawa pulang ya “
“ Jangan bang !!!!! huuuhuuuhuuuhuu “
“ Yah gitu aja nangis. Ne abang kembaliin mainannya “
Begitulah gurauan ku bersama Jaka dia anak yang imut dan
membuatku selalu ingin menggodanya. Jaka memang anak yang lucu dan dia juga
terkenal dengan sifat cenggengnya. Namun aku tidak pernah jera menggangunya .
“ Tung……tung…tung……..”
Bunyi tawak pagi ini membangunkan tidurku yang sangat
pulas. Entah ada apa gerangan, tetangga sebelah sudah sibuk dengan alat musik
tradisional tersebut. Akupun beranjak keluar kamar menemui ibu yang sedang
membuatkan minuman untuk kami sekeluarga. Tampaknya pagi ini ada sesuatu yang
menjanggal dalam pikiranku, karena tidak seperti biasanya. Pagi ini ibu tidak
mengeluarkan perkakasnya yaitu pinang dan sirih. Katanya sih itu sebagai make
up alami para ibu – ibu di kampung.
“ Baru bangun “ sapanya lembut dengan sedikit senyuman
yang khas dari bibir keriputnya
“ Iya bu “
“ Sudah cuci muka dulu sana biar ngak ngantuk lagi ! “
Akupun beranjak dengan sedikit gerakan yang tak semangat
karena biasanya di kampungku kalau saat pagi udaranya begitu dingin dan
terkadang membuatku jarang untuk mandi. Tapi tampaknya beda dengan pagi ini aku
mencoba mencuci mukaku dengan sedikit air dalam bak. Tapi agaknya aku tidak
begitu puas dan langsung saja aku melanjutkannya dengan menceburkan seluruh
tubuhku ke bak mandi. Ah…tak masalah yang penting pagi ini aku mandi.
Mendengar pidato ibu sudah biasa karena ulahku yang
terkadang membuatnya beroceh – oceh. Bahkan terkadang saking bersemangatnya
memberikan omelan padaku ibu terkadang sampai bersin – bersin. Mengkin dia
terserang virus nakalku barangkali. Setelah selesai mandi dengan cara yang
tidak wajar, akupun kembali ke dapur. Tapi tak ku lihat seorangpun di dapur.
Kemana ibu, ayah dan adik?. Aku hanya kebinggungan
menatap air yang telah ibu siapkan untukku pagi ini. Setelah menikmati
secangkir teh buatan ibu akupun berbenah diri ke kamar sedikit mempermak wajah
yang agak berantakan ya supaya bisa mirip dengan Justin bieber.
Kemudian aku beranjak ke luar pendopo di sana aku melihat
ibu dan teman – teman seperguruannya sedang asik berbincang – bincang dan
sedikit diselinggi tawa. Entah apa saja yang mereka bicarakan. BBM naik
mungkin? Atau harga kulat yang kian hari kian turun ? ah….terserahlah apapun
itu tapi yang ku tahu ibu tidak mungkin membahas masalah seperti itu, itukan
urusannya para anggota DPR. Mungkin ibu janjian dengan teman seperguruannya
untuk pergi mencari pinang ke bukit Kelam nanti sore.
“ Ngak ngelayat bang “
Aku sentak terkejut mendengar kalimat yang diucapkan ibu.
Siapa yang meningggal? Aku masih kebinggungan apakah aku yang salah mendengar
atau mungkin ibu yang kesleo lidahnya akibat overdosis makan pinang? Ku harap
tidak begitu.
“ Jaka meninggal tadi pagi, kamu ngak ngelayat Deo “
Ternyata pendengaranku memang masih pada stadium yang
baik. Dugaanku benar, ada yang meninggal. Aku mendekati ibu dan teman
seperguruannya itu mungkin ini yang menjadi topik panas perbincangan mereka
pagi ini.
“ Kapan meninggalnya bu? Apa penyebabnya “
“ Tadi pagi. Nafasnya habis belum isi ulang bang “
Disaat aku sedang serius seperti sekarang ibu masih saja
bergurau. Pantas tadi pagi aku mendengar bunyi gong dari tetangga sebelah.
Tradisi di kampungku jika ada yang meninggal maka akan dipukulkan gong supaya
orang – orang lain mengetahui pada hari tersebut ada yang meninggal. Karena di
kampung kami tidak boleh melakukan pekerjaan disaat ada orang yang meningggal
dunia. Aku masih penasaran apa penyebab kematian Jaka. Kemarin aku masih
bergurau dengannya. Apa mungkin dia meninggal karena kemarin gurauanku? Tidak
masuk akal jika itu penyebabnya.
“ Ayah kemana bu ? “
“ Melayat “
“ Adik “
“ Dia ikut ayahmu “
“ Ibu ngak melayat “
“ Nanti saja masih ramai “
“ Bilang saja masih asik ngerumpi “
“ Huss ngawur kamu “
“Hus..hus…ibu kira Deo ayam apa ? “
Aku tidak melanjutkan perbincanganku dengan ibu. Aku
masih ingin tahu apa penyebab kematian Jaka. Aku mendekati ibu Jamilah yang
sedang asik meramu pinang sirihnya diselinggi dengan latah – latah yang keluar
dari bibirnya yang jauh dari kata sexy itu. Dia tidak berbicara banyak namun
aku mendapat inti dari pembicaraanya. Kampungku masih tergolong kolot. Sangat
kolot malah seperti kata – kata gaul sekarang “ Kamseupay “.
Karena masih menganggap daerah tertentu seperti sungai,
bekas pondok di ladang dan pohon yang besar ada penunggunya atau ada Utai.
Menurut cerita ibu Jamilah, sebab kematian Jaka adalah karena dia sendirian
mandi di sungai Jawi dan tidak ada yang menemaninya. Menurut rumor yang beredar
sungai tersebut ada penunggunya yaitu Buaya berkepala Kuda.
Dan setiap
tahunnya sungai tersebut selalu meminta tumbal. Kematian jaka adalah kematian
yang tidak wajar dan menurut kepercayaan di kampungku orang yang meninggalnya
secara tidak wajar arwahnya akan menggangu orang – orang yang pernah dekat
dengannya sewaktu ia masih hidup. Celaka, bisa kacau kalau begitu sewaktu Jaka
masih hidup aku doyan sekali menggangunya.
Jangan – jangan yang pertama dihantui Jaka nanti aku.
Menjelang senja aku dihantui perasaan yang tak menentu, maklum masih teringat
dengan kematian Jaka. Bagaimana tidak sewaktu dia masih hidup aku kerap kali
bermain dengannya. Malampun tiba aku begitu kasak kusuk seperti terkena listrik
tegangan tinggi disertai lagi dengan keringat yang bercucuran dari tubuhku.
Maklum di kampung pedalaman seperti kampung kami tidak ada listrik dan tidak
ada pelita. Jadi menjelang malam kami tidur hanya mengunakan lampu pelita. Aku
tak bisa tidur malam ini ditambah lagi mendengar lagu – lagu keroncong dari
kamar ibu yang menambah seramnya suasana malam ini.
Tak bisa sedikitpun mataku terpejam sehingga kuputuskan
untuk mematikan pelita yang ada di kamarku. Matakupun mulai menggantuk dan aku
mencoba untuk tidur namun setelah sempat terlelap aku terbangun mendengar suara
pintu. Aku begitu tegang dan dari ujung kaki sampai kepala buluku berdiri
seperti ingin apel 17 agustus. Ku tarik selimutku menutupi seluruh tubuhku.
Tetapi aku merasa ada sesuatu yang mengelus – elus kakiku. Tubuhku semakin
merinding dan spontan saja aku menendang objek yang mengelus kakiku itu dan berteriak
sekuat mungkin. Seisi rumah terbangun mendengar suaraku. Ayah segera ke kamarku
dan ia membawa senter.
“ Kamu kenapa Deo “
“ I…i….i..t..u pa, a….a…da hantu di kakiku “
“ Mana? “
“ Tadi dia mengelus – elus kakiku yahs “
Ayahpun menyenter ke arah kakiku dan dia melihat kucing
kesayangan mama sedang sekarat akibat tendangan yang cukup keras dari kakiku
tadi dan terbentur di dinding.
“ Itu hantu Deo “
“ Han……tu “
“ Iya…..”
“ Ayah…usir dong “
“ Itu hantu kucing. Sama kucing aja takut kamu ini “
Ah….ternyata hanya seekor kucing. Ayah hanya tertawa geli
melihat tingkahku yang ketakutan ia tidak kembali ke kamar bersama ibu dan adik
namun ayah ikut tidur denganku. Sial hanya karena kucing aku menjadi anak yang
masih ditemani ayah sewaktu tidur.
Catatan :
Tawak : Gong
Utai : Hantu
PROFIL PENULIS
Nama : Denis
umur : 19 tahun
Pekerjaan : Kuliah
Hobi : menulis dan menyayi
FB : Denis Nobisuke
Twitter : @Denissupiantias
0 komentar:
Post a Comment