Friday, 24 January 2014

CERPEN LUCU : RAHASIA DI BALIK BOM BUKU



RAHASIA DI BALIK BOM BUKU
Karya Yurika Anggraini

Langit yang tampak kelam dan awanpun pekat hitam pertanda hujan telah mengamuk di atas pijakannya. Allahu akbar … Allahu akbar, adzan magrib pun berkumandang di seluruh penjuru kota.
“ San, tak dengarkah awak suara adzan tuh?”tanya seorang perempuan tua pada anaknya yang dari tadi asyik mengarang pantun di bukunya.

“ Apa mak? Lah sudah adzan? “
“ Iya, tak dengarkah awak? “ Ohh, patutlah aku tak dengar mak, kan hujan,”jawab Sasan.
“ Ada pula hujan yang awak salahkan. Bersihkan telinga tuh tiga kali sehari! Adzan magrib pun awak tak dengar.”
“ Bersihkan telinga? Macam mana aku nak bersihkan telinga, pembersih telinga saja kita tak punya,”
“ Masa iya? Mak kan lah beli waktu itu.”
“ Yang itu sudah habis mak,”
“ Cepatnya,”
“ Ya kan mak juga yang bilang pakainya tiga kali sehari.” Perempuan tua yang heran dengan perkataan anaknya pun hanya pasrah.” Ya sudahlah, nanti mak beli lagi di warung. Sekarang awak pergilah ambil air wudhu!”
Dengan segera Sasan pergi ke kamar mandi. Byur… byur… byur… air wudhu mengalir membersihkan tubuhnya. Langkah kakinya membawanya ke ruangan kecil. Dia pun sholat magrib dengan setengah khusyu.
***


“ Sa...san. Saa...saan..” teriak teman-teman Sasan dari luar rumah.
“ Iya,” jawab Sasan ketika ia sudah membuka pintu rumahnya.
“ Lamanya lah awak nih,” ucap Yayan yang merupakan sahabat dari Sasan sekaligus ketua geng dari mereka, TRICOTENG, nama yang diberi oleh geng itu sendiri yang berarti tiga cowok muanteng. Sebuah nama yang patut dibanggakan oleh mereka.
“ Ntah! tak nak aku terlambat lagi.” ucap Jejep yang juga merupakan sahabat Sasan.
“ Iya lah, aku minta maaf. Aku tadi kena ceramah sama mak aku, dikira sembunyikan sepatu sekolah adik aku.”
“ Sudah ketemu sepatu adik awak?” tanya Jejep heran. “ Sudah,”
“ Macam mana pula?” tanya Jejep lagi “ Ya soalnya aku yang naruh sepatu adik aku,”
“ Heh... patutlah awak kena ceramah, awak yang sembunyikan pun.” kata Yayan sambil menjitak kepalanya.
“ Ayolah kalau begitu. Kita berangkat sekarang!” seru Jejep.
Mereka berjalan menelusuri lorong-lorong, mengibas daun di pinggir jalan. Jalan setapak berakhir di ujung jalan, mereka mulai melewati kebun karet. Alang-alang yang tumbuh disekitarnya, melambai diterpa angin, melambai pelan pada siapapun yang melewatinya. Langkah kaki yang mantap, tak ada sesuatu yang bisa menghalangi.

Berjalan terus di antara pohon-pohon Jati yang berjejer, pohon-pohon yang mulai bertumbangan, dilahap kerakusan manusia. Sejauh mata memandang, pohon Jati tinggal satu dua dalam jarak pandang saling berjauhan, mungkin dalam waktu dekat akan habis. Kaki melangkah melanjutkan perjalanan melewati rumah-rumah penduduk yang juga saling berjauhan. Jejep yang memperhatikan Sasan terus mengarang pantun selama perjalanan menuju sekolah, ia pun akhirnya membuka pembicaraan.
“ Aku rasa, awak ni kelak nak jadi penyair.”
“ Iya kah? Kenapa awak bisa cakap macam tuh? “ Lah, tiap hari awak kerjaannya berpantun terus.
Sampai-sampai, telinga aku nih lah penat dengar pantun awak! Ntah iya ntah tidak pantun yang awak karang dari tadi, aku pun tak tahu.” gerutu Jejep.
“ Aku pun tak paham lah maksud awak nih, Jep. Pertama awak puji aku. Kedua awak hina aku.”
“ Hehehe, kenyataannya kan memang seperti itu.
Aku dengar awak dari tadi berpantun, tapi tak ada yang jelas pantun yang awak buat.”
“ Sudahlah. Sasan nak berpantun kah, nak jadi penyair atau tidak kah, itu terserah dia. Yang penting kan kita... HAPPY,” ujar Yayan.
Tawa terkekeh pelan terdengar dari mereka yang merubah suasana pagi hari itu.
***

Ketika jam pelajaran sudah dimulai, tiba-tiba Ibu Wakil Kepala Sekolah SMP Negeri 7 Tanjung Pinang, Ibu neli muncul di depan pintu dengan seorang anak perempuan yang tampaknya bukan penduduk asal dari daerah tersebut. Rambutnya yang tergerai indah membuat mata Sasan tidak berkedip sedetikpun. Kulitnya yang putih memiliki sisi perbedaan dari anak-anak biasanya yang berada dikota itu.
“ Assalamu’alaikum, Anak-anak!”
“ Wa’alaikum salam, Bu!”
“ Anak-anak, hari ini kalian akan memiliki teman baru. Dia pindahan dari Jakarta. Nak Anggrai, silahkan perkenalkan diri!” Saat Anggrai memperkenalkan dirinya,
Sasan terus memperhatikannya sambil mencatat segala apa yang diucapkan Anggrai. Mulai dari nama, umur, tempat lahir, tanggal lahir, alamat, dan status. Sasan pun bergumam,
“Anggrai cantik tinggi semampai, dada bidang rambut mengurai, putih melepak lembut gemulai, saya melihat rasa terkulai. Alamak... ternyata bidadari tuh memang ada ya, Jep.”
“ Heh, cakap apa budak satu nih. Tak dengarkah awak tadi, kalau dia tuh orang Jakarta. Macam awak tah tahu saja, orang-orang di Jakarta macam mana.” jawab Jejep mengeluarkan suara kecil mengejek yang duduk sebangku dengan Sasan.
“ Memangnya orang Jakarta tuh macam mana?”
“Di Jakarta tuh banyak sekali koruptor. Para pejabat termasuk anggota Dewan disana tuh kerjaannya hanya makan uang negara. Kasus korupsi disana saja tak ada yang tuntas-tuntas. Hemm, macam si siapa lah tuh namanya. Aku lupa pula,”
“ Siapa? Aku tak tahu.”
“ Ihh, yang lagunya nak pergi ke Bali tuh.”ucap Jejep kesal.
“ Aihh, si Gayus lah tuh, nama itu pun kalian tak ingat.” sambung Yayan tiba-tiba yang daritadi mendengar percakapan mereka.
“ Nah, itu maksud aku. Awak nak tahu lagi, kalau di Jakarta juga pernah ada bom. Kemarin, aku dengar berita di TV, katanya ada pula bom buku.”
“ Bom buku? Apa pula bom buku tuh, Jep?”tanya Sasan dengan wajah kolotnya.
“ Bom buku pun awak tak tahu, mangkanya awak tuh sering lihat berita di TV.”
“ Jep... Jep. Macam mana aku nak lihat berita di TV, TV saja aku tak punya.”jawab Sasan santai.
“ TV pun awak tak punya San? “
“ Sudahlah, apa pasal kalian berdua nih. Hal yang seperti itu pun kalian perdebatkan. Lagi pula apa hubungannya si Anggrai dengan koruptor dan bom buku. Ada-ada saja awak nih Jep.”sergah Yayan.
“ Maksud aku tuh bukan itu, tapi...”
“ Ya sudahlah, Sasan nak cakap gadis tuh bidadari kah, tak tahu orang Jakarta macam mana kah, dia tak punya TV kah, terserah dia.
Dia tak tahu bom buku macam mana pun, itu juga terserah dia. Yang penting kan kita nih... HAPPY,” ujar Yayan dengan senyum lebar yang dibuat-buat.
Percakapan mereka terhenti ketika Anggrai datang ke arah mereka. Ternyata Anggrai duduk disamping Yayan yang kebetulan duduk sendiri. Tepat di belakang Sasan.
“Pucuk di cinta ulampun tiba,” gumam Sasan. Jejep yang tidak senang dengan keadiran Anggrai di belakangnya hanya dapat menatap Anggrai dengan sinis.
“Aku harap awak tidak mendekati budak perempuan itu, San!”ancam Jejep.
“Kenapa pula? Bukankah dia terlihat cantik dan baik,” Jejep menatap Sasan lebih serius,
“Dia tidak seperti yang awak bayangkan. Aku yakin, suatu hari nanti akan terjadi sesuatu yang tidak dapat awak bayangkan.”
***

Jam lima pagi. Suasana mulai riuh rendah. Rengekan motor mengawali pagi itu. Pedagang-pedagang warung pergi ke pasar untuk memenuhi pesanan pelanggannya. Masih terlalu pagi memang, tapi itulah kebiasaan mereka mengawali harinya. Sesekali terdengar ayam berkokok, Nampak malu-malu, membangunkan majikannya dari lelapnya istirahat yang cukup panjang.
Suara itu membuat Sasan terbangun dari tidurnya yang tak nyenyak lalu duduk diatas kasurnya.
“ Wilmana di atas gunung, penyengat bergantung tinggi, gundah gulana duduk termenung, teringat akan si jantung hati.”gumam Sasan. Setelah itu bangkit dari duduknya. Galau terus menghantuinya kemanapun ia melangkah. Ia melihat jam dinding yang ada didekat kamarnya, jam lima lewat sembilan menit. Dia bergegas ke kamar mandi hendak mengambil air wudhu. Dingin terasa membasahi tubuhnya, namun kesegaran ada padanya. Tetap berkainkan sarung ia menunaikan shalat shubuh. Pagi itu matahari masih malu menampakkan wajahnya. Namun tidak untuk Sasan.
Ia segera pamit pada ibunya untuk pergi bermain barsama para sahabatnya. Pandangan matanya menerawang, menerobos jarak yang mampu dijangkau panca indera.

Dari kejauhan, ia melihat seorang gadis kecil yang tidak asing lagi baginya. Karena disana bersandar dengan santai di sebuah bangku kayu kecil, tak lain dan tak bukan adalah, Anggrai. Sambil mengumpat pelan, Sasan melayangkan tatapan penuh makna ke arah Anggrai. Anggrai membalasnya dengan mengangkat sebelah tangan dan melambai ke arahnya. Sambil terus membalas pandangan Anggrai, Sasan pelan-pelan berjalan mendekat.
Mereka pun akhirnya saling berbincang-bincang.
“Aku juga tak tahu kenapa Jejep begitu tidak menyukaimu. Ia terlalu benci dengan orang Jakarta. Seperti yang aku ceritakan tadi, dia selalu menasehatiku agar tidak terlalu dekat dengan awak.” ujar Sasan setelah ia menceritakan pada Anggrai tentang sikap jejep.
“Ya sudahlah, itu kan hak dia. Jika dia memang tidak menyukai aku, juga tidak apa. Mungkin, dia hanya bermaksud memperingati kamu agar tidak terlalu percaya dengan seseorang yang baru kamu kenal. Apalagi kalau orang itu bukan penduduk dari kota ini. Seperti aku.” ucap Anggrai dengan aksen Jakartanya. Walaupun Sasan baru kenal dengan Anggrai, tapi berbicara dengannya sangat asyik. Mereka begitu nyambung satu sama lain. Karena masih ingin kenal lebih dekat lagi dengan Anggrai, Sasan mengajaknya untuk melihat permainan sepak bola. Saat mereka sedang melewati jalan dipinggir lapangan bola. Disaat para pemain sepak bola sedang asyik bermain, tiba-tiba bola yang mereka tendang bukan melayang ke arah gawang. Bola itu melayang ke arah Anggrai. Sasan yang melihat bola tersebut, dengan cepat ia menangkis dan menahannya sehingga tidak mengenai kepala Anggrai.
Anggrai yang dikejutkan oleh sikap Sasan, masih bingung untuk berbicara. Ia hanya melihat Sasan tergeletak di tanah.
***

Ketika jam pulang sekolah, Anggrai menghampiri Sasan dan memberikan sebuah bingkisan kecil berbentuk persegi panjang sebagai ucapan terimakasihnya atas kejadian di lapangan bola waktu itu. Sasan pun menerimanya dengan senang hati. Namun, ia terkejut ketika melihat bingkisan tersebut ternyata sebuah buku. Ia teringat akan perkataan Jejep yang mengatakan pada saat ini sudah ada bom buku. Belum sempat ia pamit dengan Anggrai, ia pun berlari meninggalkan Anggrai sendiri. Jantungnya berdegup kencang memikirkan apa yang terjadi. Apakah benar Anggrai adalah orang Jakarta seperti yang di katakan Jejep? Apakah sesuatu yang terjadi dikatakan Jejep adalah ini? Larinya semakin di percepat ketika ia melihat lagi buku yang ada di tangannya. Setelah ia sampai di lapangan bola tempat sahabat-sahabatnya sering berkumpul, ia pun langsung menghampiri mereka.
“Ada apa dengan awak nih? Napas tersengal-sengal macam tuh. Apa awak habis di kejar orang?”tanya Yayan melihat SasaN berdiri di hadapan mereka dengan keringat yang membanjiri tubuhnya.
“Bukan. Bukan itu, tapi...”
“Hemm, aku tahu. Pasti awak kena libas mak awak kan? Mangkanya awak lari kesini.”sindir Jejep.
“Bukan, bukan itu juga. Tapi ada satu hal yang ingin aku perlihatkan pada kalian,”ucap Sasan lagi sambil menunjukkan sebuah bingkisan yang di berikan Anggrai.
“Buku ?”tanya Yayan heran. Sasan akhirnya menceritakan apa yang terjadi saat di lapangan bola pada waktu itu. Dua dari anggota TRICOTENG itu hampir tidak percaya atas apa yang sudah dilakukan Sasan.
Mereka menganggap Sasan seperti pahlawan kesiangan.
“Apa maksud awak dengan buku itu?“tanya Jejep waspada yang akhirnya mampu bicara karena menahan tawa setelah mendengar cerita dari Sasan.
“Bukankah awak pernah bilang, kalau di Jakarta ada bom buku. Dan...”
“Kan sudah aku bilang, jangan lagi awak dekati budak perempuan tuh. Sekarang awak sudah kenal kan budak Jakarta macam mana,”geram Jejep.
“Sudahlah, yang perlu kita lakukan sekarang adalah kita harus membuktikan apakah benar itu bom buku atau bukan,”ujar Yayan menenangkan.
“Aku tak nak. Kalau itu benar bom buku macam mana, apa kalian berdua nak mati? Hehh, yang jelas aku tak nak mati. Kalau kalian nak buktikan, buktikan saja sendiri. Aku nak balik!”tegas Jejep.
“Kalau awak balik, itu berarti awak pengecut.”balas Yayan Jejep telah bersiap-siap untuk pergi, namun kata itu membuatnya kembali.
“Apa awak cakap tadi!”
“Jelas awak takut kan,”pancing Yayan lagi.
“Sudahlah, apa pasal lagi kalian berdua nih. Yang penting sekarang adalah kita harus membuka buku itu. Dan awak Jep, aku harap awak tak balik.”sergah Sasan.
Mereka pun akhirnya saling bertukar pandang satu sama lain. Wajah yang di penuhi ketegangan plus ketakutan melanda mereka. Dengan hati-hati Sasan membuka bingkisan tersebut. Jantung Jejep seolah berhenti berdetak saat Sasan akan membuka buku tersebut. Tapi kemudian ia melihat Sasan yang tidak jadi membukanya.
“Ada apa?”
“Ini seperti bukan buku. Aku rasa ini hanya sebuah kotak biasa yang berbentuk seperti buku. Bahannya juga bukan dari kertas tapi sangat kaku dan keras. Sepertinya ada sesuatu di dalamnya,”ucap Sasan.
Setelah ia menempelkan buku tersebut ke telinganya dan menjauhkannya kembali, ia menambahkan,”Aku mendengar suara didalam sini, seperti bunyi tiitt...tiit...tiit... dan...”
“Tidak salah lagi, itu pasti bom. Ya Allah, jikalau aku mati sekarang ampunilah aku. Dan sampaikan juga pada mak kalau aku sangat menyayanginya, ya Allah. Tapi sebenarnya, aku tak nak mati sekarang ya Allah, aku tak nakk...”
“Diam lah awak nih, Jep. Betenang!”bentak Yayan Sasan melanjutkan membuka buku tersebut. Dalam hatinya ia juga berdoa sama seperti Jejep. Sasan menyebut semua nama-nama Allah saat buku sudah berhasil dibukanya. Namun, ia terkejut ketika melihat apa yang ada di dalam kotak berbentuk buku itu. Ia merasa geli setelah melihatnya. Yayan dan Jejep yang melihat ekspresi Sasan, dengan segera mereka melihatnya. Mereka pun tertawa keras setelah mengetaui barang yang ada didalamnya ternyata hanya sebuah jam tangan dan sebatang coklat silver queen.
“Jadi bunyi tiitt...tiitt...tiit itu suara jam tangan ini, aku kira bom pula tadi,”ujar Jejep.
“Jadi awak dah tahu kan, kalau Anggrai bukan orang yang seperti awak pikirkan. Buktinya dia ngasih aku jam tangan dan coklat ini. Dan lebih tepatnya kalau ni bukan bom.”
“Iya, aku minta maaf kalau begitu San.”aku Jejep
“Hemm, kalau begitu bagilah coklatnya. Kami kan sudah bantu awak,”ucap Yayan dengan senyum lebarnya yang juga di ikuti oleh Jejep.
“Iyalah, tapi kita bertiga nanti harus minta maaf dengan Anggrai karena sudah salah paham dengan dia. Terutama awak, Jep.”
“Oke lah tuh. Hemm, ngomong-ngomong baru kali ini kita makan coklat silver quenn kan,” jawab Jejep santai.
“Sudahlah, kita sudah tahu bingkisan itu bukan bom kah, Anggrai tak seperti yang kita bayangkan kah, dan baru kali ini kita makan coklat silver quenn kah. Itu terserah. Yang penting kan sekarang, kita ini ....”
“H-A-P-P-Y....” teriak mereka serentak *** Hari itu sangat melelahkan bagi Sasan. Setelah melewati kejadian demi kejadian yang sangat membingungkan untuknya, ia pun hanya berbaring di kasur menatap langit-langit atas di kamarnya. Lalu matanya tertuju ke sebuah jam tangan yang dipakai di tangan sebelah kirinya. Ia menatap jam tangan itu lekat-lekat. ”Bunga sena cempaka biru, ketiga dengan bunga pekan, bila Jakarta ada bom buku, kirakah Tg.pinang ada bom jam tangan?”gumam Sasan bingung.

PROFIL PENULIS
Nama : Yurika Anggraini
Alamat :Batam
FB : Yurika RainiQuennSha



0 komentar:

Post a Comment