Wednesday 1 January 2014

CERPEN MISTERI : SANG IMAM


SANG IMAM


            Cerita ini ternyata pernah terjadi ni, guys. Tepatnya di sebuah kota kecil di Jawa Barat. Sebut saja nama kotanya Las Vegas.
daerah ini meskipun Cuma kota kecil, tingkat perekonomian warganya maju cukup pesat. Mungkin ini juga yang membuat warga yang tinggal di kota ini mulai lupa daratan (padahal di situ sakma sekali enggak ada lautan).
            Ivan, sebut saja namanya begitu, seorang karyawan mini-market yang baru pindah ke Las Vegas. Dia indekos di daerah pinggiran kora ini.
            Ivan ini meskipun masih muda dan ganteng, dia sangat religius. Dia engga pernah sekalipun meninggalkan shalat. Tidak Cuma rajin shalat, tapi shalatnya selalu di masjid. Nah, kebetulan indekos tempat Ivan tinggal ini memang cukup dekat jaraknya sama masjid. JENGJENGGG!!! (Belum, deh, kayanya.)

Senin, tanggal sekian, bulan dan tahun sekian. Pukul 4.20 pagi.
          Pagi-pagi buta Ivan sudah bangkit dari ranjangnya. Ini hari pertamanya tinggal di indekos barunya. Jadi, belum banyak orang yang dia kenal. Daerah tempat tinggal memang belum terlalu ramai. Maklum, Cuma di pinggiran kota.
            Masih dalam keadaan setengah mengantuk, Ivan bergegas menyiapkan diri. Tahu engga dia mau k mana? Tentu saja mau ke masjid. Gue kasih tahu ya, dia mau shlat Subuh (iyalah emangnya LOL-ers, pergi ke masjid Cuma mau nukerin alas kaki!)
            Jarak dari indekos Ivan ke masjid memang lumayan dekat. Cuma, Ican harus melewati pematang sawah gitu. Kira-kira jauhnya seratus meter. Meskipun suasana masih gelap, Ivan tetap semangat melangkahkan kakinyamenyusuri jalan setapak (hari gini, yah, jari aja kenayakan buat ngitung jiwa-jiwa muda yang rajin beribadah. Apalagi shalat Subuh di masjid.).
            Ivan semakin mempercepat langkahnya. Dia semakin semangat karena dari kejauhan, dia melihat banyak orang berjalan menuju masjid,. Tentu mereka mau shalat berjamaah juga, pikirnya.
            Ivan memang engga bisa melihat dengan jelas karena kondisi itu masih gelas. Yang pasti, dia melihat banyak orang dalam bentuk siluet, berjalan berbondong-bondong menuju masjid. Mereka terlihat seperti tergesa-gesa. Jumlahnya banya. Sangat banyak.
            Ivan berdecak kagum. Hal-hal seperti ini selalu membuatnya tentram. Dia engga menyangka ternyata warga kota ini sangat taat beribadah. Apalagi waktu Shalat Subuh. Belum pernah dia mengalami situasi seperti ini, warga dengan kompak melaksanakan secara berjamaah di masjid.ivan bersukacita.
            Engga mau kalah cepat, Ivan pun ikut tergesa melangkahkan kakinya. Dia sudah engga sabar bertemu dan berkenalan dengan saudara-saudara seimannya. Dia sama sekali engga memedulikan dinginnya angin yang menusuk sendi-sendinya. Dia Cuma ingin cepat-cepat sampai di masjid. Pandangannya lebih banyak dia habiskan menatap jalanan supaya engga terpeleset. Maklum, musim hujan membuat tanah yang di injaknya licin.
            Enggak sampai semenit kemudia dia pun tiba di masjid. Iavan celingak-celinguk. Bukan mau nyolong alas kaki, melainkan mencari orang-orang tadi datang bersamanya.
            Aneh! Mereka engga ada. Ivan melangkah memasuki masjid. Dia memperlihatkan seluruh penjuru ruangan. Engga ada seorang pun! Ivan bergindik. Bagaimana mungkin itu bisa terjadi ? Jelas-jelas tadi dia melihat banyak warga berbondong berjalan menuju masjid. Matanya enggak mungkin salah lihat.
            Bulu kuduk Ivan berdiri. Dia merasakan suasana yang lain di ruangan ini. Dia masih bertanya-tanya, kemana para warga tadi menuju kalau bukan ke tempat ini? Dia sendiri sudah memastikanm engga ada lagi masjid selain di sini. Sesekali dia memejamkan matanya. Bibirnya komat-kamit mengucapkan lafal Al Quran supaya dikasih perlindungan.
            Setelah menenangkan diri dan mengambil wudu, Ivan kembali memasuki masjid. Bangunan masjid ini cukup besar. Tapi, sayang kurang perawatan. Enggak ada marbotnya. Wallpapernya terlihat kusam. Karpetnya lusuh. Jam dingsingnya pun mati.
            Ivan kembali berdecak. Kali ini bukan kagum, melaikan prihatin. Bagaimana mungkin masjid sebesar ini terlantar begitu saja tanpa ada yang merawat. Bahkan, debu-debu di teras pun sudah setebal tugu tani. Dia semkin percaya, orang-orang yang tadi dia lihat mungkin halusinasi, kalau memang benar masjid ini sering di pakai buat shalat berjamaah, paling tidak, tanpa di sapu pun debu enggak akan setebal itu karena sering diinjak orang.
            Ivan mengumandangkan azan sendirian (ya, iyalah sendirian, sejak kapan azan berjamaah). Suaranya cukup lantang meskipun engga memakai pengeras suara. Suaranya terdengar sangat merdu (buat para orangtua, yang begini nih, calon menantu ideal).
            Setealh selesai azan, Ivan mengerjakan shalat sunah. Sempat dia menengok ke belakang. Entah kanapa, dia seperti masih berharap ada ornag datang menemaninya shalat.
            Keukeuh. Dunia memang sudah mau kiamat. Kalau enggak ada Ivan, rumah Allah ini bakal benar-benar menganggur. Engga ada orang pun yang mengunjunginya, terutama di waktu subuh.
            Setelah mengerjakan shalat sunah dan mengumandangkan ikamah, Ivan memulai shalat utamanya.
            “allahu Akbar...” Ivan berdiri di shaf paling depan. Sendiri Hening. Dingin.
            Karena shalat subuh, Ivan menyaringkan bacaan shalatnya. Suaranya terdengar menggaung menghiasi ruangan. Sangat merdu, syahdu, dan penuh rindu. Sampai pada waktunya dia melafalkan ayat Al-Fatihah yang terakhir, alangkah terperanjatnya ivan mendengar sahutan.
            “AAAAAAMMMMIIIIINNNN.....”
            Sahutan itu terdengar begitu menggema. Sangat ramai!
            Ivan mendengar sahutan itu begitujelas. Begitu nyalang dan maraung. Telinga Ivan bak disengat listrik mendengarnya. Padahal, dia sangat yakin, tadi dia sendirian. Kalaupun ada orang yang datang, pasti terdengar suara langkah kaki memasuki masjid, tapi ini enggak!
            Ivan bergindik. Kakinya tiba-tiba terasa kaku. Semua konsentrasinya hilang ditelan ketakutan. Bibirnya gemetar, matanya terpejam.
            Ivan sama sekali belum pernah mendengar sahutan seramai itu. Suaranya begitu mengaung. Mungkin jumlahnya ribuan. Dia layaknya sedang menjdai imam di Masjidil Haram atau Ka’bah. Dia merasa makmumnya seperti terhampar sejauh mata memandang. Sangat riuh, sangat ramai.
            Ivan masih berdiri terpaku. Napasnya masih menderu. Dia belum bisa melanjutkan ke bacaan berikutnya. Dia masih shock. Matanya masih kuat.
            Sejenak kemudian Ivan menghela napas panjang. Dia harus stand up! Dia berusaha tetap berdiri kuat meskipun lututnya seperti lumpuh. Dia bertekad tetap menyelesaikan shalatnya. Dia yakin ini pertanda baik. “Mereka” Cuma ingin menjadi makmumnya, batin Ivan meraung.
            Mungkin karena Ivan masih terlalu muda untuk mengalami peristiwa ganjil yang dialaminya. Padahal, rasul pun dulu pernah mengalami kejadian serupa.
            Setelah beberapa saat, kondisi Ivan terlihat semakin stabil. Dia tetap melanjutkan shalatnya. Dia tetap menyaringkan suaranya meskipun kali ini sudah engga terdengar merdu. Suaranya gemetar diserang ketakutan.
            Pun di rakaat kedua. Guys. Lagi-lagi sahutan itu melolong. Sangat nyaring dan riuh. Sesaat tenggorokan Ivan di buat tercekat mendengarnya. Ivan engga menyangka ternyata mereka masih ada, masih mengiringi shalatnya. Tapi, kali ini Ivan terlihat lebih siap. Bacaan yang dilafalkannya pun kembali terdengar merdu. Ivan tegar. Dia benar-benar teguh pada pendirianny.
            Sampai pada posisi tahiat akhir, Ivan segera menyelesaikan shalatnya. Disela-sela konsentrasinya yang memang sudah terpecah sejak awal, dia sempat berpikir untuk mengetahui bentuksosok mekamum yagn mengiringi shalatnya. Dan, itu dia lakukan pada posisi salam. Dia berniat untuk membuka matanya saat menengok nanti. Dia hanya penasaran. Dia hanya ingin tahu itu saja.
            Lalu, saat yang di tunggu pun tiba. “Assalamualaikum warrahmatullah...” uacapannya seraya memutar kepalanya ke arah kanan. Dan, ketika dia membuka matanmya, jantung Ivan dibuat terperenyak melihat penampakan mereka!
            Sosok-sosok itu ternyata terlihat begitu besaar! Ukuran mereka sepuluh kali lipat lebihbesar dari ukuran tubuh orang dewasa. Jelas saja mereka bukan manusia. Posisi duduk mereka berjajar begitu rapi dan beradab.
            Semuanya berjubah putih. Walaupun begitu, wajah mereka terlihat mengerikan. Janggut tebal menjuntai, warna kulit gelap. Mata mereka terlihat melotot dengan raut muka tajam seoralh hendak menerkam. Kulit penuh keriput kasar dengan  bekas codetan yang enggak beraturan menyapu wajah mereka. Sepintas, mereka terlihat seperti mahluk Jeepers Creeepers,. Sangat menyeramkan.
            Ivan bergidik hebat. Dia merobohkan tubuhnya seraya menutupi mata dan kupingnya kuat-kuat. Mulutnya kembali berkomat kamit melafalkan ayat Al Quran. Iavan menangis. Tubuhnya gemetar seperti orang kesurupan. Kasihan dia. Guys.

Closing story....
            Ivan benar-benar engga bisa melupakan kejadian itu. Sesaat setelah dia sadar makmum-makmumnya menghilang. Dia langsung meninggalkan masjid untuk menghubungi ayahnya di kampung. Dia sangat mau tahu ap amakna di balik peristiwsa itu.
            “nak, mereka itu adalah jelmaan malaikat dan jin-jin muslim....” terang ayahnya. “Sebenarnya kamu sangat beruntung bisa mengimami mereka. Ridak semua orang bisa mengalami hal yang kami alami. Bahkan, seorang ustaz tersohor sekalipun,”lanjutnya lagi. Yang pernah mengalami kejadian itu dulu Cuma Rasul. Beliau mengimami ribuan jin muslim di kerajaan mereka.”
            Ivan menyimaknya dengan seksama. Matanya berkaca-kaca.
            “kakekmu juga dulu pernahmengimami mereka. Tidak banyak. Hanya beberapa dari kaum mereka. Tapi, jumlah makmum kamu ribuan, nak. Sesuatu yang sangat langka, kejadian serupa yang dialami Rasul masih terulang. Apalagi yang mengalaminya ternyata putra Ayah. Tentu ayah bangga sama kamu. Mudah-mudahan kamu mendapat berkah yang melimpah dari kejadian ini....”
            Ivan engga sanggup menahan tangis mendengar penuturan ayahnya. Dia mencucurkan air mata seraya bersujud mengucap syukur....

Sekian

Dikutip dari buku WOW KONYOL karya Rons “Onyol” Imawan

0 komentar:

Post a Comment