Studi Hadis (Hadis
Dhaif)
PENDAHULUAN
Hadis merupakan salah satu
sumber rujukan dalam Islam setelah Al-Qur’an. Hadis yang begitu banyak
jumlahnya tidak semuanya dijadikan pokok sandaran dalam Islam. Karena setelah
dilihat, tidak semua hadis itu dapat diterima keshahihannya atau kehujahannya.
Untuk mengetahui semua itu perlu adanya usaha atau kritik agar dapat diketahui
kualitas hadis mana hadis yang dapat diterima dan mana hadis yang tidak dapat
diterima.
Salah satu klasifikasi hadis yang dilihat dari segi
kualitasnya adalah hadis dhaif. Hadis dhaif ini dikenal dengan hadis yang lemah
kualitasnya. Sebab-sebab kelemahan hadis ini sangatlah banyak ragamnya, jika
dilihat dari segi sanad maupun matannya. Adapun dari segi kehujahannya, apakah
hadis ini dapat diamalkan atau tidak, para ulama berbeda pendapat.
Untuk lebih jelasnya, di dalam makalah ini penulis
merusaha mengkaji tentang makna hadis dhaif dan sebab-sebab kedhaifannya serta
bagaimana kehujahan hadis dhaif menurut ulama.
PEMBAHASAN
HADIS DHAIF
A. Pengertian Hadis Dhaif
Dhaif menurut lughah adalah
lemah, lawan dari qawi (yang kuat).[1]
Adapun menurut Muhaddisin, hadis dhaif adalah semua hadis
yang tidak terkumpul padanya sifat-sifat bagi hadis yang diterima dan menurut
pendapat kebanyakan ulama; hadis dhaif adalah yang tidak terkumpul padanya
sifat hadis sahih dan hasan.[2]
B. Klasifikasi Hadis Dhaif
Semua hadis yang tidak
memenuhi kriteria hadis shahih dan hadis hasan adalah hadis dhaif. Dengan
begitu, sebab kedhaifan suatu hadis sangat bervariasi, baik dilihat dari
sanadnya maupun matannya. Sebagian ulama menyatakan jumlah variasi itu mencapai
lebih seratus macam. Dalam hal ini, perlu dikemukakan macam-macam hadis dhaif
dilihat dari segi sanadnya, dari matannya, dan dari segi sanad dan matannya
sekaligus, lengkap dengan namanya masing-masing.[3]
Para ulama Muhadditsin
mengemukakan sebab-sebab tertolaknya hadis dari dua jurusan, yakni dari jurusan
sanad dan jurusan matan.[4]
Sebab-sebab tertolaknya hadis dari jurusan sanad adalah:
1. Terwujudnya cacat-cacat pada rawinya, baik tentang keadilan
maupun ke-dhabit-annya.
2. Ketidaksambungannya sanad, dikarenakan adalah seorang rawi atau
lebih, yang digugurkan atau tidak bertemu satu sama lain.
Adapun cacat pada keadilan dan
ke-dhabit-an rawi itu ada sepuluh macam, yaitu sebagai berikut:
1. Dusta
2. Tertuduh dusta
3. Fasik
4. Banyak salah
5. Lengah dalam menghafal
6. Menyalahi riwayat orang yang tsiqat (kepercayaan)
7. Banyak waham (purbasangka)
8. Tidak diketahui identitasnya
9. Penganut bid’ah
10. Tidak baik hafalannya
1) Klasifikasi Hadis Dhaif Berdasarkan Cacat pada Rawi, baik
Keadilan dan Ke-dhabit-an Rawi
a. Hadis Maudhu’
Hadis maudhu’ adalah hadis yang dicipta serta dibuat oleh
seseorang (pendusta), yang ciptaan itu dinisbatkan kepada Rasulullah SAW.
secara palsu dan dusta, baik disengaja maupun tidak.[5]
Ciri-ciri hadis maudhu’
Para ulama menetukan bahwa
ciri-ciri kemaudhu’an suatu hadis terdapat pada sanad dan matan hadis.
Ciri-ciri yang terdapat pada
sanad hadis, yaitu adanya pengakuan dari si pembuat sendiri, qarinah-qarinah
yang memperkuat adanya pengakuan membuat hadis maudhu’, dan qarinah-qarinah
yang berpautan dengan tingkah lakunya.
Adapun ciri-ciri yang terdapat pada matan, dapat ditinjau
dari dua segi, yaitu segi ma’na dan segi lafazh. Dari segi ma’na, yaitu bahwa
hadis itu bertentangan dengan Al-Qur’an, hadis mutawatir, ijma’, dan logika
yang sehat. Dari segi lafazh, yaitu bila susunan kalimatnya tidak baik dan tidak
fasih.
Contoh hadis maudhu’ yang berlawanan dengan akal
Diriwayatkan oleh Ibnul Jauzi dari jalan Abdurrahman ibn
Zaid ibn Aslam, dari ayahnya, dari kakeknya dari Nabi saw.:
إِنَّ سَفِيْنَةَ نُوْحٍ طَافَتْ بِالْبَيْتِ سَبْعًا وَصَلَّتْ خَلْفَ
المْقَاَمِ رَكْعَتَيْنِ
“Bahwasanya
bahtera Nuh a.s. mengelilingi Ka’bah 7 kali dan shalat di belakang maqam Nabi
Ibrahim 2 rakaat.”
Riwayat ini sangatlah
berlawanan dan bersalahan dengan akal, karena itu terlihatlah ia salah satu
dari dongengan Abdurrahman.[6]
b. Hadis Matruk
Hadis matruk adalah hadis yang
pada sanadnya ada seorang rawi yang tertuduh dusta.[7]
Rawi yang tertuduh dusta
adalah seorang rawi yang terkenal dalam pembicaraan sebagai pendusta, tetapi
belum dapat dibuktikan bahwa ia sudah pernah berdusta dalam membuat hadis.
Seorang perawi yang tertuduh dusta, bila ia bertobat dengan sungguh-sungguh,
dapat diterima periwayatan hadisnya.
Di antara sebab-sebab tertuduhnya dusta seorang perawi,
ada beberapa kemungkinan yaitu sebagai berikut:
1) Periwayatan hadis yang menyendiri atau hanya dia sendiri yang
meriwayatkannya. Hal ini dikarenakan tidak ada seorang pun yang meriwayatannya
selain dia.
2) Seorang perawi dikenal sebagai pembohong dan pendusta pada
selain hadis tertentu.
3) Menyalahi kaidah-kaidah yang maklum seperti kewajiban beragama,
kewajiban shalat, zakat, puasa, haji, dan lain-lain.
Contoh
hadis matruk: hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Ady katanya: “diceritakan
kepada kami oleh Yaqub ibn Sufyan ibn Ashim, dicertakan kepada kami oleh Isa
ibn Ziyad, telah dicertakan kepada kami oleh Abdurrahim ibn Zaid dari ayahnya
dari Said ibn Al Musayyab dari Umar ibn Khattab, katanya: “Rasulullah saw.
bersabda:
لَوْلَا النِّسَاءَ
لَعَبِدَ اللهَ حَقًّا
“Sekiranya tak ada
wanita di dunia, tentulah hamba Allah menyembah Allah dengan sebenar-benarnya.”
Kata Ibnu Ady: “Hadis ini matruk, karena Abdurrahim dan
ayahnya dua orang yang matruk, tak boleh diambil hadisnya.”[8]
c. Hadis Munkar
Hadis munkar adalah hadis yang pada sanadnya terdapat
rawi yang jelek kesalahannya, banyak kelengahannya atau tampak kefasikannya.[9]
Lawannya dinamakan ma’ruf.
Contoh hadis munkar:
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi
Hatim dari jalan Hubaib ibn Habib, saudara Hamzah ibn Habib Az Zaiyat Al Muqri,
dari Abi Ishaq dari Al Aizar ibn Hurais, dari Ibn Abbas, dari Nabi saw.
bersabda:
مَنْ أَقَامَ
الصَّلاَةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَحَجَّ الْبَيْتَ وَصَامَ رَمَضَانَ وَقَرَى
الضَّيْفَ دَخَلَ الْجَنَّةَ.
“Barang siapa
mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, mengerjakan haji, berpuasa ramadhan, dan
memuliakan tamu masuklah ke surga”.
Abu Hatim berkata: “Hadis ini
munkar”. Menurut riwayat orang lain dari Hubaib, perkataan ini bukan perkataan
Nabi, hanya perkataan Ibnu Abbas. Hubaib menyandarkan perkataan ini kepada
Rasulullah. Dengan itu, jadilah riwayat ini sebenarnya atsar mauquf bukan hadis
marfu’. Walhasil, hadis munkar itu ialah hadis yang diriwayatkan oleh orang
yang lemah, berlawanan pula dengan riwayat orang kepercayaan.
Jelasnya, bila seseorang yang lemah meriwayatkan sesuatu
riwayat dan riwayatnya berlawanan dengan riwayat orang yang kuat, maka riwayat
silemah dinamai: Munkar, dan riwayat yang kuat dinamai: Ma’ruf.
d. Hadis Syadz
Hadis syadz adalah hadis yang
diriwayatkan oleh seorang rawi yang maqbul, yang menyalahi riwayat orang yang
lebih utama darinya, baik karena jumlahnya lebih banyak ataupun lebih tinggi
daya hafalnya.[10]
Contoh hadis syadz pada sanad,
Hadis yang diriwayatkan
At-Tirmidzi, An-Nasai, dan Ibnu Majah melalui jalan Ibnu Uyaynah dari Amr bin
Dinar dari Aisyah dari Ibnu Abbas, bahwa seorang laki-laki wafat pada masa
Rasulullah saw. dan tidak meninggalkan pewaris kecuali budak yang ia
merdekakan. Nabi bertanya: “Apakah ada seseorang yang menjadi pewarisnya?
“Mereka menjawab: Tidak, kecuali seorang budak yang telah dimerdekakannya,
kemudian Nabi menjadikannya sebagai pewaris baginya.”
Hammad bin Zaid [seorang
tsiqah, adil dan dhabith] juga meriwayatkan hadis di atas dari Amr bin Dinar
dari Ausajah, tetapi tidak menyebutkan Ibnu Abbas. Maka periwayatan Hammad bin
Zaid Syadz, sedang periwayatan Ibnu Uyaynah mahfuzh.[11]
Contoh hadis syadz pada matan, hadis yang diriwayatkan
Abu Daud dan At-Tirmidzi melalui Abdul Wahid bin Zayyad dari Al-A’masy dari Abu
Shalih dari Abu Hurairah secara marfu’ (Rasulullah saw. bersabda):
إِذَا صَلَّى أحَدُكُمْ رَكْعَتَي الفَجْرِ فَلْيَضْطَجِعْ عَلَى يَمِينِهِ
Jika telah shalat
dua rakaat Fajar salah seorang di antara kamu, hendaklah tidur pada lambung
kanan.
Al-Baihaqi berkata:
periwayatan Abdul Wahid bin Zayyad adalah Syadz karena menyalahi mayoritas
perawiyang meriwayatkan dari segi perbuatan Nabi bukan sabda beliau. Abdul
Wahid menyendiri di antara para perawi tsiqah.[12]
e. Hadis Mu’allal
Mu’allal arti menurut bahasa
adalah yang ditimpa penyakit. Sedangkan menurut istilah adalah hadis yang pada
zahirnya baik, tetapi setelah diperiksa terdapat padanya hal-hal yang
mencacatkannya.[13]
Hadis mu’allal juga dinamai
hadis Ma’lul atau Mu’all. ‘Illat (penyakit) hadis yaitu “Asbabun khafiyyun
ghamidun qadihun fihi” sebab-sebab yang tersembunyi, sulit diketahui, dapat
menjatuhkan derajat hadis.[14]
Adapun jalan mengetahui
penyakit itu dengan cara: mengunpulkan segala jalan datang hadis, menyelidiki
satu persatu, melihat kelainan-kelainan yang terjadi pada riwayat itu, dan
dilihat juga jurusan kuat lemahnya ingatan dan hafalan perawinya. Maka jika
menurut perasaan pemeriksa ada penyakit yang telah menimpai hadis itu, ia pun
memberikan hukumnya; bahkan terkadang pemeriksa itu memperoleh keyakinan yang
kuat bahwa hadis itu berpenyakit, tapi jika ditanya apa gerangan penyakit itu,
tak sanggup ia menerangkannya.
Contohnya, hadis yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan
Abu Daud, dari Qutaibah bin Sa’id, memberitakan kepada kami Abdussalam bin Harb
Al-Mala’i dari Al-A’masy dari Anas berkata:
كَانَ النَّبِيُّ
صلى الله عليه وسلم " إِذَا أَرَادَ الْحَاجَةَ لم يَرْفَعْ ثَوْبَهُ حَتَّى
يَدْنُوَ مِنَ الْأَرْضِ
Nabi saw ketika
hendak hajat tidak mengangkat kainnya sehingga dekat dengan tanah.
Hadis di atas
lahirnya shahih karena semua perawi dalam sanad tsiqah tetapi Al-A’masy tidak
mendengar dari Anas bin Malik, Ibnu Al-Madani mengatakan, bahwa Al-A’masy tidak
mendengar dari Anas bin Malik. Dia melihatnya di Mekkah shalat di belakang
Maqam Ibrahim.
f.
Hadis Mudhtharib
Mudhtharab pada lughah ialah:
yang goncang dan bergetar. Kegoncangan suatu hadis karena terjadi kontra antara
satu hadis dengan hadis lain, berkualitas sama dan tidak dapat dipecahkan secara
ilmiah. Menurut istilah hadis mudhtharib adalah hadis yang diriwayatkan pada
beberapa segi yang berbeda, tetapi sama dalam kualitasnya.[15]
Di antara sebab idhthirab-nya
suatu hadis adalah karena lemahnya daya ingat perawi dalam meriwayatkan hadis
tersebut, sehingga terjadi kontra yang tak kunjung dapat diselesaikan
solusinya.
Kebanyakan mudhtharib terjadi
pada sanad dan sedikit terjadi pada matan. Contoh mudhtharib pada sanad,
seperti hadis Abu Bakar r.a. berkata: Ya Rasulullah aku melihat engkau beruban.
Rasulullah menjawab: “Syayyabatni Hudun wa akhawatuha” (membuat uban rambutku
Surah Hud dan saudara-saudaranya. (H.R. At-Tirmidzi)
Ad-Daruquthni berkata: “Hadis
ini mudhtharib, karena hanya diriwayatkan melalui Abu Ishaq dan diperselisihkan
dalam sekitar 10 segi masalah. Di antara mereka ada yang meriwayatkan secara
mursal dan ada yang maushul. Di antara mereka ada yang menjadikannya dari
Musnad Abi Bakar, Musnad Aisyah, Musnad Sa’ad, dan lain-lain. Semua tsiqah
tetapi tidak dapat dikompromikan dan tidak dapat di-tarjih.[16]
Contoh mudhtharib pada matan, seperti hadis yang
diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari Syarik dari Abu Hamzah dari Asy-Sya’bi dari
Fatimah bin Qays berkata: Rasulullah saw. ditanya tentang zakat menjawab: “Inna
fil mali lahaqqan siwa az-zakah” (sesungguhnya pada harta itu ada hak selain
zakat).
Sementara pada riwayat Ibnu
Majah melalui jalan ini Rasulullah saw. bersabda: “Laisa fil mali haqqun siwa
az-zakah” (tidak ada hak pada harta selain zakat).
Al-Iraqi berkata: “Hadis di atas terjadi Idhthirab tidak
mungkin ditakwilkan.” Hadis pertama menyatakan adanya hak bagi harta selain
zakat, sedangkan hadis kedua menyatakan sebaliknya, yakni tidak adanya hak
selain zakat atau hanya zakat saja sebagai hak harta.
g. Hadis Maqlub
Maqlub pada bahasa artinya
yang dipalingkan, yang dibalikkan, yang ditukar, yang dirubah,yang terbalik.
Adapun menurut istilah hadis maqlub adalah hadis yang terjadi padanya taqdim
atau takhir, yakni (mendahulukan yang kemudian atau sebaliknya) pada sanad atau
matan atau menggantinya dengan yang lain.[17] Seperti hadis Abu Hurairah pada
Imam Muslim tentang tujuh golongan yang mendapat naungan Allah pada hari kiamat
di bawah naungan arsy-Nya, di dalamnya disebutkan:
وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ
بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لاَ تَعْلَمَ يَمِينُهُ مَا تُنْفِقُ شِمَالُهُ
“Dan laki-laki
yang bersedekah dengan sembunyi-sembunyi sehingga tangan kanannya tidak
mengetahui apa yang dinafkahkan tangan kirinya”.
Bunyi hadis ini dirubah oleh seorang perawi, padahal yang
sebenarnya:
وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ
بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمُ شمِاَلَهُ مَا تُنْفِقُ يَمِيْنُهُ
“Dan laki-laki
yang bersedekah dengan sembunyi-sembunyi sehingga tangan kirinya tidak
mengetahui apa yang dinafkahkan tangan kanannya”. Sebagaimana yang terdapat di
dalam kitab Bukhari.
h. Hadis Munqalib
Munqalib menurut bahasa
artinya yang berbalik atau yang berpaling. Sedangkan menurut istilah adalah
hadis yang sebagian dari lafaz matannya terbalik karena si perawi, sehingga
berubahlah maknanya.[18]
Hadis munqalib hampir sama dengan hadis maqlub, hanya
saja kebanyakan ulama mengkhususkan munqalib apabila terjadi pembalikan lafaz
dalam matan.[19]
i.
Hadis Mudraj
Mudraj secara bahasa adalah
yang termasuk, yang tercampur, yang disisipkan. Sedangkan secara istilah adalah
hadis yang asal sanadnya atau matannya tercampur dengan sesuatu yang bukan
bagiannya.[20] Dalam istilah udraj dibagi dua macam yaitu mudraj pada sanad dan
mudraj pada matan.
1) Mudraj pada sanad ialah hadis yang diubah konteks sanadnya.
Mudraj sanad ini banyak sekali kemungkinannya terjadi, misalnya:
a. Sekelompok jamaah meriwayatkan suatu hadis dengan beberapa sanad
yang berbeda, kemudian diriwayatkan oleh seorang perawi dengan menyatukan ke
dalam satu sanad dari beberapa sanad tersebut tanpa menerangkan ragam dan
perbedaan sanad.
b. Seseorang meriwayatkan matan tetapi tidak sempurna,
kesempurnaannya ia temukan melalui sanad yang lain. Kemudian ia meriwayatkannya
dengan menggunakan sanad pertama.
a. Seorang perawi menyampaikan periwayatan, di tengah-tengah
menyampaikan sanad terhalang oleh suatu gangguan, kemudian ia berbicara dari
dirinya sendiri. Di antara pendengarnya ada yang mengira pembicaraan tersebut
adalah matan hadis, kemudian ia meriwayatkannya.
2) Mudraj pada matan yaitu hadis yang dimasukkan ke dalam matannya
sesuatu yang tidak bagian dari padanya tanpa ada pemisah.
Maksud mudraj pada definisi di
atas adalah tambahan atau sisipan dari seorang perawi untuk menjelaskan atau
memberikan pengantar matan hadis tetapi tidak ada pemisah yang membedakan
antara tambahan atau sisipan dan matan hadis tersebut. Tambahan atau sisipan
ini bisa jadi di awal matan atau di tengah atau di akhir matan, tetapi pada
umumnya di akhir matan, sekalipun terkadang juga ada di depan dan tengah matan
sedikit. Di antara faktor penyebab kemungkinan terjadinya mudraj karena seorang
perawi menjelaskan syarah lafal hadis yang gharib (sulit dipahami). Penjelasan
dan syarah itu diduga oleh pendengarnya bahwa hal itu bagian dari hadis.
j.
Hadis Mushahhaf
Mushahhaf secara lughah
artinya yang dirubah. Secara istilah adalah hadis yang terjadi padanya
perbedaan dengan riwayat yang tsiqat (kepercayaan) yang lain, dengan mengubah
satu huruf atau beberapa huruf serta tetap rupa tulisan yang asli.[21]
Contoh mushahhaf, hadis Nabi saw.:
مَنْ صَامَ
رَمَضَانَ وَ اَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالِ فَكَأَنَّمَا صَامَ الدَّهَرَ
“Barang siapa yang
berpuasa Ramadhan dan diikutinya dengan enam hari dari bulan Syawal, maka ia
sama dengan berpuasa satu tahun.
Hadis ini
di-tashhif-kan oleh Abu Bakar Ash-Shuli dengan ungkapan:
مَنْ صَامَ
رَمَضَانَ وَ اتَّبَعَهُ شَيْئًا مِنْ شَوَّالِ فَكَأَنَّمَا صَامَ الدَّهْرَ
k. Hadis Muharraf
Muharraf arti menurut bahasa
adalah yang dipalingkan atau yang dirubah. Sedangkan menurut istilah adalah
hadis yang harakat dan sukun dari huruf yang ada pada matan dan sanadnya
berubah dari asalnya.[22]
Contoh Muharraf, hadis Jabir berkata:
رُمِىَ أُبَىٌّ
يَوْمَ الأَحْزَابِ عَلَى أَكْحَلِهِ فَكَوَاهُ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه
وسلم
“Ubay dipanah pada
peperangan Ahzab di urat lengannya, maka Rasulullah saw. mengobatinya dengan
besi panas. (HR. Ad-Daruquthni)
Hadis di atas di-tahrif
(diubah) oleh Ghandar pada kata Ubay menjadi Abi=ayahku. Maksud Jabir
menjelaskan yang terpanah atau mati syahid pada peperangan Ahzab adalah Ubay
bin Ka’ab bukan bapaknya sendiri, bapaknya meninggal dunia pada perang Uhud
sebelum perang Ahzab.
1. Hadis Muhmal
Muhmal menurut bahasa artinya yang dibiarkan, yang
ditinggalkan, yang diacuhkan. Sedangkan menurut istilah adalah hadis yang
diriwayatkan dari salah seorang yang serupa namanya, atau kuniyahnya, atau
laqabnya, atau salah satu dari yang tersebut ini serta nama ayah, atau nama
kakeknya, atau pada segala yang tersebut, sedang salah satu seorang dari dua
orang yang serupa itu tidak kepercayaan.[23] Contohnya:
كَانَ النَّبِيَّ
صلى الله عليه وسلم إذَا خَرَجَ مِنَ الْخَلاَءِ : الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي
أَذْهَبَ عَنِّي الأَذَى، وَعَافَانِي.
Gambaran dari sanad hadis tersebut sebagai barikut:
1) Ibn Majah
2) Harun bin Ishaq
3) Abdurrahman Al Muhariby
4) Ismail bin Muslim
5) Anas bin Malik
Yang menjadi persoalan dari
rawi-rawi hadis tersebut ialah: Ismail bin Muslim, karena ada dua orang yang
bernama Ismail bin Muslim yang kebetulan kedua-duanya menerima hadis dari Hasan
Al Qatadah, salah seorang dari keduanya itu termasuk orang yang tidak tsiqah
(yakni Ismail bin Muslim Al Bashry) sedang yang lain termasuk orang yang tsiqah
(Ismail bin Muslim Al ‘Abdy). Karena tidak jelas inilah maka hadis itu dianggap
lemah.
m. Hadis Mubham
Mubham pada bahasa artinya hal
yang tidak terang, yang tersembunyi. Adapun pada istilah adalah hadis yang pada
matan atau sanadnya ada seorang yang tidak disebut namanya.[24]
Jadi mubham adalah tidak
adanya penyebutan nama seorang perawi yang jelas, karena hanya disebutkan
seorang laki-laki atau seorang perempuan saja tidak disebutkan nama jelas.
Contoh mubham dalam sanad, hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunan,
melalui Al-Hajjaj bin Farafishah dari seorang laki-laki dari Abu salamah dari
Abu Hurairah berkata: Rasulullah saw bersabda:
المُؤْمِنُ غِرٌّ
كَرِيمٌ، وَالْفَاجِرُ خِبٌّ لَئِيمٌ
Orang mukmin
adalah seorang mulia yang murah sedangkan orang durhaka adalah penipu yang
tercela.
Dalam sanad hadis di atas
hanya disebutkan dari seorang laki-laki dari Abu Salamah dari... Tanpa
menyebutkan nama si laki-laki tersebut, maka dinamakan mubham.
Contoh mubham pada matan banyak sekali dalam hadis, di
antaranya:
Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Abu Hurairah
ra. Berkata: ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah: Sedekah apa yang
paling utama? Rasul menjawab: Sedekah sedang Anda dalam keadaan sehat, sangat
perlu..
Hukum mubham dalam sanad, jika
terjadi pada seorang sahabat tidak apa-apa, karena semua sahabat adil dan jika
terjadi pada selain sahabat jumhur ulama menolaknya sehingga diketahui
identitasnya seperti majhul ‘ain, sedang mubham dalam matan tidak mengapa dan
tidak mengganggu keshahihan hadis.
n. Hadis Majhul
Majhul pada lughah adalah yang tidak diketahui, yang
tidak dikenal. Pada istilah hadis majhul adalah seorang perawi yang tidak
dikenal jati diri dan identitasnya.
Sebab-sebab tidak dikenal jati diri atau identitas itu
(jahalah) ada beberapa faktor penyebab, di antaranya:
1) Seseorang mempunyai banyak nama atau sifat, baik nama asli, nama
panggilan, gelar, sifat profesi atau suku dan bangsa. Sementara orang tersebut
hanya dikenal sebagian namanya saja, tetapi kemudian disebutkan nama atau sifat
yang tidak dikenal karena ada tujuan tertentu, maka ia diduga perawi lain.
2) Seorang perawi yang sedikit periwayatan hadis, tidak banyak
orang yang mengambil perawi yang kecuali hanya satu orang saja misalnya.
3) Tidak tegas penyebutan nama perawi karena diringkas menjadi nama
kecil atau nama panggilan atau karena tjuan lain.
Macam-macam hadis majhul yaitu
majhul ‘ain dan majhul hal (mastur).
Hadis majhul ‘ain adalah hadis yang pada sanadnya ada si
perawi yang disebut namanya, tetapi tidak diketahui orangnya dan yang
meriwayatkan daripadanya hanya seorang saja.
Misalnya, hadis yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari
Al-Hakim melalui jalan Hisyam bin Yusuf dari Abdullah bin Sulaiman An-Nufali
dari Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas dari ayahnya dari kakeknya secara
marfu’:
أُحِبُّوْا اللهَ
لِمَا يَغْذُوكُمْ بِهِ مِنْ نِعَمِهِ، وَأَحِبُّونِي لِحُبِّ اللَّهِ،
وَأَحِبُّوا أَهْلَ بَيْتِي لِحُبِّي
Cintailah Allah
karena sesuatu yang diberikan kepadamu dari pada nikmat-nikmat-Nya, cintailah
aku karena cinta Allah, dan cintailah ahli keluarganya karena mencintaiku.
Abdullah bin Sulaiman An-Nufali tidak diketahui jati
dirinya (majhul ‘ain), kaena tidak ada yang meriwayatkan dari padanya kecuali
Hisyam bin Yusuf.
Adapun hadis majhul hal adalah hadis yang pada sanadnya
ada perawi yang disebut namanya dan diketahui orangnya, diriwayatkan
daripadanya dua orang yang adil atau lebih, tetapi perawi tersebut tidak
diketahui kepercayaannya. [25]
Contohnya, hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Majah melalui
Itsam bin Ali dari Al-A’masy dari Abu Ishaq dari Hani’ bin Hani’ berkata: Ammar
masuk ke rumah Ali, maka Ali menyambutnya: “Selamat datang seorang suci dan
disucikan” aku mendengar Rasulullah saw bersabda:
مُلِئَ عَمَّارٌ
إِيمَانًا إِلَى مُشَاشِهِ
Ammar dipenuhi imannya sampai ke tulang-tulangnya.
Hani’ bin Hani’ tidak diketahui identitasnya (majhul
al-hal), karena tidak ada seorang tsiqah yang meriwayatkan hadisnya atau tidak
ada yang menerangkan tentang ke-tsiqahan-nya. Dengan demikian hadis di atas
hukum periwayatan hadis majhul tertolak (mardud) menurut pendapat yang shahih
yaitu mayoritas ulama hadis.
2. Klasifikasi Hadis Berdasarkan Gugurnya Rawi
a. Hadis Mu’allaq
Mu’allaq menurut bahasa adalah
isim maf’ul yang berarti terikat dan tergantung. Sementara menurut istilah
hadis mu’allaq adalah hadis yang seorang rawinya atau lebih gugur dari awal
sanad secara berurutan.
Contohnya: Bukhari meriwayatkan dari Al-Majisyun dari
Abdullah bin Fadhl dari Abu Salamah dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi SAW.
bersabda:
لا تُفَاضِلُوا
بَيْنَ الْأَنْبِيَاءِ.
“Janganlah kalian
melebih-lebihkan di antara para nabi”
Pada hadis ini, Bukhari tidak pernah bertemu
Al-Majisyun.[26]
b. Hadis Mu’dhal
Mu’dhal secara bahasa adalah
sesuatu yang dibuat lemah dan lebih. Adapun menurut istilah muhaditsin, hadis
mu’dhal adalah hadis yang ditengah sanadnya gugur (putus) dua orang rawi atau
lebih secara berurutan.[27]
Contohnya diriwayatkan oleh al-Hakam dalam kitab Ma’rifat
Ulum Al-Hadis dengan sanadnya kepada Al-Qa’naby dari Malik bahwa dia
menyampaikan, bahwa Abu Hurairah berkata, “Rasulullah bersabda,
لِلْمَمْلُوكِ
طَعَامُهُ وَكِسْوَتُهُ بِالْمَعْرُوفِ وَلاَ يُكَلَّفُ مِنَ الْعَمَلِ إلا مَا
يُطِيقُ
Seorang hamba sahaya berhak
mendapatkan makanan dan pakaian sesuai kadarnya dengan baik dan tidak dibebani
pekerjaan, melainkan apa yang dia mampu mengerjakannya.
Al-Hakim berkata, “Hadis ini
mu’dhal dari Malik dalam kitab Al-Muwatha’.”
Hadis ini yang kita dapatkan bersambung sanadnya pada
kita, selain al-Muwatha’, diriwayatkan dari Malik bin Anas dari Muhammad bin
‘Ajlan, dari bapaknya, dari Abu Hurairah. Letak ke-mu’dhal-annya karena
gugurnya dua perawi dari sanadnya, yaitu Muhammad bin ‘Ajlan dan bapaknya.
Kedua rawi tersebut gugur secara berurutan.[28]
c. Hadis Mursal
Mursal, menurut bahasa, isim
maf’ul, yang berarti yang dilepaskan. Adapun hadis mursal menurut istilah
adalah hadis yang gugur rawi dari sanadnya setelah tabiin, baik tabiin besar
maupun tabiin kecil. Seperti bila seorang tabiin mengatakan, “Rasulullah SAW.
bersabda begini atau berbuat seperti ini.”[29]
Seperti telah kita ketahui
bahwa dalam hadis mursal itu, yang digugurkan adalah sahabat yang langsung
menerima barita dari Rasulullah SAW., sedangkan yang menggugurkan dapat juga
seorang tabiin. Oleh karena itu, ditinjau dari segi siapa yang menggugurkan dan
segi sifat-sifat pengguguran hadis, hadis mursal terbagi pada mursal jali,
mursal shahabi, dan mursal khafi.[30]
1. Mursal Jali, yaitu bila pengguguran yang telah dilakukan oleh
rawi (tabiin) jelas sekali, dapat diketahui oleh umum, bahwa orang yang
menggugurkan itu tidak hidup sezaman dengan orang yang digugurkan yang
mempunyai berita.
2. Mursal Shahabi, yaitu pemberitaan sahabt yang disandarkan kepada
Nabi Muhammad SAW., tetapi ia tidak mendengar atau menyaksikan sendiri apa yang
ia beritakan, karena pada saat Rasulullah hidup, ia masih kecil atau terakhir
masuknya ke dalam agama Islam. Hadis mursal sahabi ini dianggap sahih karena
pada galib-nya ia tiada meriwayatkan selain dari para sahabat, sedangkan para
sahabat itu seluruhnya adil.
3. Mursal Khafi, yaitu hadis yang diriwayatkan tabiin, di mana
tabiin yang meriwayatkan hidup sezaman dengan shahabi, tetapi ia tidak pernah
mendengar sebuah hadis pun darinya.
Contoh hadis mursal:
عَنْ مَالِكِ عَنْ
عَبْدِ اللهِ بْنِ أَبِيْ بَكْرٍ بْنِ حَزمِ :أَنَّ فِيْ الْكِتَابِ الَّذِيْ
كَتَبَهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ لِعَمْرٍو بْنِ حَزمِ
أَنْ لَّا يَمَسَّ الْقُرْآنَ إِلَّا طَاهِرٌ.
“Dari Malik dari
Abdullah bin Abu Bakar bin Hazm, bahwa dalam surat yang Rasulullah saw. tulis
kepada “Amr bin Hazm (tersebut): “Bahwa tidak menyentuh Qur’an melainkan orang
yang bersih”.
Abdullah bin Abu Bakar ini seorang tabii sedang seorang
tabii tidak semasa dan tidak bertemu dengan Nabi saw. Jadi, semestinya Abdullah
menerima riwayat itu dari seorang lain atau sahabat.
d. Hadis Munqathi’
Hadis munqathi’ adalah hadis yang gugur seorang rawinya
sebelum sahabat di satu tempat, atau gugur dua orang pada dua tempat dalam
keadaan tidak barturut-turut.[31]
Macam-macam pengguguran (inqitha’) sebagai berikut:
1.
Inqitha’ dilakukan dengan
jelas sekali, bahwa si rawi meriwayatkan hadis dapat diketahui tidak sezaman
dengan guru yang memberikan hadis padanya atau ia hidup sezaman dengan gurunya,
tetapi tidak mendapat ijazah (perizinan) untuk meriwayatkan hadis.
2.
Inqitha’ dilakukan dengan
samar-samar, yang hanya dapat diketahui oleh orang yang mempunyai keahlian
saja.
3.
Diketahui dari jurusan
lain, dengan adanya kelebihan seorang rawi atau lebih dalam hadis riwayat orang
lain.[32]
Contoh munqathi’:
قَالَ أَحْمَدُ
بْنُ شُعَيْبَ أَخْبَرَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيْد قَالَ ثَنَا أَبُوْ عَوَانَةَ
عَنْ هِشَام بْنِ عُرْوَة عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ الْمُنْذِر عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ
قَالَتْ قَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُحَرِّمُ مِنَ
الرَّضَاعِ إِلا مَا فَتَقَ الْاَمْعَاءَ فِي الثَّدْيِ وَكَانَ قَبْلَ
الْفِطَامِ. (المحلى 20: 10)
“Berkata Ahmad bin
Syu’aib: “Telah mengabarkan kepada kami Qutaibah bin Sa’id telah menceritakan
kepada kami Abu Awanah telah menceritakan kepada kami Hisyam bin Urwah dari
Fatimah binti Munzir dari Ummu Salamah ummul mukminin, ia berkata: Rasulullah
saw. Bersabda: “Tidak menjadikan haram dari penyusuan, melainkan apa-apa yang
sampai dipencernaan dari susu dan itu sebelum (anak) berhenti (dari minum
susu).”
Sanad hadis ini
kalau kita gambarkan akan tampak demikian: (1) Ahmad bin Syu’aib (An-Nasai),
(2) Qutaibah bin Sa’id, (3) Abu Awanah, (4) Hisyam bin Urwah, (5) Fatimah binti
Munzir, (6) Ummu Salamah, (7) Rasulullah saw.
Fatimah (No.5) tidak mendengar hadis tersebut dari Ummu
Salamah (No.6), karena waktu Ummu Salamah meninggal, Fatimah ketika itu masih
kecil dan tidak bertemu dengannya.
e. Hadis Mudallas
Mudallas menurut bahasa
artinya yang ditutup atau yang disamarkan. Menurut istilah adalah hadis yang
diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan bahwa hadis itu tidak bernoda.[33]
Rawi yang berbuat demikian disebut mudallis. Hadis yang diriwayatkan oleh
mudallis disebut hadis mudallas, dan perbuatannya disebut dengan tadlis.
Macam-macam tadlis sebagai berikut:
1.
Tadlis isnad, yaitu bila
seorang rawi yang meriwayatkan suatu hadis dari orang yang pernah bertemu
dengan dia, tetapi rawi tersebut tidak pernah mendengar hadis darinya. Agar
rawi tersebut dianggap mendengar dari rawi yang digunakan, ia menggunakan
lafazh menyampaikan hadis dengan ‘an fulanin (dari sifulan) atau anna fulanan
yaqulu (bahwa si Fulan berkata).
2.
Tadlis syuyukh, yaitu bila
seorang rawi meriwayatkan sebuah hadis yang didengarkan dari seorang guru
dengan menyebutkan nama kuniyah-nya, nama keturunnya, atau menyifati gurunya
dengan sifat-sifat yang belum/tidak dikenal oleh orang banyak.
3.
Tadlis taswiyah (tajwid),
yaitu bila seorang rawi meriwayatkan hadis dari gurunya yang tsiqah, yang oleh
guru tersebut diterima dari gurunya yang lemah, dan guru yang lemah ini
menerima dari seorang guru tsiqah pula, tetapi si mudallis tersebut
meriwayatkan tanpa menyebutkan rawi-rawi yang lemah, bahkan ia meriwayatkan
dengan lafazh yang mengandung pengertian bahwa rawinya tsiqah semua.[34]
4.
رَوَى النُّعْمَانُ
بْنُ رَاشَد عَنِ الزُّهْرِي عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صلى
الله عليه وسلم لَمْ يَضْرِبِ امْرَأَةً قَطُّ، ولا خادماً، إِلا أَنْ يُجَاهِدَ
فِي سَبِيلِ اللَّهِ (علل الحدبث 324: 1)
“Diriwayatkan oleh
Nu’man bin Rasyid dari Zuhri dari Urwah dari Aisyah bahwa Rasulullah saw tidak
pernah sekali-kali memukul seorang perempuan dan tidak juga seorang pelayan,
melainkan ia berjihad di jalan Allah.
Keterangan: dengan sepintas
lalu-melihat susunan sanad ini-dapat dikatakan bahwa Zuhri mendengar riwayat
itu dari Urwah karena memang biasa Zuhri meriwayatkan darinya.
Anggapan ini keliru, karena Imam Abu Hatim berkata:
“Zuhri tidak pernah mendengar hadis dari Urwah”. Ini berarti antara Zuhri dan
Urwah ada seorang yang tidak disebut oleh Zuhri.
Karena Zuhri dan Urwah semasa
dan bertemu, sedang ia tidak mendengar riwayat tersebut dari Urwah. Tetapi ia
mendengar dari perawi lain, maka tersamarlah sanadnya, sehingga orang menyangka
Zuhri mendengar dari Urwah. Boleh jadi Zuhri yang menyamarkannya. Maka riwayat
itu dinamakan mudallas.
C. Kehujahan Hadis Dhaif
Seganap ulama hadis, para
fuqaha, dan ulama ushul telah sepakat menetapkan tidak boleh sekali-kali
mempergunakan hadis dhaif dalam masalah akidah, baik dari kedhaifannya sangat
kuat atau ringan.
Adapun tentang hukum, jumhur
ulama hadis dan ulama fikih dan ushul berpendapat tidak menerima hadis dhaif
pada sanad dijadikan hujah, baik kedhaifannya itu sangat atau ringan seperti
halnya pada masalah akidah. Akan tetapi, sebagian ulama hadis dan jamaah dari
ulama fikih dan ushul berpendapat boleh menjadikannya sebagai hujah dengan
syarat hadisnya itu tidak terlalu lemah; dengan tujuan kehati-hatian pada agama
seseorang dan hadis itu tidak terlalu lemah sanadnya, seperti pendapatnya Imam
Syafi’i, Imam Nawawi, Imam Ibn Abdul Bar, Imam Ibn Hajar, Imam Suyuti, Imam
Sakhawi, dan Imam Abu Ishaq.
Untuk masalah fadhail amal, jika hadisnya itu sangat
lemah maka ulama sepakat tidak menerimanaya. Dan untuk hadis yang lemahnya
ringan ulama berbeda pendapat:
Pendapat pertama, tidak boleh
mengamalkannya secara mutlak sama halnya hadis yang sangat lemah, pendapat ini
dipegang oleh Imam Abu Bakar bin al-Arabi al-Maliki, Imam Ibn Hazm, dan Imam
Yahya bin Muin serta ditunjukkan juga oleh Imam Bukhari, dan Imam Muslim.
Pendapat kedua, boleh
mengamalkannya secara mutlak dengan syarat tidak ada lagi ditemui pada bab itu
hadis maqbul selainnya dan juga fatwa sahabat dan pada hadis itu tidak
menyalahi hadis yang diterima kehujahannya (hadis yang lebih kuat). [35]
Pendapat ini dipegang oleh Imam Nasai, Imam Abu Daud, Imam Ahmad bin Hambal,
dan Imam Ahmad bin Shaleh al-Mishry, sebagaimana yang dinukil dari perkataan
mereka: “Hadis dhaif lebih kami sukai daripada pendapat ulama”.
Pendapat ketiga, boleh
mengamalkan hadis dhaif pada fadhail amal, akan tetapi dengan syarat: (1)
kedhaifan hadis itu tidak seberapa. (2) hadis itu masuk di bawah dasar yang
umum yang tetap pada jalur yang diterima, maksud ungkapan ini adalah kebolehan
mengamalkannya itu bukan kembali pada kelemahannya, tetapi kepada menjaga dasar
hadis itu, karena itu tidak masuk sesuatu yang tidak mempunyai asal sama sekali
(3) tidak beri’tiqad ketika mengamalkannya bahwa pekerjaannya itu memang pasti
dari Rasulullah saw, tetapi beri’tiqad ihtiyath (hati-hati) ketika
mengamalkannya. Pendapat ini dipegang oleh jumhur ulama hadis dan fikih.[36]
PENUTUP
ANALISIS
Dari paparan di atas dapat
dianalisa beberapa hal:
Dilihat dari contoh-contoh hadis di atas, dari segi
keshahihannya pada sanad dan matan, hadis dapat dikelompokkan secara garis
besar menjadi beberapa bagian, yaitu:
(1) Hadis yang sanadnya sahih tetapi matannya tidak sahih,
(2) hadis yang sanadnya tidak sahih, tatapi matannya sahih,
(3) hadis yang sanadnya majhul (tidak dikenal) dan matannya majhul,
(4) hadis yang sanadnya sahih dan matannya sahih, dan
(5) hadis yang sanadnya tidak sahih dan matannya juga tidak sahih.
Kesahihan sebuah hadis pada
sanadnya tidak menuntut kesahihan matan pada kenyataannya secara pasti dan
ketidaksahihan sanad tidak juga menuntut kedhaifan matan pada kenyataannya
secara pasti.
Di antara alamat-alamat
dhaifnya sebuah hadis-meskipun sanadnya sahih- yaitu bertentangan dengan nash
al-Qur’an, bertentangan sunnah yang satu dengan yang lain, bertentangan
riwayat-riwayat yang satu bagian yang satu dengan bagian yang lain,
bertentangan dengan akal sehat atau fakta sejarah, atau lafaz hadisnya rusak
dan jauh maknanya, berbedanya hadis pada ushul-ushul syari’at dan kaidah-kaidah
yang sudah ditetapkan.
Dari sebab dhaifnya hadis
karena cacat perawi baik dari keadilan dan kedhabitannya dapat dikelompokkan
jenis-jenisnya, yaitu:
1)
Jenis hadis dhaif dari
keadilannya yaitu maudhu’, matruk, dan majhul.
2)
Jenis hadis dhaif dari
kedhabitannya yaitu munkar, mu’allal, mudarraj, maqlub, mudhtharib, muharraf,
mushahhaf, dan syadz.
KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat
ditarik beberapa kesimpulan:
Hadis dhaif merupakan hadis yang tidak terkumpul
sifat-sifat hadis shahih dan juga sifat-sifat hadis hasan.
Hadis dhaif terbagi kepada dua
bagian:
Pertama, yang menyebabkan
tertolaknya karena terdapat keguguran perawi dalam sanadnya.
Kedua, yang menyebabkan
tertolaknya karena terdapat sesuatu yang menyebabkan dicacat perawi itu.
Adapun hadis dhaif yang lemahnya karena gugur perawi dari
sanad, yaitu di antaranya: (1) Mua’allaq, (2) Mursal, (3) Mudallas, (4)
Munqathi’, (5) Mu’dhal.
Dan hadis yang lemahnya karena
terdapat kecacatan terhadap perawi, yaitu di antaranya: (1) Maudhu’, (2)
Matruk, (3) Munkar, (4) Mudraj, (5) Maqlub, (6) Mu’allal, (7) Mudhtharab, (8)
Mushahhaf, (9) Muharraf, (10) Mubham, (11) Majhul, (12) Syaz.
Untuk kehujahan hadis dhaif para ulama sepakat tidak
menerimanya dalam hal aqidah, sedangkan untuk masalah hukum dan fadhail amal
para ulama berbeda pendapat, ada yang menerimanya dan ada yang menolaknya.
0 komentar:
Post a Comment