ODONG-ODONG
KAMPUNG CINA
Karya Erfani
Nusapati
Kacamata surya
menjadi pamungkas penampilannya, setelah topi kulit itu dipastikan terpasang
sempurna di kepala. Asesoris yang tak sekadar menutup ubunnya yang lapang.
Angannya, agar ia tak mudah dikenali. Warga kota itu lebih mengenalnya jika
berpeci hitam dan berjas biru. Laiknya pamflet-pamflet di tiang listrik, yang
biasanya beriklan sedot WC. Itu pun kalau belum ditempeli iklan lain. Atau
lihat saja kaos-kaos tukang becak di pengkolan gang. Akan akrab sekali
wajahnya.
Rumah berpagar setinggi cemara itu, sejatinya telah cukup
untuk memberitahu tentang status sosial. Belum lagi mobil mewah berwarna hitam
yang kerap mengantarnya kemana pun. Meski tak berplat merah, mobil saja cukup
memantaskannya disebut pejabat. Setidaknya menurut orang-orang pinggiran kota.
Kalaulah bukan karena rengekan
putrinya yang baru saja masuk SD, tak mungkin ia berada di kota wisata yang
dinamai Kampung Cina ini. Apalagi sampai harus menaiki kereta bermesin diesel
bak sepur di jalan raya. Orang sekitar menyebutnya odong-odong. Itu pun hasil
rengekan putrinya juga, setelah ditawari naik kereta kuda yang agak eksklusif
putrinya menolak. Sebulan lalu, ia memang janji kalau mau sekolah tahun ini,
akan diajak jalan-jalan. Walhasil, hari Minggu ini ia bersama istri dan kedua
anaknya, pun berwisata.
Odong-odong itu bertarif cukup terjangkau. Harga resmi
dari Pengelola Kampung Cina. Ada dua gerbong odong-odong yang tersambung ke
kemudi. Sekiranya memuat 10 hingga 15 orang. Kadang-kadang dibayar patungan.
Ia tentu tak bermasalah dengan
harga. Selembar pecahan berwarna biru, segera saja ditariknya dari dompet
cokelat ala Italy itu. Dua rombongan keluarga lain terlihat ingin pula
berpartisipasi.
“Nggak apa-apa Pak, biar saya saja yang bayar” Ujarnya
sembari mengembalikan dompet ke kocek belakang, dan membenahi kacamata. Seakan
khawatir orang itu mengenalnya.
Kedua anaknya terlihat senang. Teramat jarang mereka
menikmati situasi seperti ini. Apalagi ditemani anak-anak lain sebayanya yang
juga ikut di odong-odong itu.
Odong-odong pun perlahan meninggalkan pangkalan. Mengajak
penumpangnya mengenal Kampung Cina lebih akrab lagi. Salah satu aset di kota
yang identik dengan burung Enggang itu.
***
Telepon genggamnya seolah
antre. Kadang selisih 10 menit, telepon yang lain kembali berbunyi. Tak
semuanya diangkat. Selalu terlebih dahulu dipilah. Kecuali Haji Basyar.
“Gimana Pak Sarqani? Sudah sampai di mana tari Zapin kita
Pak?” Tanya Haji Basyar yang terdengar samar, beradu bersama angin. Hampir
bosan ia menjawab pertanyaan Haji Basyar yang serupa itu.
“Nanti saja Ji, saya lagi di kendaraan” tolaknya singkat.
Sebetulnya sungkan menolak telepon Haji Basyar. Pemuka
adat Melayu, yang juga berjasa memandu suara untuknya di dua dapil empat tahun
silam. Tapi keinginan Haji Basyar agar Zapin diabsahkan sebagai tradisi Melayu
di kota itu, urung jua terwujud. Menurut Haji Basyar, Zapin kaya nilai tradisi,
reliji, sejarah, kebersamaan, terutama seni gerak tubuh yang memang khas.
Asanya, Zapin menjadi khazanah budaya kota yang separuh penduduknya Melayu itu.
Ia tak ingin tari yang sejak turun-temurun diwarisinya itu keburu dirampas
lagi.
Bagi Sarqani, Haji Basyar kini
tak bisa lagi diandalkan. Tak ada yang menguntungkannya dengan Zapin. Ia
menyimpulkan sesuatu dari pengalamannya. “Bukan percaya yang diperlukan, tapi
seberapa besar biaya yang sanggup dikumpulkan.” Itu yang berulangkali
diwiridkannya kala sendiri sembari menimbang-nimbang kesuksesannya dulu.
Setahun lagi babak baru dimulai. Saatnya berpacu mengepul
modal. Tentu ia tak mau seperti dulu. Saat semuanya ia pertaruhkan. Rumah,
tanah, kendaraan, dan sebagian warisan. Namun semua telah kembali dalam dua
tahun kursinya.
***
Odong-odong masih menyisir
jalanan yang nyaris tanpa lubang. Melukis riang putrinya yang tumpah-ruah.
Hampir semua yang ia lihat ditanyakan pada ayahnya. Meski tak satu pun yang
terjawab sempurna. Pariwisata dan Budaya yang dibidanginya selama ini, tak cukup
ampuh membuatnya mengerti tentang maskot kota yang sempat ditanyakan anaknya
tadi. Apalagi menjawab penasaran putri pertamanya “mengapa Kampung Cina banyak
warna merahnya?”. Ia pun hanya menjawab seadanya “Merah itu berani Put, seperti
bendera kita, Merah-Putih”.
Keakraban yang tanggung itu semakin lenyap, saat
odong-odong yang membawa rombongannya itu melintasi beberapa pengemudi
odong-odong lain yang sedang parkir.
“Hei...Jangan korupsi!” teriak para pengemudi itu dari
pinggir jalan.
Pengemudi odong-odong yang ditumpanginya terlihat tenang.
Senang. Senyumnya bahkan seirama gerak mesin. Bercengkrama bersama angin
padahal kian siang kian terik. Tapi tidak begitu dengan Sarqani. Cepat-cepat ia
dalamkan kacamata suryanya. Menurunkan atap topi. Menggeser bokong, sehingga
menyamping. Riuh-rendah penumpang seakan mencelanya. Sesekali ia melirik di
balik lensa hitam sebulat telur itu. Memastikan penumpang lain apakah percaya
dengan teriakan tadi. Tak ada yang berubah. Mereka biasa saja. Sarqani agak
tenang sekarang, seiring odong-odong telah jauh meninggalkan sumber suara.
Telepon Sarqani berdering
lagi. Kalut batinnya belum seutuhnya reda. Tapi kali ini Ohang. Pengusaha
Properti yang telah menghadiahinya mobil setahun lalu. Tak mungkin diabaikan.
Potensi modal terbesarnya di proyek akhir tahun ini.
“Sudah saya hitung-hitung Pak Sar. Rasanya kalau sepak
bola saya belum sanggup. Gimana kalau futsal saja?”
“Ah...Bos ini bisa aja. Masa` sudah segitu luasnya,
futsal. Orang itu, semakin luas semakin besar, Bos!” jawab Sarqani lebar.
“Ayolah Pak. Nanti kalau memang izinnya mulus hingga lima
tahun ke depan, baru kita bicarakan lagi?” desak Ohang.
“Bos, waktu saya terbatas, lagi di kendaraan. Nanti aja
sambung lagi.” Potong Sarqani melenggang di atas angin. Ia sangat tahu Ohang
tersudut.
Sarqani bukanlah penghobi sepak bola atau futsal.
Demikian pula Ohang. Memang sudah biasa mereka bermain berbagai jenis olah
raga. Menyembunyikan delapan digit nol di belakangnya.
***
Odong-odong baru menempuh
separuh rute saat melewati sekelompok petugas security Kampung Cina, lantas
mereka berteriak.
“Hei...Jangan korupsi mulu!”
Sarqani terperanjat lagi. Dirapatkannya tangkai kacamata.
Topinya ditarik menunduk. Hampir menutupi sepasang alis lebatnya. Ditatapnya
sang pengemudi. Pengemudi biasa saja. Bahkan tersenyum. Lebih lebar dari kali
pertama. Terumbar bersama hentakan polisi tidur yang digilasnya. Sesekali ia
menoleh ke belakang. Para penumpang lain sama senyumnya. Terhentak seru di atas
odong-odong bercorak kartun itu. Keseruan yang bagi Sarqani tak ubah ludah.
Ia mulai yakin ulahnya telah
bocor. Sepertinya ia ingin segera berhenti di simpang depan saja. Tapi kedua
anaknya masih asyik menikmati ornamen hijau-merah berbentuk naga-naga yang
berbaris di sepanjang jalan beraspal mulus itu.
“Saya sudah finalkan proposal Pak, lengkap dengan
drafnya?” Desak Haji Basyar, yang kembali mencoba meneleponnya.
“Oh Iya. Nanti malam saja kita ketemu. Siapa tahu bisa
kita prioritaskan.” Jawab Sarqani hampir yakin.
“Alhamdulillah. Terimasih Pak Sarqani. Ini baru wakil
kami.” pungkasnya penuh syukur.
Suasana siang itu mungkin yang telah mengusik sikapnya.
Ada yang ingin ia bantah tentang teriakan-teriakan tadi. Barangkali masih bisa
membuktikan manfaat jabatannya di penghujung kursi.
***
Odong-odong Kampung Cina itu
masih setia berkeliling. Masih ada sepertiga jarak tempuh lagi yang harus
dilewati. Suasana tampak semakin ramai. Dari kejauhan terlihat banyak pengemudi
odong-odong melepas lelah di bawah pohon serupa beringin, beralas repumputan
gajah. Berbaur bersama beberapa petugas security dan para pekerja taman.
Bercengkrama santai.
Sarqani gelisah. Debar jantungnya semakin terpacu deras
seiring odong-odong yang ditumpanginya melewati kerumunan itu, dan mereka pun
berteriak serempak seolah terkomando.
“Hei...Koruptor!”
Sang Pengemudi terbahak.
Sarqani menggelepar panik. “LSM mana yang berhasil mengacak-acak meja kerjaku”
gumamnya. Angin di Kampung Cina yang sepoi itu bak neraka yang membakar. Tak
dipedulikan lagi pertanyaan-pertanyaan kedua anaknya. Kini ia benar-benar ingin
terjun bebas dari odong-odong yang telah menjebaknya itu. Sorak-sorai penumpang
lain di gerbong dua, semakin ia yakini sebagai olokan menghina dirinya. Topi
dan kacamata, tak sempurna menghijabnya dari keramaian. Kini ia tak tahu
bagaimana lagi harus bersembunyi.
“Ma, jaket Papa mana?”
“Kan ditinggal di mobil Pa. Papa kenapa?” telisik
istrinya seakan cemas.
“Jaket Mama aja Papa pinjem. Papa masuk angin nih!”
desaknya.
“Ah...yang benar aja Pa. Tenang, Mama bawa minyak angin
kok” tawarnya.
“Jangan, jaket Mama aja. Bilangin pengemudi agar lewat
jalan pintas, Papa nggak tahan ni!”
Segera saja istrinya meminta
pengemudi odong-odong itu untuk mengambil jalan yang lebih cepat sampainya.
Pengemudi jelas tak keberatan. Diambilnya arah kiri persis di pertigaan depan.
Dari sayup-sayup masih terdengar teriakan-teriakan korupsi yang seolah semakin
menjadi-jadi seiring odong-odong berbelok ke kiri.
“Nanti Ibu kasih aja uang rokok buat penjaga pertigaan
itu, soalnya nggak boleh motong jalan, peraturan Pengelola di sini begitu Bu!”
terang Pengemudi.
Benar saja. Seorang penjaga
berseragam resmi, menahan odong-odong tak jauh dari simpang. Selembar pecahan
sepuluh ribu, secepat kilat beralih dari tangan istrinya ke tangan penjaga itu.
Odong-odong pun melaju aman. Tak ada yang perlu dikhawatrikan lagi. Kecuali
teriakan itu yang masih saja menyiksa Sarqani.
Odong-odong belum sempurna berhenti, ketika Sarqani
bergegas terjun, sembari menggendong anaknya yang kecil. Penumpang lain heran.
Menyaksikan orang segagah Sarqani berjaket wanita. Tatapan mereka semakin
meledakkan kalut di kepala Sarqani. Belum lagi suara-suara korupsi dari
kerumunan orang tadi yang seakan memburunya sengit.
Tapi ada yang membuat Sarqani
berani menegur sang pengemudi. Setelah memastikan topi dan kacamatanya erat
terpasang, ia pun mulai mengusut.
“Eh...Mengapa kalian teriak-teriak korupsi di siang
bolong begini?”
“Ah...Itu mah biasa di sini, Pak. Tarif Rp.50.000,- itu
harusnya menempuh rute sekitar 5 Km keliling tuntas Kampung Cina ini. Cuma
teman-teman banyak yang potong kompas. Seharusnya di pertigaan tadi kita lurus,
jangan belok. Yang belok kiri itulah yang dibilang korupsi. Makanya diteriakin
mulu, apalagi pas kita benar-benar berbelok.”
Napas sangat panjang berhempus dari hidung Sarqani. Ada
sebongkah panik dan kemelut malu yang dibantingnya bersama napas panjang itu.
Dengan sangat yakin topi kulitnya dibuka, membiarkan angin menghantam ubunnya,
bermaksud mengademkan bara. Sebagaimana kacamatanya yang digelantungkan begitu
saja di leher kaos putihnya, seolah mengundang terang, setelah sejam lalu
pandangannya bertangas di balik lensa hitam. Tak luput jua jaket istrinya, yang
tergopoh dicopot, seolah lupa.
Diraihnya kembali telepon
genggam dari sela saku, setelah terlebih dahulu menolak panggilan masuk bertulis
‘haji nyosor’.
“Bos, kalau benar-benar mau, kita main futsal sajalah dua
kali, gimana?”
Angin di Kampung Cina berhembus tak menentu. Ada kabar
kecewa yang ingin diutarakannya. Sama kecewanya Aku yang bercerita.
Saigon, 22 Oktober 2012
0 komentar:
Post a Comment