Tuesday, 21 January 2014

CERPEN LUCU : ODONG-ODONG KAMPUNG CINA



ODONG-ODONG KAMPUNG CINA
Karya Erfani Nusapati

Kacamata surya menjadi pamungkas penampilannya, setelah topi kulit itu dipastikan terpasang sempurna di kepala. Asesoris yang tak sekadar menutup ubunnya yang lapang. Angannya, agar ia tak mudah dikenali. Warga kota itu lebih mengenalnya jika berpeci hitam dan berjas biru. Laiknya pamflet-pamflet di tiang listrik, yang biasanya beriklan sedot WC. Itu pun kalau belum ditempeli iklan lain. Atau lihat saja kaos-kaos tukang becak di pengkolan gang. Akan akrab sekali wajahnya.

Rumah berpagar setinggi cemara itu, sejatinya telah cukup untuk memberitahu tentang status sosial. Belum lagi mobil mewah berwarna hitam yang kerap mengantarnya kemana pun. Meski tak berplat merah, mobil saja cukup memantaskannya disebut pejabat. Setidaknya menurut orang-orang pinggiran kota.

Kalaulah bukan karena rengekan putrinya yang baru saja masuk SD, tak mungkin ia berada di kota wisata yang dinamai Kampung Cina ini. Apalagi sampai harus menaiki kereta bermesin diesel bak sepur di jalan raya. Orang sekitar menyebutnya odong-odong. Itu pun hasil rengekan putrinya juga, setelah ditawari naik kereta kuda yang agak eksklusif putrinya menolak. Sebulan lalu, ia memang janji kalau mau sekolah tahun ini, akan diajak jalan-jalan. Walhasil, hari Minggu ini ia bersama istri dan kedua anaknya, pun berwisata.
Odong-odong itu bertarif cukup terjangkau. Harga resmi dari Pengelola Kampung Cina. Ada dua gerbong odong-odong yang tersambung ke kemudi. Sekiranya memuat 10 hingga 15 orang. Kadang-kadang dibayar patungan.

Ia tentu tak bermasalah dengan harga. Selembar pecahan berwarna biru, segera saja ditariknya dari dompet cokelat ala Italy itu. Dua rombongan keluarga lain terlihat ingin pula berpartisipasi.
“Nggak apa-apa Pak, biar saya saja yang bayar” Ujarnya sembari mengembalikan dompet ke kocek belakang, dan membenahi kacamata. Seakan khawatir orang itu mengenalnya.
Kedua anaknya terlihat senang. Teramat jarang mereka menikmati situasi seperti ini. Apalagi ditemani anak-anak lain sebayanya yang juga ikut di odong-odong itu.
Odong-odong pun perlahan meninggalkan pangkalan. Mengajak penumpangnya mengenal Kampung Cina lebih akrab lagi. Salah satu aset di kota yang identik dengan burung Enggang itu.
***

Telepon genggamnya seolah antre. Kadang selisih 10 menit, telepon yang lain kembali berbunyi. Tak semuanya diangkat. Selalu terlebih dahulu dipilah. Kecuali Haji Basyar.
“Gimana Pak Sarqani? Sudah sampai di mana tari Zapin kita Pak?” Tanya Haji Basyar yang terdengar samar, beradu bersama angin. Hampir bosan ia menjawab pertanyaan Haji Basyar yang serupa itu.
“Nanti saja Ji, saya lagi di kendaraan” tolaknya singkat.
Sebetulnya sungkan menolak telepon Haji Basyar. Pemuka adat Melayu, yang juga berjasa memandu suara untuknya di dua dapil empat tahun silam. Tapi keinginan Haji Basyar agar Zapin diabsahkan sebagai tradisi Melayu di kota itu, urung jua terwujud. Menurut Haji Basyar, Zapin kaya nilai tradisi, reliji, sejarah, kebersamaan, terutama seni gerak tubuh yang memang khas. Asanya, Zapin menjadi khazanah budaya kota yang separuh penduduknya Melayu itu. Ia tak ingin tari yang sejak turun-temurun diwarisinya itu keburu dirampas lagi.

Bagi Sarqani, Haji Basyar kini tak bisa lagi diandalkan. Tak ada yang menguntungkannya dengan Zapin. Ia menyimpulkan sesuatu dari pengalamannya. “Bukan percaya yang diperlukan, tapi seberapa besar biaya yang sanggup dikumpulkan.” Itu yang berulangkali diwiridkannya kala sendiri sembari menimbang-nimbang kesuksesannya dulu.
Setahun lagi babak baru dimulai. Saatnya berpacu mengepul modal. Tentu ia tak mau seperti dulu. Saat semuanya ia pertaruhkan. Rumah, tanah, kendaraan, dan sebagian warisan. Namun semua telah kembali dalam dua tahun kursinya.
***

Odong-odong masih menyisir jalanan yang nyaris tanpa lubang. Melukis riang putrinya yang tumpah-ruah. Hampir semua yang ia lihat ditanyakan pada ayahnya. Meski tak satu pun yang terjawab sempurna. Pariwisata dan Budaya yang dibidanginya selama ini, tak cukup ampuh membuatnya mengerti tentang maskot kota yang sempat ditanyakan anaknya tadi. Apalagi menjawab penasaran putri pertamanya “mengapa Kampung Cina banyak warna merahnya?”. Ia pun hanya menjawab seadanya “Merah itu berani Put, seperti bendera kita, Merah-Putih”.
Keakraban yang tanggung itu semakin lenyap, saat odong-odong yang membawa rombongannya itu melintasi beberapa pengemudi odong-odong lain yang sedang parkir.
“Hei...Jangan korupsi!” teriak para pengemudi itu dari pinggir jalan.
Pengemudi odong-odong yang ditumpanginya terlihat tenang. Senang. Senyumnya bahkan seirama gerak mesin. Bercengkrama bersama angin padahal kian siang kian terik. Tapi tidak begitu dengan Sarqani. Cepat-cepat ia dalamkan kacamata suryanya. Menurunkan atap topi. Menggeser bokong, sehingga menyamping. Riuh-rendah penumpang seakan mencelanya. Sesekali ia melirik di balik lensa hitam sebulat telur itu. Memastikan penumpang lain apakah percaya dengan teriakan tadi. Tak ada yang berubah. Mereka biasa saja. Sarqani agak tenang sekarang, seiring odong-odong telah jauh meninggalkan sumber suara.

Telepon Sarqani berdering lagi. Kalut batinnya belum seutuhnya reda. Tapi kali ini Ohang. Pengusaha Properti yang telah menghadiahinya mobil setahun lalu. Tak mungkin diabaikan. Potensi modal terbesarnya di proyek akhir tahun ini.
“Sudah saya hitung-hitung Pak Sar. Rasanya kalau sepak bola saya belum sanggup. Gimana kalau futsal saja?”
“Ah...Bos ini bisa aja. Masa` sudah segitu luasnya, futsal. Orang itu, semakin luas semakin besar, Bos!” jawab Sarqani lebar.
“Ayolah Pak. Nanti kalau memang izinnya mulus hingga lima tahun ke depan, baru kita bicarakan lagi?” desak Ohang.
“Bos, waktu saya terbatas, lagi di kendaraan. Nanti aja sambung lagi.” Potong Sarqani melenggang di atas angin. Ia sangat tahu Ohang tersudut.
Sarqani bukanlah penghobi sepak bola atau futsal. Demikian pula Ohang. Memang sudah biasa mereka bermain berbagai jenis olah raga. Menyembunyikan delapan digit nol di belakangnya.
***

Odong-odong baru menempuh separuh rute saat melewati sekelompok petugas security Kampung Cina, lantas mereka berteriak.
“Hei...Jangan korupsi mulu!”
Sarqani terperanjat lagi. Dirapatkannya tangkai kacamata. Topinya ditarik menunduk. Hampir menutupi sepasang alis lebatnya. Ditatapnya sang pengemudi. Pengemudi biasa saja. Bahkan tersenyum. Lebih lebar dari kali pertama. Terumbar bersama hentakan polisi tidur yang digilasnya. Sesekali ia menoleh ke belakang. Para penumpang lain sama senyumnya. Terhentak seru di atas odong-odong bercorak kartun itu. Keseruan yang bagi Sarqani tak ubah ludah.

Ia mulai yakin ulahnya telah bocor. Sepertinya ia ingin segera berhenti di simpang depan saja. Tapi kedua anaknya masih asyik menikmati ornamen hijau-merah berbentuk naga-naga yang berbaris di sepanjang jalan beraspal mulus itu.
“Saya sudah finalkan proposal Pak, lengkap dengan drafnya?” Desak Haji Basyar, yang kembali mencoba meneleponnya.
“Oh Iya. Nanti malam saja kita ketemu. Siapa tahu bisa kita prioritaskan.” Jawab Sarqani hampir yakin.
“Alhamdulillah. Terimasih Pak Sarqani. Ini baru wakil kami.” pungkasnya penuh syukur.
Suasana siang itu mungkin yang telah mengusik sikapnya. Ada yang ingin ia bantah tentang teriakan-teriakan tadi. Barangkali masih bisa membuktikan manfaat jabatannya di penghujung kursi.
***

Odong-odong Kampung Cina itu masih setia berkeliling. Masih ada sepertiga jarak tempuh lagi yang harus dilewati. Suasana tampak semakin ramai. Dari kejauhan terlihat banyak pengemudi odong-odong melepas lelah di bawah pohon serupa beringin, beralas repumputan gajah. Berbaur bersama beberapa petugas security dan para pekerja taman. Bercengkrama santai.
Sarqani gelisah. Debar jantungnya semakin terpacu deras seiring odong-odong yang ditumpanginya melewati kerumunan itu, dan mereka pun berteriak serempak seolah terkomando.
“Hei...Koruptor!”

Sang Pengemudi terbahak. Sarqani menggelepar panik. “LSM mana yang berhasil mengacak-acak meja kerjaku” gumamnya. Angin di Kampung Cina yang sepoi itu bak neraka yang membakar. Tak dipedulikan lagi pertanyaan-pertanyaan kedua anaknya. Kini ia benar-benar ingin terjun bebas dari odong-odong yang telah menjebaknya itu. Sorak-sorai penumpang lain di gerbong dua, semakin ia yakini sebagai olokan menghina dirinya. Topi dan kacamata, tak sempurna menghijabnya dari keramaian. Kini ia tak tahu bagaimana lagi harus bersembunyi.
“Ma, jaket Papa mana?”
“Kan ditinggal di mobil Pa. Papa kenapa?” telisik istrinya seakan cemas.
“Jaket Mama aja Papa pinjem. Papa masuk angin nih!” desaknya.
“Ah...yang benar aja Pa. Tenang, Mama bawa minyak angin kok” tawarnya.
“Jangan, jaket Mama aja. Bilangin pengemudi agar lewat jalan pintas, Papa nggak tahan ni!”

Segera saja istrinya meminta pengemudi odong-odong itu untuk mengambil jalan yang lebih cepat sampainya. Pengemudi jelas tak keberatan. Diambilnya arah kiri persis di pertigaan depan. Dari sayup-sayup masih terdengar teriakan-teriakan korupsi yang seolah semakin menjadi-jadi seiring odong-odong berbelok ke kiri.
“Nanti Ibu kasih aja uang rokok buat penjaga pertigaan itu, soalnya nggak boleh motong jalan, peraturan Pengelola di sini begitu Bu!” terang Pengemudi.
Benar saja. Seorang penjaga berseragam resmi, menahan odong-odong tak jauh dari simpang. Selembar pecahan sepuluh ribu, secepat kilat beralih dari tangan istrinya ke tangan penjaga itu. Odong-odong pun melaju aman. Tak ada yang perlu dikhawatrikan lagi. Kecuali teriakan itu yang masih saja menyiksa Sarqani.
Odong-odong belum sempurna berhenti, ketika Sarqani bergegas terjun, sembari menggendong anaknya yang kecil. Penumpang lain heran. Menyaksikan orang segagah Sarqani berjaket wanita. Tatapan mereka semakin meledakkan kalut di kepala Sarqani. Belum lagi suara-suara korupsi dari kerumunan orang tadi yang seakan memburunya sengit.

Tapi ada yang membuat Sarqani berani menegur sang pengemudi. Setelah memastikan topi dan kacamatanya erat terpasang, ia pun mulai mengusut.
“Eh...Mengapa kalian teriak-teriak korupsi di siang bolong begini?”
“Ah...Itu mah biasa di sini, Pak. Tarif Rp.50.000,- itu harusnya menempuh rute sekitar 5 Km keliling tuntas Kampung Cina ini. Cuma teman-teman banyak yang potong kompas. Seharusnya di pertigaan tadi kita lurus, jangan belok. Yang belok kiri itulah yang dibilang korupsi. Makanya diteriakin mulu, apalagi pas kita benar-benar berbelok.”
Napas sangat panjang berhempus dari hidung Sarqani. Ada sebongkah panik dan kemelut malu yang dibantingnya bersama napas panjang itu. Dengan sangat yakin topi kulitnya dibuka, membiarkan angin menghantam ubunnya, bermaksud mengademkan bara. Sebagaimana kacamatanya yang digelantungkan begitu saja di leher kaos putihnya, seolah mengundang terang, setelah sejam lalu pandangannya bertangas di balik lensa hitam. Tak luput jua jaket istrinya, yang tergopoh dicopot, seolah lupa.

Diraihnya kembali telepon genggam dari sela saku, setelah terlebih dahulu menolak panggilan masuk bertulis ‘haji nyosor’.
“Bos, kalau benar-benar mau, kita main futsal sajalah dua kali, gimana?”
Angin di Kampung Cina berhembus tak menentu. Ada kabar kecewa yang ingin diutarakannya. Sama kecewanya Aku yang bercerita.

Saigon, 22 Oktober 2012

0 komentar:

Post a Comment