Sebuah radio Swiss
melaporkan bahwa beberapa dosen kini memiliki hak penuh untuk memerintahkan
mahasiswanya mengenakan seragam yang berbeda selama beberapa program kuliah.
Disana akan terdapat beberapa situasi dimana seluruh wajah mahasiswa harus
terlihat jelas agar sang
dosen dapat melihat mimik sang mahasiswa, jelas salah
satu dosen universitas tersebut, Pia Gรถtebo
Johannesson.
Para perwakilan
organisasi Muslim di universitas tersebut telah mengajukan keberatan mengenai
kebijakan baru pakaian tersebut. Muhammad El-Alti memberitahu berita Swedish
Radio bahwa kebijakan tersebut ditujukan kepada wanita Muslim yang mengenakan
burka.
"Para wanita
ini selalu mengikuti kelas dengan baik, jadi kebijakan pakaian tersebut
nampaknya tidak penting," jelas Muhammad.
Di beberapa negara di Eropa, burka memang dianggap kontroversi, bahkan
sebagian menganggapnya ekstrim, karena dituding sebagai bentuk baru penjajahan
Islam di Eropa.
Pada November 2006
dan 2009, Menteri Imigrasi Belanda, Rita Verdonk mengumumkan bahwa negaranya
akan menerapkan larangan penutupan wajah di tempat umum.
Meski larangan
tersebut menimbulkan perdebatan dalam masyarakat, namun akhirnya disahkan oleh
DPR Belanda.
Beberapa negara
Islam turut menentang kebijakan baru tersebut, menyebutnya sebagai penindasan
terhadap kebebasan beragama, berujung pada unjuk rasa global.
Di Swedia, kaum
Tatar Baltik merupakan komunitas Muslim pertama di Swedia, yang umumnya
merupakan pendatang dari negara-negara mayoritas Islam (Turki, Maroko, Irak).
Sedang kelompok Muslim terbesar kedua berasal dari Yugoslavia, Bosnia, dan
Kosovo.
Hingga saat ini,
beberapa Masjid telah didirikan di Swedia, termasuk di Malmo dan Stockholm.
Pada tahun 2000, diperkirakan populasi Muslim Swedia mencapai 300.000 -
350.000 dan terus berkembang dari tahun ke tahun. (al/sr/wp) www.suaramedia.com
0 komentar:
Post a Comment