Wednesday, 10 December 2014

Pertemuan Yang Berarti



Pagi yang terasa biasa, masih tanpa ayam berkokok seperti suasana di desa, enggan rasanya aku bangun untuk mandi dan bersiap ke kantor, rasa ngantuk masih melanda karena semenjak kembali dari masjid tadi malam aku tak bisa memejamkan mata sampai fajar tiba, dan baru bisa terlelap setelah sholat shubuh.

Melihat Pak I’ing dan yang lainnya yang sudah bersiap akhirnya aku paksakan juga untuk ke kamar mandi dan bergegas memakai seragam biru hitam, seragam resmi kebangaan CV. Daya Perkasa Mandiri.

Setelah meeting pagi yang dipimpin oleh pak Citin salah satu menejer di kantor ini dan admin membacakan daftar pasangan kru di lapangan aku segera meninggalkan kantor bersama yang lain menuju warung si mbok yang ada di pinggir terminal sana.

Satu porsi nasi pecel, sop atau nasi semur, bakwan, dan teh hangat yang harganya hanya Rp.2.000,- ini lah yang membuat warung si mbok tak pernah sepi dari pembeli, ditambah satu keistimewaan lagi tentunya, yaitu “boleh ngutang” he he.


Setelah menikmati makanan yang super murah itu aku bersama pak I’ing berjalan menuju Bus AKAP (Antar Kota Antar Propinsi) bertuliskan Semarang – Surabaya AC Tarif Biasa. Sudah hampir satu bulan rasanya aku dan pak I’ing tak pernah dipasangkan di lapangan oleh menejer seperti ini.

“Kemana ntar pak?” tanyaku ke pak I’ing yang baru saja membuang rok*knya karena sudah akan masuk ke dalam bus.
“Ke mana aja lah, pak Saiful punya planing mana nih?”
“Wah kok malah ganti Tanya balik to pak, kan aku udah 2 hari zero pak, udah blank nih pikiran, gak punya insting pak”
“Ya udah jalan saja pak…” jawab pak I’ing juga kelihatannya bingung.

Perjalanan yang lama karena sedikit macet tidak seperti biasanya membuat aku tertidur dan kini terbangun karena suara gaduh dari para penumpang yang lain, pak I’ing nampaknya tadi juga tertidur karena sekarang aku lihat wajahnya juga menunjukkan ekspresi kaget.

Ternyata kita sudah sampai di terminal kota Kudus dan kini terminal telah menjadi sebuah danau dengan genangan air kira-kira setengah meter, inilah yang membuat para penumpang menjadi gaduh karena kebingungan untuk turun.
“Pak I’ing.., gimana nih pak”
“Waduh…, pak I’ing nyerah deh kalau gini” jawabnya cengar-cengir
Dengan menyingsingkan celana dan baju bawahan sebagian penumpang yang bertujuan ke kota kretek ini terpaksa harus turun menghadapi banjir yang tidak terprediksi sebelumnya ini.
“Udah, kita ke Demak aja pak sekalian” ajak pak I’ing
“Oke…, aku ngikut sampeyan saja lah pak”

Setelah kurang lebih 10 menit bus berjalan dan melewati gapura raksasa bertuliskan “Selamat Datang di Kota Wali” akhirnya kita turun di kecamatan Karanganyar, kecamatan paling timur dari kabupaten Demak ini.
Dengan membaca Bismillahirrohmanirrohim aku awali ekspedisi di kota wali ini, secara bergantian aku dan pak I’ing mencoba intro untuk bisa masuk ke dapur konsumen namun sangat sulit mendapat kesempatan presentasi di sini.

Dengan tanpa istirahat selain sholat dzuhur tadi kita tak henti-hentinya keluar masuk rumah penduduk desa ini, semakin penasaran dan tertantang juga rasanya karena semenjak menginjakkan kaki di sini sampai matahari hampir tenggalam belum pernah sekalipun kita megang kompor. Huhf, penduduk sini ternyata kritis juga, fikirannya terlalu su’udzon dengan kedatangan kami.

Seperti permainan sepak bola, menit demi menit sangatlah berarti, bahkan kemenangan atau gol pun bisa dicetak di detik-detik akhir pertandingan. Seperti itu lah yang kini tengah aku alami bersama pak I’ing. Setelah hampir putus asa dan memutuskan untuk pulang akhirnya kita memasuki rumah terakhir yang akan kita masuki karena memang inilah rumah satu-satunya yang tersisa dari jalan keluar menuju jalan raya.

“Assalamu’alaikum pak buk, kami dari kantor layanan elpiji, mau ada survey di rumah ibu” begitu pak I’ing melakukan intro dengan logat khas Bantennya.
“Wa’alaikum salam, oh ya silakan pak” jawab bapak dan ibu pemilik rumah hampir bersamaan dengan sangat rumah.
Setelah kami dipersilakan masuk dan langsung menuju ke dapur pak I’ing langsung berpresentasi dengan kata-kata yang lugas dan gerak tubuh yang meyakinkan sehingga pemilik rumah sangat tetarik dan menikmati kata demi kata dan informasi-informasi penting yang berhubungan dengan gas elpiji, sampai akhirnya beliau pemilik rumah berminat menerima jasa servis dan pemasangan instalasi gas dari kami.
“Huhft, akhirnya dapet juga ya pak…, gak nyangka ya pak ternyata rezeki kita ada di pinggir jalan raya ini, padahal seharian kita muter-muter di dalam desa sana lho”
“Iya juga ya pak” jawab pak I’ing yang duduk di sebelahku di emperin masjid sambil membuka sepatu karena adzan magrib sudah sejak tadi terdengar. Tak ingin lagi aku meninggalkan kewajiban sholat seperti barusan yang melewatkan sholat Ashar.

Seusai sholat pak I’ing mengajakku mencari warung untuk mengisi perut yang sejak tadi siang kosong selain diisi segelas teh hangat di rumah yang terakhir kita masuki tadi.

Tanpa kami melambaikan tangan sebuah bus berhenti dan menawari kami naik ketika melihat kita berdiri di pinggir jalan setelah baru saja keluar dari warung. Bis bermuatan hampir penuh ini berjalan dengan kecepatan agak kencang. Tidak lama setelah kira-kira berjalan 5 kilometer tiba-tiba berhenti mendadak karena ada banjir setinggi hampir satu meter di depan sana. Sopir dan kernet meminta semua penumpang turun, mereka tidak berani melanjutkan perjalanan dengan alasan takut mesinnya kemasukan air dan rusak.
“Sakit nih sopir”, pikirku, ada-ada saja alasannya, padahal semua bis yang ada di depan tidak masalah dengan banjir, mereka tetap jalan.
Semua penumpang protes kepada sopir dan kernet yang tidak bertanggung jawab ini, sopir tetap bersikeras tidak mau jalan, akhirnya jalan-tengah pun diambil, semua penumpang sepakat mau turun dengan catatan ongkos dikembalikan 100 persen.

Huh, baru saja aku merasakan bahagia pulang dengan hasil sheling produk 1 set kini merasakan kemalangan lagi. Entah kenapa sejak turun dari bis tadi belum ada lagi satu pun bis yang lewat. Para penumpang yang terlantar kini berpencar bingung mencari tempat yang agak tinggi dan tempat berteduh karena mulai turun gerimis.
Masa bodoh dengan yang lain aku dan pak I’ing dengan sepatu kami jinjing di tangan berjalan ke arah timur mengikuti arah laju truk-truk besar yang berani melawan genangan banjir ini.

Setelah sejauh kira-kira 100 meter aku tiba di persimpangan jalan lingkar Kudus yang tempatnya agak tinggi sehingga banjir tidak menggenang sampai sini. Pak I’ing langsung bergerak menuju ke sebuah kios untuk membeli rokok. Tampak seorang anak kecil pedagang asongan duduk seorang diri bawah lampu lalu lintas di depan sana sehingga menarik perhatianku untuk menyusulnya.
“Pak I’ing tunggu aja di kios sana, ntar saya nyusul, mau kesana bentar pak, nyamperin anak yang jualan tuh” kataku sambil menunjuk anak jalanan itu.
“Huhft, nggak ada bis ke timur dik ya” kataku memulai berbasa-basi setelah ikut duduk di sampingnya di atas marka jalan.
“Iya mas, kalo jam segini emang jarang, kalau ntar agak maleman banyak, Bis Indonesia, Jakarta – Surabaya. Emang dari mana mas?”
“Oh tadi dari Demak dik mau balik ke Pati, trus karena banjir di sana tadi bisnya nggak berani jalan, takut mesinnya rusak. Padahal tadi siang sini tidak banjir kan”
“Tadi katanya tanggul sungai timur pasar Karangayar jebol mas, makanya airnya meluap sampai sini” jawab anak berusia kira-kira 11 tahun ini.
“Emmm, eh jualan apa dik?” tanyaku sambil menengok ke arah kardus yang di letakan di depannya yang ternyata beris beberapa pak dodol dan jenang.
“Ini mas jualan oleh-oleh, barang milik orang lah mas, itu milik pak haji yang punya kios di sana” sambil anak ini menunjuk ke sebuah kios jajanan dekat tempat pak I’ing membeli rok*k.
“Jualannya di mana saja dik”
“Ya di lampu-lampu merah kayak gini mas, kadang juga ikut naik di atas bis”
“O… dikasih upah berapa setiap bungkusnya?”
“Lima ratus rupiah mas, aku jualnya ambil untung lima ratus juga, jadi satu bungkusnya aku dapat seribu rupiah kalo laku” jawabnya dengan polos
“Emm…, bagus dong…, udah laku berapa dik tadi?”
“Sejak sore tadi baru laku dua mas”
Ya Allah…, hatiku terasa begitu iba mendengarnya, berarti dia baru mendapatkan uang dua ribu rupiah sejak tadi, dua ribu rupiah yang sangat tidak berarti untuk anak-anak lainnya pada umumnya, yang akan habis seketika hanya untuk bermain Playstation (PS) satu jam saja.
“Jam segini kok masih jualan dik, sampai jam berapa biasanya?”
“Ya kadang sampai jam 2 malam mas”
“Paginya kalau sekolah gimana? nggak ngantuk dik?”
“Walah mas…, jangankan mikir sekolah mas, untuk makan sehari-hari saja bingung kok mas”
Bagai tersayat sembilu rasanya hatiku mendengar jawaban anak ini, hatiku benar-benar menangis dibuatnya, mataku berkaca-kaca, hampir tak bisa aku berkata apa-apa, dadaku terasa sesak hingga hanya bisa terdiam untuk beberapa saat.
“Bapak ibu dimana dik? masih ada kan?”
“Ndak tahu mas, pada ilang semua”
“Lho ilang gimana to maksudnya?”
“Ya dulu bapak merantau di Jakarta tapi nggak pulang-pulang, terus ibu nyusul juga nggak ada pulang juga, dulunya aku tinggal di rumah sama mbak, tapi sekarang rumahnya udah dijual, mbak kabur sama suaminya”.
“Lha sekarang adik tinggal di mana? ikut siapa?”
“Ya nggak ikut siapa-siapa mas, aku tidurnya ya di masjid-masjid, ya di mana aja lah mas, kalau aku jualan dimana bis berhenti ya di situ aku tidur kalau malem”
“Nggak punya saudara lainnya dik? pak lek atau pak de mungkin?”
“Nggak ada mas, tetangga-tetangga ya banyak yang mau ngajak aku tinggal di rumahnya, tapi aku yang nggak mau mas, nggak mau menggantungkan orang lain” lebih enakan gini.
“Adik rumahnya dulu mana?”
“Prawoto mas, Pati ujung selatan sana”
“Dulu sempat sekolah sampai kelas berapa dik”
“Baru lulus SD kemaren mas, terus nggak ngelanjutin karena nggak ada yang bayarin, lagian aku juga nggak punya tempat tinggal to mas”
Anak ini terlihat begitu tegar menceritakan hidupnya yang mungkin aku sendiri belum tentu sanggup menjalaninya.
“Belum ada bis ya pak?” Tanya pak I’ing terdengar dari belakang
“Belum ada e pak, bisa nggak pulang nih pak”
“Eh itu ada mas” kata anak kecil tadi setengah teriak, setalah melihat sebuah bis dari arah barat.
“Oh ya makasih, mas pulang dulu ya dik, baik-baik ya dik” aku setengah terburu-buru berpamitan dengannya karena bis sudah berhenti tepat di samping aku dan pak I’ing.
Senyumnya yang haru mengantarkan aku naik ke atas bus, sekali lagi aku menoleh ke arahnya sebelum pintu bis tertutup, berat rasanya perpisahan dari pertemuan yang amat singkat tadi.

Aku duduk di bangku paling belakang yang kebetulan masih ada banyak bangku yang kosong. Pak I’ing langsung besandar dengan kaki bertumpu di sandaran bangku yang ada di depannya, melampiaskan kelelahannya karena seharian telah bergelut dengan konsumen dan banjir.

Fikiranku masih terus teringat akan anak tadi, ya Allah… betapa bodohnya aku, kenapa tidak terfikirkan sejak tadi untuk memberinya sedikit uang untuk sekedar jajan atau makan. Rasa bersalah dan penyesalan kini menyelimuti diriku, bahkan menanyakan namanya pun aku lupa, betapa rasanya aku ingin melompat dari bis dan menemuinya kembali, namun itu tidak mungkin.

Sungguh dalam hati kecil aku merasa menjadi pecundang di hadapan anak itu, aku yang sering mengeluh, malas, merasa hidupku tidak pernah mendapatkan kebahagiaan ternyata jauh lebih beruntung dibandingkan anak kecil tadi. Anak sekecil itu, yang semestinya dia menjalani masa kanak-kanaknya dengan belajar dan bermain, dimanja, dan selalu mendapat perhatian dan bimbingan dari orang-orang tersayang, kini dia harus berjuang hidup seorang diri, tanpa punya tempat peraduan untuk kembali.

Pertemuan ini telah memberiku kesadaran yang baru, kesadaran yang benar-benar nyata, bukan sekedar teori namun kenyatann yang pasti. Bahwa betapapun diri ini sengsara masih banyak di luar sana orang-orang yang jauh lebih sengsara, saat terkadang diri ini menangis hanya karna putus cinta, di luar sana banyak anak-anak yang besok tak tahu mau makan apa, akan tinggal di mana, dan masa depannya seperti apa. “Ya Allah, aku mohon pertemukanlah aku dengannya kembali” begitu do’aku dalam hati. Memang aku tak punya apa-apa untuk kuberi, tapi setidaknya aku ingin bisa memberinya motivasi agar dia tidak merasa sendiri.

Cerpen Karangan: Saiful Muhlis
Facebook: Saiful Muhlis

0 komentar:

Post a Comment