Pagi
itu begitu syahdu seiring dengan dendang burung berkicau di atas pohon. Semua
orang di kota pagi itu memang terlihat sangat antusias berlalu lalang sekedar
menyapa atau berjalan-jalan dengan kendaraan mereka masing-masing. jalan raya
tampak sedikit basah karena guyuran hujan semalam yang seperti membabi buta.
Itu akan sangat berbahaya bagi para pengendara mobil atau motor yang hendak
berlalu lalang jika tidak berhati-hati. Beberapa murid sekolah tampak tertib
menyeberang dari ujung jalan sembari diatur oleh petugas lalu lintas. Semua
tampak semakin sibuk dan bergejolak ketika jam menunjukkan pukul setengah
delapan kurang lima belas menit. Memang, pada jam-jam seperti itu, aktivitas
memang tampak ramai dan bergelora karena sudah biasanya pada jam segitu para
pelajar, mahasiswa maupun karyawan kantor bergegas untuk berangkat kerja. Hal
ini tentu sangat menguntungkan bagi para penyedia layanan jasa angkot ataupun
becak. Kedua jenis transportasi ini memang sangat digemari oleh masyarakat
karena selain harganya yang murah, angkot dan becak ini sudah menjadi teman
mereka sehari-hari. Yah, begitulah keadaan kota bandung diawal tahun seperti
ini apalagi ini adalah awal tahun 2000 dimana sebagian besar orang menyebutnya
dengan era millennium.
Halim
duduk dengan manis di atas becak yang ditumpanginya bersama sang kakak.
Disampingnya bersandar sebuah kursi roda yang sengaja dilipat agar mudah
digunakan. Kira-kira, kurang lebih sepuluh menit lagi ia akan sampai di depan
kampus tercintanya untuk menghadiri acara penganugerahan gelarnya sebagai
seorang sarjana hukum. Hasil dari pengorbanan dan belajarnya selama tiga tahun
silam. Dengan seragam toga wisuda yang serba hitam lengkap dengan topi khas
wisudawan, ia nampak gagah dan tampan. Yah, meski seluruh tubuhnya kini harus
bergantung pada kursi roda, setidaknya sang kakak bisa berpikiran seperti itu.
memang, sejak tiga tahun lalu tepatnya ketika ia mulai menjejakkan kakinya di
bangku perkuliahan, ia divonis menderita ataxia atau semacam penyakit yang
membuat seluruh tubuh penderitanya lumpuh total. Meski sang dokter telah
memperingatinya berkali-kali tentang kemungkinan terburuk yang akan diterimanya
di kemudian hari, pemuda bernama lengkap HALIM PERSADA PUTRA itu tetap keukeuh
ingin beraktivitas layaknya manusia normal. Vonis kematian yang telah lama
melekat dalam tubuhnya itu tak sedikit pun membuatnya gentar. Ia tak peduli
dengan penyakit terkutuk yang dideritanya itu, yang ia pedulikan hanyalah
keinginan tulus dari sang ibu yang ingin melihat ia sebagai seorang sarjana.
Ibu,
ketika mendengar nama itu disebut, hatinya kerap kali menangis mengingat
kondisi prihatin sang ibu kini. Lima tahun lalu, ibunya mengalami depresi berat
pasca kecelakaan tragis yang merenggut nyawa sang ayah. Ibunya tak terima akan
hal itu dan kini harus dirawat dengan intensif di sebuah rumah sakit kejiwaan
di kota itu. tak hanya itu, kesedihan dan juga kepedihan hatinya kian bergulir
tatkala mendapati sang ibunda mengalami glaukoma akut pasca kejadian itu. kini,
tinggallah ia dan kakaknya sebatang kara meniti hidup demi membebaskan sang ibu
dari depresinya itu.
Becak
kecil yang ditumpangi pemuda itu pun berhenti ketika di depannya terpampang
dengan jelas gerbang masuk kampusnya itu. sekilas, dilihatnya di halaman parkir
berjejer rapi puluhan sedan-sedan mewah yang didominasi oleh warna hitam. Dari
dalamnya, dilihatnya teman-temannya tengah bergaya bergembira bersama keluarga
masing-masing. ada yang sebagian dikenalnya namun tak begitu dekat.
Perlahan-lahan,
bang madi, sang kakak menurunkan kursi rodanya dari becak itu. tak lupa sang
supir becak itu juga membantu penumpangnya itu. lalu, dengan lembut, bang madi
dan supir becak membantu menurunkan pemuda itu dari dalam dan mendudukkannya di
atas kursi roda itu. keempat roda kecil kursi roda hitam itu terdengar
menggernyit ketika tubuh pemuda itu duduk di atasnya.
“kamu sudah siap? kamu
gugup?” Tanya bang madi begitu melihat sang adik sedikit pucat.
“tak apa-apa bang, abang
tak usah khawatir…” jawab pemuda itu lembut.
“jika kamu merasa sakit,
katakan saja!!!” ujar bang madi lagi sembari mendorong kursi roda itu ke dalam
lokasi acara. Halim hanya tersenyum mendengar penuturan kakaknya itu dan fokus
pada gelar yang akan diterimanya nanti.
Tiba-tiba
langkah keduanya terhenti ketika mereka dihampiri oleh sekelompok wisudawan
yang terlihat kurang senang dengan kehadiran kedua kakak beradik itu.
penampilan mereka terlihat sangat necis dan terlalu berlebihan untuk dikatakan
mereka berasal dari keluarga berkecukupan.
“eh, ada si gembel cacat
disini… ngapain sih, minta-minta?” hina salah seorang dari mereka sambil
tertawa penuh cemooh. Terlihat bang madi nampak menahan amarahnya mendengar
hinaan itu.
“loe tahu nggak sih… dia
nggak cacat, tapi penyakitan, udah mau mampus!!!” lanjut salah seorang lagi
lebih kejam dari sebelumnya. Halim hanya diam menanggapi lontaran kata-kata
kasar yang menerpanya itu sembari tak mengindahkan perkataan mereka. Merasa
diacuhkan, sekelompok calon sarjana angkuh itu lantas semakin menjadi-jadi
melontarkan hinaan mereka.
“loe tuh nggak pantas
disini… pantasnya di kolong jembatan sama gembel-gembel lainnya!!!” ujar mereka
lagi sembari semakin tertawa puas. Tak tahan mendengar hal itu, bang madi
lantas mendorong kursi roda halim segera pergi meninggalkan para calon sarjana
yang dianggapnya gila itu. di kejauhan, para calon sarjana sombong itu terlihat
mengumpat dan meledeki kedua kakak beradik itu.
Meninggalkan
ledekan dan hinaan yang diterimanya, halim dan kakaknya itu lantas bergegas
masuk ke ruangan wisuda dan duduk di barisan paling depan. Dengan penuh kasih
sayang, bang madi membantu adik semata wayangnya itu untuk duduk dengan nyaman
di kursi yang tersedia. Di kiri kanannya, dilihatnya para calon sarjana lain
tengah sibuk bercengkerama atau berfoto bahagia bersama keluarga mereka. Sementara
di sisi lain, ia harus melihat sang adik merana sendirian tanpa ditemani kedua
orangtuanya. Apalagi, ini merupakan saat-saat yang paling penting dalam
hidupnya yang mungkin takkan pernah terulang lagi. Sungguh, suatu pemandangan
yang membuat hatinya seolah tersentak dan menyadari akan penderitaan yang
dialaminya bersama sang adik.
Dua
puluh menit kemudian, acara pun dimulai. Acara dibuka oleh pembacaan kitab suci
alqur’an dan terjemahannya. Semua larut dalam hening ketika sang pembaca
membacakan lantunan indah ayat-ayat tuhan itu. tak terkecuali halim dan
kakaknya, bang madi. Sepintas dilihatnya, sang kakak meneteskan airmata
mendengar ayat-ayat suci itu terharu akan keindahan suara sang pembaca firman
tuhan itu.
Tiba-tiba,
sekucur darah segar nampak mengalir deras dari hidungnya yang kecil. Pemuda itu
lantas segera mengambil selembar tissue yang ada di saku seragamnya itu dan
mengelapkannya pelan-pelan ke hidungnya itu. sudah lama sejak terakhir kali ia
mimisan, darah segar itu tak pernah muncul. Sejenak ia sadar, tubuhnya tidak
akan bertahan lama lagi. Dengan tubuh lemah seperti itu, artinya ia harus
segera mewujudkan keinginan sang ibu menjadi sarjana hukum sejati dan
membuktikan pada dunia bahwa penyakit yang dideritanya takkan mampu mengalahkan
semangatnya untuk tetap berprestasi. Oleh karena itu juga, pemuda itu
memutuskan untuk menyembunyikan mimisan yang baru saja dialaminya dari sang
kakak agar ia tak khawatir dan cemas akan kondisinya yang kian memburuk.
Satu
per satu para wisudawan berjalan menaiki panggung untuk menerima piagam dan
gelar yang mereka dapatkan masing-masing. terlihat wajah mereka nampak
sumringah dan berbinar-binar ketika para professor mereka mengalungkan piagam
kebesaran itu di leher mereka masing-masing. dengan bangga, mereka pamerkan
piagam sarjana yang baru mereka dapatkan itu dan kembali duduk ke posisi
masing-masing. melihat ekspresi wajah mereka itu, bang madi menjadi semakin tak
sabar untuk melihat sang adik berada di atas panggung sana dan menerima
gelarnya sebagai seorang sarjana. Pasti rasa bangga sangat membuncah dalam
dadanya.
Akhirnya
hal itu pun terwujud. Nama sang adik dipanggil dengan jelas dan lantang oleh
panitia wisuda hari itu. dengan rasa bangga dan penuh haru, bang madi membantu
sang adik bangkit dari kursi rodanya dan memapahnya hingga ke panggung. Rona
kebahagiaan nampak memancar di mata keduanya yang sudah tak sabar lagi berada
di atas panggung itu dan menerima gelar. Dan lebih mengejutkan lagi, nama halim
ternyata termasuk ke dalam salah satu nama mahasiswa atau wisudawan yang
memperoleh indeks prestasi tertinggi di kampus itu. rasa bangga itu semakin
berlipat-lipat dihati bang madi melihat prestasi yang diperoleh sang adik.
Maka
setelah menerima piagam, dengan tergopoh-gopoh, halim mencoba berdiri layaknya
wisudawan lain untuk bersalaman dengan para professor yang telah membuatnya
menjadi sarjana hukum itu. dengan linangan air mata haru penuh kebahagiaan,
pemuda itu diminta memberikan sepatah kata untuk memberi motivasi bagi
wisudawan lain. Dengan bangga, sang kakak membantu pemuda itu untuk berdiri dan
berbicara.
“dengan mengucap
bismillahhirrahmanirrahim… saya disini hanya bisa mengucapkan terimakasih
kepada tuhan yang maha esa karena hanya dengan rahmat dan karunia-Nya saya bisa
berdiri disini dan berbicara meski dengan kondisi saya yang sedikit kurang baik
untuk sama-sama memberi sedikit motivasi untuk teman-teman semua…
Teman-teman,
dalam hidup ini, terkadang kita dihadapkan pada suatu keadaan yang tak kita
inginkan… terkadang, kita merasa bahwa tuhan begitu tega terhadap kita tapi
sesungguhnya begitulah cara tuhan menunjukkan kasih-Nya untuk kita… mungkin
saya memang tak seberuntung teman-teman, tapi teman-teman harus tau bahwa saya
punya kekuatan… kekuatan untuk terus tegar dalam menjalani hidup saya… dan
untuk teman-teman ketahui, sumber kekuatan saya adalah ibu saya, ibu yang telah
membuat saya hidup di dunia ini dan bisa menghirup udara segar meski hanya
sesaat…
Umur
saya memang sudah tak lama lagi, tapi cinta dan kasih saya terhadapnya akan
terus abadi… ibulah motivasi saya yang paling berharga!!!” ujar pemuda itu
menangis haru.
Melihat
pemuda itu menangis dengan harunya, seluruh orang yang hadir di ruangan itu terdiam
sejenak dan merenung. Tak terkecuali bang madi yang sedari tadi berdiri di
samping sang adik. Sejurus kemudian, terdengar tepuk tangan riuh dari para
wisudawan yang hadir menanggapi kata-kata pemuda itu. Sekilas, dilihatnya di
antara kerumunan wisudawan yang hadir di ruangan itu duduk terharu sekelompok
wisudawan yang tadi menghina mereka. Mereka nampak terenyuh dan terdiam bisu.
Dengan penuh linangan airmata, bang madi tampak menguatkan sang adik dan
semakin bangga akan sikap sang adik tercinta. Tak lama kemudian, keduanya pun
lantas turun dengan rasa bangga dibantu beberapa orang dosen.
Belum
lama duduk di kursinya, handphone bang madi berbunyi sedikit keras. Dilihatnya
ponsel berwarna abu-abu itu dan mengangkatnya. Ternyata itu panggilan dari rumah
sakit. Lama berbicara dengan pihak rumah sakit, nampaknya membuat raut wajah di
wajah bang madi berubah drastis. Lantas dengan wajah pucat pasi, bang madi
mengajak halim keluar dari ruangan itu menuju rumah sakit. Pemuda itu nampak
bingung dengan sikap sang kakak.
Lima
belas menit kemudian keduanya sampai di rumah sakit. Keadaan nampak panik
karena beberapa orang dokter nampak bergegas menuju kamar rawat ibu mereka.
Dengan penuh kecemasan, bang madi mendorong kursi roda halim segera menuju
dokter yang berada di kamar sang ibunda. Di dalam kamar itu, nampak beberapa
suster tengah berusaha menenangkan sang ibu yang terus saja mengamuk tak
karuan. Segala yang ada didekatnya, dihancurkan dan dibanting tak bersisa.
Keadaan benar-benar kacau dan berantakan. Melihat hal itu, kedua kakak beradik
itu menangis dengan sendunya dan berusaha mendekati sang ibu.
“ibu… ini halim bu, ibu
tenang ya… jangan marah lagi!!!” ujar halim begitu mendekati ibunya yang mulai
tenang. Dengan lembut, diusapnya rambut sang ibu yang berantakan itu dan
menatapnya dalam. sang ibu membalas tatapan itu dengan penuh nelangsa sembari
mengelus-elus pelan pipi sang anak yang terlihat sangat pucat. Keduanya pun
larut dalam keharuan yang membuncah. Bang madi juga ikut terhanyut dalam tangis
kesedihan sang adik dan ibunya itu.
“kondisi kejiwaan ibu asih
sudah sangat parah… butuh waktu yang lama untuk menyembuhkannya, ditambah lagi
glaukomanya yang tak kunjung membaik!!!” papar dokter ketika melihat kondisi
pasiennya itu.
“lalu kita harus bagaimana
dokter?” Tanya bang madi lagi dengan sedih.
“untuk penyakit
glaukomanya, kita butuh donor mata sesegera mungkin untuk mencegah hal-hal yang
lebih fatal… yah, semoga saja keajaiban tuhan benar-benar terjadi untuk bu
asih!!!” lanjut dokter lagi sembari pamit hendak memeriksa pasien lain. Halim
yang mendengar pembicaraan sang kakak dengan dokter itu pun, tertegun sesaat
dan menangis mengucurkan airmata. Sesaat kemudian, dilihatnya wajah sang ibu
yang nampak menderita dengan kondisinya seperti itu.
Malam
pun datang. Kedua kakak beradik itu sudah berada di rumah sejak sore tadi
sepulang dari rumah sakit. Keduanya nampak lelah dan letih seharian tadi dan
terkapar lesu di atas kursi tamu. Saking lelahnya, bahkan seragam wisuda yang
tadi dipakai halim masih melekat di tubuhnya yang mulai rapuh itu. wajahnya
tampak semakin pucat jelas menandakan bahwa ia berusaha menahan sakit yang
dirasakannya.
“bang,
aku ingin menulis sesuatu…” ujar halim kemudian seraya meraih kursi roda yang
ada di sebelahnya. Segera, sang kakak membantunya untuk duduk di kursi roda
itu. kemudian, tak lama ia bangkit mengambil secarik kertas di lemari dan
kembali ke tempat sang adik.
Halim
menerima kertas itu dan segera menulisinya dengan kalimat-kalimat panjang. Bang
madi nampak heran melihat tingkah laku adiknya itu yang tak seperti biasanya.
“sebuah
surat? untuk siapa?” Tanya bang madi sembari duduk di samping sang adik. Halim
hanya tersenyum menjawab pertanyaan sang kakak dan kembali melanjutkan
tulisannya.
“bang,
tolong nanti abang kasih foto ini sama ibu ya… sama surat ini juga…” ujar
pemuda itu lagi sembari merogoh saku seragam wisudanya itu dan mengeluarkan
selembar foto ukuran kecil. Foto itu ternyata adalah foto dirinya ketika
memakai seragam wisuda yang tadi sempat diambilnya di rumah sakit. Pemuda itu
lantas menyodorkan kedua benda itu kepada sang kakak dan sang kakak menerimanya
dengan sedikit keraguan.
“kenapa
bukan kamu sendiri yang memberikannya?” Tanya bang madi lagi sembari menyimpan
kedua benda itu kedalam tasnya yang tergantung di dinding.
“karena
nafasku semakin sempit di dunia ini bang… ini adalah persembahan terakhirku
untuk ibu, karena aku tahu ibu sangat ingin melihatku memakai seragam wisuda
ini… aku sayang ibu bang!!!” jawab sang adik dengan mata berkaca-kaca.
Mendengar hal itu, bang madi lantas spontan memeluk tubuh sang adik dengan
erat. Wajahnya menangis meratapi ucapan sang adik yang terlihat sudah tak
berdaya lagi itu. lantas keduanya pun menghabiskan malam itu dengan keharuan
dan kesedihan.
Mendung nampak sedikit
memayungi pagi itu. sinar mentari tak lagi secerah biasanya karena tertutup
mendung hitam. Gerimis perlahan turun membasahi permukaan jalan yang tampak
licin itu.
Perlahan,
bang madi membuka matanya pelan-pelan. Dilihatnya ponselnya yang tergeletak di
meja di samping tempat tidurnya itu. tertera di ponselnya itu beberapa missed
call yang ternyata dari rumah sakit. Tak lama, sebuah pesan singkat datang dan
masuk dalam inbox ponselnya itu. alangkah terkejutnya pemuda itu ketika
mendapat pesan dari rumah sakit itu dan langsung menghambur dari kasurnya yang
cukup nyaman itu. bagaimana tidak, pesan itu menyatakan bahwa sang ibu saat ini
sedang kritis dan tak sadarkan diri karena semalam berusaha bunuh diri dengan
sebilah gunting di tangannya. Tanpa ragu lagi, bang madi membangunkan halim
yang masih terlelap tidur itu.
“ayo
halim… kita harus ke rumah sakit, ibu kritis!!!” ujar bang madi panik sembari
membereskan tempat tidurnya dengan tergesa-gesa. Halim yang masih berusaha
membuka mata itu nampak sedikit berbeda dan aneh sekali. Mendadak sekujur
tubuhnya nampak pucat sekali dan tak bisa bergerak dengan seragam wisuda yang
masih melekat di tubuhnya. Bang madip un bingung melihat kondisi sang adik dan
akhirnya memutuskan untuk menitipkan sang adik kepada mang ujang, tetangga
sebelah kepercayaannya.
Di
rumah sakit, bang madi nampak gelisah menunggu dokter keluar dari ruang
operasi. Syukurlah di rumah sakit itu terdapat sebuah ruangan operasi yang
berfungsi untuk menangani kejadian seperti ini. Lama sekali dokter keluar dari
ruangan itu sementara detak jantung pemuda itu sudah tak karuan lagi. Beberapa
saat kemudian, ponselnya berbunyi dan ia segera menjawabnya. Panggilan itu
ternyata dari mang ujang yang memberitahukan sesuatu telah terjadi pada halim.
Pemuda itu nampak shock dan sangat terpukul atas hal itu hingga ia menangis
sejadi-jadinya di rumah sakit itu. tak dipedulikannya seberapa banyak orang
memandang aneh pada dirinya yang terlihat sangat tersiksa itu. tak berapa lama,
sang dokter keluar dari ruangan itu dan menghampiri pemuda itu memberitahu
bahwa kondisi sang ibu telah membaik. Pemuda itu sedikit terhibur akan
keajaiban itu dan lantas ia menangis sedih bercampur haru.
Waktu
pun terus bergulir sejak kejadian itu hingga tak terasa 10 tahun pun berlalu.
Keadaan kota bandung masih sama seperti sepuluh tahun silam ketika bang madi
masih bisa melihat kehadiran sang adik di dunia ini. Sungguh, peristiwa pagi
itu tak akan pernah ia lupakan sepanjang hidupnya. Baginya, pagi itu adalah
pagi tahun 2000 yang kelabu. Pagi di era millennium yang kelabu.
Bersama
sang ibu yang kini telah dinyatakan sembuh dan keluar dari rumah sakit jiwa
itu, bang madi mengunjungi tempat peristirahatan terakhir sang adik. Bu asih
nampak begitu haru menahan tangisnya tatkala menatap nisan sang anak yang telah
sepuluh tahun pergi meninggalkannya itu. dengan tertatih, diambilnya piagam
wisuda terakhir yang ditinggalkan anaknya itu dan meletakkannya di sisi
makamnya itu.
Tak
lama, bang madi menyerahkan sebuah surat yang dulu sempat ditulis halim itu
pada sang ibu dan menyuruhnya membacanya. Dengan penuh linangan airmata haru,
bu asih membuka surat kecil itu dan membaca kata per kata yang ada dalam surat
itu. di akhir surat, disadarinya tulisan tangan sang anak terlihat sudah goyah
dan rapuh. Tampaknya halim sengaja memaksakan diri menulis surat itu untuk
ibunya dengan segenap kekuatannya yang terakhir. Begini isi surat itu.
teruntuk ibuku tersayang…
Ibu, kau adalah segalanya
untukku… tiada kasih sayang yang patut kusandingkan dengan kasih sayangmu
selama ini padaku…
Ibu… aku tahu, kau adalah
wanita yang tegar yang tak mudah lemah oleh keadaan apapun…
Namun, aku juga tahu bahwa
sebenarnya hatimu itu menangis dengan sedihnya…
Ibu… aku menulis surat
kecil ini sambil mengenang kebersamaan kita yang begitu indah…
Saking indahnya hingga aku
tak bisa berkata apa-apa untuk menggambarkannya…
Hingga akhirnya nestapa
itu kian datang bertubi-tubi dalam kehidupan kita…
Merusak dan menghancurkan
kebahagiaan yang pernah tercipta…
Aku tahu bu, nafasku di
dunia ini sudah tak akan sesegar dahulu lagi…
Aku tahu bu, betapa setiap
detik kematian akan bisa menjemputku…
Oleh karena itu,
kuputuskan untuk mendonorkan kedua mataku ini untuk dirimu bu, orang yang
paling kusayangi sebagai kado terakhir untukmu…
Karena aku sadar bu, ibu
harus tetap hidup dan tersenyum di dunia ini…
Biarlah, aku yang sudah
rapuh ini melihat senyuman itu di syurga suatu saat nanti bu…
Karena dengan cara itu,
aku bisa berbakti padamu…
Dengan kedua bola mataku
yang kini ada di tubuhmu, aku bisa terus bersamamu…
Lantas bu asih pun mencium
hangat nisan sang anak dengan penuh kasih sayang…
Cerpen Karangan: Randie
Facebook: Ndie Ilham
0 komentar:
Post a Comment