Wednesday, 10 December 2014

Kado Terakhir Untuk Ibu



Pagi itu begitu syahdu seiring dengan dendang burung berkicau di atas pohon. Semua orang di kota pagi itu memang terlihat sangat antusias berlalu lalang sekedar menyapa atau berjalan-jalan dengan kendaraan mereka masing-masing. jalan raya tampak sedikit basah karena guyuran hujan semalam yang seperti membabi buta. Itu akan sangat berbahaya bagi para pengendara mobil atau motor yang hendak berlalu lalang jika tidak berhati-hati. Beberapa murid sekolah tampak tertib menyeberang dari ujung jalan sembari diatur oleh petugas lalu lintas. Semua tampak semakin sibuk dan bergejolak ketika jam menunjukkan pukul setengah delapan kurang lima belas menit. Memang, pada jam-jam seperti itu, aktivitas memang tampak ramai dan bergelora karena sudah biasanya pada jam segitu para pelajar, mahasiswa maupun karyawan kantor bergegas untuk berangkat kerja. Hal ini tentu sangat menguntungkan bagi para penyedia layanan jasa angkot ataupun becak. Kedua jenis transportasi ini memang sangat digemari oleh masyarakat karena selain harganya yang murah, angkot dan becak ini sudah menjadi teman mereka sehari-hari. Yah, begitulah keadaan kota bandung diawal tahun seperti ini apalagi ini adalah awal tahun 2000 dimana sebagian besar orang menyebutnya dengan era millennium.


Halim duduk dengan manis di atas becak yang ditumpanginya bersama sang kakak. Disampingnya bersandar sebuah kursi roda yang sengaja dilipat agar mudah digunakan. Kira-kira, kurang lebih sepuluh menit lagi ia akan sampai di depan kampus tercintanya untuk menghadiri acara penganugerahan gelarnya sebagai seorang sarjana hukum. Hasil dari pengorbanan dan belajarnya selama tiga tahun silam. Dengan seragam toga wisuda yang serba hitam lengkap dengan topi khas wisudawan, ia nampak gagah dan tampan. Yah, meski seluruh tubuhnya kini harus bergantung pada kursi roda, setidaknya sang kakak bisa berpikiran seperti itu. memang, sejak tiga tahun lalu tepatnya ketika ia mulai menjejakkan kakinya di bangku perkuliahan, ia divonis menderita ataxia atau semacam penyakit yang membuat seluruh tubuh penderitanya lumpuh total. Meski sang dokter telah memperingatinya berkali-kali tentang kemungkinan terburuk yang akan diterimanya di kemudian hari, pemuda bernama lengkap HALIM PERSADA PUTRA itu tetap keukeuh ingin beraktivitas layaknya manusia normal. Vonis kematian yang telah lama melekat dalam tubuhnya itu tak sedikit pun membuatnya gentar. Ia tak peduli dengan penyakit terkutuk yang dideritanya itu, yang ia pedulikan hanyalah keinginan tulus dari sang ibu yang ingin melihat ia sebagai seorang sarjana.

Ibu, ketika mendengar nama itu disebut, hatinya kerap kali menangis mengingat kondisi prihatin sang ibu kini. Lima tahun lalu, ibunya mengalami depresi berat pasca kecelakaan tragis yang merenggut nyawa sang ayah. Ibunya tak terima akan hal itu dan kini harus dirawat dengan intensif di sebuah rumah sakit kejiwaan di kota itu. tak hanya itu, kesedihan dan juga kepedihan hatinya kian bergulir tatkala mendapati sang ibunda mengalami glaukoma akut pasca kejadian itu. kini, tinggallah ia dan kakaknya sebatang kara meniti hidup demi membebaskan sang ibu dari depresinya itu.
           
Becak kecil yang ditumpangi pemuda itu pun berhenti ketika di depannya terpampang dengan jelas gerbang masuk kampusnya itu. sekilas, dilihatnya di halaman parkir berjejer rapi puluhan sedan-sedan mewah yang didominasi oleh warna hitam. Dari dalamnya, dilihatnya teman-temannya tengah bergaya bergembira bersama keluarga masing-masing. ada yang sebagian dikenalnya namun tak begitu dekat.

Perlahan-lahan, bang madi, sang kakak menurunkan kursi rodanya dari becak itu. tak lupa sang supir becak itu juga membantu penumpangnya itu. lalu, dengan lembut, bang madi dan supir becak membantu menurunkan pemuda itu dari dalam dan mendudukkannya di atas kursi roda itu. keempat roda kecil kursi roda hitam itu terdengar menggernyit ketika tubuh pemuda itu duduk di atasnya.

“kamu sudah siap? kamu gugup?” Tanya bang madi begitu melihat sang adik sedikit pucat.
“tak apa-apa bang, abang tak usah khawatir…” jawab pemuda itu lembut.
“jika kamu merasa sakit, katakan saja!!!” ujar bang madi lagi sembari mendorong kursi roda itu ke dalam lokasi acara. Halim hanya tersenyum mendengar penuturan kakaknya itu dan fokus pada gelar yang akan diterimanya nanti.

Tiba-tiba langkah keduanya terhenti ketika mereka dihampiri oleh sekelompok wisudawan yang terlihat kurang senang dengan kehadiran kedua kakak beradik itu. penampilan mereka terlihat sangat necis dan terlalu berlebihan untuk dikatakan mereka berasal dari keluarga berkecukupan.
“eh, ada si gembel cacat disini… ngapain sih, minta-minta?” hina salah seorang dari mereka sambil tertawa penuh cemooh. Terlihat bang madi nampak menahan amarahnya mendengar hinaan itu.
“loe tahu nggak sih… dia nggak cacat, tapi penyakitan, udah mau mampus!!!” lanjut salah seorang lagi lebih kejam dari sebelumnya. Halim hanya diam menanggapi lontaran kata-kata kasar yang menerpanya itu sembari tak mengindahkan perkataan mereka. Merasa diacuhkan, sekelompok calon sarjana angkuh itu lantas semakin menjadi-jadi melontarkan hinaan mereka.
“loe tuh nggak pantas disini… pantasnya di kolong jembatan sama gembel-gembel lainnya!!!” ujar mereka lagi sembari semakin tertawa puas. Tak tahan mendengar hal itu, bang madi lantas mendorong kursi roda halim segera pergi meninggalkan para calon sarjana yang dianggapnya gila itu. di kejauhan, para calon sarjana sombong itu terlihat mengumpat dan meledeki kedua kakak beradik itu.

Meninggalkan ledekan dan hinaan yang diterimanya, halim dan kakaknya itu lantas bergegas masuk ke ruangan wisuda dan duduk di barisan paling depan. Dengan penuh kasih sayang, bang madi membantu adik semata wayangnya itu untuk duduk dengan nyaman di kursi yang tersedia. Di kiri kanannya, dilihatnya para calon sarjana lain tengah sibuk bercengkerama atau berfoto bahagia bersama keluarga mereka. Sementara di sisi lain, ia harus melihat sang adik merana sendirian tanpa ditemani kedua orangtuanya. Apalagi, ini merupakan saat-saat yang paling penting dalam hidupnya yang mungkin takkan pernah terulang lagi. Sungguh, suatu pemandangan yang membuat hatinya seolah tersentak dan menyadari akan penderitaan yang dialaminya bersama sang adik.

Dua puluh menit kemudian, acara pun dimulai. Acara dibuka oleh pembacaan kitab suci alqur’an dan terjemahannya. Semua larut dalam hening ketika sang pembaca membacakan lantunan indah ayat-ayat tuhan itu. tak terkecuali halim dan kakaknya, bang madi. Sepintas dilihatnya, sang kakak meneteskan airmata mendengar ayat-ayat suci itu terharu akan keindahan suara sang pembaca firman tuhan itu.

Tiba-tiba, sekucur darah segar nampak mengalir deras dari hidungnya yang kecil. Pemuda itu lantas segera mengambil selembar tissue yang ada di saku seragamnya itu dan mengelapkannya pelan-pelan ke hidungnya itu. sudah lama sejak terakhir kali ia mimisan, darah segar itu tak pernah muncul. Sejenak ia sadar, tubuhnya tidak akan bertahan lama lagi. Dengan tubuh lemah seperti itu, artinya ia harus segera mewujudkan keinginan sang ibu menjadi sarjana hukum sejati dan membuktikan pada dunia bahwa penyakit yang dideritanya takkan mampu mengalahkan semangatnya untuk tetap berprestasi. Oleh karena itu juga, pemuda itu memutuskan untuk menyembunyikan mimisan yang baru saja dialaminya dari sang kakak agar ia tak khawatir dan cemas akan kondisinya yang kian memburuk.

Satu per satu para wisudawan berjalan menaiki panggung untuk menerima piagam dan gelar yang mereka dapatkan masing-masing. terlihat wajah mereka nampak sumringah dan berbinar-binar ketika para professor mereka mengalungkan piagam kebesaran itu di leher mereka masing-masing. dengan bangga, mereka pamerkan piagam sarjana yang baru mereka dapatkan itu dan kembali duduk ke posisi masing-masing. melihat ekspresi wajah mereka itu, bang madi menjadi semakin tak sabar untuk melihat sang adik berada di atas panggung sana dan menerima gelarnya sebagai seorang sarjana. Pasti rasa bangga sangat membuncah dalam dadanya.

Akhirnya hal itu pun terwujud. Nama sang adik dipanggil dengan jelas dan lantang oleh panitia wisuda hari itu. dengan rasa bangga dan penuh haru, bang madi membantu sang adik bangkit dari kursi rodanya dan memapahnya hingga ke panggung. Rona kebahagiaan nampak memancar di mata keduanya yang sudah tak sabar lagi berada di atas panggung itu dan menerima gelar. Dan lebih mengejutkan lagi, nama halim ternyata termasuk ke dalam salah satu nama mahasiswa atau wisudawan yang memperoleh indeks prestasi tertinggi di kampus itu. rasa bangga itu semakin berlipat-lipat dihati bang madi melihat prestasi yang diperoleh sang adik.

Maka setelah menerima piagam, dengan tergopoh-gopoh, halim mencoba berdiri layaknya wisudawan lain untuk bersalaman dengan para professor yang telah membuatnya menjadi sarjana hukum itu. dengan linangan air mata haru penuh kebahagiaan, pemuda itu diminta memberikan sepatah kata untuk memberi motivasi bagi wisudawan lain. Dengan bangga, sang kakak membantu pemuda itu untuk berdiri dan berbicara.
“dengan mengucap bismillahhirrahmanirrahim… saya disini hanya bisa mengucapkan terimakasih kepada tuhan yang maha esa karena hanya dengan rahmat dan karunia-Nya saya bisa berdiri disini dan berbicara meski dengan kondisi saya yang sedikit kurang baik untuk sama-sama memberi sedikit motivasi untuk teman-teman semua…
Teman-teman, dalam hidup ini, terkadang kita dihadapkan pada suatu keadaan yang tak kita inginkan… terkadang, kita merasa bahwa tuhan begitu tega terhadap kita tapi sesungguhnya begitulah cara tuhan menunjukkan kasih-Nya untuk kita… mungkin saya memang tak seberuntung teman-teman, tapi teman-teman harus tau bahwa saya punya kekuatan… kekuatan untuk terus tegar dalam menjalani hidup saya… dan untuk teman-teman ketahui, sumber kekuatan saya adalah ibu saya, ibu yang telah membuat saya hidup di dunia ini dan bisa menghirup udara segar meski hanya sesaat…
Umur saya memang sudah tak lama lagi, tapi cinta dan kasih saya terhadapnya akan terus abadi… ibulah motivasi saya yang paling berharga!!!” ujar pemuda itu menangis haru.

Melihat pemuda itu menangis dengan harunya, seluruh orang yang hadir di ruangan itu terdiam sejenak dan merenung. Tak terkecuali bang madi yang sedari tadi berdiri di samping sang adik. Sejurus kemudian, terdengar tepuk tangan riuh dari para wisudawan yang hadir menanggapi kata-kata pemuda itu. Sekilas, dilihatnya di antara kerumunan wisudawan yang hadir di ruangan itu duduk terharu sekelompok wisudawan yang tadi menghina mereka. Mereka nampak terenyuh dan terdiam bisu. Dengan penuh linangan airmata, bang madi tampak menguatkan sang adik dan semakin bangga akan sikap sang adik tercinta. Tak lama kemudian, keduanya pun lantas turun dengan rasa bangga dibantu beberapa orang dosen.

Belum lama duduk di kursinya, handphone bang madi berbunyi sedikit keras. Dilihatnya ponsel berwarna abu-abu itu dan mengangkatnya. Ternyata itu panggilan dari rumah sakit. Lama berbicara dengan pihak rumah sakit, nampaknya membuat raut wajah di wajah bang madi berubah drastis. Lantas dengan wajah pucat pasi, bang madi mengajak halim keluar dari ruangan itu menuju rumah sakit. Pemuda itu nampak bingung dengan sikap sang kakak.

Lima belas menit kemudian keduanya sampai di rumah sakit. Keadaan nampak panik karena beberapa orang dokter nampak bergegas menuju kamar rawat ibu mereka. Dengan penuh kecemasan, bang madi mendorong kursi roda halim segera menuju dokter yang berada di kamar sang ibunda. Di dalam kamar itu, nampak beberapa suster tengah berusaha menenangkan sang ibu yang terus saja mengamuk tak karuan. Segala yang ada didekatnya, dihancurkan dan dibanting tak bersisa. Keadaan benar-benar kacau dan berantakan. Melihat hal itu, kedua kakak beradik itu menangis dengan sendunya dan berusaha mendekati sang ibu.
“ibu… ini halim bu, ibu tenang ya… jangan marah lagi!!!” ujar halim begitu mendekati ibunya yang mulai tenang. Dengan lembut, diusapnya rambut sang ibu yang berantakan itu dan menatapnya dalam. sang ibu membalas tatapan itu dengan penuh nelangsa sembari mengelus-elus pelan pipi sang anak yang terlihat sangat pucat. Keduanya pun larut dalam keharuan yang membuncah. Bang madi juga ikut terhanyut dalam tangis kesedihan sang adik dan ibunya itu.
“kondisi kejiwaan ibu asih sudah sangat parah… butuh waktu yang lama untuk menyembuhkannya, ditambah lagi glaukomanya yang tak kunjung membaik!!!” papar dokter ketika melihat kondisi pasiennya itu.
“lalu kita harus bagaimana dokter?” Tanya bang madi lagi dengan sedih.
“untuk penyakit glaukomanya, kita butuh donor mata sesegera mungkin untuk mencegah hal-hal yang lebih fatal… yah, semoga saja keajaiban tuhan benar-benar terjadi untuk bu asih!!!” lanjut dokter lagi sembari pamit hendak memeriksa pasien lain. Halim yang mendengar pembicaraan sang kakak dengan dokter itu pun, tertegun sesaat dan menangis mengucurkan airmata. Sesaat kemudian, dilihatnya wajah sang ibu yang nampak menderita dengan kondisinya seperti itu.

Malam pun datang. Kedua kakak beradik itu sudah berada di rumah sejak sore tadi sepulang dari rumah sakit. Keduanya nampak lelah dan letih seharian tadi dan terkapar lesu di atas kursi tamu. Saking lelahnya, bahkan seragam wisuda yang tadi dipakai halim masih melekat di tubuhnya yang mulai rapuh itu. wajahnya tampak semakin pucat jelas menandakan bahwa ia berusaha menahan sakit yang dirasakannya.
“bang, aku ingin menulis sesuatu…” ujar halim kemudian seraya meraih kursi roda yang ada di sebelahnya. Segera, sang kakak membantunya untuk duduk di kursi roda itu. kemudian, tak lama ia bangkit mengambil secarik kertas di lemari dan kembali ke tempat sang adik.
Halim menerima kertas itu dan segera menulisinya dengan kalimat-kalimat panjang. Bang madi nampak heran melihat tingkah laku adiknya itu yang tak seperti biasanya.

“sebuah surat? untuk siapa?” Tanya bang madi sembari duduk di samping sang adik. Halim hanya tersenyum menjawab pertanyaan sang kakak dan kembali melanjutkan tulisannya.
“bang, tolong nanti abang kasih foto ini sama ibu ya… sama surat ini juga…” ujar pemuda itu lagi sembari merogoh saku seragam wisudanya itu dan mengeluarkan selembar foto ukuran kecil. Foto itu ternyata adalah foto dirinya ketika memakai seragam wisuda yang tadi sempat diambilnya di rumah sakit. Pemuda itu lantas menyodorkan kedua benda itu kepada sang kakak dan sang kakak menerimanya dengan sedikit keraguan.
“kenapa bukan kamu sendiri yang memberikannya?” Tanya bang madi lagi sembari menyimpan kedua benda itu kedalam tasnya yang tergantung di dinding.
“karena nafasku semakin sempit di dunia ini bang… ini adalah persembahan terakhirku untuk ibu, karena aku tahu ibu sangat ingin melihatku memakai seragam wisuda ini… aku sayang ibu bang!!!” jawab sang adik dengan mata berkaca-kaca. Mendengar hal itu, bang madi lantas spontan memeluk tubuh sang adik dengan erat. Wajahnya menangis meratapi ucapan sang adik yang terlihat sudah tak berdaya lagi itu. lantas keduanya pun menghabiskan malam itu dengan keharuan dan kesedihan.

Mendung nampak sedikit memayungi pagi itu. sinar mentari tak lagi secerah biasanya karena tertutup mendung hitam. Gerimis perlahan turun membasahi permukaan jalan yang tampak licin itu.
Perlahan, bang madi membuka matanya pelan-pelan. Dilihatnya ponselnya yang tergeletak di meja di samping tempat tidurnya itu. tertera di ponselnya itu beberapa missed call yang ternyata dari rumah sakit. Tak lama, sebuah pesan singkat datang dan masuk dalam inbox ponselnya itu. alangkah terkejutnya pemuda itu ketika mendapat pesan dari rumah sakit itu dan langsung menghambur dari kasurnya yang cukup nyaman itu. bagaimana tidak, pesan itu menyatakan bahwa sang ibu saat ini sedang kritis dan tak sadarkan diri karena semalam berusaha bunuh diri dengan sebilah gunting di tangannya. Tanpa ragu lagi, bang madi membangunkan halim yang masih terlelap tidur itu.

“ayo halim… kita harus ke rumah sakit, ibu kritis!!!” ujar bang madi panik sembari membereskan tempat tidurnya dengan tergesa-gesa. Halim yang masih berusaha membuka mata itu nampak sedikit berbeda dan aneh sekali. Mendadak sekujur tubuhnya nampak pucat sekali dan tak bisa bergerak dengan seragam wisuda yang masih melekat di tubuhnya. Bang madip un bingung melihat kondisi sang adik dan akhirnya memutuskan untuk menitipkan sang adik kepada mang ujang, tetangga sebelah kepercayaannya.

Di rumah sakit, bang madi nampak gelisah menunggu dokter keluar dari ruang operasi. Syukurlah di rumah sakit itu terdapat sebuah ruangan operasi yang berfungsi untuk menangani kejadian seperti ini. Lama sekali dokter keluar dari ruangan itu sementara detak jantung pemuda itu sudah tak karuan lagi. Beberapa saat kemudian, ponselnya berbunyi dan ia segera menjawabnya. Panggilan itu ternyata dari mang ujang yang memberitahukan sesuatu telah terjadi pada halim. Pemuda itu nampak shock dan sangat terpukul atas hal itu hingga ia menangis sejadi-jadinya di rumah sakit itu. tak dipedulikannya seberapa banyak orang memandang aneh pada dirinya yang terlihat sangat tersiksa itu. tak berapa lama, sang dokter keluar dari ruangan itu dan menghampiri pemuda itu memberitahu bahwa kondisi sang ibu telah membaik. Pemuda itu sedikit terhibur akan keajaiban itu dan lantas ia menangis sedih bercampur haru.

Waktu pun terus bergulir sejak kejadian itu hingga tak terasa 10 tahun pun berlalu. Keadaan kota bandung masih sama seperti sepuluh tahun silam ketika bang madi masih bisa melihat kehadiran sang adik di dunia ini. Sungguh, peristiwa pagi itu tak akan pernah ia lupakan sepanjang hidupnya. Baginya, pagi itu adalah pagi tahun 2000 yang kelabu. Pagi di era millennium yang kelabu.
Bersama sang ibu yang kini telah dinyatakan sembuh dan keluar dari rumah sakit jiwa itu, bang madi mengunjungi tempat peristirahatan terakhir sang adik. Bu asih nampak begitu haru menahan tangisnya tatkala menatap nisan sang anak yang telah sepuluh tahun pergi meninggalkannya itu. dengan tertatih, diambilnya piagam wisuda terakhir yang ditinggalkan anaknya itu dan meletakkannya di sisi makamnya itu.

Tak lama, bang madi menyerahkan sebuah surat yang dulu sempat ditulis halim itu pada sang ibu dan menyuruhnya membacanya. Dengan penuh linangan airmata haru, bu asih membuka surat kecil itu dan membaca kata per kata yang ada dalam surat itu. di akhir surat, disadarinya tulisan tangan sang anak terlihat sudah goyah dan rapuh. Tampaknya halim sengaja memaksakan diri menulis surat itu untuk ibunya dengan segenap kekuatannya yang terakhir. Begini isi surat itu.

teruntuk ibuku tersayang…
Ibu, kau adalah segalanya untukku… tiada kasih sayang yang patut kusandingkan dengan kasih sayangmu selama ini padaku…
Ibu… aku tahu, kau adalah wanita yang tegar yang tak mudah lemah oleh keadaan apapun…
Namun, aku juga tahu bahwa sebenarnya hatimu itu menangis dengan sedihnya…
Ibu… aku menulis surat kecil ini sambil mengenang kebersamaan kita yang begitu indah…
Saking indahnya hingga aku tak bisa berkata apa-apa untuk menggambarkannya…
Hingga akhirnya nestapa itu kian datang bertubi-tubi dalam kehidupan kita…
Merusak dan menghancurkan kebahagiaan yang pernah tercipta…
Aku tahu bu, nafasku di dunia ini sudah tak akan sesegar dahulu lagi…
Aku tahu bu, betapa setiap detik kematian akan bisa menjemputku…
Oleh karena itu, kuputuskan untuk mendonorkan kedua mataku ini untuk dirimu bu, orang yang paling kusayangi sebagai kado terakhir untukmu…
Karena aku sadar bu, ibu harus tetap hidup dan tersenyum di dunia ini…
Biarlah, aku yang sudah rapuh ini melihat senyuman itu di syurga suatu saat nanti bu…
Karena dengan cara itu, aku bisa berbakti padamu…
Dengan kedua bola mataku yang kini ada di tubuhmu, aku bisa terus bersamamu…

Lantas bu asih pun mencium hangat nisan sang anak dengan penuh kasih sayang…

Cerpen Karangan: Randie
Facebook: Ndie Ilham

0 komentar:

Post a Comment